WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Minggu, Februari 21, 2016

Siaran Pers Walhi Sumsel : Sampah Tanggung Jawab Produsen!

Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional di Palembang yang dilakukan oleh Sahabat Walhi Sumsel bersama Komunitas Peduli Lingkungan. (21/2/16)

Sampah di Indonesia telah menjadi salah satu persoalan laten lingkungan hidup, terus mengancam dan menghantui kehidupan masyarakat. Daya cemarnya terakumulasi dan kemudian secara perlahan merusak daya dukung lingkungan hidup. Masih teringat jelas dalam ingatan kita, pada 21 Februari di tahun 2005 silam,   + 157 jiwa melayang dan dua kampung tertimbun kemudian tergulung oleh longsoran sampah yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah. Inilah yang kemudian menjadi peringatan Hari Peduli Sampah Nasional secara resmi di setiap tanggal 21 Februari.
Sampah kini telah menjadi salah satu sumber bencana ekologis, karena dampak akumulasinya mampu merusak dan menurunkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Alasan penggunaan kemasan plastik oleh produsen sebagai satu-satunya cara paling efisien dalam produksi adalah pandangan yang sangat dangkal, sementara dampak besar yang dihasilkan tidak diperhitungkan. Dimana pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat dan lingkungan hidup.
Pemerintah seolah tidak pernah belajar dari kasus-kasus sebelumnya, dan justeru melahirkan kebijakan-kebijakan yang menambah beban masalah. Salah satunya adalah mereduksi sampah melalui tekhnologi incinerator dan membiarkan produsen tidak mentaati peraturan perundang-undangan.
Kegiatan Sahabat Walhi Sumsel. (21/2/16)
Penyelesaian persampahan tidak selesai pada perubahan gaya hidup masyarakat, tanpa ada tanggung jawab yang berarti dari “pencipta sampah” yakni para produsen. Undang-Undang No 18 tahun 2008 telah mengamanatkan bahwa “Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam” (pasal 15). Selain itu Peraturan Pemerintah No 81 Tahun 2012 secara tekhnis sudah mewajibkan bahwa Produsen wajib melakukan pembatasan timbulan sampah, salah satunya adalah dengan menghasilkan produk dengan menggunakan kemasan yang mudah diurai oleh proses alam dan yang menimbulkan sampah sesedikit mungkin (pasal 12). Kemudian pasal 13 menegaskan kembali bahwa Produsen wajib melakukan pendauran ulang sampah, salah satunya adalah dengan menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk didaur ulang.
Faktanya adalah adakah peraturan tersebut dijalankan sebagai mana mestinya? Pemerintah juga tidak sepatutnya lebih banyak melakukan aksi kampanye tentang pentingnya masyarakat mengurusi sampahnya sendiri, sementara yang berkewajiban mengelola dan mereduksi yakni produsen tidak pernah ditekan secara serius. Hujungnya adalah seolah-olah bahwa masyarakatlah yang paling bertanggung jawab.
Kebijakan pemerintah lainnya yang tidak produktif adalah kantong plastik berbayar. Dimana konsumen ritel atau pusat perbelanjaan dikenakan biaya dari kantong plastik yang digunakan. Adapun yang menjadi persoalan dari kebijakan ini adalah; Pertama, kebijakan ini justeru tidak mengurangi kantong plastik, hanya berpotensi mengurangi peredaran di masyarakat. Kedua, kebijakan ini menyasar masyarakat kota. Pertanyaanya adalah dengan nilai kantong plastik Rp. 200 apakah masyarakat kota yang notabene kalangan menengah ke atas tidak rela membayar kantong tersebut? Ketiga, hasil pembelian dari kantong plastik tersebut akan masuk ke dalam kegiatan CSR (coporate social responsibilty). Dana tersebut akan dikelola oleh peritel. Solusi ini tidak akan menyelesaian masalah, karena tidak menyentuh persoalan mendasar.
Negara dan masyarakat selalu menjadi pihak yang direpotkan dari tanggung jawab yang seharusnya dibebankan kepada peritel dan perusahaan-perusahaan yang menggunakan kemasan plastik. Jika ini merupakan kebijakan jangka pendek, kebijakan yang cukup tepat adalah kantong plastik tersebut sebaiknya di tukar dengan sampah plastik. Akan tetapi syaratnya kantong kemasan tersebut harus produk yang ramah lingkungan, bukan lagi menggunakan plastik.
Dengan demikian, sampah plastik yang ditukar/barter tersebut peritel dan perusahaan yang menggunakan kemasan harus mengelola sampah yang diciptakan olehnya sendiri. Solusi ini tentunya jauh lebih mendidik masyarakat dan sekaligus menjalankan tata kelola persampahan di Indonesia.
Pemerintah Provinsi dan pemerintah kabupaten/Kota di sumsel harus belajar dari masalah provinsi-provinsi lainnya, dimana isu sampah selalui menuai konflik dan permaSalahan. Terlebih lagi laju konsumsi masyarakat di provinsi ini terus meningkat, terutama di wilayah perkotaan. Jika tidak demikian, maka persoalan lingkungan hidup di Sumatera Selatan akan semakin kronis dan menuju penghancuran peri-kehidupan.
Melihat persoalan tersbut, WALHI Sumatera Selatan menuntut Pemerintah untuk :

  1. Menjalankan Pasal 15 Undang Undang No 18 tahun 2008 tentang Sampah dengan menuntut para produsen (Perusahaan) bertanggung jawab atas sampah yang di hasilkan Dan beredar di masyarakat merusak Lingkungan hidup.
  2. Menuntut produsen harus meninggalkan kemasan plastik dan lain sebagainya yang mampu merusak dan mencemari lingkungan, kemudian beralih pada penggunaan kemasan yang sangat ramah terhadap lingkungan.
  3. WALHI Sumsel menilai kebijakan kantong plastik berbayar jangan sampai menjadi modus pengalihan tanggung jawab perusahaan kepada konsumen. Solusi jangka pendek yang tepat adalah barter sampah plastik yang ada dan beredar dimasyarakat dengan kantong kemasan Dari Ritel,pusat perbelanjaan Dan produsen Yang ramah lingkungan hidup bukan dengan kantong plastik. Sampah plastik yang ditukar/barter tersebut harus dikelola oleh peritel dan perusahaan yang menggunakan kemasan plastik.
  4. Pemerintah Daerah untuk memberikan pendidikan dan sosialisasi yang baik dan benar tentang persampahan serta memberikan reward atau punisment kepada kelompok masyarakat yang telah mampu mengelolah dan mendaur sampah dengan baik dan Ramah lingkungan hidup
  5. WALHI Sumatera Selatan menolak pengelolaan sampah melalui incinerator, karena tidak menyelesaikan akar masalah Dan malah menjadi ancaman bagi lingkungan hidup dan rakyat Karena penanganan sampah harus dikembalikan kepada produsen.
  6. WALHI Sumatera Selatan mengajak masyarakat untuk menggunakan “hak menolak” segala jenis produk yang menggunakan kemasan tidak ramah lingkungan, termasuk produk itu sendiri.  

   Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Eksekutif Daerah Provinsi Sumatera Selatan


Nara Hubung:
Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif WALHI Sumsel : +628127312042
Selengkapnya...

Selasa, Februari 09, 2016

Siaran Pers : Bencana Ekologis mengintai ; Ubah Persfektif, Perbaiki tata Kelola Hutan dan Lahan


Palembang 09 Februari 2016, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumatera Selatan kembali mengingatkan kepada Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Daerah untuk selalu siaga menghadapi bencana ekologis.
Manager Desk Disaster WALHI Sumsel, Dino Mathius mengatakan beberapa bencana ekologis sudah terjadi selama hampir dua bulan terakhir. Mulai dari banjir yang terjadi di 6 kecamatan di Kabupaten Lahat. Salah satunya Desa Gunung Kembang pada 23 Januari 2016, setidaknya terdapat 150 KK terdampak yang diantaranya 4 rumah hanyut dan 15 rumah rusak parah, dan sisanya terendam air setinggi + 3 meter di desa tersebut. Dan pada waktu yang bersamaan terjadi juga banjir di Kota Muara Dua Kabupaten Oku Selatan, Muara Enim dan Tanjung Enim serta di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), dan yang saat ini sedang terjadi di Kabupaten Musi Banyuasin terdapat beberapa titik Banjir sedikitnya + 4 desa diantaranya desa Ulak Embacang, Desa Air Balui SP 1, SP 2 dan SP 3 yang berada di Kecamatan Sanga Desa bukan hanya itu, ada 4 Kecamatan di Musi Banyuasin yang berpotensi Banjir seperti di Kecamatan Sekayu, Babat Toman,Sei Lais dan Lawang wetan. Di Kabupaten Empat Lawang ada 3 Kecamatan yang juga mengalami banjir  diantaranya Kecamatan Pendopo Barat, Kecamatan Sikap Dalam dan Kecamatan Tebing Tinggi yang merendam ratusan rumah warga serta hancurnya 2 jembatan gantung yang berada di Desa Linggae dan Desa Baturaja Baru. Untuk di Kabupaten OKI banjir yang tepatnya terjadi di Kecamatan Air Sugihan merupakan salah satu penyebab gagalnya panen padi milik masyarakat. Sebelumnya pada saat musim kemarau pun gagal panen terjadi akibat kekeringan.
Dalam dokumen Perda RTRW Sumsel sebelumnya, wilayah-wilayah tersebut merupakan daerah yang sangat rawan terhadap banjir, diantaranya banyak yang masuk dalam kategori berat. Dengan demikian bagaimana sistem pengendalian yang selama ini dilakukan, mengapa bencana tersebut kerap menyisakan kerugian kepada masyarakat.
Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Hadi Jatmiko menegaskan bahwa bencana ekologis yang terjadi merupakan salah urus dalam tata kelola pengelolaan sumber daya alam (SDA). Karena hasil pantauan WALHI Sumsel misalnya di Kabupaten Lahat yang memperlihatkan beberapa lokasi banjir tersebut di atasnya (Ulu) terdapat Izin kegiatan ekstraksi berupa pertambangan Minerba 60 izin, perkebunan sawit 19 izin dan Hutan Tanaman Industri 1 izin dengan Total luas mencapai 181,429,5 Hektar atau Empat setengah kali luas Kota Palembang dengan total luas Kabupaten Lahat hanya 455.176 Hektar. Aktivitas eksploitasi SDA yang destruktif tersebut terus mendegradasi daya dukung dan daya tampung kesatuan ekosistem di Sumatera Selatan. Belum lagi kebakaran hutan dan lahan yang berkontribusi besar terhadap perubahan ekosistem, baik perubahan secara cepat maupun perlahan (akumulatif).
Oleh karena itu, kami khawatir bencana ekologis ini akan terus meluas jika tidak dapat diantisipasi dengan sesegera mungkin. Waktu terdekat yang harus dilakukan pemerintah adalah bencana tersebut tidak terulang dalam menimbulkan kerugian baik materiil dan non materiil kepada masyarakat, termasuk dengan segera melakukan upaya rehabilitasi dan pemulihan paska kejadian.Seperti sebelumnya, saat terjadi banjir maupun sesudahnya wabah penyakit kerap melanda masyarakat dan lahan-lahan pertanian.
Untuk jangka panjang pemerintah wajib merubah paradigma dan model pembangunan dari yang selama ini digunakan, karena terbukti dampak buruknya jauh lebih besar ketimbang keuntungan secara ekonomis. Tambah Hadi Jatmiko
Kebijakan lainnya yang harus dipastikan adalah pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan Perda Tata Ruang baru yang akan disahkan. Dengan memberikan porsi yang sebesar-besarnya pada keberlanjutan lingkungan hidup dan kesejahteraan masyarakat secara adil. Serta harus dipastikan tidak ada lagi tarik-menarik kepentingan, yang justeru mementingkan aktivitas-aktivitas ekstraksi sumber daya alam yang merusak ruang peri-kehidupan. Maka rancangan Perda tersebut penting untuk diperiksa kembali, apakah sudah dapat dipastikan bahwa lingkungan hidup dan masyarakat di Provinsi Sumatera Selatan sudah terjamin hak-hak nya dalam mendapatkan kualitas lingkungan hidup yang baik. Untuk saat ini maupun generasi mendatang, sesuai dengan amanat konstitusi.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI Provinsi Sumatera Selatan)

Narahubung:
Hadi Jatmiko: +628127312042
Dino Mathius: +6281367411270


Selengkapnya...