WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, September 09, 2016

160 Hari Pemiskinan Warga Cawang Gumilir oleh PT. Musi Hutan Persada Negara Dimana?

Aksi Walhi dan Masyarakat Cawang Gumilir di Depan Gedung KLHK (Foto : Walhi Sumsel) 

Siaran Pers Walhi dalam Aksi Diam di depan Gedung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di Jakarta. 

Jakarta-Hari ini, Jum’at 09 September 2016. Tepat 160 hari warga Cawang Gumilir, Kabupaten Musi Rawas, Sumatera Selatan hidup dalam ketidakpastian. Paska penggusuran yang dilakukan oleh PT. Musi Hutan Persada (MHP) pada bulan Maret lalu. Pasalnya setelah tergusurnya ladang perkebunan dan pemukiman warga, mereka sama sekali tidak memiliki apapun. Untuk tinggal,warga Cawang Gumilir mengungsi di tenda pengungsian, rumah-rumah penduduk di dusun lainnya dan desa induk yang jaraknya + 13 kilometer dari tempat sebelumnya (tergusur). Sementara untuk pekerjaan, mereka terpaksa menjadi buruh tani yang pendapatanya tidak dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Anak-anak juga tidak bisa bersekolah, karena sekolah mereka juga digusur. 

Apa yang dilakukan oleh PT. MHP kepada masyarakat merupakan bentuk kejahatan yang sistematis. Selain menggunakan TNI, Kepolisian, dan Dinas Kehutanan sebagai alat, kini bentuk penindasan dilakukan dengan cara pemiskinan. Lebih parah lagi, tidak ada satu pun lembaga-lembaga negara yang hadir ditengah apa yang dialami warga Cawang Gumilir saat ini. 

Sampai saat ini berbagai upaya warga untuk mencari keadilan telah ditempuh, namun tidak ada perkembangan apapun. Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mengungkapkan bahwa “baik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Pemerintah Daerah tidak serius menyelesaikan konflik yang terjadi. Pemerintah begitu mudahnya mengeluarkan izin kepada perusahaan, namun jika urusan yang berkaitan dengan hak-hak rakyat pemerintah malah memperlambat dan terkesan bukan menjadi agenda utama. Rakyat dibiarkan “berdarah-darah” dan “lelah” dengan sendiri”. 

Pasalnya beberapa bulan lalu sudah ada pertemuan antara warga Cawang Gumilir, WALHI Sumsel, Dirjen Perhutanan Sosial Kementerian LHK, dan beberapa instansi Pemerintah Daerah. Namun hingga hari ini tidak ada perkembangan yang berarti. Ini menandakan bahwa Perhutanan Sosial memang tidak dimaksudkan sebagai bagian dari penyelesaian konflik. 

Edo Rakhman, Manager Pembelaan dan Respon Cepat WALHI Nasional menambahkan, “Kejahatan Korporasi saat ini sudah masuk dalam taraf membahayakan kedaulatan negara dan hak-hak rakyat atas sumber daya alam. Negara menjadi alat PT. MHP untuk menggusur ruang hidup masyarakat”.  

Konflik warga dengan PT. MHP sudah terjadi bertahun-tahun lalu, dan tidak pernah ada titik temu yang mengakomodir kepentingan warga Cawang Gumilir secara adil dan partisipatif. Sebelumnya pada tahun 14 Juli tahun 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengeluarkan surat untuk meminta kepada Gubernur dan Bupati untuk menyelesaikan konflik yang terjadi. Surat yang ditandatangani oleh Ibu Menteri tersebut, juga mengatakan tengah melakukan proses penyelesaian konflik melalui skema perhutanan sosial. Namun, hal tersebut tidak pernah ditanggapi sedikitpun, baik oleh Pemerintah Daerah, dan bahkan di tingkatan struktur Kementerian LHK sendiri. 

Atas dasar itulah, melalui aksi diam yang jatuh bertepatan dengan hari ke-160 warga mengungsi ini, kami mendesak agar negara mencabut izin PT. MHP dan memberikan hak atas tanah dan sumber-sumber kehidupan kepada warga Cawang Gumilir. Terlebih, 80.000 hektar lahan PT. MHP terbakar, artinya perusahaan tidak mampu mengelola kawasan mereka. 

Kami juga mendesak agar Pemerintah Pusat dan Daerah juga segera melakukan penanganan cepat, terutama pemenuhan hak-hak dasar masyarakat dan pemulihan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. 


Jakarta, 9 September 2016.



Contact Person:

1.     Bagus Ahmad, WALHI Sumatera Selatan di 085693277933

2.     Edo Rahman, Eksekutif Nasional WALHI di  081356208763
Selengkapnya...

Kamis, September 08, 2016

Walhi : Indonesia Darurat Kejahatan Korporasi, Presiden Segeralah Bertindak!

Jakarta-Beberapa hari ini publik diperlihatkan dengan berbagai peristiwa yang bukan hanya mencoreng komitmen Presiden Jokowi untuk penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, namun juga mengusik rasa keadilan bagi publik. Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah dengan berbagai alasan, antara lain tidak cukup bukti. Namun di ruang yang lain, penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap masyarakat kecil, seakan tidak ada kompromi. Lemahnya wibawa negara di hadapan korporasi juga ditunjukkan dengan peristiwa penyanderaan petugas KLHK dan penghalangan sidak Badan Restorasi Gambut.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menilai bahwa dari hulu hingga hilir, korporasi melakukan berbagai tindak kejahatan, baik kejahatan lingkungan maupun kejahatan kemanusiaan. Di hulu, di berbagai kasus yang diadvokasi oleh WALHI, korupsi dilakukan untuk mendapatkan izin. Dalam analisa yang WALHI lakukan bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya menemukan, berbagai bentuk modus operandi kejahatan korupsi yang dilakukan oleh perusahaan. Korporasi juga melakukan kejahatan dalam rantai produksinya, dalam land clearing dengan membakar yang mengakibatkan penghancuran ekosistem, kematian, dampak kesehatan masyarakat yang buruk, kerugian negara dan kerugian non materi lainnya. PT. Musi Hutan Persada misalnya, selain konsesinya terbakar dengan luasan mencapai sekitar 80.000 hektar, mereka juga melakukan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dengan menggusur tanah dan ladang milik masyarakat Cawang Gumilir Musi Rawas Sumatera Selatan. Sudah 158 hari masyarakat tinggal di pengungsian.

Menyuap, melakukan pelanggaran hukum dan aturan, melanggar hak asasi manusia, menjadi watak korporasi dalam menjalankan bisnis mereka. Penggunaan kekerasan, premanisme dan pendekatan keamanan, termasuk pengerahan aparat keamanan (Polisi/TNI) dan juga kelompok pamswakarsa selalu menjadi pola yang sistematis dan pada akhirnya terus melanggengkan konflik struktural agraria.

WALHI mempertanyakan peran penegak hukum dalam hal ini Kepolisian dalam kasus-kasus struktural lingkungan hidup, terutama dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. Ada apa dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia? Polisi tidak hanya gagal menegakkan hukum, terutama hukum lingkungan, akan tetapi juga gagal menterjemahkan Undang-Undang, bahkan terkesan memelintir isi Undang-Undang, sehingga gagal melihat  penyebab kebakaran hutan dan lahan, dan gagal menetapkan tersangka pelaku pembakar hutan. Dalam beberapa kejadian ini polisi memposisikan diri mewakili kepentingan korporasi, bahkan terlihat mulai berani berhadapan dengan negara, sementara korporasi mulai terang-terangan menunjukkan kedudukannya melampui negara.

Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI menyatakan “berbagai peristiwa hukum yang terjadi dalam beberapa hari ini, harusnya dapat menjadi momentum bagi Presiden untuk menyatakan bahwa Indonesia berada dalam Darurat Kejahatan Korporasi”. Untuk itu, WALHI merekomendasikan agar:

1.     Presiden Republik Indonesia melakukan evaluasi menyeluruh di tubuh POLRI juga TNI, dimana selama ini terindikasi menjadi backing korporasi terutama korporasi perusak lingkungan dan melakukan pelanggaran HAM. Memastikan reformasi di sektor keamanan dapat berjalan di tubuh institusi Kepolisian/TNI
2.     Mereview upaya penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan dan kejahatan lingkungan hidup lainnya yang saat ini sedang berjalan, khususnya Kementerian/Lembaga Negara yang diberi kewenangan dan tugas menegakkan hukum. Mengingat proses penegakan hukum lingkungan yang berjalan saat ini, belum mampu menjangkau kejahatan korporasi

Mengingat situasi darurat kejahatan korporasi ini, kami juga mendorong adanya pengadilan lingkungan hidup. Pengadilan lingkungan hidup dibutuhkan karena kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang dilakukan oleh korporasi sudah pada tahap kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes).

Jakarta, 08 September 2016


Contact Person:

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI di 081290400147

Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Hukum Lingkungan Eksekutif Nasional WALHI di 081289850005
Selengkapnya...

Melanggar HAM, PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM

Walhi Sumsel : Usir Marubeni, Cabut Izin PT.MHP, Rakyat Berhak Atas Tanah

Jakarta- 7 september 2016, warga masyarakat Dusun Cawang Gumilir, Desa Bumi Makmur Kabupaten Musi Rawas  bersama keluarganya, didampingi WALHI dan TuK Indonesia, mengadukan PT. Musi Hutan Persada (PT. MHP) yang sahamnya 100% dimiliki oleh Marubeni Group, investasi Jepang ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Kedatangan WALHI bersama dengan masyarakat ke Komnas HAM ini untuk mengadukan berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh masyarakat. Penggusuran paksa yang dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan aparat keamanan baik polisi telah membuat masyarakat terpaksa harus tinggal di pengungsian yang tidak layak, tidak dapat lagi bertani karena ladang pertanian mereka juga digusur paksa, dan anak-anak yang tidak bisa lagi bersekolah.

 “Hingga saat ini masyarakat masih belum bisa kembali ke rumahnya, dan untuk sementara kami masih tinggal di pengungsian dan sebagian lainnya tinggal menumpang di rumah tetangga desa dan untuk makan sehari-hari terpaksa menjadi buruh tani. Kami ingin segera bisa kembali ke dusun kami dan berladang, agar kehidupan kami kembali dan tenang dan anak-anak bisa bersekolah dan memiliki masa depan yang baik’, demikian disampaikan oleh Ibu Suharmi kepada Komisioner Komnas HAM.

WALHI mendesak agar Komnas HAM sebagai lembaga HAM negara mengambil tindakan cepat untuk bisa memastikan hak-hak dasar rakyat dipenuhi oleh negara. “Dalam pengaduan ini mendesak agar Komnas HAM mengambil tindakan segera untuk memastikan hak-hak dasar masyarakat dipenuhi oleh negara, khususnya agar masyarakat bisa kembali ke dusunnya dan bertani di sana”, ujar Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan.

Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI menyatakan, “selain terkait dengan tindakan mendesak yang harus segera dilakukan oleh Komnas HAM, Kami juga mendesak agar Komnas HAM turun ke lapangan untuk melihat pelanggaran HAM sebagai bentuk kejahatan yang dilakukan oleh korporasi”. Kami mendesak ini karena kami tahu bahwa Komnas HAM memiliki komitmen untuk mendorong agar korporasi dapat memenuhi dan menghormati hak asasi manusia sebagaimana yang terdapat dalam panduan United Nation Human Rights tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia. Terlebih PT. Musi Hutan Persada merupakan perusahaan yang dimiliki oleh TNCs”.

Selain menggusur tanah rakyat, PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group ini juga melakukan tindak kejahatan lingkungan lainnya. 80.000 hektar kawasan konsesi mereka terbakar, yang telah menyebabkan kerugian lingkungan dan kerugian non materi lainnya. Konflik antara masyarakat dengan perusahaan juga sudah lama terjadi, setidaknya sejak tahun 2006 dan puncaknya terjadi penggusuran pada bulan April 2016 lalu.

Pengaduan dari perwakilan masyarakat dan WALHI diterima oleh Komisioner Komnas HAM Sub Komisi Pemantauan dan Penyidikan, Ibu Siti Noor Laila dan Komisioner Sub Komisi Mediasi, Ibu Roichatul Aswidah. Komnas HAM berjanji akan segera melakukan upaya agar rakyat bisa kembali mendapatkan kembali hak-haknya, terutama bisa kembali melangsungkan kehidupannya. (selesai)

Jakarta, 7 September 2016.

Contact Person:

1.     Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan di 08127312042

2.     Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI di 081290400147
Selengkapnya...

Selasa, September 06, 2016

Walhi Sumsel : Addendum Andal PT. OKI Pulp and Paper Mills, Pemaksaan dan Penekanan terhadap sumber daya alam

Bekas Gambut terbakar di dalam Konsesi Perusahaan yang akan memasok PT. OKI Pulp and papers di Kabupaten OKI (Foto : Dokumen Walhi Sumsel ) 


Upaya Addendum Amdal  PT. OKI Pulp and Paper Mils berupa penambahan kapasitas produksi merupakan pemaksaan dan penekanan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Berdasarkan catatan WALHI Sumsel, perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) penyuplai PT. OKI Pulp and Papers Mills merupakan perusahaan yang memiliki catatan buruk sejak keberadaannya di Provinsi Sumatera Selatan. Perusahaan tersebut antara lain PT. Bumi Andalas Permai, PT. Sebangun Bumi Andalas, PT. Bumi Mekar Hijau, PT. Rimba Hutani Mas, PT. Sumber Permai, dan PT. Tripupa Jaya. Perusahaan penyuplai tersebut telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum, salah satunya adalah adanya kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesinya.
Adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di atas juga merupakan bukti ketidakmampuannya mengelola sumber daya alam secara keberlanjutan. Diawal rencana pembangunannya, WALHI Sumatera Selatan sudah menolak dengan tegas keberadaan industri bubur kertas tersebut. Izin Lingkungan yang sebelumnya diberikan (tahun 2015) merupakan pemaksaan kebijakan yang sesungguhnya tidak patut diberikan. Seharusnya pemerintah melihat kondisi yang ada secara menyeluruh, tidak hanya mengenai keberadaan pabrik tersebut. Bagaimana mungkin Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memberikan izin lingkungan kepada suatu perusahaan (pabrik) pembuatan bubur kertas yang di pasok oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan perbuatan melawan hukum. Antara lain Undang-Undang No 41 tahun 2009 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perusahaan
Hotspot
2015
2014
PT. Bumi Andalas Permai
5367
592
PT. Bumi Mekar Hijau
2953
2844
PT. Bumi Persada Permai
99
15
PT. Rimba Hutani Mas
1889
71
PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries
2489
167
PT. Sumber Hijau Permai
9
0
PT. Tri Pupajaya
320
16
Grand Total
13126
3705

Pada kejadian Karhutla di Sumatera Selatan tahun 2015, sebagian besar terjadi wilayah yang terbebani izin. Seperti HTI dan Perkebunan sawit. Sementara mayoritasnya berada di perusahaan-perusahaan pemasok kayu PT. OKI Pulp and Paper Mils.
Nama Perusahaan
Luas kebakaran/ha tahun 2015
PT. Bumi Mekar Hijau
108.028
PT. Bumi Andalas Permai
91.569
PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries
52.647
PT. Rimba Hutani Mas
28.755
 Luas kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesi pemasok PT. OKI Pulp and Paper Mils (2015/berdasarkan peta indikatif kebakaran)

WALHI Sumsel menilai, bahwa Addendum Andal pembangunan industri dari kapasitas dua juta ton//tahun ke dua juta delapan ratus ribu ton merupakan pemaksaan penghisapan sumber daya alam. Tahun 2015 merupakan bukti nyata, dimana jutaan rakyat Sumatera Selatan terpapar asap. Selain itu, di seluruh wilayah konsesi perusahaan pemasok PT. OKI Pulp and Paper di dadalamnya terdapat wilayah ekologi penting, yakni kawasan ekosistem gambut. Pada kebakaran lahan 2015, terdapat hotspot di gambut pada area konsesi pemasok tersebut.
Tekanan-tekanan lainnya yang dihadapi adalah dipastikan akan terjadinya ekspansi izin-izin hutan tanaman industri (HTI) secara besar-besaran. Karena berdasarkan analisa WALHI Sumsel, luasan konsesi yang dimiliki pemasok tidak akan mencukupi kebutuhan produksi. Jika ekspansi tersebut terjadi, maka akan menimbulkan konflik-konflik baru di masyarakat, karena ruang kelola masyarakat semakin sempit. Bukan tidak mungkin, untuk memenuhi pasokannya (kekuranganya) akan dilakukan cara-cara illegal.
Dengan demikian, sudah seharusnya pemerintah melihat kondisi, fakta-fakta, dan ancaman-ancaman dengan berdirinya maupun rencana penambahan kapasitas produksi PT. OKI Pulp and Paper Mills secara menyeluruh.  
Atas dasar-dasar kondisi di atas, bersama ini WALHI Sumsel menuntut:
  1.      Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera    Selatan menolak Addendum Andal PT. OKI Pulp and Paper Mils.
  2.      Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan harus cermat dalam memahami kondisi pengrusakan lingkungan, dan dampak-dampak lainnya akibat ketidakmampuan perusahaan-perusahaan HTI dalam mengelola sumber daya alam. 
   Kontak Person : 
   Hadi Jatmiko Walhi Sumsel Jalan Beliton No 50 B kelurahan 26 Ilir Palembang
   Telp/Fax : 0711361010





Selengkapnya...