WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, Agustus 29, 2014

Pers Rilis : Penguasaan Lahan dan Potensi Korupsi PSDA di Sumatera Selatan



Grafik Penguasaan Hutan Sumsel
Lahan disebut hutan jika  berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan. Berdasarkan undang-undang kehutanan, lahan bisa juga disebut hutan jika  wilayahnya ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.

Namun pada prinsip dasarnya, kawasan hutan diperlukan karena wilayah tersebut diharapkan memiliki fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir,  memelihara kesuburan tanah, perlindungan tumbuhan dan satwa atau untuk menghasilkan kayu.

Dalam perkembangan, banyak kawasan hutan  dibuka dan digunakan untuk dieksploitasi baik lahan maupun kandungan mineral di dalamnya. Kondisi ini kemudian menyebabkan terjadi  penurunan kualitas dan kuantitas hutan terutama di Propinsi Sumatera Selatan.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 76 tahun 2001, Propinsi Sumatera Selatan memiliki kawasan hutan seluas 4.416.837 hektar (termasuk kawasan hutan Bangka Belitung 65.7510 hektar), yang memiliki fungsi untuk penyangga kehidupan, habitat dan sebagai hutan produksi. Luasan kawasan ini kemudian mengalami perubahan karena usulan rencana tata ruang wilayah propinsi (RTRWP). Antara lain  perubahan dari kawasan hutan menjadi bukan hutan seluas 210.559 hektar dan perubahan fungsi 44.299 hektar. 

Total luas hutan produksi di Sumatera Selatan adalah 2.490.275 ha. dari luasan tersebut areal yang memiliki fungsi Hutan Produksi Tetap (HP) sehingga dapat diberikan izin HTI seluas 1.669.370 Hektar, dimana 1.336.802 ha (80%) telah dibebani izin sebanyak  19 IUPHHK-HTI. Dari 19 Izin tersebut, 10 diantaranya dikuasai hanya oleh 1 (satu) grup yang sebagian besar diantaranya memiliki riwayat konflik dengan masyarakat lokal.

Berdasarkan dokumen perizinan yang ada, Gubernur Ir. Syahrial Oesman, MM selama periode kepemimpinannya (2003-2008) mengeluarkan 8 izin dengan total luasan 877.330 hektar. Ini merupakan luasan terbesar yang dikeluarkan pada satu periode kepemimpinan Gubernur dalam  25 tahun terakhir. Sedangkan jumlah izin terbanyak dikeluarkan oleh Alex Noerdin selama periode 2008-2013, sejumlah 11 Izin dengan total luasan 326.084. Namun tidak menutup kemungkinan jumlah ini masih masih akan bertambah   pada periode kedua kepemimpinan Alex Noerdin ( 2013-2018), mengingat rekam jejak kepemimpinannya selama menjadi Bupati Musi Banyuasin,  Alex Noerdin sangat berperan terhadap   keluarnya izin-izin IUPHH-TI.

Selain dari sektor kehutanan, penguasaan dan eksploitasi kawasan hutan juga dilakukan oleh  perusahaan yang bergerak di sektor perkebunan dan tambang, banyak kawasan hutan yang di kuasai melalui mekanisme pinjam pakai, penurunan fungsi atau pelepasan kawasan hutan.

Kawasan hutan produksi dapat di konversi (HPK) di Sumatera Selatan seluas  431.445 hektar (kawan hutan yang dapat digunakan untuk perkebunan dengan sekema pelepasan kawasan),  namun berdasarkan data Kementerian Kehutanan tahun 2013 kawasan hutan di Sumatera Selatan  yang telah dilepaskan menjadi  areal perkebuan mencapai 847.143 hektar. Kejanggalan lain terdapat disektor pertambangan, dimana 801.160 hektar IUP tumpang tindih dengan kawasan hutan, baik hutan konservasi maupun hutan produksi (Planologi kehutanan, 2014)

Berdasarkan studi yang dilakukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) di Provinsi Sumatera Selatan, hingga tahun 2014 terdapat 359 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dari jumlah tersebut, terdapat 31 pelaku usaha yang tidak memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Sedangkan data Direktorat Jenderal Pajak (April 2014) meyebutkan, dari 241 wajib pajak , hanya 18 diantaranya yang melakukan pelaporan penghitungan pajak (pelaporan SPT).

Jumlah dan luasan izin IUP yang meningkat signifikan pada tahun 2009 dan 2010 memperlihatkan kuatnya pengaruh politik terhadap keluarnya izin –izin usaha pertambangan di Sumatera Selatan, dimana masa tersebut menjadi tahun politik karena berbarengan dengan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada. tercatat total 290  IUP (81 % dari total IUP yang ada) dikeluarkan dalam 2 tahun tersebut. 140 IUP dikeluarkan pada tahun 2009 dan 150  IUP dikeluarkan pada tahun 2010. Hal ini menguatkan indikasi bahwa izin-izin tersebut menjadi alat transaksi politik dalam pelaksanaan pemilu dan pilkada.

Dengan kondisi ini kami berharap organisasi masyarakat sipil yang ada di Sumatera Selatan dan media dapat melakukan kontrol dan pengawasan,  agar eksploitasi dan penguasaan lahan tidak merajalela,   dan masyarakat tidak semakin tersingkir dari  akses pada  sumberdaya alam.  

Untuk itu kami   menuntut :
1.    Dan pemerintah harus membuka informasi kehutanan terkait luasan, pengelolaan dan pemanfatan  kawasan hutan.
2. Hentikan pemberian izin dan penggunaan sumberdaya alam  sebagai  alat  transaksi politik  kekuasaan
3.    Penegakan hukum terhadap perusahaan pelaku  kejahatan kehutanan  dan lingkungan hidup


Sumber Referensi :
Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
Pasal 1. Huruf (h)Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah.
Pasal 38.Ayat (3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
Ayat (4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. Undang-

Undang Nomor 18  tahun 2013 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan
Pasal 17  Ayat (1)Setiap orang dilarang: (b). melakukan kegiatan penambangan di dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri;
.    Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 76 /Kpts-II/2001. Tanggal 05 Maret 2001 tentang kawasan hutan dan perairan di Sumatera Selatan seluas 4.416.837 hektar.
     Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 357 /Kpts-II/2004   tentang kawasan hutan dan perairan di Propinsi Bangka Belitung  seluas  657.510 hektar. 
      Surat keputusan menteri kehutanan SK.822/Menhut-II/2013 tentang perubahan peruntukan hutan menjadi bukan hutan seluas 210.559 hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 44.299 hektar dan perubahan bukan  kawasan hutan menjadi kawasan hutan 41.191 hektar di Propinsi Sumatera Selatan.
F.   Buku Penetapan kawasan hutan menuju kawasan hutan indonesia yang mantap. Direktorat jendral planologi kehutanan. Agustus 2014.  “luas kawasan hutan di sumatera selatan seluas 3.422.937,17 hektar dan kawasan hutan yang telah di tetapkan di sumatera selatan seluas 2.314.165,72 hektar (67,61%) yang terdiri dari 32 keputusan menteri dan 180 lembar peta.” 



A.      Kontak konfirmasi:
-          Auriga Nusantara                       :  Timer Manurung  (0811125006)
-          Walhi Sumatera Selatan             :  Hadi jatmiko   (081273-12042)
-          Auriga Nusantara/Silvagama     :             Supintri yohar  (0813734-99788)



Selengkapnya...

Sabtu, Agustus 23, 2014

Warga Desa Nusantara OKI Jaga Gambut, Tolak Sawit

Masyarakat Desa Nusantara ada di garda terdepan menghadang pembukaan lahan gambut di Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) Sumatera Selatan. 

“Masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit. Selain merusak lahan gambut,  menyebabkan pula hilangnya persawahan mereka,” kata Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko.

Gambut Rusak

Sebagian besar perkebunan sawit skala besar di Kabupaten OKI berada di lahan gambut. Misalnya di Air Sugihan, Mesuji Makmur, Mesuji, Lempuing Jaya, dan Teluk Gelam. Luasnya sekitar 200-an ribu hektar.

Dari 700-an ribu hektar lahan gambut di OKI, sekitar 500-an ribu hektar rusak akibat kebakaran dan perambahan. Lahan tersebut kemudian dijadikan perkebunan hutan tanaman industri (HTI)  yang dikelola empat perusahaan.

“Sisanya, sekitar 200-an ribu hektar, kemungkinan besar dijadikan perkebunan sawit. Sebab, sebagian besar masyarakat di wilayah pesisir timur, hanya para transmigran yang menanam pangan, seperti padi dan sayuran. Lahan pertanian terluas yakni 1.200 hektar, dikelola masyarakat Desa Nusantara ini,” kata Hadi.

Pemasok beras

Persawahan yang diolah 600 kepala keluarga yang sebagian besar transmigran ini dilakukan sejak 1985. Padi dari sawah ini merupakan pemasok kebutuhan beras Sumatera Selatan yang rata-rata per tahunnya sekitar 7.200 ton.

Namun, sejak tahun 2009, Pemerintah Kabupaten OKI saat dipimpin Ishak Mekki—saat ini menjadi Wakil Gubernur Sumsel—lahan gambut tersebut dijadikan hak guna usaha (HGU) untuk perusahaan sawit PT. Selatan Agro Makmur Lestari (PT. SAML).

Setelah mendapatkan HGU, perusahaan ini mengirimkan alat berat beserta aparat keamanan untuk menggusur persawahan warga. Upaya ini digagalkan masyarakat dengan melakukan penghadangan.

Tahun 2012, Pemerintah Kabupaten OKI melayangkan surat kepada perusahaan yang ditembuskan ke masyarakat dan Pemerintah Sumatera Selatan, bahwa PT. SAML yang memiliki luas HGU 39.000 hektar di Air Sugihan, dilarang melakukan penggusuran persawahan. Sebelum, adanya kesepakatan dengan masyarakat.

Namun, penggusuran terus dilakukan perusahaan hingga pertengahan 2014. Warga tidak melakukan perlawanan. Anehnya, sejumlah warga Desa Nusantara dipanggil polisi dengan tuduhan melakukan perusakan alat berat berupa ekskavator PT. SMAL.

Masyarakat Desa Nusantara sadar jika lahan gambut akan terjaga dengan pertanian dibandingkan perkebunan. Aktivitas perkebunan akan diikuti bencana kebakaran, kekeringan, asap, juga konflik dengan satwa seperti gajah. “Perkebunan sawit juga menyebabkan krisis air, baik untuk pertanian maupun kehidupan,” jelasnya.

Saat ini, dari luasan Sumsel 8,7 juta hektar sekitar 1 juta hektar telah dijadikan perkebunan sawit. Sebagian besar perkebunan ini berada di kawasan rawa gambut yang tersebar dari Kabupaten OKI, Banyuasin, Musi Banyuasin, hingga Musirawas.

Sumber : http://www.portalkbr.com/nusantara/acehdansumatera/3337917_4264.html?utm_source=twitterfeed&utm_medium=twitter
Selengkapnya...

Kamis, Agustus 21, 2014

Kabupaten Muba, OKI, dan Banyuasin Paling Banyak Ditemukan Titik Api

Tiga kabupaten langganan kebakaran hutan di Sumatera Selatan yaitu Musi Banyuasin (Muba), Ogan Komering Ilir (OKI), dan Banyuasin tercatat sebagai daerah yang paling banyak ditemukan titik api.
Secara keseluruhan, titik api yang  terdeteksi di Sumatera Selatan hingga awal Agustus 2014 sebanyak 784 titik. Rinciannya adalah Januari (15 titik), Februari (57 titik), Maret (56 titik), April (25 titik), Mei (91 titik), Juni (117 titik), Juli (313 titik), dan Agustus (110 titik).
Sebaran titik api ini terlihat jelas di Muba (97 titik), OKI (87 titik), Banyuasin (52 titik), Musirawas (43 titik), Muaraenim (29 titik), dan Pali (23 titik).
“Penurunan titik api bulan Agustus dibandingkan Juli disebabkan turunnya hujan,” terang Kepala Badan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Kehutanan Sumatera Selatan Achmad Taufik. Penjelasan ini disampaikannya saat rapat pembahasan dampak El Nino di Sumatera Selatan (Sumsel).
Menurut Taufik, titik api dipengaruhi badai El Nino. Meski begitu, pihaknya telah mendirikan posko dan menyiagakan helikopter untuk melakukan pemadaman di kawasan rawan kebakaran hutan.
Sekretaris Daerah Sumsel Mukti Sulaiman menjelaskan meski titik api mengalami penurunan, namun badai El Nino mempengaruhi jadwal tanam padi dan jagung. Para petani yang biasanya menanam pada Februari bergeser ke April. Dampak terlihat pada produksi beras.
Badan Pusat Statistik (BPS) Sumsel mencatat ketersediaan beras saat ini sekitar 3,6 juta ton dari target produksi sebesar 3,8 juta ton.

Bukan hanya El Nino
Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, mengatakan munculnya titik api di Sumatera Selatan bukan semata karena El Nino. Tapi, karena aktivitas perkebunan yang masih menggunakan pola pembakaran. Umumnya, pembakaran yang luas dilakukan perusahaan perkebunan sawit, karet, dan hutan tanaman industri.
“El Nino tahun ini tidak luar biasa sebagaimana sebelumnya karena ada hujan. Jadi, titik api jelas karena kegiatan perkebunan,” katanya.
Hadi memperkirakan wilayah yang paling banyak terjadi kebakaran adalah lahan gambut. Sebagai perbandingan pada 2011 dari 2.419 titik api yang terdeteksi, sekitar 851 titik terjadi di lahan gambut. Pada 2012, dari 2.911 titik api sekitar 887 titik berada di lahan gambut, dan pada 2013 dari 186 titik api yang ada sekitar 99 titik berada di lahan gambut. Titik api yang paling banyak ditemukan adalah di Musi Banyuasin, OKI, dan Banyuasin.
Hadi tidak heran, jika titik api yang paling banyak berada di Kabupaten Musi Banyuasin. Di kabupaten ini puluhan perusahaan sawit, baik asing maupun nasional, mengusai lahan sekitar 191.425 hektar. Sedangkan perkebunan karet seluas 4.148 hektar. Disusul dengan sembilan perusahaan hutan tanaman industri yang luasnya ratusan ribu hektar.
“Yang harus dilakukan bukan hanya memantau, tapi juga mencegah, menangkap, dan menghukum pelaku yang terbukti melakukan pembakaran hutan,” ujarnya.

Sumber : www.mongabay.co.id
Selengkapnya...

Resahnya Masyarakat Sumsel akan Aktivitas Batubara

Aksi Aktifis Walhi Sumsel di depan Kantor Pertambangan Propinsi Sumsel, Meminta Pemerintah Hentikan Izin dan Cabut IZin perusahaan Tambang Perusak Lingkungan Hidup
Nasib nahas harus dialami Puput bin Iswandi (39), Kamis (7/8/14). Truk kayu Hino Dutro hijau bernomor polisi BG 8523 CD yang ia kendarai ditabrak dari belakang oleh truk pengangkut batubara Hino Dutro putih bernomor polisi BG 8260 EG. Posisi truk kayu saat itu sedang berhenti karena mogok.
Peristiwa yang terjadi di depan Rumah makan BPK Sembiring Jalan Jendral Sudirman, Kelurahan Sindur, Kecamatan Cambai, Prabumulih, Sumatera Selatan, ini tak pelak memakan korban. Puput harus merelakan kepergian Nopri Apriani (30) yang tengah mengandung empat bulan, Septiana (10), Muhammad Arpan (8), dan Iza Karmia Sabila (2). Keempatnya tewas terlindas. Sementara, profil supir yang menabrak adalah Irul (21), warga Desa Talang Gardu Kecamatan Tunggul Bute, Kabutapen Lahat.
Peristiwa tersebut merupakan satu dari rangkaian kecelakaan lalu lintas yang disebabkan truk pengangkut batubara. Padahal, tiga tahun lalu, pemerintah Sumatera Selatan telah mengeluarkan larangan truk pengangkut batubara melintasi jalan umum. Truk diminta menggunakan jalan khusus, seperti Jalan Servo yang menghubungkan Lahat-Muara Enim.
Namun, larangan tersebut mendapat perlawanan dari para pengusaha batubara. Mereka protes. Ratusan truk dikerahkan untuk melakukan aksi di Kantor Gubernur Sumatera Selatan dan DPRD di Palembang. Mereka enggan menggunakan Jalan Servo karena dinilai tidak layak.
Meski larangan tidak dicabut, truk pengangkut ini tetap menggunakan jalan umum sebagai jalur utamanya.
Jalan khusus batubara
Senin (11/08/2014), Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Alex Noerdin kembali meminta perusahaan batubara membuat jalan alternatif angkutan. Pernyataan Alex ini terkait peristiwa kecelakaan yang menimbulkan empat korban jiwa di Prabumulih itu.
Alex mempersilahkan siapa saja yang berminat untuk membangun jalur khusus angkutan batubara. “Keputusan persyaratan tetap di tangan Kementerian Perhubungan. Pemerintah Sumsel hanya memberikan rekomendasi terkait usulan tersebut,” katanya.
Sementara Kepala Dinas Perhubungan Sumsel Musni Wijaya mengatakan, pihaknya akan melakukan tilang ditempat terhadap truk angkutan batubara yang tertangkap melintasi jalan umum. Baik jalan nasional maupun jalan provinsi. “Pihaknya telah mengirimkan surat ke pengadilan untuk dibuatkan draf atau kisaran denda,” tuturnya.
Terkait batubara, Alex Noerdin juga mengeluhkan dana bagi hasil pertambangan, minyak, dan gas untuk daerah di Sumatera Selatan. Setiap tahun, Sumsel hanya mendapatkan Rp600 miliar dari royalti batubara. Sementara, batubara yang dihasilkan mencapai Rp6 triliun.
Royalti tersebut tidak sesuai dengan kerusakan lingkungan sebagai dampak aktivitas industri tambang. “Pihaknya akan mengajukan revisi besaran dana bagi hasil pusat yang sebelumnya 15 persen menjadi 25 persen,” tuturnya d Palembang, Kamis (10/7/2014) lalu.
Hentikan batubara
Walhi Sumsel meminta aktivitas penambangan batubara dihentikan. “Penambangan batubara merupakan industri kotor. Merusak lingkungan, dan terindikasi adanya korupsi dalam pemberiaan izin maupun pengemplangan pajak. Dampaknya membuat kemacetan, kecelakaan yang memakan korban, serta minimnya pendapatan bagi Sumsel,” kata Hadi Jatmiko, Direktur Walhi Sumsel, Senin (11/08/2014).
Dikatakan Hadi, luasan Sumsel yang mencapai 8.702.741 hektar, sekitar 2,7 juta hektar diperuntukan bagi 300-an perusahaan pertambangan batubara.
JJ Polong dari Spora Institute mengatakan, Presiden Indonesia yang baru nanti diyakininya tidak akan mengandalkan batubara. Industri ini merusak lingkungan hidup, banyak korupsi, menyengsarakan rakyat, dan tidak berkelanjutan.
Pemerintah Sumatera Selatan harusnya mengembangkan pembangunan yang berbasis kualitas sumber daya manusia (SDM). Pertanian seperti padi lebak belum dikembangkan. Perkebunan buah seperti durian, duku, manggis, juga belum dioptimalkan.
Menurut Polong, Sumsel juga berpotensi mengembangkan pariwisata budaya. Seperti artefak Pasemah -bukti peradaban Bukit Barisan 2.000 tahun SM- peninggalan Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Palembang, hingga Kesultanan Palembang Darussalam.

Sumber : http://www.mongabay.co.id/2014/08/14/resahnya-masyarakat-sumsel-akan-aktivitas-batubara/ 
Selengkapnya...

Hutan Sumsel Kembali Berkurang Diduga untuk Penambangan Batubara

Kolam Bekas Pertambangan Batubara yang belum di Pulihkan oleh Salah satu Perusahaan Tambang di Kabupaten Lahat.

Kawasan hutan Sumatera Selatan kembali akan berkurang. Sekitar 296.049 hektar kawasan hutan beralih fungsi. Alih fungsi kawasan hutan ini tertuang dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Sumsel 2013-2033. Diduga alih fungsi hutan ini untuk kegiatan penambangan batubara.
Saat ini tercatat 300-an Izin Usaha Penambangan (IUP) dikeluarkan di Sumsel. Sekitar 50-an perusahaan pemegang IUP telah beraktivitas, yang luas konsensinya mencapai sekitar satu juta hektar. Sementara luas konsensi pertambangan batubara di Sumsel sekitar 2,7 juta hektar.
“Publik tidak pernah diajak membahas soal alih fungsi kawasan hutan tersebut. Tiba-tiba publik mendapatkan kabar sudah sekian ratus hektar kawasan hutan dialih fungsikan. Kami curiga, cara tertutup ini menyimpan agenda yang tidak baik bagi lingkungan hidup. Misalnya kawasan hutan yang dialih fungsikan itu merupakan hutan tutupan, dan digunakan buat penambangan batubara,” kata Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko, Rabu (25/06/2014).
“Agar kecurigaan kami ini terbantahkan, sebaiknya pemerintah Sumsel menjelaskan titik wilayah kawasan hutan tersebut, termasuk peruntukannya. Sehingga masyarakat dapat mengawasinya. Kalau akhirnya untuk penambangan batubara, jelas kami menolaknya. Sebab kegiatan penambangan batubara, merupakan industri kotor, dan sangat merusak lingkungan hidup,” katanya.
Apalagi, kata Hadi, berdasarkan penemuan KPK, banyak perusahaan penambangan batubara yang tidak clean and clear, lantaran izin lokasinya dalam kawasan konservasi, yang mencapai 9.300 hektar. “Patut dicurigai, alih fungsi ini merupakan upaya pelegalan izin lokasi di kawasan konservasi,” ujar Hadi.
Indikasi lainnya, kata Hadi, Sumsel akan melakukan eksplorasi batubara besar-besaran, yakni adanya kerjasama pemerintah Sumsel dengan PT Pelindo II dalam pengangkutan batubara melalui Sungai Musi. Kerjasama ini tertuang dalam Memorandum of Understanding (MoU) PT Pelindo II dengan pemerintah Sumsel, yang ditandatangani Gubernur Sumsel Alex Noerdin dan Direktur Utama PT Pelindo II, RJ Lino, pada Selasa (24/6/2014).
“Rencana pengangkutan melalui Sungai Musi itu, menandakan akan ada eksplorasi batubara besar-besaran dan berkelanjutan di Sumsel,” kata Hadi.
Dikatakan Hadi, dari 8.702.741 hektar luas Sumsel, sekitar 3,65 juta hektar merupakan kawasan hutan. Dari luasan hutan itu, sekitar 2 juta hektar mengalami kerusakan seperti kegiatan perkebunan, pertambangan, dan illegal logging. Hutan tutupan tersisa sekitar 800 hektar.

Pemda Dorong Permintaan Alih Fungsi Kawasan Hutan
Meskipun sekitar 296.049 hektar kawasan hutan di Sumatera Selatan disetujui Kementerian Kehutanan beralih fungsi dalam Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Sumsel 2013-2033, tapi dinilai masih kurang. Pemerintah Sumsel pun meminta penambahan kawasan hutan yang dialihfungsikan seluas 19.645 hektar, sebelum RTRW Sumsel 2013-2033 ditetapkan.
“Kami sudah mengunggu RTRW ini bertahun-tahun, bagaimana bisa daerah membangun kalau RTRW tidak disahkan. Mengapa pemerintah pusat membuatnya menjadi lebih ribet,” kata Gubernur Sumsel Alex Noerdin, seusai bertemu Komisi IV DPR RI di Kantor Gubernur Sumsel, Senin (23/06/2014).
Alex pun berharap usulan perubahan kawasan hutan yang baru seluas 19.645 hektar segera disetujui DPR RI. Legitimasi tersebut sangat ditunggu pemerintah Sumsel sebagai pengesahan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) Sumsel 2013-2033.
Sebenarnya Sumsel mengusulkan alih fungsi hutan seluas 315.694 hektar, tapi Kementerian Kehutanan hanya menyetujui 296.049 hektar, sedangkan 19.645 hektar sisanya masuk dalam Daftar Penting Cakupan Luas dan Strategis (DPCLS) Sumsel.
Nah, sisa 19.645 hektar yang masuk DPCLS yang kembali diusulkan pemerintah Sumsel beralih fungsi. Luasan hutan tersebar di 32 titik yang berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Musi Banyuasin, Muaraenim, Ogan Komering Ulu (OKU) Selatan, Musi Rawas dan Kota Pagaralam.
“Mayoritas kawasan hutan yang diusulkan berubah menjadi pemukiman masyarakat. Ada juga yang menjadi kawasan industri dan pelabuhan,” kata Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Sumsel, Yohanes H Toruan.
Kawasan hutan yang menjadi pelabuhan yakni Kawasan Pantai Air Telang di Kabupaten Banyuasin, seluas 600 hektar. Rencananya kawasan yang merupakan hutan lindung ini dijadikan Pelabuhan Tanjung Api-Api oleh pemerintah Sumsel dan Kabupaten Banyuasin.
Ketua Komisi IV DPR RI Firman Subagyo membenarkan hutan seluas 315.694 di Sumsel diusulkan perubahan statusnya ke Kementerian Kehutanan. Dan 296.049 hektar sudah disetujui, dan sisanya 19.645 hektar masuk dalam DPCLS.
Dia pun mengatakan dari 3,65 juta hektar luas hutan di Sumsel, hanya 225.175 hektar atau 2,75 persen tidak disetujui diubah peruntukannya.
Selengkapnya...

Jaga Lahan Gambut, Warga Desa Nusantara OKI Tolak Perkebunan Sawit

Sekitar 1.200 hektar lahan gambut di Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, terancam menjadi perkebunan sawit. Masyarakat Desa Nusantara sekuat tenaga mempertahankannya yang saat ini merupakan areal persawahan.
“Masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit. Selain merusak lahan gambut,  menyebabkan pula hilangnya persawahan mereka,” kata Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko.
Persawahan yang diolah 600 kepala keluarga yang sebagian besar transmigran ini dilakukan sejak 1985. Padi dari sawah ini merupakan pemasok kebutuhan beras Sumatera Selatan yang rata-rata per tahunnya sekitar 7.200 ton.
Namun, sejak tahun 2009, Pemerintah Kabupaten OKI saat dipimpin Ishak Mekki—saat ini menjadi Wakil Gubernur Sumsel—lahan gambut tersebut dijadikan hak guna usaha (HGU) untuk perusahaan sawit PT. Selatan Agro Makmur Lestari (PT. SAML).
Setelah mendapatkan HGU, perusahaan ini mengirimkan alat berat beserta aparat keamanan untuk menggusur persawahan warga. Upaya ini digagalkan masyarakat dengan melakukan penghadangan.
Tahun 2012, Pemerintah Kabupaten OKI melayangkan surat kepada perusahaan yang ditembuskan ke masyarakat dan Pemerintah Sumatera Selatan, bahwa PT. SAML yang memiliki luas HGU 39.000 hektar di Air Sugihan, dilarang melakukan penggusuran persawahan. Sebelum, adanya kesepakatan dengan masyarakat.
Namun, penggusuran terus dilakukan perusahaan hingga pertengahan 2014. Warga tidak melakukan perlawanan. Anehnya, sejumlah warga Desa Nusantara dipanggil polisi dengan tuduhan melakukan perusakan alat berat berupa ekskavator PT. SMAL.
“Seorang warga sudah dipanggil dua kali oleh pihak kepolisian,” kata Hadi.

Gambut Rusak
Sebagian besar perkebunan sawit skala besar di Kabupaten OKI berada di lahan gambut. Misalnya di Air Sugihan, Mesuji Makmur, Mesuji, Lempuing Jaya, dan Teluk Gelam. Luasnya sekitar 200-an ribu hektar.
Dari 700-an ribu hektar lahan gambut di OKI, sekitar 500-an ribu hektar rusak akibat kebakaran dan perambahan. Lahan tersebut kemudian dijadikan perkebunan hutan tanaman industri (HTI)  yang dikelola empat perusahaan.
“Sisanya, sekitar 200-an ribu hektar, kemungkinan besar dijadikan perkebunan sawit. Sebab, sebagian besar masyarakat di wilayah pesisir timur, hanya para transmigran yang menanam pangan, seperti padi dan sayuran. Lahan pertanian terluas yakni 1.200 hektar, dikelola masyarakat Desa Nusantara ini,” kata Hadi.
Masyarakat Desa Nusantara sadar jika lahan gambut akan terjaga dengan pertanian dibandingkan perkebunan. Aktivitas perkebunan akan diikuti bencana kebakaran, kekeringan, asap, juga konflik dengan satwa seperti gajah. “Perkebunan sawit juga menyebabkan krisis air, baik untuk pertanian maupun kehidupan,” jelasnya.
Saat ini, dari luasan Sumsel 8,7 juta hektar sekitar 1 juta hektar telah dijadikan perkebunan sawit. Sebagian besar perkebunan ini berada di kawasan rawa gambut yang tersebar dari Kabupaten OKI, Banyuasin, Musi Banyuasin, hingga Musirawas.

Swadaya bangun jalan, masjid dan gereja
Sebelum berkonflik dengan perusahaan, masyarakat Desa Nusantara membangun sendiri fasilitas publik yang terkait lahan 1.200 hektar tersebut. Misalnya, pada 2009, mereka membangun jalan sejauh 8.000 meter dengan biaya Rp72 juta.
Fasilitas lainnya berupa pembangunan rumah ibadah seperti masjid dan gereja.
“Semua pembangunan tanpa dukungan atau bantuan pemerintah. Murni swadaya kami. Dana dikumpulkan dari hasil panen. Dipotong sekitar 10 persen dari hasil penjualan,” ujar Sukirman yang juga Ketua Serikat Petani Sriwijaya (SPS) Desa Nusantara, Senin (18/08/2014).
“Negara ini memang kacau. Sudah tidak membantu, justru mendorong hidup kami menjadi miskin. Inilah makna kemerdekaan bagi kami, kaum tani Indonesia,” tegas Sukirman, tokoh masyarakat Desa Nusantara pengagum Bung Karno.

Sumber : http://www.mongabay.co.id/2014/08/20/jaga-lahan-gambut-warga-desa-nusantara-oki-tolak-perkebunan-sawit/

Selengkapnya...