Sekitar 1.200 hektar lahan gambut di Air Sugihan, Kabupaten Ogan
Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, terancam menjadi perkebunan
sawit. Masyarakat Desa Nusantara sekuat tenaga mempertahankannya yang
saat ini merupakan areal persawahan.
“Masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit. Selain merusak lahan
gambut, menyebabkan pula hilangnya persawahan mereka,” kata Direktur
Walhi Sumsel Hadi Jatmiko.
Persawahan yang diolah 600 kepala keluarga yang sebagian besar
transmigran ini dilakukan sejak 1985. Padi dari sawah ini merupakan
pemasok kebutuhan beras Sumatera Selatan yang rata-rata per tahunnya
sekitar 7.200 ton.
Namun, sejak tahun 2009, Pemerintah Kabupaten OKI saat dipimpin Ishak
Mekki—saat ini menjadi Wakil Gubernur Sumsel—lahan gambut tersebut
dijadikan hak guna usaha (HGU) untuk perusahaan sawit PT. Selatan Agro
Makmur Lestari (PT. SAML).
Setelah mendapatkan HGU, perusahaan ini mengirimkan alat berat
beserta aparat keamanan untuk menggusur persawahan warga. Upaya ini
digagalkan masyarakat dengan melakukan penghadangan.
Tahun 2012, Pemerintah Kabupaten OKI melayangkan surat kepada
perusahaan yang ditembuskan ke masyarakat dan Pemerintah Sumatera
Selatan, bahwa PT. SAML yang memiliki luas HGU 39.000 hektar di Air
Sugihan, dilarang melakukan penggusuran persawahan. Sebelum, adanya
kesepakatan dengan masyarakat.
Namun, penggusuran terus dilakukan perusahaan hingga pertengahan
2014. Warga tidak melakukan perlawanan. Anehnya, sejumlah warga Desa
Nusantara dipanggil polisi dengan tuduhan melakukan perusakan alat berat
berupa ekskavator PT. SMAL.
“Seorang warga sudah dipanggil dua kali oleh pihak kepolisian,” kata Hadi.
Gambut Rusak
Sebagian besar perkebunan sawit skala besar di Kabupaten OKI berada
di lahan gambut. Misalnya di Air Sugihan, Mesuji Makmur, Mesuji,
Lempuing Jaya, dan Teluk Gelam. Luasnya sekitar 200-an ribu hektar.
Dari 700-an ribu hektar lahan gambut di OKI, sekitar 500-an ribu
hektar rusak akibat kebakaran dan perambahan. Lahan tersebut kemudian
dijadikan perkebunan hutan tanaman industri (HTI) yang dikelola empat
perusahaan.
“Sisanya, sekitar 200-an ribu hektar, kemungkinan besar dijadikan
perkebunan sawit. Sebab, sebagian besar masyarakat di wilayah pesisir
timur, hanya para transmigran yang menanam pangan, seperti padi dan
sayuran. Lahan pertanian terluas yakni 1.200 hektar, dikelola masyarakat
Desa Nusantara ini,” kata Hadi.
Masyarakat Desa Nusantara sadar jika lahan gambut akan terjaga dengan
pertanian dibandingkan perkebunan. Aktivitas perkebunan akan diikuti
bencana kebakaran, kekeringan, asap, juga konflik dengan satwa seperti
gajah. “Perkebunan sawit juga menyebabkan krisis air, baik untuk
pertanian maupun kehidupan,” jelasnya.
Saat ini, dari luasan Sumsel 8,7 juta hektar sekitar 1 juta hektar
telah dijadikan perkebunan sawit. Sebagian besar perkebunan ini berada
di kawasan rawa gambut yang tersebar dari Kabupaten OKI, Banyuasin, Musi
Banyuasin, hingga Musirawas.
Swadaya bangun jalan, masjid dan gereja
Sebelum berkonflik dengan perusahaan, masyarakat Desa Nusantara
membangun sendiri fasilitas publik yang terkait lahan 1.200 hektar
tersebut. Misalnya, pada 2009, mereka membangun jalan sejauh 8.000 meter
dengan biaya Rp72 juta.
Fasilitas lainnya berupa pembangunan rumah ibadah seperti masjid dan gereja.
“Semua pembangunan tanpa dukungan atau bantuan pemerintah. Murni
swadaya kami. Dana dikumpulkan dari hasil panen. Dipotong sekitar 10
persen dari hasil penjualan,” ujar Sukirman yang juga Ketua Serikat
Petani Sriwijaya (SPS) Desa Nusantara, Senin (18/08/2014).
“Negara ini memang kacau. Sudah tidak membantu, justru mendorong
hidup kami menjadi miskin. Inilah makna kemerdekaan bagi kami, kaum tani
Indonesia,” tegas Sukirman, tokoh masyarakat Desa Nusantara pengagum
Bung Karno.
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2014/08/20/jaga-lahan-gambut-warga-desa-nusantara-oki-tolak-perkebunan-sawit/
0 komentar:
Posting Komentar