WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat
Tampilkan postingan dengan label Kebakaran Hutan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kebakaran Hutan. Tampilkan semua postingan

Selasa, November 22, 2016

Largest NGO says APP peat fires deliberately set for replanting purposes

Indonesia’s largest environmental NGO, WALHI (Friends of the Earth Indonesia), has emphatically stated that last year's widespread peat fires in Asia Pulp and Paper (APP)'s pulpwood concessions were intentional. Proof of this, WALHI asserts, lies in the fact that these burned peatlands have now been replanted with acacia by the giant pulp company.
According to the leading NGO, the use of burned peatlands for the replanting of acacia is a move aimed at pursuing targets, given that the acacia yielded from this replanting will later become a source of fiber supply for the new APP company, PT OKI Pulp and Paper Mills. This new mill, which has begun operations, is located in the vicinity of the burned peatlands in the APP concessions, major parts of which were burned last year.
This damning opinion was delivered by the Executive Director of WALHI South Sumatra, Hadi Jatmiko, to foresthints.news on Friday (Nov 18) when asked for his reaction to the results of monitoring performed recently by Indonesia's Environment and Forestry Ministry.
The monitoring clearly shows that the APP concessions operating in Ogan Komering Ilir (OKI) regency, in South Sumatra province, have replanted burned peatlands in direct contravention to a ministerial regulation issued in mid-December last year.
Hadi expressed his gratitude for the ministry’s actions in the form of on-the-ground monitoring, which demonstrated the extent of incompliance on the part of the APP companies, to the point where they have brazenly replanted acacia in burned peatlands in clear violation of existing regulations.
“We appreciate the monitoring conducted by the ministry. However, we also urge the ministry to apply maximum law enforcement efforts so that these types of practices are never repeated. This is even more important considering that the burned peatlands in the APP concessions are dominated by peat domes.”
The following photos, which were taken from video footage which formed part of the ministry’s monitoring of the APP concession PT BMH, illustrate ongoing business-as-usual practices in the burned peatlands. In August this year, the High Court of Palembang declared that this company had committed an unlawful act with respect to peat fires in 2014.
Peat agency criticized
Hadi argued that the blatant replanting of acacia in burned peatlands located in APP concessions exemplified the fact that the monitoring function of the Peat Restoration Agency (BRG) was not operating.
“The case of these APP companies replanting burned peatlands reveals that the BRG is not performing proper monitoring, and therefore not fulfilling its function.”
According to WALHI data, 400 thousand hectares of peatlands were burned in 2015 in South Sumatra province, the vast majority of which were in concession areas. APP pulpwood concessions made up a significant proportion of these.
“The BRG’s monitoring is not clear. Its peat restoration focus is also unclear. The agency doesn’t appear to be focusing its peat restoration efforts in concession areas. This has actually emboldened APP and other companies to carry out replanting of burned peatlands and drained peat domes,” Hadi lamented.
Considering that the majority of APP concessions situated in peatlands in South Sumatra are found in peat domes, and that these have already been mapped as peat restoration target areas, Hadi made a vociferous appeal for the ministry and BRG to provide full protection to the peat domes concerned, using legal means which involve communities in their management.
He also asked the ministry to review the permits of the APP companies in question, bearing in mind that most of the APP concessions in these peatlands are located in peat domes and deep peat.
“This request of ours is consistent with both existing regulations as well as the government’s current commitment to protecting peat domes, including deep peat,” Hadi explained.
As previously reported by foresthints.news, President Joko Widodo has consistently reasserted his position that the government will not back down in carrying out law enforcement against any party which commits peatland-related violations.

Sumber : http://foresthints.news/largest-ngo-says-app-peat-fires-deliberately-set-for-replanting-purposes
Selengkapnya...

Kamis, Juli 30, 2015

Modus Klaim Asuransi di Balik Kejadian Kebakaran Hutan dan lahan


Pekanbaru, Kompas- Tim saksi ahli Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendapati Modus klaim asuransi atas praktik pembakaran lahan di sejumlah areal konsesi tanaman industri dan sawit Sumatera. Pembakaran Besar Besaran mendatangkan dana puluhan miliar rupiah.
Investigasi tim sejak 2012 pada sejumlah konsesi hutan tanaman industri dan perkebunan sawit di Riau dan Sumsel, ditemukan sejumlah modus spesifik untuk kepentingan tertentu. "Mayoritas kebakaran di wilayah korporasi disebabkan kesengajaan dengan berbagai modus," ujar Bambang Hero, saksi ahli Kementerian LHK, Senin (27/7).
Modusnya, membiarkan kebakaran sehingga terkesan lalai. "Padahal, terencana untuk mendapat klaim asuransi besar. Hingga puluhan miliar rupiah," katanya. Ada pula yang menyiapkan lahan melalui pembakaran demi menghemat biaya dan mendapat keuntungan dari pembersihan.
Namun, Bambang belum dapat menyebut nama-nama perusahaan terkait dalam modus itu. "Masih dalam penanganan hukum. Nanti pembuktiannya detail di persidangan," ujarnya.
Timnya juga mendapati sejumlah perusahaan dengan agenda lain, seperti mengganti bibit yang jelek. "Pembakaran merupakan obat mujarab, juga dapat melindungi pelaku korupsi bibit unggul yang menggantinya dengan bibit tidak bermutu. Dengan kebakaran, bukti lapangannya akan hilang," katanya.
Di Palembang, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko mengatakan, akar dari kebakaran hutan dan lahan yang berulang harus dicari untuk mencegah terulang. Patut dicurigai, kebakaran terulang di area perusahaan HTI disengaja.
Indikasinya, ada pola kebakaran. "Pada 2014, kami menemukan kebakaran lahan terpola segi empat rapi 16.000 hektar di kawasan HTI," ujarnya.
Dua modus yang patut diselidiki, pembakaran disengaja untuk menekan biaya pembukaan lahan perusahaan. Teknik membakar itu menekan biaya pembukaan lahan hingga hanya 20 persen dari teknik pembukaan lahan sesuai prosedur.
Kecurigaan kedua, modus asuransi. Saat ini ada jasa asuransi kebakaran HTI dengan klaim 2,5 juta dollar Amerika Serikat untuk satu kejadian. "Klaim asuransi ini bisa digunakan kalau perusahaan yakin panen akan buruk. Jadi mereka menekan kerugian, justru mungkin untung," ujar Hadi.
Di Riau, Senin kemarin, kebakaran kian meluas. Tim mengerahkan satuan petugas, baik dari udara melalui bom air maupun melalui pemadaman dari darat. Siang hari, tim juga mengadakan modifikasi cuaca.
Komandan Korem Riau 031/Wirabima Brigadir Jenderal Nurendi mendesak peningkatan penanganan kebakaran lahan. "Jangan sampai statusnya naik jadi tanggap darurat," katanya.
Di Sumsel, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Sumsel mengoperasikan pos pemadaman darat di titik-titik rawan kebakaran. Kepala BPBD Sumsel Yulizar Dinoto mengatakan, pos-pos pemadaman darat dioperasikan sejak Senin. Lokasinya di dekat titik rawan kebakaran, di antaranya di Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Banyuasin dan Musi Banyuasin. (ITA/IRE)
(http://print.kompas.com/baca/12Kx9) 
Selengkapnya...

Jumat, Juni 19, 2015

Memantau Hutan dengan Wahana Tanpa Awak


KBR, Jakarta - Kebakaran hutan di Sumatera Selatan pada 2014 menjadi peristiwa penting yang memicu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mulai melirik drone sebagai teknologi pemantau kehutanan. Direktur Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mengungkap kala itu, data titik-titik api yang disodorkan Walhi tidak pernah diakui oleh pemerintah. Dari situ mereka kemudian terjun ke lapangan dan mengambil sampel, menerbangkan drone dan mendapat rekaman asap tebal keluar dari lahan gambut yang terbakar. Lahan gambut itu masuk dalam peta konsesi PT Bumi Mekar Hijau, Grup dari Sinarmas.
Setelah hasil drone itu dipublikasikan, pemerintah pada akhirnya tak bisa membantah dan mengakui kebakaran berada di lahan perusahaan. Karenanya Walhi menganggap fungsi drone mampu membantu penegakkan hukum sekaligus membersihkan nama masyarakat yang selama ini selalu dituduh sebagai pembakar hutan.
“Pemerintah selalu bilang kalau luasan hutan sangat luas sementara polisi hutannya sedikit. Dengan drone ini pemerintah tidak akan bisa beralasan lagi, kurangnya personel dalam mengawasi kawasan hutan yang luas,” kata Hadi Jatmiko (10/6/2015).
Meski begitu Hadi Jatmiko menyebut, upaya menjadikan data yang dihasilkan drone sebagai bukti kuat di mata hukum masih menjadi tantangan. Situasi ini disikapi Walhi dengan menawari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbangkan drone bersama dalam memantau suatu lokasi hutan yang rusak. Hal ini bertujuan untuk membuktikan bahwa apa yang direkam drone tidak jauh beda dengan alat bukti yang selama ini dipakai.
Di lain pihak, para aktivis lingkungan Sahabat Masyarakat Pantai (SAMPAN) Kalimantan menyebut drone sebagai Wahana Tanpa Awak (WTA). Angga dari SAMPAN mengatakan, istilah drone ini seringkali berkonotasi sebagai alat militer. Sementara, mereka menggunakan drone untuk memantau manajemen hutan, membantu penyusunan peta partisipatif (partisipatory mapping), melengkapi bahan referensi  perencanaan potensi desa (land use planning) serta melakukan survey biodiversity.
Mereka mengaku, hasil visual yang diperoleh alat ini cukup detail. Resolusi yang didapat antara enam hingga sembilan centimeter tergantung ketinggian terbang. Tentunya ini membantu upaya memantau kegiatan perusahaan - perusahaan yang bergerak di sektor oil and palm serta pulp and paper yang menuntut mereka untuk selalu melihat ke dalam konsesi para perusahaan tersebut. Keterbatasan akses yang biasanya mereka hadapi pun teratasi dengan adanya WTA ini.
Sekira 10 ribuan hektar telah terpetakan oleh SAMPAN dengan WTA. Cerita sukses lain dari SAMPAN dalam mengaplikasikannya WTA adalah pada saat memantau kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera Selatan. Foto-foto lokasi kebakaran drone tersebut dibawa ke pengadilan menjadi test case data pendukung resmi persidangan, meski sampai sekarang masih belum ada pengakuan. Meski demikian, pemerintah daerah setempat telah mengakui kelebihan teknologi ini hingga bersedia menggandeng SAMPAN untuk membantu pemetaan dalam penyusunan One Map Provinsi Kalimantan Barat.  Kata Angga, “Mereka sempat mengajak keterlibatan SAMPAN untuk bantu support dipemenuhan pemetaannya untuk menuju One Map Kalbar.”
Dua tahun sudah SAMPAN bersahabat dengan Wahana Tanpa Awak. Sejauh ini mereka memiliki total 11 unit WTA Multirotor dan fix-wing dengan fungsi masing-masing sesuai kebutuhan. Sayang sekali sebagian besar komponen WTA ini masih harus diimpor karena teknologi ini masih terbilang baru di Kalimantan. Keterbatasan dana membuat anggota SAMPAN merakit setiap komponen WTA secara mandiri.
Biaya yang dikeluarkan untuk merakit satu unit WTA bisa mencapai 20 juta rupiah. Sedangkan dalam mengoperasikannya, diperlukan tiga orang yang terdiri dari Teknisi, Pengolah data sekaligus Ground Control System, dan Pilot. SAMPAN berharap WTA ke depan dapat terus membantu kegiatan advokasi di sektor hutan dan lahan. “Target SAMPAN kedepan WTA bisa bantu kegiatan di lapangan dan membantu masyarakat,” pungkas Angga. Selengkapnya...

Minggu, November 16, 2014

Walhi Curigai Anggaran Penanggulangan Kabut Asap di Sumsel

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan berharap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperhatikan secara ketat atau memelototi anggaran yang digelontorkan pemerintah untuk menanggulangi kabut asap di Sumatera Selatan. 
"Terindikasi ada kesengajaan agar dana pemerintah puluhan miliar rupiah dapat terus digunakan untuk menanggulangi kabut asap. Padahal seharusnya itu adalah tanggung jawab perusahaan yang diduga membakar," kata Direktur Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko dalam siaran persnya, Kamis 13 November 2014.
Jatmiko menduga, mandulnya penegakan hukum terhadap perusahaan yang membakar lahan menguatkan indikasi dugaan praktek mafia perizinan, dan korupsi di sektor sumber daya alam pemerintah daerah Sumatera Selatan yang bersifat massif dan terstruktur.
Dari kajian Walhi Sumsel, hampir semua perizinan di sektor sumber daya alam seperti hutan tanaman industri (HTI) sebagai penyumbang asap kebakaran hutan dan lahan dilakukan menjelang prosesi pergantian kepala daerah.
"Artinya jika dugaan ini benar maka wajar jika pemerintah tidak akan melakukan tindakan represif terhadap perusahaan-perusahaan ini," katanya.
Walhi Sumatera Selatan juga mendesak Presiden Jokowi blusukan ke Sumatera Selatan, dan segera mengambil alih upaya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan yang diduga menjadi penyebab kebakaran hutan.
"Pemprov Sumatera Selatan membuka seluas-luasnya akses publik atas informasi kebakaran hutan dan juga rapat-rapat kordinasi untuk upaya-upaya penanggulangan bencana asap, serta penyebaran dokumentasi hasil melalui media-media mainstream atau media sosial," harapnya.

Sumber : Antarasumbar.com
Selengkapnya...

Walhi Minta Presiden Jokowi “Blusukan” Ke Palembang

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Sumatera Selatan meminta Presiden Joko Widodo melakukan blusukan ke provinsi setempat dan mengambil alih penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan penyebab masalah kabut asap beberapa bulan terakhir.
“Pembakaran hutan dan lahan oleh perusahaan perkebunan besar yang beroperasi di wilayah Sumatera Selatan sudah di luar batas sehingga perlu mendapat perhatian presiden agar masalah kabut asap yang dapat mengganggu berbagai aktivitas dan kesehatan masyarakat tidak selalu terjadi pada setiap musim kemarau,” kata Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko, di Palembang, Senin.
Dia menjelaskan, perusahaan perkebunan kelapa sawit, karet, dan hutan tanaman industri (HTI) yang beroperasi di sejumlah daerah provinsi yang memiliki 17 kabupaten dan kota ini diduga telah melakukan pembakaran untuk membersihkan lahan secara sengaja namun hingga kini belum ada yang diproses secara hukum atau mendapat peringatan keras dari pemerintah daerah setempat.
Bahkan pemerintah daerah terkesan melindungi perusahaan yang diduga melakukan pelanggaran hukum karena secara sengaja melakukan pembakaran di lahan konsesinya.
Sebagai gambaran pada rapat kordinasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Kantor Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan pada Rabu (5/11), digelar secara tertutup dengan melibatkan 17 Perusahaan baik HTI dan perkebunan yang di lahan konsesinya terdapat kebakaran yang menjadi salah satu sumber masalah kabut asap.
Berdasarkan Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Pasal 10 No 14 Tahun 2008, semua informasi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak atau publik apalagi kasus bencana, harus dibuka seluas luasnya dengan tujuan agar masyarakat tahu dan menyikapi dengan kritis apa yang sedang dibahas oleh pemerintah dengan perusahaan pembakar hutan dan lahan.
Untuk melindungi hak rakyat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, sesuai bunyi pembukaan UUD 45 pasal 28 H, yang menyatakan bahwa hak atas Lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia.
Hasil rapat koordinasi tersebut berdasarkan berita beberapa koran terbitan Palembang, pemerintah daerah hanya meminta perusahaan yang diduga membakar hutan dan lahan untuk memeriksa lahan konsesi mereka serta mengajak perusahaan untuk melakukan pemadaman bersama sama dengan pemerintah.
Sikap pemerintah yang lemah di depan pihak perusahaan pelaku kejahatan lingkungan hidup, menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap lingkungan hidup dan jutaan rakyat yang menjadi korban bencana ekologi kabut asap.
“Sikap tersebut juga menurut kami para aktivis lingkungan hidup tidak akan memberikan efek jera di kemudian hari dan malah akan memberi peluang bencana asap kebakaran hutan dan lahan terus terjadi di Sumatera Selatan yang telah berlangsung selama 17 tahun terakhir.
Pemerintah harusnya memproses secara hukum para perusahaan penjahat lingkungan hidup sesuai Undang Undang Lingkungan Hidup (UU No32/2009) dan Undang Undang sektoral lainnya, baik UU No.18/2004 tentang perkebunan dan UU No.41/1999 tentang kehutanan.
Bukan malah bersikap lembut terhadap mereka yang telah menyebabkan jutaan rakyat menghirup udara yang tingkat ISPU-nya di atas 300 atau sangat berbahaya.
Pemerintah seharusnya melakukan tindakan hukum dengan mempidanakan pemilik perusahaan, menuntut ganti kerugian, mencabut izin dan menyita seluruh aset yang dimiliki perusahaan untuk mengganti semua kerugian yang dialami pemerintah, rakyat, dan lingkungan hidup, baikkerugian langsung maupun tidak langsung.
Mandulnya penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar lahan tersebut merupakan bentuk perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah daerah setempat dan menguatkan indikasi praktik mafia perizinan dan korupsi di sektor perizinan Sumber Daya Alam di wilayah Sumsel yang sangat massif dan terstruktur.
Oleh karen itu, Walhi Sumsel meminta Presiden Joko Widodo untuk blusukan dan melakukan penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan yang menyebabkan bencana ekologi kabut asap di provinsi berpenduduk sekitar 8,6 juta jiwa ini.
Selain itu, meminta pula Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan monitoring atas kasus kebakaran hutan dan lahan yang diduga dilakukan oleh perusahaan serta proyek-proyek pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Sumsel, kata Hadi.
Selengkapnya...

KEBAKARAN HUTAN: Pemerintah Diminta Ambil Alih Penegakan Hukum

PALEMBANG – Pemerintah pusat diminta mengambil alih upaya penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan di Sumatra Selatan.
 
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel Hadi Jatmiko mengatakan selama ini penanganan kasus pembakaran lahan dan hutan di provinsi itu masih kurang tegas.

“Perlu ada upaya cepat dan tegas dari pemerintah pusat karena sikap pemerintah daerah terhadap perusahaan pembakar hutan di sini terkesan negosiasi bisnis,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Bisnis, Senin (10/11).

Menurutnya, mandulnya penegakan hukum terhadap perusahaan pembakar lahan itu juga merupakan bentuk perbuatan melawan hukum  yang dilakukan oleh Pemprov Sumsel.

Dia menambahkan lemahnya penegakan hukum juga menguatkan indikasi praktik mafia perizinan dan korupsi di sektor sumber daya alam yang terstruktur dan massif.

“Sikap pemerintah sekarang belum memberikan efek jera dan malah akan memberi peluang bencana asap kebakaran hutan dan lahan seperti yang dialami selama  17 Tahun terakhir,” katanya.

Hadi memaparkan pemerintah harusnya memproses secara hukum para perusahaan sesuai Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang PPLH dan Undang-Undang sektoral lainnya.

Adapun proses hukum yang diharapkan oleh Walhi untuk dilakukan pemerintah adalah mempidanakan pemilik perusahaan, menuntut ganti kerugian, mencabut izin dan menyita seluruh aset yang dimiliki perusahaan.

Kemudian, mengganti semua kerugian yang dialami pemerintah, rakyat dan lingkungan hidup, baik kerugian langsung maupun tidak langsung.

“Kami juga minta KPK untuk memonitor anggaran-anggaran pemerintah yang dikeluarkan untuk membiayai penanggulangan kabut asap,” katanya.

Hadi memaparkan terdapat indikasi kesengajaan agar dana pemerintah puluhan miliar dapat terus digunakan untuk menanggulangi kabus asap, padahal seharusnya itu adalah tanggung jawab perusahaan pembakar hutan.

“Kami juga mengimbau Pemprov Sumsel untuk membuka seluas-luasnya akses publik atas informasi kebakaran hutan dan juga rapat-rapat kordinasi untuk upaya-upaya penanggulangan bencana asap,” ujarnya.

Sumber : http://news.bisnis.com/read/20141110/78/271819/kebakaran-hutan-pemerintah-diminta-ambil-alih-penegakan-hukum 
Selengkapnya...

Minggu, November 09, 2014

JOKOWI - KPK Harus Segera Blusukan dan Ambil Alih Penegakan Hukum atas Perusahaan Pembakar Hutan dan Lahan di Sumsel

Setiap hari selama agustus - oktober 2014 jutaan anak anak menghirup udara tercemar oleh asapp dari kebakaran Hutan dan lahan di Sumsel (foto : Mlx Walhi sumsel )

Rapat Kordinasi Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan pada Rabu, 5 November 2014 kemarin, di gelar secara tertutup dan melibatkan 17 Perusahaan baik HTI dan Perkebunan yang dilahan konsesinya terdapat kebakaran, perlu dipertanyakan.

Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik pada Pasal 10 menyatakan bahwa, semua Informasi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak/publik apalagi kasus bencana, harus di buka seluas luasnya. Dengan tujuan agar masyarakat tahu dan menyikapi dengan kritis apa yang sedang dibahas oleh pemerintah dengan perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan tersebut. Juga untuk melindungi hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sesuai bunyi pembukaan UUD 45 pasal 28 H, yang menyatakan bahwa Hak atas Lingkungan Hidup yang baik dan sehat adalah Hak Asasi Manusia dan juga diturunkan dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 65.
Apalagi hasil dari rapat tersebut berdasarkan berita beberapa media cetak (6/11), pemerintah hanya meminta perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan untuk memeriksa lahan konsesi mereka dan mengajak perusahaan untuk melakukan pemadaman bersama sama dengan pemerintah.

Sikap pemerintah yang lemah di depan perusahaan pelaku kejahatan lingkungan hidup, menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki keberpihakan terhadap lingkungan hidup dan juga terhadap jutaan rakyat yang menjadi korban bencana ekologis kabut asap. Sikap tersebut  juga menurut kami tidak akan memberikan efek jera di kemudian hari dan malah akan memberi peluang bencana asap kebakaran hutan dan lahan akan terjadi kembali di Sumatera Selatan seperti yang dialami selama  17 Tahun terakhir.

Anak anak berlari menuju ruang kelas yang diselimuti asapp kebakaran Hutan dan lahan (Foto : Mlx Walhi sumsel)
Pemerintah harusnya memproses secara hukum para perusahaan Penjahat Lingkungan Hidup sesuai Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang PPLH dan Undang-Undang sektoral lainnya, seperti UU No 39 tahun 2014 tentang Perkebunan dalam Pasal 108 dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Bukan malah bersikap lembut terhadap mereka yang telah menyebabkan jutaan rakyat menghirup udara yang tingkat ISPU-nya di atas 300 (sangat berbahaya). Adapun proses hukum yang diharapkan oleh rakyat untuk dilakukan pemerintah adalah mempidanakan pemilik perusahaan, menuntut ganti kerugian, mencabut izin dan menyita seluruh asset yang dimiliki perusahaan, untuk mengganti semua kerugian yang dialami pemerintah, rakyat dan lingkungan hidup, baik kerugian langsung maupun tidak langsung.

Mandulnya penegakan Hukum terhadap perusahaan pembakar lahan ini juga merupakan bentuk Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan menguatkan indikasi praktek mafia perizinan dan korupsi di sektor Sumber Daya Alam di dalam tubuh pemerintahan daerah di Sumatera Selatan sangatlah massif dan terstruktur.

Berdasarkan kajian Walhi Sumsel, hampir semua perizinan di sektor Sumber Daya Alam seperti HTI (penyumbang asap kebakaran hutan dan lahan) semuanya dilakukan menjelang prosesi pergantian kepala daerah, yang artinya jika dugaan ini benar maka wajar jika pemerintah tidak akan melakukan tindakan represif terhadap perusahaan-perusahaan ini, layaknya istilah “Jeruk tidak akan makan Jeruk”

Untuk itu menurut Walhi Sumsel, dibutuhkan upaya cepat dan tegas dari Pemerintah Pusat untuk mengambil alih upaya penegakan hukum, karena yang dilakukan oleh pemerintah propinsi dan daerah saat berhadapan dengan perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan tak lebih dari sekedar “negosiasi bisnis”.

Walhi Sumatera Selatan mendesak Presiden Jokowi untuk segera blusukan ke Sumatera Selatan dan segera mengambil alih upaya penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Kami tidak lagi mempercayai upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumater Selatan yang terus melindungi pelaku kejahatan lingkungan hidup. Kami juga meminta KPK untuk memonitor anggaran-anggaran pemerintah yang dikeluarkan untuk membiayai penanggulangan kabut asap. Terindikasi ada kesengajaan agar dana pemerintah puluhan milyar dapat terus digunakan untuk menanggulangi kabus asap, padahal seharusnya itu adalah tanggung jawab perusahaan pembakar hutan, bukan dengan menghabiskan uang rakyat untuk menanggulangi bencana kabut asap (bukan bencana alam). Terakhir, kami memperingatkan Pemprov Sumsel untuk membuka seluas-luasnya akses publik atas informasi kebakaran hutan dan juga rapat-rapat kordinasi untuk upaya-upaya penanggulangan bencana asap, termasuk penyebaran dokumentasi hasil melalui media-media mainstream atau media sosial.

Palembang, 9 November 2014
Hadi Jatmiko

Direktur Walhi Sumatera Selatan

CP : 0812 731 2042
Selengkapnya...

Senin, Oktober 13, 2014

Petisi Gubernur @alexnoerdin Kami bukan iwak salai, Cabut izin dan pidanakan perusahaan pembakar hutan Lahan



Sejak agustus sampai Oktober 2014 kebakaran hutan dan lahan tidak pernah berhenti, puluhan bahkan ratusan titik api api muncul setiap harinya di atas lahan yang pertanggung jawaban sepenuhnya ada pada perusahaan. Sesuai dengan Peraturan Perundang Undangan yang berlaku seperti UU lingkungan hidup, UU Kehutanan, UU Perkebunan dan Peraturan peraturan pemerintah lainnya.
Bapak Gubernur Tahu gak,semenjak bermunculan titik api itu pula, kami tak bisa lagi menghirup udara segar dipagi hari dan sepanjang hari. Semuanya telah tercemar oleh asap kebakaran Hutan dan lahan yang membawa ribuan zat, yang seharusnya tidak boleh di hisap oleh kami apalagi anak anak, perempuan hamil dan lansia. Karena menurut Dinas Kesehatan jika polutan ini terhisap oleh manusia akan menyebabkan berbagai penyakit seperti ISPA, Pneumonia, Asma, jantung dan penyakit penyakit lainnya yang dapat mengancam keselamatan Hidup Manusia. Dan Dinas kesehatan juga telah menyebutkan terjadi kenaikan penderita penyakit Ispa mencapai 60-70 persen lebih di Palembang sepanjang September,hal ini seiring dengan kandungan ISPU yang sudah mulai berada diambang batas mencapai 262 http://ppesumatera.menlh.go.id/index.php?r=detail_agenda&x=41 .
Bapak @alexnurdin, bulan lalu kami pernah membaca di suatu media massa yang isinya tentang bapak yang sangat peduli dengan Lingkungan hidup, wujudnya Bapak menanda tangani kesepakatan dengan BP REDD untuk menurunkan emisi karbon dari deforestasi dan degradasi Hutan di sumsel. Namun kami tidak melihat implementasi dari kesepakatan itu, Bapak dan juga lembaga BPREDD terapkan di kasus kebakaran Hutan dan lahan yang terjadi di propinsi yang kita cintai ini.
Ribuan hutan dan lahan gambut kita habis Pak, di bakar oleh perusahaan perusahaan multi nasional dan Internasional yang izinnya sebenarnya di keluarkan oleh Bapak bersama pejabat kabupaten maupun pusat/kemanterian kehutanan itu sendiri. Alih alih ingin menyelamatkan hutan dan lahan seperti yang di bangga banggakan oleh Bapak dan pejabat Negara lainnya, bahwa dengan di berikannya izin terhadap perusahaan Hutan tanaman industry dan perkebunan, hutan dan lahan yang rusak akan pulih. Tapi Nyatanya malah mereka menambah parah kerusakan hutan dan gambut kita.
Bapak Gubernur sumsel  upaya pemadaman terhadap kebakaran hutan dan lahan itu penting namun itu adalah opsi terakhir karena pesan dari Ibu/Bapak guru waktu sekolah dulu mungkin juga bapak masih ingat tentang ini, bahwa mencegah lebih baik ketimbang menanggulangi. Tapi mengapa pemadaman selalu menjadi hal utama yang bapak dan pejabat lain lakukan, padahal kebakaran hutan dan lahan ini bukan pertama di Sumsel setidaknya menurut Organisasi Lingkungan hidup seperti Walhi menyebutkan, kebakaran hutan dan lahan setidaknya dimulai tahun 1997. Sehingga menurut kami harusnya Bapak sudah mendapatkan pembelajaran setiap tahunnya bahwa kebakaran hutan dan lahan ini akibat dari Obral izin yang dilakukan oleh pemerintah sehingga berdampak buruknya tata kelola hutan dan lahan kita, wilayah yang harusnya dilindungi tapi malah diberi izin. Pasti kita gak mau kan Pak di bilang lebih dungu dari keledai,karena mengulang ulang hal yang salah?
Oh iya pak tahu gak bapak bahwa kami sangat terkejut ketika BNPB menyebutkan bahwa kerugian yang dialami akibat kebakaran hutan dan lahan di sumatera, yang berdampak bencana ekologi kabut asap sepanjang 2014 ini, telah menyebabkan Negara di rugikan mencapai 20 triliun (http://www.mediaindonesia.com/hottopic/read/4039/Bencana-Asap-Rugikan-Negara-Rp50-Triliun/2014/09/18) .Bapak Gubernur, berapa besar APBD kita pak dan berapa pendapatan keuntungan dari investasi perizinan pembakar hutan ini kepada Negara?. Kami sempat cari cari berita tentang besaran APBD sumsel tahun 2013, ternyata APBD kita hanya 6 triliun pak. Dan berdasarkan informasi dari lembaga non pemerintah menyebutkan sumbangan dari perizinan yang rakus ruang ini sekitar 70 persen dari nilai total APBD, itupun sudah digabungkan dari pendapatan bagi hasil Migas dan tambang. Artinya hitungan cepat kami kita tekor pak, dan uang yang bertahun tahun kita kumpulkan dari pajak yang dibayar oleh pedagang kecil dipasar,tukang becak, tukang ojek dan tukang ketek lenyap seketika menjadi air dan garam untuk memadamkan kebakaran hutan dan lahan. Belum lagi biaya untuk pemadaman kebakaran yang setidaknya sudah di gelontorkan 28 Milyar, padahal ini bencana Ekologi bencana lingkungan hidup (ekologi) yang seharusnya pertanggung jawabannya ada pada Penjahat nya atau perusahaannya, bukan kepada Negara dari hasil uang pajak rakyat. Mengapa Negara begitu mudah mengeluarkan uang untuk bencana ekologi tapi sulit mengeluarkan uang ketika terjadi bencana geologi seperti meletusnya Gunung Sinabung?
Penegakan hukum harus bapak dan pejabat daerah maupun pusat lakukan , bapak harus membawa perusahaan perusahaan pembakar hutan dan lahan di sumsel baik yang bergerak di perkebunan kayu (HTI) dan Perkebunan seperti Asia Pulp and Paper ke meja hijau, memaksa mereka menganti kerugian yang dialami oleh kami,istri kami yang sedang hamil, anak anak kami, ibu dan bapak kami yang usianya telah lanjut atau jutaan penduduk lainnya, serta menganti kerugian lingkungan hidup atas kerusakan Hutan dan lahan yang selama ini tanpa pamrih memberikan oksigen kepada seluruh penghuni bumi.
Dan bapak harus mencabut Izin izin perusahaan perusahaan pembakar hutan dan lahan yang ada di kabupaten OKI, Muara enim, banyuasin, Musi banyuasin, Musi rawas dan kabupaten lainnya karena mereka secara jelas tidak mematuhi aturan undang undang yang ada di Negara kita.  Baiknya hutan dan lahan tersebut di berikan kepada petani dan masyarakat adat yang secara nyata terbukti mampu menjaga Lingkungan hidup dengan kearifan local yang mereka terapkan.
Dan terakhir kami yakin bahwa bapak gubernur @alexnoerdin juga seperti kami yang memiliki keluarga yang disayangi, bapak pasti ingin melindungi keluarga bapak dari segala bahaya apapun, termasuk bahaya kabut asap seperti yang kami lakukan saat ini dan tidak lain dan tidak bukan untuk melindungi orang orang yang kami sayangi dari bahaya Asapp kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan oleh Perusahaan. Tapi bedanya kami dengan bapak, bapak bisa membawa keluarga bapak terbang ke luar sumatera ketempat daerah yang udaranya masih bersih, sedangkan kami tetap dipaksa menjadi ikan salai dan menghirup udara beracun.

Palembang,  Oktober 2014 di tengah kepungan asAPP

Selengkapnya...

Jumat, September 19, 2014

Cabut Izin Perusahaan Penyebab Bencana Asap serta Hentikan Ekspansi Perkebunan dan HTI di Sumatera selatan


Bencana asap akibat kebakaran Hutan dan lahan di propinsi sumatera selatan sejak bulan agustus sampai dengan saat ini belum berhenti, malah semakin parah seiring dengan musim kemarau yang menurut BMKG sumatera selatan 8 September lalu melalui Kepala Seksi Observasi dan Informasi Stasiun Klimatologi Kenten. Akan berakhir paling cepat di bulan Oktober, saat musim Hujan tiba. Artinya seluruh masyarakat sumsel harus rela menangung bencana akibat pembiaran pemerintah dan kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan perusahaan. 


Bencana asap adalah dampak dari buruknya tata kelola hutan dan lahan yang di praktekan oleh pemerintah Propinsi Sumsel dan pemerintah kabupaten/Kota. Dengan melakukan obral izin tanpa mengindahkan daya tampung dan daya dukung Lingkungan Hidup. Disisi lain penegakan Hukum dan pengawasan terhadap perusahaan yang diberikan izin jauh panggang dari Api.

Contoh penguasaan lahan dan hutan yang timpang antara masyarakat dengan Perusahaan. Grup Perusahaan Asian Pulp And Paper (APP) melalui 7 perusahaan yang bergerak di Perkebunan Kayu (HTI) menguasai setidaknya 792,135 Hektar atau sekitar 47 Persen dari 1,669,370 Hektar luas Hutan produksi di sumatera selatan yang diperuntukan untuk HTI

Sedangkan penguasaan lahan di kawasan hutan yang diberikan oleh pemerintah Melalui skema PHBM (HD,HTR dan/atau HKM) hanya seluas ±12.000 Hektar atau tidak sampai 1 persen dari luasan hutan sumsel. 

Luasnya penguasaan hutan dan lahan oleh Perusahaan Perkebunan dan HTI berdampak munculnya bencana asap yang setiap tahunnya terus berulang. Berdasarkan data Hotspot yang diterima oleh Walhi sumsel dari satelit Terra dan aqua selama Agustus - 16 september 2014. Dari 1173 Hotspot, 169 nya berada dilahan Perusahaan Perkebunan dan 531 Titik terbanyak berada didalam konsesi Hutan Tanaman Industry. 

Adapaun titik api di konsesi HTI tersebut, 417 titiknya berada diwilayah konsesi HTI perusahaan Asia Pulp and Paper (APP) diatas lahan gambut. merupakan salah satu Perusahaan produksi kayu terbesar di Dunia milik pengusaha Singapura.

Banyaknya hotspot di dalam konsesi HTI APP menunjukan bahwa Pemerintah Daerah maupun pusat melalui Dinas kehutanan Gagal melaksanakan mandate menjaga kawasan hutan dan gambut dari kerusakan akibat kebakaran, dengan skema memberikan penguasaan kawasan hutan terhadap HTI. Karena hakikatnya pemberian izin HTI terhadap kawasan hutan berdasarkan P.19/menhut.II/2007 yang telah diubah menjadi p.11/Menhut-II/2008 tentang tata cara pemberian izin dan perluasan izin pemanfaatan Hutan kayu pada hutan Tanaman Industri. Harus diberikan kepada hutan produksi yang tidak produkti (rusak) gunanya untuk meningkatkan potensi hutan tersebut, dengan tidak merusak lingkungan dan menghilangkan fungsi Pokoknya. Memeprcepat pemulihan kawasan Hutan dari kerusakan sehingga mampu meningkat fungsi Hutan. 

Akan tetapi harapan diatas tidaklah tercapai malah memperparah kerusakan hutan dan gambut itu sendiri,  seandainya lahan tersebut di biarkan maka Alam akan mampu memulihkan dengan sendirinya.

selanjutnya menyikapi bencana asap yang telah lintas negara dan  berulang terjadi ini, 2 hari lalu (15/9) melalui sidang Paripurna DPR menyepakati untuk meratifikasi AATHP (ASEAN Agreement on Transboundary haze Polution) atau perjanjian pengendalian Polusi asap lintas Negara ASEAN dalam perundang undang Indonesia. Hal ini menjadi peluang untuk Indonesia mendapatkan bantuan Negara Negara untuk mengendalikan Kebakaran Hutan dan lahan namun secara substansi (penyelesaian pada akar masalah) tidaklah berdampak apapun jika tanpa ada upaya serius pemerintah Indonesia menegakan Hukum.Salah satunya penegakan humum perusahaan pembakar lahan serta menuntut pertanggung jawaban Negara Negara ASEAN seperti Singapura atas Kebakaran Hutan dan lahan di Indonesia yang di dominasi dilahan konsesi Perusahaan yang berasal dari Negara Negara tersebut. 

Atas kondisi ini maka Walhi Sumatera selatan menuntut Pemerintah untuk :

  1. Segera mencabut Izin izin perusahaan pembakar lahan dan hutan karena hal ini membuktikan bahwa perusahaan tidak bisa merawat dan menjaga lahan dan konsesinya dan segera memberikan lahan tersebut kepada masyarakat karena masyarakat lebih bisa menjaga lahan dan hutan dari kerusakan dengan arif dan bijaksana ketimbang perusahaan.
  2. Melalui perjanjian AATHP (ASEAN Agreement on Transboundary haze Polution) kami menuntut pemerintah melakukan penegakan Hukum dengan menjerat Koorporasi baik perkebunan dan HTI dengan meminta ganti kerugian atas kerusakan dan segera melakukan pemulihan lingkungan hidup  
  3. Menuntut Negara Negara ASEAN Singapura dan Malaysia yang telah terlebih dahulu meratifikasi AATHP untuk turut bertanggung jawab atas Bencana Asap di Sumatera selatan dengan memberikan sanksi terhadap perusahaan perusahaan mereka yang beroperasi di Indonesai yang didalam konsesinya terdapat kebakaran dan titik api seperti Asia Pulp and paper (sinar mas Group)
  4. Hentikan kebijakan Ekspansi Perkebunan dan HTI di Sumatera selatan karena kebijakan ini telah merugikan lingkungan hidup,rakyat dan Negara,
  5. Meminta Dinas Pendidikan Sumsel untuk meliburkan dan mengubah jadwal Sekolah bagi anak anak sekolah khususnya SD guna mencegah Dampak lebih besar terhadap rakyat khsusnya kaum rentan anak anak, Perempuan dan Lansia. 
  Palembang, 19 September 2014
  Eksekutif Walhi Sumsel

  Hadi Jatmiko 
  Direktur

Selengkapnya...