![]() |
Konferensi Pers terkait Penegakan hukum Karhutlah di Sumsel |
Jakarta, 12 Desember 2016. Tepat di akhir tahun 2015 lalu, rakyat Indonesia khususnya masyarakat Sumatera Selatan dihadiahi “kado” tahun baru yang sangat menyakitkan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Palembang. Masih dalam ingatan kita seluruh Majelis Hakim yang dipimpin oleh Parlas Nababan, menolak seluruhnya gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (BMH), terkait kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada tahun 2014. Tidak terima dengan putusan tersebut, KLHK melakukan banding melalui Pengadilan Tinggi (PT) Palembang pada pertengahan 2016. Pengadilan Tinggi memenangkan pengajuan banding KLHK dengan membatalkan putusan PN, dan menyatakan bahwa PT. BMH terbukti bersalah dan didenda sebanyak 78 miliar.
WALHI Sumsel menyambut baik putusan tersebut karena PT. BMH dinyatakan bersalah. Namun juga kecewa, karena putusan denda jauh dari tuntutan atau gugatan KLHK. Mengingat Sumatera Selatan sendiri merupakan provinsi “penyumbang” asap terbesar di Indonesia yakni seluas 641.514 hektar dari 2,6 juta hektar hutan dan lahan terbakar di Indonesia. (BNPB/MoEF, 2015).
Direktur WALHI Sumsel, Hadi Jatmiko menyatakan bahwa “putusan dengan denda yang ringan tersebut masih belum memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat korban asap maupun bagi lingkungan hidup. Terlebih PT. BMH mengulang kejahatan bisnisnya pada tahun 2015”. Saat ini kasus tersebut masuk dalam tahap kasasi. Hadi menambahkan, “KLHK harus sangat-sangat serius dalam proses kasasi ini, jika tidak, sama halnya mengabaikan Perintah Presiden Jokowi (Agustus, 2016) yang menginginkan penegakan hukum yang tegas kepada pelaku pembakaran hutan dan lahan, agar ada kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat.”
Dalam pandangan WALHI, setidaknya penegakan hukum ini akan berdampak pada beberapa hal: pertama yakni reformasi paradigma lembaga peradilan di Indonesia ke arah yang lebih baik dan progresif, kedua bahwa koporasi tidak kebal hukum, dan ketiga langkah awal Indonesia untuk keluar dari darurat kejahatan korporasi terhadap lingkungan hidup. KLHK juga sesungguhnya dapat menggunakan instrumen hukum lainnya, dengan melakukan review izin, dan mengevaluasi seluruhnya kinerja PT. BMH dan perusahaan lainnya di Sumatera Selatan yang terbukti tidak mampu menjaga lingkungan hidup dan mengelola sumber daya alam secara baik, adil, dan berkelanjutan. Jika ditemukan perusahaan tersbut tidak patuh dengan kewajiban-kewajiban yang termaktub dalam izin yang diberikan, maka izin tersebut sudah sepatutnya segera dicabut.
Dalam penutup siaran pers ini, Khalisah Khalid, Kepala Departemen Kampanye dan Perluasan Jaringan Eksekutif Nasional WALHI mengatakan bahwa putusan yang berat dari pengadilan menjadi penting, karena kami berharap putusan pengadilan atas kejahatan lingkungan hidup dan kemanusiaan dapat memutus rantai impunitas bagi kejahatan korporasi selama ini. (selesai)
Artikel Terkait:
Siaran Pers
- Kejahatan Trans National Corporations dalam kebakaran hutan dan lahan di Indonesia Dibawa ke Jenewa
- Walhi Sumsel Apresiasi Pembentukan Satgas Percepatan penyelesaian Konflik Agraria dan SDA di Muba.
- Bahaya Hutang Bank Dunia Dalam Proyek KOTAKU
- 160 Hari Pemiskinan Warga Cawang Gumilir oleh PT. Musi Hutan Persada Negara Dimana?
- Walhi Sumsel : Stop Alih Fungsi dan Reklamasi Rawa Palembang !
- Walhi Sumsel : Penegakan Hukum Perusahaan Pembakar Hutan masih Setengah Hati!
- Kaburnya Hukum dalam Kabut Asap Kasus Karhutla
- Kronologis Penembakan Warga Oleh Aparat Saat Demo Tolak Tambang.
- 5 Tahun Moratorium Menjadi Kamuflase Regulasi Eksploitasi SDA Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar