Setiap hari selama agustus - oktober 2014 jutaan anak anak menghirup udara tercemar oleh asapp dari kebakaran Hutan dan lahan di Sumsel (foto : Mlx Walhi sumsel ) |
Rapat Kordinasi Pemadaman Kebakaran Hutan dan
Lahan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan pada Rabu, 5 November 2014
kemarin, di gelar secara tertutup dan melibatkan 17 Perusahaan baik HTI dan
Perkebunan yang dilahan konsesinya terdapat kebakaran, perlu dipertanyakan.
Berdasarkan Undang-Undang No 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik pada Pasal 10 menyatakan bahwa, semua
Informasi yang terkait dengan hajat hidup orang banyak/publik apalagi kasus
bencana, harus di buka seluas luasnya. Dengan tujuan agar masyarakat tahu dan
menyikapi dengan kritis apa yang sedang dibahas oleh pemerintah dengan
perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan tersebut. Juga untuk melindungi
hak rakyat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sesuai bunyi pembukaan
UUD 45 pasal 28 H, yang menyatakan bahwa Hak atas Lingkungan Hidup yang baik
dan sehat adalah Hak Asasi Manusia dan juga diturunkan dalam UU No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pasal 65.
Apalagi hasil dari rapat tersebut berdasarkan
berita beberapa media cetak (6/11), pemerintah hanya meminta perusahaan-perusahaan
pembakar hutan dan lahan untuk memeriksa lahan konsesi mereka dan mengajak
perusahaan untuk melakukan pemadaman bersama sama dengan pemerintah.
Sikap pemerintah yang lemah di depan perusahaan
pelaku kejahatan lingkungan hidup, menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki
keberpihakan terhadap lingkungan hidup dan juga terhadap jutaan rakyat yang
menjadi korban bencana ekologis kabut asap. Sikap tersebut juga menurut
kami tidak akan memberikan efek jera di kemudian hari dan malah akan memberi
peluang bencana asap kebakaran hutan dan lahan akan terjadi kembali di Sumatera
Selatan seperti yang dialami selama 17 Tahun terakhir.
Anak anak berlari menuju ruang kelas yang diselimuti asapp kebakaran Hutan dan lahan (Foto : Mlx Walhi sumsel) |
Pemerintah harusnya memproses secara hukum para
perusahaan Penjahat Lingkungan Hidup sesuai Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang
PPLH dan Undang-Undang sektoral lainnya, seperti UU No 39 tahun 2014 tentang
Perkebunan dalam Pasal 108 dan UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Bukan
malah bersikap lembut terhadap mereka yang telah menyebabkan jutaan rakyat
menghirup udara yang tingkat ISPU-nya di atas 300 (sangat berbahaya). Adapun
proses hukum yang diharapkan oleh rakyat untuk dilakukan pemerintah adalah
mempidanakan pemilik perusahaan, menuntut ganti kerugian, mencabut izin dan
menyita seluruh asset yang dimiliki perusahaan, untuk mengganti semua kerugian
yang dialami pemerintah, rakyat dan lingkungan hidup, baik kerugian langsung
maupun tidak langsung.
Mandulnya penegakan Hukum terhadap perusahaan
pembakar lahan ini juga merupakan bentuk Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang
dilakukan oleh Pemerintah Propinsi Sumatera Selatan dan menguatkan indikasi
praktek mafia perizinan dan korupsi di sektor Sumber Daya Alam di dalam tubuh
pemerintahan daerah di Sumatera Selatan sangatlah massif dan terstruktur.
Berdasarkan kajian Walhi Sumsel, hampir semua perizinan di sektor Sumber Daya Alam seperti HTI (penyumbang asap kebakaran hutan dan lahan) semuanya dilakukan menjelang prosesi pergantian kepala daerah, yang artinya jika dugaan ini benar maka wajar jika pemerintah tidak akan melakukan tindakan represif terhadap perusahaan-perusahaan ini, layaknya istilah “Jeruk tidak akan makan Jeruk”
Untuk itu menurut Walhi Sumsel, dibutuhkan upaya
cepat dan tegas dari Pemerintah Pusat untuk mengambil alih upaya penegakan
hukum, karena yang dilakukan oleh pemerintah propinsi dan daerah saat
berhadapan dengan perusahaan-perusahaan pembakar hutan dan lahan tak lebih dari
sekedar “negosiasi bisnis”.
Walhi Sumatera Selatan mendesak Presiden Jokowi
untuk segera blusukan ke Sumatera Selatan dan segera mengambil alih upaya
penegakan hukum terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Kami tidak lagi
mempercayai upaya penegakan hukum yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi
Sumater Selatan yang terus melindungi pelaku kejahatan lingkungan hidup. Kami
juga meminta KPK untuk memonitor anggaran-anggaran pemerintah yang dikeluarkan
untuk membiayai penanggulangan kabut asap. Terindikasi ada kesengajaan agar
dana pemerintah puluhan milyar dapat terus digunakan untuk menanggulangi kabus
asap, padahal seharusnya itu adalah tanggung jawab perusahaan pembakar hutan,
bukan dengan menghabiskan uang rakyat untuk menanggulangi bencana kabut asap
(bukan bencana alam). Terakhir, kami memperingatkan Pemprov Sumsel untuk
membuka seluas-luasnya akses publik atas informasi kebakaran hutan dan juga
rapat-rapat kordinasi untuk upaya-upaya penanggulangan bencana asap, termasuk
penyebaran dokumentasi hasil melalui media-media mainstream atau media sosial.
Palembang, 9 November 2014
Hadi Jatmiko
Direktur Walhi Sumatera Selatan
CP : 0812 731 2042
0 komentar:
Posting Komentar