WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat
Tampilkan postingan dengan label #melawanasAPP. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #melawanasAPP. Tampilkan semua postingan

Selasa, November 22, 2016

Largest NGO says APP peat fires deliberately set for replanting purposes

Indonesia’s largest environmental NGO, WALHI (Friends of the Earth Indonesia), has emphatically stated that last year's widespread peat fires in Asia Pulp and Paper (APP)'s pulpwood concessions were intentional. Proof of this, WALHI asserts, lies in the fact that these burned peatlands have now been replanted with acacia by the giant pulp company.
According to the leading NGO, the use of burned peatlands for the replanting of acacia is a move aimed at pursuing targets, given that the acacia yielded from this replanting will later become a source of fiber supply for the new APP company, PT OKI Pulp and Paper Mills. This new mill, which has begun operations, is located in the vicinity of the burned peatlands in the APP concessions, major parts of which were burned last year.
This damning opinion was delivered by the Executive Director of WALHI South Sumatra, Hadi Jatmiko, to foresthints.news on Friday (Nov 18) when asked for his reaction to the results of monitoring performed recently by Indonesia's Environment and Forestry Ministry.
The monitoring clearly shows that the APP concessions operating in Ogan Komering Ilir (OKI) regency, in South Sumatra province, have replanted burned peatlands in direct contravention to a ministerial regulation issued in mid-December last year.
Hadi expressed his gratitude for the ministry’s actions in the form of on-the-ground monitoring, which demonstrated the extent of incompliance on the part of the APP companies, to the point where they have brazenly replanted acacia in burned peatlands in clear violation of existing regulations.
“We appreciate the monitoring conducted by the ministry. However, we also urge the ministry to apply maximum law enforcement efforts so that these types of practices are never repeated. This is even more important considering that the burned peatlands in the APP concessions are dominated by peat domes.”
The following photos, which were taken from video footage which formed part of the ministry’s monitoring of the APP concession PT BMH, illustrate ongoing business-as-usual practices in the burned peatlands. In August this year, the High Court of Palembang declared that this company had committed an unlawful act with respect to peat fires in 2014.
Peat agency criticized
Hadi argued that the blatant replanting of acacia in burned peatlands located in APP concessions exemplified the fact that the monitoring function of the Peat Restoration Agency (BRG) was not operating.
“The case of these APP companies replanting burned peatlands reveals that the BRG is not performing proper monitoring, and therefore not fulfilling its function.”
According to WALHI data, 400 thousand hectares of peatlands were burned in 2015 in South Sumatra province, the vast majority of which were in concession areas. APP pulpwood concessions made up a significant proportion of these.
“The BRG’s monitoring is not clear. Its peat restoration focus is also unclear. The agency doesn’t appear to be focusing its peat restoration efforts in concession areas. This has actually emboldened APP and other companies to carry out replanting of burned peatlands and drained peat domes,” Hadi lamented.
Considering that the majority of APP concessions situated in peatlands in South Sumatra are found in peat domes, and that these have already been mapped as peat restoration target areas, Hadi made a vociferous appeal for the ministry and BRG to provide full protection to the peat domes concerned, using legal means which involve communities in their management.
He also asked the ministry to review the permits of the APP companies in question, bearing in mind that most of the APP concessions in these peatlands are located in peat domes and deep peat.
“This request of ours is consistent with both existing regulations as well as the government’s current commitment to protecting peat domes, including deep peat,” Hadi explained.
As previously reported by foresthints.news, President Joko Widodo has consistently reasserted his position that the government will not back down in carrying out law enforcement against any party which commits peatland-related violations.

Sumber : http://foresthints.news/largest-ngo-says-app-peat-fires-deliberately-set-for-replanting-purposes
Selengkapnya...

Jumat, November 18, 2016

Walhi Sumsel : Penurunan Emisi Tanpa Penegakan Hukum = Bohong!

Menyikapi Lemahnya penegakan Hukum terhadap Kejahatan Lingkungan Hidup dan COP 22 di Maroko

Aksi Aktifis Lingkungan Walhi dan Sahabat Walhi Sumsel : PT. BMH Penjahat Iklim !
Palembang, 18 November 2016. Meningkatnya krisis lingkungan hidup yang berdampak pada maraknya bencana ekologis dan menurunnya kualitas kesejahteraan masyarakat, membutuhkan komitmen yang serius dari seluruh pihak untuk menghentikannya. WALHI Sumsel melihat komitmen tersebut belum serius dan lamban. Sebagaimana kita ketahui, kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Sumatera Selatan telah menjadi “musim” langganan selain musim penghujan dan kemarau. Karhutla juga merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca terbesar yang berasal dari industri berbasiskan lahan(land base industry), selain industry-indutri yang menggunakan energi fosil (batubara).

Pada pertemuan Conference of Parties (COP) tentang perubahan iklim ke 21 di Paris tahun 2015 lalu, kasus Karhutla di Indonesia cukup menjadi perhatian. Namun korporasi (pelaku kejahatan pembakaran) mampu mengintervensi pertemuan tersebut, sehingga tidak ada langkah signifikan dan nyata untuk menyelesaikan persoalan. Hingga pada hari ini, dimana sedang berlangsungya COP 22 di Maroko, penegakan hukum juga tidak menjadi agenda utama oleh pemerintah Indonesia. 

Belum lepas dalam ingatan masyarakat, Pengadilan Tinggi Palembang pada 12 Agustus 2016 memenangkan gugatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas PT. Bumi Mekar Hijau di tingkat banding . Meskipun memenangkan KLHK, namun putusan tersebut jauh dari tuntutan kementerian (Negara) terkait jumlah ganti rugi untuk pemulihan lingkungan dan rasa keadilan untuk masyarakat. Paska putusan tersebut, KLHK mengatakan akan mengajukan kasasi di sejumlah pemberitaan media massa. Namun, hingga kini,rencana dan upaya tersebut belum juga dilakukan. Tentunya sikap ini menjadi pertanyaan besar bagijutaan masyarakat korban baik di sumsel maupun di Indonesia pada umumnya. Apakah ini sebuah kelambanan atau menerima begitu saja dengan keputusan Pengadilan Tinggi Palembang.

Hadi Jatmiko, Direktur Eskekutif WALHI Sumatera Selatan mendesak KLHK untuk segera melakukan kasasi, untuk membuktikan bahwa komitmen Indonesia sungguh-sungguh dalam melawan kejahatan lingkungan hidup. Sebagaimana kita tahu, di Indonesia kebakaran hutan dan lahan merupakan salah satu sumber emisi rumah kaca terbesar. Dimana pelakunya adalah Industri Kehutanan (HTI) dan Perkebunan kelapa sawit.

Praktek buruk industri perkebunan monokultur baik perkebunan sawit maupun pulp and paper (HTI) tidak bisa dilepaskan dari rantai pasok yang melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia. Sebagaimana kita ketahui mereka tidak berdiri sendiri. Melainkan didukung oleh banyak hal, seperti paket kebijakan yang tidak berpihak pada masa depan lingkungan hidup dan manusia didalamnya, lembaga-lembaga keuangan, dan politik internasional yang tidak adil dalam melakukan perlindungan terhadap sumber daya alam.

Di sektor energi, komitmen Inondesia juga sangat lemah. Kebijakan Jokowi untuk mempercepat pembangunan energi terbarukan masih jauh dari harapan. Sumatera Selatan misalnya, proses pembangunan PLTU mulut tambang terus dalam proses pembangunan.  Dengan demikian, pola pembangunan industry ekstraktif melalui batubara masih menjadi pilihan politik kebijakan rezim saat ini. Dapat dipastikan Nawacita Jokowi-JK dalam kedaulatan energi akan mengalami kegagalan, karena masih ketergantungan dengan penggunaan energy fosil kotor (batubara) yang merusak Lingkungan hidup dan mengancam keselamatan Rakyat .

Selain menjadi korban, rakyat hanya dijadikan penonton yang tidak memiliki kewenangan apapun. Tentunya ini disebabkan oleh system politik nasional dan daerah yang juga melanggengkan penindasan secara turun menurun. Padahal, banyak komunitas-komunitas masyarakat yang memiliki praktik yang arif dalam pengelolaan ligkungan hidup. Meskpiun sama sekali tidak tersentuh oleh kehadiran Negara (mandiri) dan terus mengalami keterancaman terhadap ruang hidup, pangan, sosial dan budaya.  

Penurunan emisi adalah salah satu bentuk penyelamatan lingkungan hidup, namun tidak akan berhasil jika penegakan hukum tidak dilakukan dan didahulukan kepada industry perkebunan dan kehutanan serta Industri ekstratif pertambangan. Karena itu merupakan hal yang mendasar dalam memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dan lingkungan hidup, juga dapat memberikan efek jera terhadap pelaku-pelaku kejahatan tersebut. Pemerintah juga harus segara berhenti melakukan pembangunan energy kotor dan beralih ke energy bersih.
Selengkapnya...

Selasa, September 06, 2016

Walhi Sumsel : Addendum Andal PT. OKI Pulp and Paper Mills, Pemaksaan dan Penekanan terhadap sumber daya alam

Bekas Gambut terbakar di dalam Konsesi Perusahaan yang akan memasok PT. OKI Pulp and papers di Kabupaten OKI (Foto : Dokumen Walhi Sumsel ) 


Upaya Addendum Amdal  PT. OKI Pulp and Paper Mils berupa penambahan kapasitas produksi merupakan pemaksaan dan penekanan terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Berdasarkan catatan WALHI Sumsel, perusahaan-perusahaan Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HT) penyuplai PT. OKI Pulp and Papers Mills merupakan perusahaan yang memiliki catatan buruk sejak keberadaannya di Provinsi Sumatera Selatan. Perusahaan tersebut antara lain PT. Bumi Andalas Permai, PT. Sebangun Bumi Andalas, PT. Bumi Mekar Hijau, PT. Rimba Hutani Mas, PT. Sumber Permai, dan PT. Tripupa Jaya. Perusahaan penyuplai tersebut telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum, salah satunya adalah adanya kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesinya.
Adanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di atas juga merupakan bukti ketidakmampuannya mengelola sumber daya alam secara keberlanjutan. Diawal rencana pembangunannya, WALHI Sumatera Selatan sudah menolak dengan tegas keberadaan industri bubur kertas tersebut. Izin Lingkungan yang sebelumnya diberikan (tahun 2015) merupakan pemaksaan kebijakan yang sesungguhnya tidak patut diberikan. Seharusnya pemerintah melihat kondisi yang ada secara menyeluruh, tidak hanya mengenai keberadaan pabrik tersebut. Bagaimana mungkin Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan memberikan izin lingkungan kepada suatu perusahaan (pabrik) pembuatan bubur kertas yang di pasok oleh perusahaan-perusahaan yang melakukan perbuatan melawan hukum. Antara lain Undang-Undang No 41 tahun 2009 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perusahaan
Hotspot
2015
2014
PT. Bumi Andalas Permai
5367
592
PT. Bumi Mekar Hijau
2953
2844
PT. Bumi Persada Permai
99
15
PT. Rimba Hutani Mas
1889
71
PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries
2489
167
PT. Sumber Hijau Permai
9
0
PT. Tri Pupajaya
320
16
Grand Total
13126
3705

Pada kejadian Karhutla di Sumatera Selatan tahun 2015, sebagian besar terjadi wilayah yang terbebani izin. Seperti HTI dan Perkebunan sawit. Sementara mayoritasnya berada di perusahaan-perusahaan pemasok kayu PT. OKI Pulp and Paper Mils.
Nama Perusahaan
Luas kebakaran/ha tahun 2015
PT. Bumi Mekar Hijau
108.028
PT. Bumi Andalas Permai
91.569
PT. Sebangun Bumi Andalas Wood Industries
52.647
PT. Rimba Hutani Mas
28.755
 Luas kebakaran hutan dan lahan di wilayah konsesi pemasok PT. OKI Pulp and Paper Mils (2015/berdasarkan peta indikatif kebakaran)

WALHI Sumsel menilai, bahwa Addendum Andal pembangunan industri dari kapasitas dua juta ton//tahun ke dua juta delapan ratus ribu ton merupakan pemaksaan penghisapan sumber daya alam. Tahun 2015 merupakan bukti nyata, dimana jutaan rakyat Sumatera Selatan terpapar asap. Selain itu, di seluruh wilayah konsesi perusahaan pemasok PT. OKI Pulp and Paper di dadalamnya terdapat wilayah ekologi penting, yakni kawasan ekosistem gambut. Pada kebakaran lahan 2015, terdapat hotspot di gambut pada area konsesi pemasok tersebut.
Tekanan-tekanan lainnya yang dihadapi adalah dipastikan akan terjadinya ekspansi izin-izin hutan tanaman industri (HTI) secara besar-besaran. Karena berdasarkan analisa WALHI Sumsel, luasan konsesi yang dimiliki pemasok tidak akan mencukupi kebutuhan produksi. Jika ekspansi tersebut terjadi, maka akan menimbulkan konflik-konflik baru di masyarakat, karena ruang kelola masyarakat semakin sempit. Bukan tidak mungkin, untuk memenuhi pasokannya (kekuranganya) akan dilakukan cara-cara illegal.
Dengan demikian, sudah seharusnya pemerintah melihat kondisi, fakta-fakta, dan ancaman-ancaman dengan berdirinya maupun rencana penambahan kapasitas produksi PT. OKI Pulp and Paper Mills secara menyeluruh.  
Atas dasar-dasar kondisi di atas, bersama ini WALHI Sumsel menuntut:
  1.      Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dalam hal ini Badan Lingkungan Hidup Provinsi Sumatera    Selatan menolak Addendum Andal PT. OKI Pulp and Paper Mils.
  2.      Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan harus cermat dalam memahami kondisi pengrusakan lingkungan, dan dampak-dampak lainnya akibat ketidakmampuan perusahaan-perusahaan HTI dalam mengelola sumber daya alam. 
   Kontak Person : 
   Hadi Jatmiko Walhi Sumsel Jalan Beliton No 50 B kelurahan 26 Ilir Palembang
   Telp/Fax : 0711361010





Selengkapnya...

Senin, Agustus 29, 2016

Sinarmas Forestry company found guilty of unlawful conduct by High Court over peat fires

The High Court of Palembang announced a ruling on August 12 which overturned the decision of the District Court of Palembang from the end of December last year. The previous ruling had found in favor of PT Bumi Mekar Hijau (BMH) in a civil suit in which it was sued for IDR 7.98 trillion (the equivalent of USD 614.35 million at the approximate current exchange rate of IDR 13,000) by the Indonesian Minister of the Environment and Forestry.
This decision by the high court comes after the Environment and Forestry Minister appealed the lower court’s ruling. The new ruling states that PT BMH did indeed commit an unlawful act with respect to the peat fires that occurred in its concession in 2014.
However, the high court decision has resulted in a lesser punishment than that originally demanded, ordering PT BMH to pay just IDR 78.5 billion in compensation (the equivalent of USD 6.04 million at the approximate current exchange rate of IDR 13,000).
Based on a number of legal documents submitted to the Environment and Forestry Ministry by PT BMH itself, which were later validated by the ministry, the company is a subsidiary of the Sinarmas Forestry group. PT BMH is actually one of several pulpwood plantation companies operating in South Sumatra that fall under the umbrella of Sinarmas Forestry.
“At the very least, the decision of the Palembang High Court is appreciated because it declares that PT BMH did commit an unlawful act related to forest fires," said Hadi Jatmiko, Executive Director of WALHI (Friends of the Earth Indonesia) South Sumatra, in a press release received by foresthints.news.
At the same time, however, WALHI also expressed its disappointment with the high court ruling in that PT BMH has been ordered to compensate only about 1 percent of the total amount for which it was originally sued by the minister.
Hadi lamented that this slap on the wrist in the form of a relatively small fine would not make other companies wary of perpetrating similarly illegal acts. “In our opinion, the high court decision is insufficient in acting as a deterrent.”
In light of this, WALHI is urging the minister to impose administrative sanctions on the Sinarmas Forestry company, specifically by revoking its permit. WALHI feels that such a punishment is justified, given that in 2014 and 2015 peat fires in the PT BMH concession destroyed as much as 160,000 hectares, more than twice the size of Singapore.
Last year, PT BMH continued to contribute to the vast haze that enshrouded the region as a result of peat fires in its concession located in the regency of Ogan Komering Ilir (OKI) in South Sumatra province.
Due to these peat fires in its concession, the minister suspended the operating permit of PT BMH. This decision seemed justified in light of a report by Greenomics Indonesia which laid bare the sheer magnitude of the 2015 peat fires in this concession.
The facts indicate that Sinarmas Forestry companies operating in South Sumatra were among the most significant contributors to last year’s haze. In an effort to tackle this problem, in early January this year President Joko Widodo designated the South Sumatra regencies of OKI and Musi Banyuasin as two of the four priority regencies in terms of peat restoration in the wake of the 2015 peat fires.
Of the Sinarmas Forestry companies which contributed to the terrible haze last year, the majority are situated in peatlands, including in peat domes, scattered among the two peat restoration priority regencies of OKI and Musi Banyuasin. These companies are suppliers of Asia Pulp and Paper (APP).
This is especially relevant seeing that APP's new mill, which is located in OKI regency and expected to begin operating by the end of this year, will rely heavily on raw materials in the form of pulpwood plantation fiber from Sinarmas Forestry companies operating in the two peat restoration priority regencies concerned. These companies, it should be reiterated, were among the greatest culprits for 2015’s suffocating haze.
The evidence for this is made quite clear by data released by the Indonesian government and several NGOs. This data shows that hundreds of thousands of hectares of pulpwood plantations controlled by Sinarmas Forestry companies were burned last year.
The Indonesian Peat Restoration Agency Chief, Nazir Foead, told foresthints.news on Friday (Aug 26) that President Joko Widodo, in a closed door meeting with a number of ministers and ministerial-level officials (Aug 12), reinstructed that management of burned areas be taken over by the state.
World Bank calculations indicate that losses caused by the forest and land fires, and in particular peat fires, of 2015 amounted to USD 16.1 billion. Such an amount unquestionably had an adverse effect on Indonesia’s economic growth last year. In order to avoid a repeat of this, the issue of peat fires deserves serious attention, as is currently being shown by the President.


Sumber : http://m.foresthints.news/sinarmas-forestry-company-found-guilty-of-unlawful-conduct-by-high-court-over-peat-fires
Selengkapnya...

Walhi Sumsel : Penegakan Hukum Perusahaan Pembakar Hutan masih Setengah Hati!


Ringkasan Putusan Pengadilan Tinggi Terkait Banding KLHK VS PT. BMH atas Kasus Kebkaran Hutan seluas 20.000 Ha pada 2014 lalu di Kabupaten Ogan Komering Ilir
Palembang, 28 Agustus 2016. Pengadilan Tinggi Palembang akhirnya mengabulkan materi banding Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas putusan Pengadilan Negeri Palembang yang memenangkan PT. Bumi Mekar Hijau (BMH) terkait perkara kebakaran hutan dan lahan seluas 20.000 Hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada 2014 lalu. Putusan ini juga secara otomatis membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Palembang Nomor: 24/Pdt.G/2015/PN.Plg yang dipimpin oleh Parlas Nababan pada 30 Desember 2015.
Sampai saat ini, WALHI Sumsel masih menunggu salinan dokumen lengkap hasil putusan Pengadilan Tinggi, karena informasi yang didapat melalui situs resmi masih berupa ringkasan. Namun menurut Direktur Eksekutif WALHI Sumsel Hadi Jatmiko, Putusan Pengadilan tinggi yang dipimpin Hakim Mabruq Nur, SH., MH. dengan anggota Agus Hariyadi, SH, MH dan Ketua Majelis 2 Muzaini Achmad,SH., MH setidaknya patut di Apresiasi karena telah menyatakan PT. BMH terbukti bersalah membakar hutan. Walaupun disisi lain mengecewakan, karena jika membaca ringkasan amar putusan Pengadilan Tinggi Palembang pada pokok perkara putusan ini, tergugat/terbanding hanya dituntut membayar ganti rugi 78,5 Milyar atau hanya 1 persen dari jumlah tuntutan Penggugat yang mencapai 7.8 triliun. Nilai ini tidak dapat mencukupi untuk memulihkan hutan dan gambut yang mengalami kerusakan akibat kebakaran didalam Konsesi Perusahaan, yang luasan izinya mencapai 250.000 Hektar atau 5 kali luas kota Palembang.
Dokumen lengkap hasil putusan tersebut menjadi sangat penting untuk diketahui oleh publik secara luas apalagi hal ini diatur dalam Undang Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) Nomor 14 tahun 2008, serta Surat Keputusan Mahkamah Agung Nomor : 1-14/4/KMA/SK/I/2011 terkait Pedoman pelayanan Informasi di pengadilan, jika salinan putusan ini dibuka/dipublikasi dengan cepat maka Publik dapat melihat sejauhmana keadilan ditegakkan, apa dasar pertimbangan hakim dalam mengambil Putusan yang hanya mengabulkan ganti rugi 78,5 milyar,menolak tuntutan Provisi pengugat serta penyitaan aset perusahaan sebagai jaminan.
Putusan ini secara garis besar belum cukup untuk memberikan efek jera kepada PT. BMH, karena selama 5 tahun terakhir didalam konsesinya selalu ditemukan kebakaran. Termasuk di tahun 2016 ini, pantauan satelit masih terdapat hot spot di konsesinya.Ungkap Hadi Jatmiko
Untuk itu ditambahkan oleh Hadi Jatmiko, Jika pemerintah serius menghentikan Karhutlah dan melindungi masyarakat dari Racun asap Karhutlah serta berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan, maka penegakan hukum kejahatan Lingkungan Hidup yang dilakukanperusahaan tidak boleh hanya menunggu kasus di meja hijaukan. Belajar dari pengalaman terhadap penegakan Hukum pidana karhutlah tahun 2015 yang ditangani Kepolisian sumsel, Aparat penegak hukum hanya bernyali mempidana Rakyat/Petani dan masyarakat adat namun takluk berhadapan perusahaan. Maka harus ada tindakan lainnya dari Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), yaitu melakukan langkah hukum lainnya sesuai Undang Undang 32 Tahun 2009 berupa pemberian sanksi Administrasi terhadap PT. BMH yaitu pencabutan izin. apalagi catatan Walhi Sumsel selama tahun 2014-2015 hutan terbakar di konsesi PT. BMH Kurang lebih seluas 160.000 hektar.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia khususnya Sumatera selatan adalah bukti nyata bahwa pemberian penguasaan sumber daya alam dari negara ke korporasi sudah gagal, sudah sepatutnya negara melalui pemerintah pusat maupun di daerah untuk mendorong pengelolaan hutan dan lahan oleh masyarakat segera dengan mempermudah proses izin pengelolaan dan Pengakuan Hak masyarakat baik dalam hutan maupun di lahan. Karena tidak diragukan lagi pengelolaan dan penguasaan hutan dan lahan oleh masyarakat terbukti arif dan bijaksana serta mementingkan kesedian dukungan lingkungan yang baik untuk generasi mendatang. Sejalan dengan itu pemerintah harus segera melakukan audit,review, serta pencabutan izin perusahaan Penyebab Konflik, Perampas dan perusak lingkungan hidup. Jika ini dilakukan maka Indonesia adil dan lestari akan segera terwujud. 

Informasi lebih lanjut:
Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif WALHI Sumsel (08127312042)


Catatan untuk Redaktur :
  1.   Ringkasan amar putusan Banding Pengadilan Tinggi Palembang terkait kasus Perdata KLHK vs PT. BMH terdapat di www.infoperkara.pt-palembang.go.id/_homeperdata_detail.php?id=Y1cyCmJW dan diakses Walhi Sumsel pada 26 Agustus 2016, Pukul 15.53 Wib
  2. Terkait kasus Pidana Karhutlah 2015 dari 38 Perkara yang di tangani oleh POLDA Sumsel dan Polres hanya 8 kasus yang tersangkanya Perusahaan, 1 Kasusnya telah di SP 3 dengan alasan tidak cukup Bukti. Sisanya 15 kasus masih dalam penyelidikan sehingga belum ada tersangka baik perusahaan maupun Individu dan 15 kasus lainnya dengan tersangka Individu berupa masyarakat, PNS dan Karyawan Perusahaan. Selanjutnya terkait kasus yang ditangani oleh KLHK hanya 1 Kasus yang masuk pengadilan di Jakarta yaitu Pembakaran yang dilakukan oleh PT. WAJ yang berada di kabupaten OKI sedangkan untuk Perusahaan yang diberikan Sanksi Pembekuan atas Kebakaran Hutan dan lahan pad 2015 lalu sanksinya telah di hentikan.
Selengkapnya...

Rabu, Agustus 24, 2016

Kaburnya Hukum dalam Kabut Asap Kasus Karhutla

Citra Satelit yang menunjukan kebakaran Hutan dan Lahan yang terjadi di PT. BMH pada 2014. (Diolah Walhi Sumsel)


Jakarta-Tahun 2015 pembakaran hutan dan lahan meimnulkan titik api sebanyak 129.000 di seluruh Indonesia, merampas kemardekaan 40 juta penduduk atas udara yang bersih, mengakibatkan kematian 21 orang dan menghentikan aktivitas ekonomi sosial setidaknya 9 provinsi.
Per-Oktober 2015, POLRI menetapkan 247 tersangka. Sebanyak 230 tersangka perseorangan dan 17 korporasi, dari 262 laporan yang diterima. Sedangkan KLHK melakukan pembekuan izin terhadap 16 perusahaan, pencabutan izin  perusahaan serta 10 kasus gugatan hukum. Sementara, perusahaan yang teridikasi terlibat dalam kebakaran massif tahun 2015 mencapai 446 entitas perusahaan yang terdiri dari 308 perusahaan sawit, 71 perusahaan HTI dan 60 perusahaan HPH.
Dalam pandangan WALHI, penegakan hukum menjadi syarat mutlak untuk dapat dilaksanakan pemerintah secara masive, untuk menjalankan kewajibannya memberikan rasa aman dan perlindungan  hak dan akses konstituennya terhadap lingkungan yang baik dan sehat. Selain itu penegakan hukum diharapkan  dapat dijalankan dengan serius dan sistematis untuk dapat menemukan fakta fakta bagi pemerintah dan publik, agar dapat menemukan modus operandi dan solusi nyata bagi penghentian kejahatan lingkungan.
Hanya saja dalam prosesnya, penterjemahan intruksi Presiden dalam pelaksanaan penegakan hukum masih jauh dari dari fungsinya sebagai panglima pemenuhan rasa adil bagi rakyat, justru kemudian menjadi bagian yang digunakan oleh korporasi menjalankan skenario penggunaan api untuk menggusur hak dan akses rakyat terhadap ruang dan sumber dayanya, dan menyasar pelaku utamanya adalah masyarakat.  Di level daerah, Instruksi Presiden untuk mengurangi kebakaran dan kabut asap telah ditumpangi agenda korporasi, bekerjasama dengan aparatus daerah untuk membebaskan diri dari tuduhan sebagai penjahat lingkungan. Pemerintah menegasikan 60% penduduk Kalimantan Barat adalah petani dan Masyarakat Adat. Kapolda Kalimantan Barat mengeluarkan maklumat pelarangan membakar bagi siapa saja tanpa terkecuali. Dan aparat TNI bersenjata lengkap melakukan patroli keliling kampung mencari dan menangkap masyarakat yang hendak membakar ladangnya. Selain berhasil menegaskan posisi masyarakat sebagai pelaku utama penyebab kebakaran, praktik buruk korporasi akan terus dilanggengkan. Bukannya melakukan penegakan hukum kepada korporasi, Pemda lebih sibuk memfasilitasi dan meresmikan program desa siaga api yang diinisiasi oleh korporasi.
Direktur WALHI Kalimantan Timur, Fathur Raziqin mengatakan bahwa “Konflik wilayah kelola rakyat (ladang) yang bersinggungan dengan konsesi dibiarkan berlarut-larut hingga kini, hanya karena perusahaan tersebut dikenakan sanksi lalu berusaha mengkriminalisasi masyarakat di sekitar konsesi sebagai upaya pengalihan tanggungjawab terjadinya kebakaran di wilayah konsesi. Peristiwa Karhutla 2015 di Kaltim mengindikasikan lemahnya posisi pemerintah daerah dalam mengontrol aktivitas perusahaan. Tidak hanya penegakan hukum, kepatutan perusahaan pemegang konsesi juga seharunya menjadi pintu masuk untuk memperbaiki tata kelola perijinan. Sehingga moratorium yang sedang berjalan tidak sedang memberikan keistimewaan perusahaan untuk menghindarkan dari tanggunjawabnya. Dan membiarkan masyarakat berhadap-hadapan dengan perilaku buruk perusahaan”.
Dari peran dan progres  hukum terhadap pelaku kejahatan lingkungan hingga saat ini, WALHI Melihat tumpulnya fungsi hukum selain dipengaruhi oleh penyimpangan fungsi dan rendahnya kapasitas pada lembaga penegak hukum, juga dipengaruhi oleh terbentuknya celah penghentian proses pada tahapan proses hukum karena proses penyelidikan, penyidikan hingga tuntutan terpisah pada lembaga yang berbeda.
“SP3 kasus tersangka 15 korporasi di Riau menunjukkan melemahnya komitmen negara melawan asap dan menjadi preseden yang buruk terhadap kinerja penegakan hukum untuk menuntaskan persoalan asap yang terjadi selama ini. SP3 kepada korporasi ini menunjukkan penegak hukum takluk kepada pemodal dan di mata publik sekali lagi terbukti bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas”, tegas Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau.
Lemahnya sistem, materi dan sumberdaya penegakan hukum di Indonesia terhadap white coral crime dalam kasus karhutla terlihat gamblang pada arah penegakan hukum yang menyasar masyarakat kecil dan pengaburan proses terhadap korporasi dalam bentuk SP3 kasus kasus pembakaran lahan oleh perusahaan. Proses SP3 massal oleh Polda Riau terhadap korporasi bukan kali ini saja, tahun 2008 yang lalu, SP3 juga diterbitkan terhadap 14 perusahaan pelaku Illegal Loging di Riau, bahkan 3 dari 14 perusahaan tersebut tahun 2015 ini menjadi bagian dari 15 Perusahaan yang mendapat SP3 dalam kasus pembakaran hutan.
“Penegakan hukum kepada korporasi yang sengaja membakar ataupun lahannya terbakar di Kalimantan Barat belum dilakukan dengan serius. Selain persoalan rendahnya kapasitas penegak hukum dalam menemukan alat bukti yang selalu saja menjadi alasan penghentian penyidikan dan penyelidikan kasus karhutla, tidak adanya komitmen penegakkan hukum kepada korporasi adalah refleksi dari tidak adanya niat negara untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit dan investasi skala besar berbasis hutan dan lahan”, demikian disampaikan Direktur WALHI Kalbar, Anton Priyani Widjaya.
Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumatera Selatan menyatakan “lemahnya penegakan hukum terhdap korporasi, khususnya group-group besar. Dari data yang diolah WALHI Sumsel menunjukkan bahwa Aparat penegak hukum baik Kepolisian maupun KLHK sampai saat ini hanya bertaring kepada masyarakat/Individu namun menjadi macan Ompong ketika berhadapan dengan Koorporasi (38 kasus ditangani Polda 26 kasus adalah kasus individu). Contoh kasus Pembakaran hutan seluas 280.999 Hektar yang melibatkan 4 korporasi besar milik Asia Pulp and Paper (APP) di kabupaten OKI dan Kabupaten Musi Banyuasin sampai saat ini tidak tersentuh hukum dan diberi sanksi, baik administrasi, pidana maupun perdata”. Menolak polusi asap kebakaran hutan dan lahan namun tak bernyali menegakan hukum lingkungan terhadap korporasi adalah bentuk kekerasan dan Kejahatan lingkungan sesungguhnya.
Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI bahwa “komitmen Presiden untuk review perizinan, penegakan hukum, pemulihan dan pengakuan wilayah kelola rakyat tidak mampu diterjemahkan secara benar oleh Kementerian dan Lembaga Negara terkait, termasuk aparat penegak hukum dan lembaga peradilan. Dengan situasi seperti ini, kami mendesak Presiden memimpin langsung penanganan kebakaran hutan dan lahan, khususnya dalam upaya menjerat kejahatan korporasi sesuai dengan komitmennya”.
Dalam hampir dipastikan penegakan hukum pada kejahatan korporasi dalam kebakaran hutan dan lahan gambut berwajah buram, jika upaya penegakan hukum hanya dilakukan secara normatif seperti selama ini. Sehingga diperlukan sebuah terobosan hukum yang dapat menjangkau kejahatan korporasi yang selama ini justru menunggangi kekuasaan atau pengurus negara, termasuk aparat penegak hukum dan pengadilan”. KPK bisa mengambil peran ini dengan menarik korporasi sebagai pelaku dalam kasus-kasus korupsi di sektor SDA yang merugikan negara, rakyat dan lingkungan hidup”.
“Hal yang lain, salah satu terobosan hukum antara lain melalui pengadilan lingkungan hidup, sebuah pengadilan yang khusus yang dibentuk dengan aparat penegak hukum dan peradilan yang memiliki perspektif lingkungan hidup dan kapasitas yang mumpuni dalam menangani tindak kejahatan korporasi, khususnya group-group perusahaan perkebunan baik sawit maupun HTI”, tutup Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi.  (selesai)
Jakarta, 24 Agustus 2016

Contact Person:
  1. Zenzi Suhadi, Kepala Departemen Kajian, Pembelaan dan Pengembangan Hukum Lingkungan Eksekutif Nasional WALHI di 081384502601
  2.  Anton P Widjaya, Direktur WALHI Kalbar di 0811574476
  3. Riko Kurniawan, Direktur WALHI Riau di 081371302269
  4. Hadi Jatmiko, Direktur WALHI Sumsel di 08127312042
  5. Musri Nauli, Direktur WALHI Jambi 08117463789
  6. Kisworo, Direktur WALHI Kalsel di 081348551100

Catatan untuk Editor:
  1. Di Provinsi Riau, justru 15 Perusahaan di-SP3 oleh Polda Riau pada tahun 2016, setelah kemarahan publik reda oleh proses dan janji hukum tahun 2015. Dari 15 perusahaan yang di-SP3 ini terdiri dari 9 perusahaan HTI, 3 Perusahaan sawit dan 3 perusahaan HPH.
  2. Di Sumatera Selatan berdasarkan data Walhi Sumsel dari 20 Perusahaan HTI dan 70 perusahaan Perkebunan yang pada tahun 2015 lalu melakukan pembakaran Hutan dan lahan hanya 12 kasus yang  di proses hukum. 2 kasus Perusahaan HTI, 10 Kasus lainnya Perusahaan perkebunan. Terkait tahapan hukum dari 12 koorporasi tersebut 3 Perusahaan penyelidikan, 8 Perusahaan Penyidikan sedangkan 1 Perusahaan yaitu PT. PSM yang berada di Kabupaten OKI dilakukan SP3 dengan alasan tidak cukup Bukti. Untuk kasus yang ditangani oleh KLHK hanya 1 Kasus yang masuk pengadilan yaitu Pembakaran yang dilakukan oleh PT. Way Agro Jaya (WAJ) yang berada di kabupaten OKI
  3. Provinsi Jambi, dari kebakaran yang melanda 7 kabupaten di Jambi, melibatkan 46 perusahaan sawit, dari  23 laporan yang masuk di Polda Jambi, proses hukum berjalan terhadap 27 kasus perseorangan yang kini sudah masuk proses persidangan dan 6 perusahaan dalam proses penyidikan.
  4. Di Kalimantan Barat, Polda Kalimantan Barat melakukan penyelidikan terhadap 35 perusahaan pada tahun 2015, yang menyasar 31 tersangka perseorangan dan 4 penyelidikan terhadap korporasi  12 berkas sudah diserahkan ke Kejaksaan, 4 berkas sudah dinyatakan P-21 sedangkan 7 lainnya  masih dalam tahap penelitian berkas perkara oleh Kejaksaan. Sedangkan 4 kasus mendapatkan surat penghentian penyidikan (SP3) oleh Polda Kalimantan Barat yang meliputi 1 Perusahaan dan 3 individu di SP3 oleh Polda Kalimatan Barat.
  5. Di Kalimantan Timur, salah satu perusahaan HTI yang dijatuhkan sanksi paksaan oleh KLHK dalam Karhutla 2015 PT ITCI Hutani Manunggal (IHM), sanksi paksaan oleh KLHK untuk wilayah konsesi mereka yang terjadi kebakaran di areal konsesi yang berada di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara. Sementara itu dalam bulan yang sama (november 2015), PT IHM melaporkan 2 (dua) masyarakat Desa Lung Anai dengan ke Polres Kutai Kartanegara dengan tuduhan membakar konsesi mereka di wilayah Kutai Kartanegera. Akibatnya, 2 warga tersebut hingga kini dijerat oleh Polres Kukar dengan UU 41 Tahun 1999
Selengkapnya...