KBR, Jakarta - Kebakaran hutan di Sumatera Selatan pada 2014
menjadi peristiwa penting yang memicu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
mulai melirik drone sebagai teknologi pemantau kehutanan. Direktur
Walhi
Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mengungkap kala itu, data titik-titik
api
yang disodorkan Walhi tidak pernah diakui oleh pemerintah. Dari situ
mereka kemudian terjun ke lapangan dan mengambil sampel, menerbangkan
drone dan mendapat
rekaman asap tebal keluar dari lahan gambut yang terbakar. Lahan gambut
itu masuk dalam peta
konsesi PT Bumi Mekar Hijau, Grup dari Sinarmas.
Setelah hasil drone itu dipublikasikan,
pemerintah pada akhirnya tak bisa membantah dan mengakui kebakaran
berada di lahan perusahaan. Karenanya Walhi menganggap fungsi drone mampu membantu
penegakkan hukum sekaligus membersihkan nama masyarakat yang selama ini selalu
dituduh sebagai pembakar hutan.
“Pemerintah selalu bilang kalau luasan hutan sangat luas
sementara polisi hutannya sedikit. Dengan drone ini pemerintah tidak akan bisa
beralasan lagi, kurangnya personel dalam mengawasi kawasan hutan yang luas,”
kata Hadi Jatmiko (10/6/2015).
Meski begitu Hadi Jatmiko menyebut, upaya
menjadikan data yang dihasilkan drone sebagai bukti kuat di mata hukum masih
menjadi tantangan. Situasi ini disikapi Walhi dengan menawari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbangkan drone bersama dalam memantau
suatu lokasi hutan yang rusak. Hal ini bertujuan untuk membuktikan bahwa apa
yang direkam drone tidak jauh beda dengan alat bukti yang selama ini
dipakai.
Di lain pihak, para aktivis lingkungan Sahabat
Masyarakat
Pantai (SAMPAN) Kalimantan menyebut drone sebagai Wahana Tanpa Awak
(WTA). Angga dari SAMPAN mengatakan, istilah drone ini seringkali
berkonotasi sebagai alat militer. Sementara, mereka
menggunakan drone untuk memantau manajemen hutan, membantu
penyusunan peta partisipatif
(partisipatory mapping), melengkapi bahan referensi perencanaan potensi desa (land use planning)
serta melakukan survey biodiversity.
Mereka mengaku, hasil visual yang diperoleh alat ini
cukup detail. Resolusi yang didapat antara enam hingga sembilan centimeter
tergantung ketinggian terbang. Tentunya ini membantu upaya memantau kegiatan
perusahaan - perusahaan yang bergerak di sektor oil and palm serta pulp and
paper yang menuntut mereka untuk selalu melihat ke dalam konsesi para
perusahaan tersebut. Keterbatasan akses yang biasanya mereka hadapi pun
teratasi dengan adanya WTA ini.
Sekira 10 ribuan hektar telah terpetakan oleh SAMPAN dengan
WTA. Cerita sukses lain dari SAMPAN dalam mengaplikasikannya WTA adalah
pada saat memantau kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera Selatan. Foto-foto lokasi
kebakaran drone tersebut dibawa ke pengadilan menjadi test case data pendukung
resmi persidangan, meski sampai sekarang masih belum ada pengakuan. Meski
demikian, pemerintah daerah setempat telah mengakui kelebihan teknologi ini
hingga bersedia menggandeng SAMPAN untuk membantu pemetaan dalam penyusunan One Map Provinsi Kalimantan Barat.
Kata Angga, “Mereka sempat mengajak keterlibatan SAMPAN untuk bantu
support dipemenuhan pemetaannya untuk menuju One Map Kalbar.”
Dua tahun sudah SAMPAN bersahabat dengan Wahana Tanpa Awak.
Sejauh ini mereka memiliki total 11 unit WTA Multirotor dan fix-wing dengan
fungsi masing-masing sesuai kebutuhan. Sayang sekali sebagian besar
komponen WTA ini masih harus diimpor karena teknologi ini masih terbilang
baru di Kalimantan. Keterbatasan dana membuat anggota SAMPAN merakit setiap
komponen WTA secara mandiri.
Biaya yang dikeluarkan untuk merakit satu unit
WTA bisa mencapai 20 juta rupiah. Sedangkan dalam mengoperasikannya, diperlukan
tiga orang yang terdiri dari Teknisi, Pengolah data sekaligus Ground Control
System, dan Pilot. SAMPAN berharap WTA ke depan dapat terus membantu kegiatan
advokasi di sektor hutan dan lahan. “Target SAMPAN kedepan WTA bisa bantu
kegiatan di lapangan dan membantu masyarakat,” pungkas Angga.
0 komentar:
Posting Komentar