WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Jumat, Juni 19, 2015

Memantau Hutan dengan Wahana Tanpa Awak


KBR, Jakarta - Kebakaran hutan di Sumatera Selatan pada 2014 menjadi peristiwa penting yang memicu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mulai melirik drone sebagai teknologi pemantau kehutanan. Direktur Walhi Sumatera Selatan, Hadi Jatmiko mengungkap kala itu, data titik-titik api yang disodorkan Walhi tidak pernah diakui oleh pemerintah. Dari situ mereka kemudian terjun ke lapangan dan mengambil sampel, menerbangkan drone dan mendapat rekaman asap tebal keluar dari lahan gambut yang terbakar. Lahan gambut itu masuk dalam peta konsesi PT Bumi Mekar Hijau, Grup dari Sinarmas.
Setelah hasil drone itu dipublikasikan, pemerintah pada akhirnya tak bisa membantah dan mengakui kebakaran berada di lahan perusahaan. Karenanya Walhi menganggap fungsi drone mampu membantu penegakkan hukum sekaligus membersihkan nama masyarakat yang selama ini selalu dituduh sebagai pembakar hutan.
“Pemerintah selalu bilang kalau luasan hutan sangat luas sementara polisi hutannya sedikit. Dengan drone ini pemerintah tidak akan bisa beralasan lagi, kurangnya personel dalam mengawasi kawasan hutan yang luas,” kata Hadi Jatmiko (10/6/2015).
Meski begitu Hadi Jatmiko menyebut, upaya menjadikan data yang dihasilkan drone sebagai bukti kuat di mata hukum masih menjadi tantangan. Situasi ini disikapi Walhi dengan menawari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbangkan drone bersama dalam memantau suatu lokasi hutan yang rusak. Hal ini bertujuan untuk membuktikan bahwa apa yang direkam drone tidak jauh beda dengan alat bukti yang selama ini dipakai.
Di lain pihak, para aktivis lingkungan Sahabat Masyarakat Pantai (SAMPAN) Kalimantan menyebut drone sebagai Wahana Tanpa Awak (WTA). Angga dari SAMPAN mengatakan, istilah drone ini seringkali berkonotasi sebagai alat militer. Sementara, mereka menggunakan drone untuk memantau manajemen hutan, membantu penyusunan peta partisipatif (partisipatory mapping), melengkapi bahan referensi  perencanaan potensi desa (land use planning) serta melakukan survey biodiversity.
Mereka mengaku, hasil visual yang diperoleh alat ini cukup detail. Resolusi yang didapat antara enam hingga sembilan centimeter tergantung ketinggian terbang. Tentunya ini membantu upaya memantau kegiatan perusahaan - perusahaan yang bergerak di sektor oil and palm serta pulp and paper yang menuntut mereka untuk selalu melihat ke dalam konsesi para perusahaan tersebut. Keterbatasan akses yang biasanya mereka hadapi pun teratasi dengan adanya WTA ini.
Sekira 10 ribuan hektar telah terpetakan oleh SAMPAN dengan WTA. Cerita sukses lain dari SAMPAN dalam mengaplikasikannya WTA adalah pada saat memantau kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera Selatan. Foto-foto lokasi kebakaran drone tersebut dibawa ke pengadilan menjadi test case data pendukung resmi persidangan, meski sampai sekarang masih belum ada pengakuan. Meski demikian, pemerintah daerah setempat telah mengakui kelebihan teknologi ini hingga bersedia menggandeng SAMPAN untuk membantu pemetaan dalam penyusunan One Map Provinsi Kalimantan Barat.  Kata Angga, “Mereka sempat mengajak keterlibatan SAMPAN untuk bantu support dipemenuhan pemetaannya untuk menuju One Map Kalbar.”
Dua tahun sudah SAMPAN bersahabat dengan Wahana Tanpa Awak. Sejauh ini mereka memiliki total 11 unit WTA Multirotor dan fix-wing dengan fungsi masing-masing sesuai kebutuhan. Sayang sekali sebagian besar komponen WTA ini masih harus diimpor karena teknologi ini masih terbilang baru di Kalimantan. Keterbatasan dana membuat anggota SAMPAN merakit setiap komponen WTA secara mandiri.
Biaya yang dikeluarkan untuk merakit satu unit WTA bisa mencapai 20 juta rupiah. Sedangkan dalam mengoperasikannya, diperlukan tiga orang yang terdiri dari Teknisi, Pengolah data sekaligus Ground Control System, dan Pilot. SAMPAN berharap WTA ke depan dapat terus membantu kegiatan advokasi di sektor hutan dan lahan. “Target SAMPAN kedepan WTA bisa bantu kegiatan di lapangan dan membantu masyarakat,” pungkas Angga.



Artikel Terkait:

0 komentar: