WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Juni 15, 2015

Perber 4 Menteri, Belum Seluruh Kepala Daerah Bentuk IP4T

PALEMBANG – Pelaksanaan keputusan bersama empat menteri terkait redistribusi tanah masih belum terlaksana di Provinsi Sumsel. Buktinya, hanya empat kabupaten yang pemerintah daerahnya telah membentuk tim penyelesaian sengketa tanah di kawasan hutan atau disebut tim IP4T.
Hal ini terungkap dalam dialog publik reforma agraria yang diselenggarakan oleh Serikat Petani Sriwijaya (SPS) kemarin. Dalam dialog itu, Wakil Seketaris Jendral Konsorsium Untuk Reforma Agraria, Dewi Kartika menjelaskan semangat keputusan bersama empat menteri yakni menyelesaikan konflik masyarakat yang berada dan sudah melakukan keterikatan dan ketergantungan terhadap lahan hutan. Keputusan empat menteri inipun lahir atas kesepakatan bersama yang dilakukan KPK terhadap 12 menteri yang juga mengharuskan para menteri menyelesaikan sengketa lahan di kawasan kehutanan. Dalam kenyataannya, memang hampir sebagian besar desa yang berada tersebar di Indonesia ternyata berada di atas lahan yang menjadi kawasan hutan.
“Karena itu, dilakukan pembentukan tim IP4T sebagai pelaksaan atas keputusan bersama empat menteri itu. Tapi Di Sumsel ternyata belum semua dibentuk. Kondisi inipun menjadi gambaran nasional, dimana belum seluruh kepala daerah mendukung dan mempercepat pelaksanaan peraturan itu,”terang ia.
Pembentukan tim IP4T yang diketuai oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) ditingkatan daerah, juga memasukkan seluruh unsur mulai dari individu petani, serikat petani, pemerintah daerah, kepala desa, dan lainnnya, termasuk perwakilan pemerintah pusat,  bertujuan melakukan penetapan atas status kawasan hutan. Dalam peraturannnya, kata dia, kepemilikan masyarakat atas lahan hutan dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni kepemilikan individu yang sudah menguasai kawasan hutan lebih dari 20 tahun dan kepemilikan atas lahan hutan bagi masyarakat yang sudah menggarapnya kurang dari 20 tahun. Ada juga pengelolaan bersama (kolektif) kawasan hutan tanpa adanya kepemilikan individu,
“Perber ini mendorong agar konflik di kawasan hutan terselesaikan. Masyarakat yang sudah lama menggarap dan bisa membuktikan aktivitas garapan, ketergantungan hidup, sudah membangun infrastuktur hingga pembuktian penggarapan, berhak memiliki lahannnya,”ungkapnya.
Selama ini, kata ia, sebelum terbit keputusan empat menteri, penyelesaian sengketa lahan atas kawasan hutan sepenuhnya didorong pada ranah hukum (pengadilan). Selain itu, penyelesaian sengketa lahan di kawasan hutan hanya menjadi wilayah kerja kementrian kehutanan. Padahal, dalam perkembangannnya, kawasan hutan yang sudah lama tergarap manusia, juga sudah berubah fungsi bukan lagi menjadi kawasan hutan.
“Inilah kenapa, perlu adanya penyelesaian sengketa lahan dengan pendistribusian lahan benar-benar pada kelompok tani yang benar-benar menggarap. Anggaran untuk pendistribusian inipun ada di pemerintah pusat,”tandasnya.
Akan tetapi meski di OKI sudah terdapat tim tersebut, petani dari SPS OKI, Edi Syahputra, 43 mengatakan saat ini pelaksanaan keputusan bersama empat menteri terletak pada keinginan kepala daerah untuk menyelesaikan konflik lahan masyarakat di kawasan hutan. Baru-baru ini di OKI sudah terbentuk tim IP4T itu akan tetapi penyelesaian konflik lahan hutan juga belum terselesaikan. Salah satu masalahnya, penetapan kawasan yang diperuntukkan bagi masyarakat malah bukan berada di lahan hutan yang selama ini digarap.
“Timnya sudah ada, tapi kepemilikan lahan kami di kawasan hutan juga belum diakui, karena kami (petani), malah ditempatkan (flot) kan pada lahan yang bukan lahan kami,”kata ia.



Artikel Terkait:

0 komentar: