PALEMBANG
– Pelaksanaan keputusan
bersama empat menteri terkait redistribusi tanah masih belum terlaksana di
Provinsi Sumsel. Buktinya, hanya empat kabupaten yang pemerintah daerahnya
telah membentuk tim penyelesaian sengketa tanah di kawasan hutan atau disebut
tim IP4T.
Hal ini
terungkap dalam dialog publik reforma agraria yang diselenggarakan oleh Serikat
Petani Sriwijaya (SPS) kemarin. Dalam dialog itu, Wakil Seketaris Jendral
Konsorsium Untuk Reforma Agraria, Dewi Kartika menjelaskan semangat keputusan
bersama empat menteri yakni menyelesaikan konflik masyarakat yang berada dan
sudah melakukan keterikatan dan ketergantungan terhadap lahan hutan. Keputusan
empat menteri inipun lahir atas kesepakatan bersama yang dilakukan KPK terhadap
12 menteri yang juga mengharuskan para menteri menyelesaikan sengketa lahan di
kawasan kehutanan. Dalam kenyataannya, memang hampir sebagian besar desa yang
berada tersebar di Indonesia ternyata berada di atas lahan yang menjadi kawasan
hutan.
“Karena itu,
dilakukan pembentukan tim IP4T sebagai pelaksaan atas keputusan bersama empat
menteri itu. Tapi Di Sumsel ternyata belum semua dibentuk. Kondisi inipun
menjadi gambaran nasional, dimana belum seluruh kepala daerah mendukung dan
mempercepat pelaksanaan peraturan itu,”terang ia.
Pembentukan
tim IP4T yang diketuai oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) ditingkatan daerah,
juga memasukkan seluruh unsur mulai dari individu petani, serikat petani,
pemerintah daerah, kepala desa, dan lainnnya, termasuk perwakilan pemerintah
pusat, bertujuan melakukan penetapan
atas status kawasan hutan. Dalam peraturannnya, kata dia, kepemilikan
masyarakat atas lahan hutan dapat dibagi dalam tiga bentuk yakni kepemilikan
individu yang sudah menguasai kawasan hutan lebih dari 20 tahun dan kepemilikan
atas lahan hutan bagi masyarakat yang sudah menggarapnya kurang dari 20 tahun.
Ada juga pengelolaan bersama (kolektif) kawasan hutan tanpa adanya kepemilikan
individu,
“Perber ini
mendorong agar konflik di kawasan hutan terselesaikan. Masyarakat yang sudah
lama menggarap dan bisa membuktikan aktivitas garapan, ketergantungan hidup,
sudah membangun infrastuktur hingga pembuktian penggarapan, berhak memiliki
lahannnya,”ungkapnya.
Selama ini,
kata ia, sebelum terbit keputusan empat menteri, penyelesaian sengketa lahan
atas kawasan hutan sepenuhnya didorong pada ranah hukum (pengadilan). Selain
itu, penyelesaian sengketa lahan di kawasan hutan hanya menjadi wilayah kerja
kementrian kehutanan. Padahal, dalam perkembangannnya, kawasan hutan yang sudah
lama tergarap manusia, juga sudah berubah fungsi bukan lagi menjadi kawasan
hutan.
“Inilah
kenapa, perlu adanya penyelesaian sengketa lahan dengan pendistribusian lahan
benar-benar pada kelompok tani yang benar-benar menggarap. Anggaran untuk
pendistribusian inipun ada di pemerintah pusat,”tandasnya.
Akan tetapi
meski di OKI sudah terdapat tim tersebut, petani dari SPS OKI, Edi Syahputra, 43
mengatakan saat ini pelaksanaan keputusan bersama empat menteri terletak pada
keinginan kepala daerah untuk menyelesaikan konflik lahan masyarakat di kawasan
hutan. Baru-baru ini di OKI sudah terbentuk tim IP4T itu akan tetapi
penyelesaian konflik lahan hutan juga belum terselesaikan. Salah satu
masalahnya, penetapan kawasan yang diperuntukkan bagi masyarakat malah bukan
berada di lahan hutan yang selama ini digarap.
“Timnya
sudah ada, tapi kepemilikan lahan kami di kawasan hutan juga belum diakui,
karena kami (petani), malah ditempatkan (flot) kan pada lahan yang bukan lahan
kami,”kata ia.
0 komentar:
Posting Komentar