WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Minggu, Oktober 11, 2009

Reduksi Ekologi Sumatera Selatan; Akar Persoalan dan Solusinya

Penulis :
Anwar sadat Direktur ED WALHI Sumsel

Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa dari 33 Provinsi di tanah air, hingga akhir tahun 2008 terdapat 27 provinsi yang secara serius dan rentan tertimpa bencana banjir dan tanah longsor, dan Sumsel merupakan satu diantaranya.

Pada tahun 2008, WALHI Sumatera Selatan mencatat setidaknya terdapat 41 kali bencana banjir dan longsor yang pernah terjadi di daerah ini – yang tersebar hampir di seluruh wilayah kota/kabupaten di Sumatera Selatan, diantaranya; Palembang, MUBA, MURA, Banyuasin, OKI, Muara Enim, Lahat, Prabumulih, dan OKU Timur. Sementara di tahun 2009, sejak Bulan Januari hingga Bulan April, tercatat sedikitnya terjadi 45 kali bencana, berupa; banjir, longsor, hujan abu, dan badai. Dengan mendasarkan realitas tersebut, dapat disimpulkan bahwa telah terjadi peningkatan bencana ekologis yang luar biasa.

Bencana kebakaran lahan dan hutan merupakan masalah bencana ekologis lainnya yang selalu melanda rakyat Sumatera Selatan. Di tahun 2009 ini saja, Berdasarkan pantauan WALHI Sumsel, setidaknya sejak bulan Mei - 8 September 2009 terdapat 2058 titik api (hotspot). Berbagai dampak dari kebakaran lahan dan hutan yang semakin masif tersebut, telah memekatkan udara di banyak tempat di Sumsel. Dampak dari itu semua, tidak hanya berdampak terhadap kesehatan warga seperti mata perih (iritasi), sesak napas, alergi, sakit kepala, lesu, ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), dan mual terutama yang dialami oleh anak-anak. Menebalnya kabut asap juga menyebabkan terganggunya jalur transportasi dan kenyamanan warga khususnya ketika diperjalanan.

Belum lagi bencana perubahan iklim atau pemanasan global yang saat ini telah begitu dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan laporan Badan Metreologi dan Geofisika (BMG) saat ini telah terjadi kenaikan suhu bumi di Kota Palembang hingga mencapai 34 – 35◦C, dimana dalam keadaan normal suhu permukaan Kota Palembang hanya berkisar antara
23–30◦C.


Punahnya Daya Topang Ekologi Sumsel

Jika kita telaah lebih dalam, rentetan bencana alam yang terus terjadi tersebut tentunya tidaklah berdiri sendiri. Kekeliruan atas praktek pengelolaan sumber daya alam yang diterapkan selama ini dapat ditegaskan adalah penyumbang terbesar bagi kelahiran berbagai bencana alam di daerah ini. Konversi secara masif kawasan hutan alam dan lahan (gambut dan rawa) menjadi perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman industri (HTI), dan berbagai usaha-usaha pertambangan – semakin masif dilangsungkan oleh pemerintah. Pemerintah daerah terus menjanjikan dan memberikan kemudahan bagi kalangan bisnis/pelaku usaha dalam mengurus dan memperoleh perijinan tanpa pernah memperhatikan asfek keberlanjutan ekologi dan daya tahan alam. Salah satu akibatnya kita dapat melihat, bahwa saat ini hutan alam di Sumsel setiap tahunnya terus mengalami penyusutan.

Berdasarkan data dari sumber Dinas Kehutanan Sumsel dalam buku Informasi Pembangunan Kehutanan dan GERHAN, menunjukan bahwa, kawasan hutan yang ada di Sumatera Selatan terdapat 3.777.457 hektar atau 3,4% dari luasan kawasan hutan yang ada di Indonesia. Dari luasan Hutan tersebut terdiri dari; Hutan Lindung memiliki luas 539.645 hektar, Hutan Konservasi 711.778 hektar dan Hutan Produksi 2.525.034 hektar. Dari hasil studi citra satelit tahun 2002 dan tahun 2005, menunjukan bahwa 62,13% dari kawasan hutan atau seluas 2.344.936 ha telah menjadi kawasan yang tidak produktif (tidak berhutan lagi), dan 37,87% atau seluas 1.429.521 ha kawasan hutan yang masih memiliki tegakan/berhutan (Informasi pembangunan kehutanan dan GERHAN - Dishut Provinsi Sumsel, 2005). Dari informasi dan data ini, menunjukan bahwa kondisi Hutan yang ada di Sumatera Selatan sudah mengalami degradasi yang cukup tinggi atau tingkat degradasinya sebesar 100.000 ha per tahun. Untuk kondisi akhir tahun 2008, berdasarkan asumsi di atas kondisi hutan Sumsel hanya tinggal 1.129.000 ha.


Mengurangi Kerusakan Ekologi

Mungkin tidaklah terlalu sulit menyatakan bahwa telah saatnya bagi kita secara kolektif untuk mulai menjaga dan mengurangi kerusakan ekologi, meski dalam prakteknya tentu hal tersebut tidaklah mudah untuk diterapkan. Ambisi memperoleh kejayaan ekonomi dan keuntungan yang melimpah, yang telah berurat nadi dalam praktek pengelolaan SDA selama ini adalah merupakan persoalan mendasar dan terus berlangsung hingga hari ini. Sehingga meski berbagai upaya perbaikan telah dilakukan, hal tersebut senyatanya tidaklah sebanding dengan daya rusak ekologi yang telah diciptakan.

Dalam konteks tersebut, gerakan dan perjuangan penyelamatan ekologi harus terus didesakkan. Memastikan terlaksananya komitmen Pemerintah Daerah untuk mengatasi berbagai persoalan lingkungan, diharapkan tidak hanya akan mampu meminamilisir laju bencana yang terus terjadi, namun juga akan berinfak kepada perbaikan kwalitas kehidupan masyarakat Sumatera Selatan.

Pada akhirnya, selama kekayaan alam di daerah ini terus dieksploitasi tanpa memperhatikan daya dukung dan keberlangsungan ekologi serta ruang eksistensi rakyat, maka dapat dipastikan berbagai bencana struktural (kemiskinan, kesenjangan sosial, dan rentetan bencana alam) akan semakin meluas. Melalui re-orientasi pembangunan, dimana sudah selayak dan saatnya bagi setiap Gubernur/Bupati/Walikota di daerah ini untuk menghormati dan menghargai hak-hak rakyat dan ekologi, tentu struktur keadilan bagi rakyat akan dapat tercipta dan berbagai rentetan bencana alam yang terus terjadi akan semakin terminimalisir.








Artikel Terkait:

0 komentar: