Oleh George Junus Aditjondro(1)
PENGANTAR:
Mana partai yang paling punya jejak rekam peduli lingkungan?
Mana capres & cawapres yang punya jejak rekam peduli lingkungan?
Dari mana para capres & cawapres membiayai kampanye mereka: dari hasil pembalakan liar, konsesi hutan, perkebunan kelapa sawit, perkebunan pulp dan kertas, pertambangan batubara, atau mana dan
dari siapa?
JEJAK REKAM JUSUF KALLA, SALAH SATU CAPRES PARTAI GOLKAR:
Kepentingan JK tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekspansi bisnis keluarga besarnya, karena Indonesia tidak punya peraturan yang melarang konflik kepentingan jabatan publik dengan kepentingan bisnis pribadi dan keluarga serta sahabatnya.
Ada empat kelompok perusahaan yang dikuasai oleh JK (kelompok Bukaka & Hadji Kalla), iparnya, Aksa Mahmud yang Wakil Ketua MPR-RI (kelompok Bosowa), dan adiknya, Halim Kalla (kelompok Intim). Dengan demikian, ekspansi keempat kelompok itu tidak terlepas dari peranan JK dan Aksa Mahmud di arena ekonomi dan politik.
Salah satu spesialisasi kelompok Bukaka dan Hadji Kalla adalah dalam pembangunan PLTA, namun jejak rekam kelompok Bukaka dan kelompok Hadji Kalla di bidang itu tidak begitu bagus: PLTA Poso (rencana 780 MW) mulai dibangun sebelum ada AMDAL yang memenuhi syarat. Juga jaringan SUTET (Saluran Udara Tegangan Eksa Tinggi)nya ke Sulawesi Selatan & Tenggara dibangun tanpa AMDAL.
Di DAS Peusangan di Tanah Gayo, Aceh, “pembebasan” tanah di masa DOM dirasa sangat tidak adil. Tapi ada kemungkinan oposisi rakyat akan dilawan oleh PETA (Pembela Tanah Air), milisi bentukan TNI, yang sekarang membantu TNI melakukan represi terhadap rakyat dan caleg-caleg partai-partai lokal, terutama PA (Partai Aceh) bentukan GAM.
Pembangunan PLTA Peusangan I akan menghancurkan nafkah penduduk yang bertani ikan mas di karamba-karamba di hulu Sungai Peusangan. Mereka sudah dilarang oleh PLN bertani ikan mas di situ, tapi mereka masih bertahan. Belum lagi dampak PLTA Peusangan II nantinya.
Setelah berkunjung ke RRT, JK sangat berambisi mendorong pembangunan 19 PLTU berkapasitas total 10.000 MW di berbagai tempat di Indonesia. Program ini bukan mendorong pengembangan enerji terbarukan yang bersih, tapi justru mendorong pembakaran batubara yang sangat menyumbang pemanasan global. Namun tetap juga program ini didukung oleh JK.
Maklumlah, kelompok-kelompok Bukaka, Bosowa , dan Intim termasuk paket kontraktor pembangunan 19 PLTU itu. Kelompok Bosowa mendapat order pembangunan PLTU Jeneponto di Sulsel, tanpa tender (Rakyat Merdeka, 7 Juni 2006), sedangkan kelompok Intim milik Halim Kalla yang juga salah seorang Komisaris Lion Air akan membangun PLTU berkapasitas 3 x 300 MW di Cilacap, Jateng, dengan bahan baku batubara yang dipasok dari konsesi pertambangan batubara seluas 5.000 ha milik kelompok Intim di Kaltim (GlobeAsia, Sept. 2008, hal. 38).
Setelah 22 DPD Golkar mendukung pencalonan JK sebagai Capres, kita perlu lihat kiprah para pendukung JK di pucuk pimpinan Golkar, seperti Surya Paloh, ketua Dewan Penasehat Golkar. Reputasi Surya Paloh di Aceh di bidang lingkungan sangat buruk, karena Kelompok Media yang dipimpinnya membuka tambang emas, tambang batubaru, dan PLTU di Kabupaten Nagan Raya, Aceh bagian Barat, tanpa AMDAL dan tanpa menghormati pemerintah Gampong dan Mukim, seperti digariskan dalam MoU Helsinki dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
JEJAK REKAM SBY, CAPRES PARTAI DEMOKRAT:
Jejak rekam SBY di bidang lingkungan sangat tersembunyi, sebab SBY ‘hanya’ berperan sebagai pelindung berbagai kelompok bisnis besar, terutama kelompok Artha Graha (AG). T.B. Silalahi, penasehat presiden di bidang pertahanan, juga eksekutif kelompok AG dbp Tomy Winata. Melalui mitra bisnisnya di Sumut, AG mengelola perkebunan kelapa sawit PT First Mujur Plantation di Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu.
Artha Graha juga milik Sugianto Kusuma (‘Aguan’), pemilik PT Agung Sedayu Permai, holding company Agung Sedayu Group.
Artha Graha dan Agung Sedayu Permai banyak membangun gedung perkantoran & perumahan elit, yang tiap hari diiklankan di layar televisi.
Kurang disadari dampak lingkungan properti-properti mewah itu, yaitu:
(a) pembukaan lahannya menggusur rakyat kecil yang terpaksa bermukim di pinggir kali yang sangat tidak sehat;
(b) sangat rakus air tanah (membuat rakyat kecil tergantung pada air kemasan); dan
(c) ikut menyemburkan udara panas yang menaikkan suhu udara kota Jakarta.
Berlindung di balik nama SBY ada dua yayasan, yakni (1) Yayasan Puri Cikeas & (2) Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam.
Orang-orang dekat SBY menjadid pembina atau pengawas yayasan-yayasan itu. Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas = Jero Wacik, Menteri Pariwisata dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Ketua Pengawas Yayasan Nurussalam = Brigjen Kurdi Mustofa, Sekpri SBY.
Adik ipar (Hartanto Eddie Wibowo) dan anak bungsu SBY (Eddy Baskoro Yudhoyono) menjadi fungsionaris Yayasan Nurussalam. Hartanto, bendahara, Baskoro, sekretaris.
Sejumlah pengusaha era Orde Baru menjadi fungsionaris kedua yayasan itu, seperti Sukamdhani dan putera mahkotanya, Hariadi Sukamdani (Sahid Group), serta Tanri Abeng dan anaknya, Emil Abeng, serta Aziz Mochdar (Bimantara). Sukamdhani dan Tanri Abeng di Yayasan Cikeas, sedangkan Aziz Mochdar (ipar Yayuk Habibie, adik bungsu BJ Habibie) di Yayasan Nurusalam.
Ada juga pengusaha yang berlindung di balik fungsionaris Yayasan Nurussalam, seperti Gunawan Yusuf (Makindo), kompetitor Salim Group dalam perkebunan tebu di Lampung.
Menteri Lingkungan era SBY-JK, Rachmat Witoelar, memberikan label hijau kepada beberapa konglomerat perusak lingkungan, yakni RGM, Sinar Mas, dan Freeport Indonesia, Inc.
Ekspansi konglomerat-
konglomerat yang dekat dengan JK (pernah sama-sama jadi penggalang dana Golkar, seperti Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Hartati Murdaya) ikut berekspansi di era SBY-JK, walaupun di tahun-tahun pertama kejatuhan Soeharto mereka masih berhutang besar pada bank-bank negara.
Kelompok Medco yang 60% milik keluarga Arifin Panigoro (40% milik Mitsui & Mitsubishi) berkembang dari migas (Sulteng, Aceh), PLT panas bumi di Sarulla (Sumut), kelapa sawit (Kalteng, Papua), paper dan pulp di Merauke (Papua), s/d rencana PLTN di Jepara (Jateng).
Namun blunder terbesar kroni-kroni JK adalah ekspansi bisnis keluarga Bakrie di bidang energi (Mega Energi Persada, Bumi Resources, Kondur Petroleum) yang mengakibatkan tragedi Lapindo bagi rakyat Jawa Timur, malapetaka lingkungan paling kurang ajar selama rezim SBY-JK!!
JEJAK REKAM MEGAWATI SOEKARNOPUTRI, CAPRES PDI-P:
Sewaktu masih jadi oposisi di era Soeharto, PDI sekutu gerakan lingkungan dalam menentang pembangunan PLTN. Sesudah jadi Presiden, tidak terdengar suara PDI-P di bidang itu.
Setelah Mega jadi Presiden, keluarga Soekarno-Kiemas, Kiemas bersaudara punya 13 SPBU di wilayah Jabodetabek, di antaranya ada yang menerobos jalur hijau.
Goris Keraf, seorang kader PDI-P yang diangkat menjadi Menteri Lingkungan di era Presiden Gus Dur, bersuara keras terhadap perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Misalnya, terhadap PT TPL (Toba Pulp Lestari) dan PT Freeport Indonesia. Tapi akibat desakan rekan-rekan separtai, Keraf tidak bersuara keras lagi.
Setelah diganti oleh Megawati Soekarnoutri dengan Nabiel Makarim, Goris Keraf yang masih dipilih menjadi anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI, ia bahkan tidak bersuara menghadapi rencana tambang emas di P. Lembata, kampung halamannya, walaupun rencana itu ditentang oleh rakyat dan para rohaniwan OFM & SVD.
JEJAK REKAM PRABOWO SUBIANTO, CAPRES GERINDRA:
Dengan mengambilalih konsesi Kiani Group seluas 53 ribu ha dari Bob Hasan, Prabowo ikut melanggengkan penghancuran hutan Kaltim.
Di Aceh, Prabowo & adiknya, Hasyim Djojohadikusumo menguasai hutan seluas 97 ribu ha di Aceh Tengah melalui PT Tusam Hutan Lestari, sumber bahan baku pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh (KKA). Padahal pinus sangat tidak ramah lingkungan.
Di Kaltim, kakak beradik Prabowo & Hashim menguasai lebih dari satu juta hektar konsesi hutan dan tambang batubara, dan masih berencana membuka 700 ribu ha kebun aren (Warta Ekonomi, 9-22 Maret 2009, Laporan Khusus tentang Duet Bisnis & Politik, Hashim Djojohadikusumo & Prabowo Subianto).
Di Papua, Hashim, mengeksplorasi gas dari Blok Rombebai seluas 11.5900 km2 di Kabupaten Yapen , yang diperkirakan memiliki kandungan gas lebih dari 15 trilyun kaki kubik (idem), dan dapat berdampak negatif bagi nelayan di Teluk Sairera.
Masih di Papua, Hashim berencana membuka perkebunan padi (rice estate) seluas 585 ribu ha dan perkebunan aren seluas 800.000 ha di Kabupaten Merauke (idem).
Berarti, bersama adiknya, Hashim Djojohadikusumo, Prabowo Subianto sudah menguasai lebih dari tiga juta hektar perkebunan, konsesi hutan, tambang batubara dan ladang migas dari Aceh sampai ke Papua, dan masih berencana membuka 1,5 juta hektar lagi di Kaltim dan Merauke.
JEJAK REKAM WIRANTO, CAPRES PARTAI HANURA:
Hampir seluruh bisnisnya dijalankan oleh proxies, tanpa menampilkan nama Wiranto. Kalau mau selidiki kekayaannya, sebaiknya selidiki kekayaan pengurus Partai Hanura.
Sejak menjadi Pangdam V Jaya, Wiranto sering mendapat apartemen gratis di berbagai tower (menara pertokoan dan perumahan) mewah. Yang terbaru dan termahal adalah penthouse di Da Vinci Tower di Jl. Jendral Sudirman, milik Antonio (“Tony”) Munafo, Presiden Da Vinci Eropa yang sering datang dari Singapura.
Wirantolah orang yang mendorong pemekaran kembali Kodam yang dulu diciutkan oleh Benny Murdani dari enambelas menjadi sepuluh Kodam. Lewat berbagai pertumpahan darah, Kodam Pattimura dan Kodam Iskandar Muda telah lahir kembali. Setelah konflik Poso, jumlah Batalyon di Sulteng telah dimekarkan dari satu menjadi tiga.
Berbagai bisnis kelabu itu punya dampak lingkungan yang sangat buruk, seperti pembalakan liar di TN Leuser, eksploitasi kayu hitam di Sulteng dan kayu gaharu di Papua Barat, serta perdagangan liar fauna dan flora langka di seluruh Nusantara.
JEJAK REKAM SUTIYOSO:
Sewaktu masih menjadi Gubernur DKI, Sutyoso merintis program Busway (Transjakarta), dengan alasan untuk mengurangi kemacetan dan kepadatan lalulintas di DKI. Kenyataannya, pengambilan satu jalur jalan di rute-rute yang ramai, justru memadatkan lalulintas lain di jalur yang tersisa. Masih diragukan apakah itu mengurangi kemacetan lalulintas dan mengurangi polusi udara.
JEJAK REKAM SULTAN HAMENGKU-BUWONO X, CAPRES PARTAI REPUBLIKAN:
Banyak orang tidak mengetahui bahwa berdasarkan warisan Belanda, Sultan Hamengku Buwono (HB) X menjadi penguasa tanah di seluruh wilayah DIY, bersama Paku Alam. Semua tanah yang bukan milik pribadi orang (eigendom), tergolong SG (Sultan’s Gronden) atau PAG (Paku Alam’s Gronden).
Sultan HB X dan isterinya, Ratu Hemas, tidak punya putera mahkota yang dapat ditahbiskan menjadi Sultan HB XI, sepeninggal HB X, sehingga HB X berusaha mewariskan sesuatu yang lain kepada kelima orang puterinya.
Tiga dari lima orang puteri HB X yang telah menikah, termasuk puteri tertua (Gusti Pembayun) dan puteri kedua, menikah dengan pelaku bisnis. Berbekal tanah kesultanan (SG), puteri-puteri HB X mengikuti jejak sebagian paman mereka, menjadi pebisnis, bermitra dengan orang luar DIY.
Gusti Pembayun menjadi mitra Sampoerna Group, yang telah membangun pabrik rokok di Kabupaten Bantul, menjaring konsumen rakyat bawah, dengan merek Kraton Dalem. Kongsi itu mendapatkan alokasi tanah untuk menanam tembakau di Bantul.
PT JMI (Jogja Magasa Iron), anak perusahaan PT JMM (Jogja Magasa Mining) milik Gusti Pembayun dan pamannya, GBPH Joyokusumo (adik HB X), menjadi mitra Indo Mines Ltd, suatu perusahaan pertambangan Australia yang terdaftar di bursa saham Perth, dalam rencana penambangan pasir besi, yang akan memotong areal sepuluh desa di Kabupaten Kulonprogo, DIY. Rencana itu ditentang rakyat setempat anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo (Koran Tempo, 12 Nov. 2008, 12 Febr. 2009; Direct Action, Agustus 2008).
Ketika ribuan petani anggota PPLP melakukan unjuk rasa di depan Mendagri Mardiyanto dan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Selasa, 17 Maret yang lalu, Freddy Numberi bukannya membela para petani pesisir tersebut. Ia menghimbau para calon korban gusuran proyek pertambangan pasir besi itu untuk “melihat ke depan”, karena kerjasama antara keluarga keratin dan kapitalis Australia itu “menguntungkan beberapa pihak”. “Penolakan warga itu hal biasa”, begitu ia tambahkan. Tampaknya kedua Menteri Kabinet Indonesia Bersatu itu tidak mau mempertimbangkan pertimbangan para petani pesisir, bahwa tanah mereka adalah tanah bersertifikat. Bukan tanah milik Sultan alias Sultan’s Gronden (Harian Yogya, 18 Maret 2009).
KESIMPULAN:
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa tujuh orang calon presiden – SBY, JK, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Wiranto, Sutyoso, dan Sultan HB X -- , tidak dapat diharapkan mengatasi berbagai masalah lingkungan di Indonesia. Apa yang dapat diharapkan dari sudut pemeliharaan kelestarian lingkungan di Nusantara, apabila satu di antara mereka terpilih sebagai Presiden?
Sebaiknya kita mulai perhatikan agenda kampanye para capres dan cawapres alternatif, yang masih aktif dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia, seperti pasangan Rizal Ramli dan Eros Djarot, atau capres yang berasal dari partai-partai mapan, seperti Golkar, tapi berani melawan arus, seperti Marwah Daud Ibrahim dan Judy Chrisnandy.
Namun yang paling penting dan paling baik adalah: pilihlah capres alternatif yang sejak dini berani mengungkapkan siapa calon Menteri Lingkungannya, kemudian pilihlah calon presiden dan calon menteri lingkungan yang punya jejak rekam yang tetap setia pada pelestarian lingkungan, penegakan HAM, dan pemberantasan korupsi di Nusantara.
Yogyakarta, 30 Maret 2009
Catatan Belakang:
(1) Mantan Wakil Ketua Presidium WALHI; mantan Direktur YPMD-Irja; anggota Dewan Penasihat People’s Empowerment Consortium (PEC)
PENGANTAR:
Mana partai yang paling punya jejak rekam peduli lingkungan?
Mana capres & cawapres yang punya jejak rekam peduli lingkungan?
Dari mana para capres & cawapres membiayai kampanye mereka: dari hasil pembalakan liar, konsesi hutan, perkebunan kelapa sawit, perkebunan pulp dan kertas, pertambangan batubara, atau mana dan
dari siapa?
JEJAK REKAM JUSUF KALLA, SALAH SATU CAPRES PARTAI GOLKAR:
Kepentingan JK tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekspansi bisnis keluarga besarnya, karena Indonesia tidak punya peraturan yang melarang konflik kepentingan jabatan publik dengan kepentingan bisnis pribadi dan keluarga serta sahabatnya.
Ada empat kelompok perusahaan yang dikuasai oleh JK (kelompok Bukaka & Hadji Kalla), iparnya, Aksa Mahmud yang Wakil Ketua MPR-RI (kelompok Bosowa), dan adiknya, Halim Kalla (kelompok Intim). Dengan demikian, ekspansi keempat kelompok itu tidak terlepas dari peranan JK dan Aksa Mahmud di arena ekonomi dan politik.
Salah satu spesialisasi kelompok Bukaka dan Hadji Kalla adalah dalam pembangunan PLTA, namun jejak rekam kelompok Bukaka dan kelompok Hadji Kalla di bidang itu tidak begitu bagus: PLTA Poso (rencana 780 MW) mulai dibangun sebelum ada AMDAL yang memenuhi syarat. Juga jaringan SUTET (Saluran Udara Tegangan Eksa Tinggi)nya ke Sulawesi Selatan & Tenggara dibangun tanpa AMDAL.
Di DAS Peusangan di Tanah Gayo, Aceh, “pembebasan” tanah di masa DOM dirasa sangat tidak adil. Tapi ada kemungkinan oposisi rakyat akan dilawan oleh PETA (Pembela Tanah Air), milisi bentukan TNI, yang sekarang membantu TNI melakukan represi terhadap rakyat dan caleg-caleg partai-partai lokal, terutama PA (Partai Aceh) bentukan GAM.
Pembangunan PLTA Peusangan I akan menghancurkan nafkah penduduk yang bertani ikan mas di karamba-karamba di hulu Sungai Peusangan. Mereka sudah dilarang oleh PLN bertani ikan mas di situ, tapi mereka masih bertahan. Belum lagi dampak PLTA Peusangan II nantinya.
Setelah berkunjung ke RRT, JK sangat berambisi mendorong pembangunan 19 PLTU berkapasitas total 10.000 MW di berbagai tempat di Indonesia. Program ini bukan mendorong pengembangan enerji terbarukan yang bersih, tapi justru mendorong pembakaran batubara yang sangat menyumbang pemanasan global. Namun tetap juga program ini didukung oleh JK.
Maklumlah, kelompok-kelompok Bukaka, Bosowa , dan Intim termasuk paket kontraktor pembangunan 19 PLTU itu. Kelompok Bosowa mendapat order pembangunan PLTU Jeneponto di Sulsel, tanpa tender (Rakyat Merdeka, 7 Juni 2006), sedangkan kelompok Intim milik Halim Kalla yang juga salah seorang Komisaris Lion Air akan membangun PLTU berkapasitas 3 x 300 MW di Cilacap, Jateng, dengan bahan baku batubara yang dipasok dari konsesi pertambangan batubara seluas 5.000 ha milik kelompok Intim di Kaltim (GlobeAsia, Sept. 2008, hal. 38).
Setelah 22 DPD Golkar mendukung pencalonan JK sebagai Capres, kita perlu lihat kiprah para pendukung JK di pucuk pimpinan Golkar, seperti Surya Paloh, ketua Dewan Penasehat Golkar. Reputasi Surya Paloh di Aceh di bidang lingkungan sangat buruk, karena Kelompok Media yang dipimpinnya membuka tambang emas, tambang batubaru, dan PLTU di Kabupaten Nagan Raya, Aceh bagian Barat, tanpa AMDAL dan tanpa menghormati pemerintah Gampong dan Mukim, seperti digariskan dalam MoU Helsinki dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh.
JEJAK REKAM SBY, CAPRES PARTAI DEMOKRAT:
Jejak rekam SBY di bidang lingkungan sangat tersembunyi, sebab SBY ‘hanya’ berperan sebagai pelindung berbagai kelompok bisnis besar, terutama kelompok Artha Graha (AG). T.B. Silalahi, penasehat presiden di bidang pertahanan, juga eksekutif kelompok AG dbp Tomy Winata. Melalui mitra bisnisnya di Sumut, AG mengelola perkebunan kelapa sawit PT First Mujur Plantation di Tapanuli Selatan dan Labuhan Batu.
Artha Graha juga milik Sugianto Kusuma (‘Aguan’), pemilik PT Agung Sedayu Permai, holding company Agung Sedayu Group.
Artha Graha dan Agung Sedayu Permai banyak membangun gedung perkantoran & perumahan elit, yang tiap hari diiklankan di layar televisi.
Kurang disadari dampak lingkungan properti-properti mewah itu, yaitu:
(a) pembukaan lahannya menggusur rakyat kecil yang terpaksa bermukim di pinggir kali yang sangat tidak sehat;
(b) sangat rakus air tanah (membuat rakyat kecil tergantung pada air kemasan); dan
(c) ikut menyemburkan udara panas yang menaikkan suhu udara kota Jakarta.
Berlindung di balik nama SBY ada dua yayasan, yakni (1) Yayasan Puri Cikeas & (2) Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam.
Orang-orang dekat SBY menjadid pembina atau pengawas yayasan-yayasan itu. Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas = Jero Wacik, Menteri Pariwisata dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Ketua Pengawas Yayasan Nurussalam = Brigjen Kurdi Mustofa, Sekpri SBY.
Adik ipar (Hartanto Eddie Wibowo) dan anak bungsu SBY (Eddy Baskoro Yudhoyono) menjadi fungsionaris Yayasan Nurussalam. Hartanto, bendahara, Baskoro, sekretaris.
Sejumlah pengusaha era Orde Baru menjadi fungsionaris kedua yayasan itu, seperti Sukamdhani dan putera mahkotanya, Hariadi Sukamdani (Sahid Group), serta Tanri Abeng dan anaknya, Emil Abeng, serta Aziz Mochdar (Bimantara). Sukamdhani dan Tanri Abeng di Yayasan Cikeas, sedangkan Aziz Mochdar (ipar Yayuk Habibie, adik bungsu BJ Habibie) di Yayasan Nurusalam.
Ada juga pengusaha yang berlindung di balik fungsionaris Yayasan Nurussalam, seperti Gunawan Yusuf (Makindo), kompetitor Salim Group dalam perkebunan tebu di Lampung.
Menteri Lingkungan era SBY-JK, Rachmat Witoelar, memberikan label hijau kepada beberapa konglomerat perusak lingkungan, yakni RGM, Sinar Mas, dan Freeport Indonesia, Inc.
Ekspansi konglomerat-
konglomerat yang dekat dengan JK (pernah sama-sama jadi penggalang dana Golkar, seperti Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Hartati Murdaya) ikut berekspansi di era SBY-JK, walaupun di tahun-tahun pertama kejatuhan Soeharto mereka masih berhutang besar pada bank-bank negara.
Kelompok Medco yang 60% milik keluarga Arifin Panigoro (40% milik Mitsui & Mitsubishi) berkembang dari migas (Sulteng, Aceh), PLT panas bumi di Sarulla (Sumut), kelapa sawit (Kalteng, Papua), paper dan pulp di Merauke (Papua), s/d rencana PLTN di Jepara (Jateng).
Namun blunder terbesar kroni-kroni JK adalah ekspansi bisnis keluarga Bakrie di bidang energi (Mega Energi Persada, Bumi Resources, Kondur Petroleum) yang mengakibatkan tragedi Lapindo bagi rakyat Jawa Timur, malapetaka lingkungan paling kurang ajar selama rezim SBY-JK!!
JEJAK REKAM MEGAWATI SOEKARNOPUTRI, CAPRES PDI-P:
Sewaktu masih jadi oposisi di era Soeharto, PDI sekutu gerakan lingkungan dalam menentang pembangunan PLTN. Sesudah jadi Presiden, tidak terdengar suara PDI-P di bidang itu.
Setelah Mega jadi Presiden, keluarga Soekarno-Kiemas, Kiemas bersaudara punya 13 SPBU di wilayah Jabodetabek, di antaranya ada yang menerobos jalur hijau.
Goris Keraf, seorang kader PDI-P yang diangkat menjadi Menteri Lingkungan di era Presiden Gus Dur, bersuara keras terhadap perusahaan-perusahaan perusak lingkungan. Misalnya, terhadap PT TPL (Toba Pulp Lestari) dan PT Freeport Indonesia. Tapi akibat desakan rekan-rekan separtai, Keraf tidak bersuara keras lagi.
Setelah diganti oleh Megawati Soekarnoutri dengan Nabiel Makarim, Goris Keraf yang masih dipilih menjadi anggota Fraksi PDI-P di DPR-RI, ia bahkan tidak bersuara menghadapi rencana tambang emas di P. Lembata, kampung halamannya, walaupun rencana itu ditentang oleh rakyat dan para rohaniwan OFM & SVD.
JEJAK REKAM PRABOWO SUBIANTO, CAPRES GERINDRA:
Dengan mengambilalih konsesi Kiani Group seluas 53 ribu ha dari Bob Hasan, Prabowo ikut melanggengkan penghancuran hutan Kaltim.
Di Aceh, Prabowo & adiknya, Hasyim Djojohadikusumo menguasai hutan seluas 97 ribu ha di Aceh Tengah melalui PT Tusam Hutan Lestari, sumber bahan baku pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh (KKA). Padahal pinus sangat tidak ramah lingkungan.
Di Kaltim, kakak beradik Prabowo & Hashim menguasai lebih dari satu juta hektar konsesi hutan dan tambang batubara, dan masih berencana membuka 700 ribu ha kebun aren (Warta Ekonomi, 9-22 Maret 2009, Laporan Khusus tentang Duet Bisnis & Politik, Hashim Djojohadikusumo & Prabowo Subianto).
Di Papua, Hashim, mengeksplorasi gas dari Blok Rombebai seluas 11.5900 km2 di Kabupaten Yapen , yang diperkirakan memiliki kandungan gas lebih dari 15 trilyun kaki kubik (idem), dan dapat berdampak negatif bagi nelayan di Teluk Sairera.
Masih di Papua, Hashim berencana membuka perkebunan padi (rice estate) seluas 585 ribu ha dan perkebunan aren seluas 800.000 ha di Kabupaten Merauke (idem).
Berarti, bersama adiknya, Hashim Djojohadikusumo, Prabowo Subianto sudah menguasai lebih dari tiga juta hektar perkebunan, konsesi hutan, tambang batubara dan ladang migas dari Aceh sampai ke Papua, dan masih berencana membuka 1,5 juta hektar lagi di Kaltim dan Merauke.
JEJAK REKAM WIRANTO, CAPRES PARTAI HANURA:
Hampir seluruh bisnisnya dijalankan oleh proxies, tanpa menampilkan nama Wiranto. Kalau mau selidiki kekayaannya, sebaiknya selidiki kekayaan pengurus Partai Hanura.
Sejak menjadi Pangdam V Jaya, Wiranto sering mendapat apartemen gratis di berbagai tower (menara pertokoan dan perumahan) mewah. Yang terbaru dan termahal adalah penthouse di Da Vinci Tower di Jl. Jendral Sudirman, milik Antonio (“Tony”) Munafo, Presiden Da Vinci Eropa yang sering datang dari Singapura.
Wirantolah orang yang mendorong pemekaran kembali Kodam yang dulu diciutkan oleh Benny Murdani dari enambelas menjadi sepuluh Kodam. Lewat berbagai pertumpahan darah, Kodam Pattimura dan Kodam Iskandar Muda telah lahir kembali. Setelah konflik Poso, jumlah Batalyon di Sulteng telah dimekarkan dari satu menjadi tiga.
Berbagai bisnis kelabu itu punya dampak lingkungan yang sangat buruk, seperti pembalakan liar di TN Leuser, eksploitasi kayu hitam di Sulteng dan kayu gaharu di Papua Barat, serta perdagangan liar fauna dan flora langka di seluruh Nusantara.
JEJAK REKAM SUTIYOSO:
Sewaktu masih menjadi Gubernur DKI, Sutyoso merintis program Busway (Transjakarta), dengan alasan untuk mengurangi kemacetan dan kepadatan lalulintas di DKI. Kenyataannya, pengambilan satu jalur jalan di rute-rute yang ramai, justru memadatkan lalulintas lain di jalur yang tersisa. Masih diragukan apakah itu mengurangi kemacetan lalulintas dan mengurangi polusi udara.
JEJAK REKAM SULTAN HAMENGKU-BUWONO X, CAPRES PARTAI REPUBLIKAN:
Banyak orang tidak mengetahui bahwa berdasarkan warisan Belanda, Sultan Hamengku Buwono (HB) X menjadi penguasa tanah di seluruh wilayah DIY, bersama Paku Alam. Semua tanah yang bukan milik pribadi orang (eigendom), tergolong SG (Sultan’s Gronden) atau PAG (Paku Alam’s Gronden).
Sultan HB X dan isterinya, Ratu Hemas, tidak punya putera mahkota yang dapat ditahbiskan menjadi Sultan HB XI, sepeninggal HB X, sehingga HB X berusaha mewariskan sesuatu yang lain kepada kelima orang puterinya.
Tiga dari lima orang puteri HB X yang telah menikah, termasuk puteri tertua (Gusti Pembayun) dan puteri kedua, menikah dengan pelaku bisnis. Berbekal tanah kesultanan (SG), puteri-puteri HB X mengikuti jejak sebagian paman mereka, menjadi pebisnis, bermitra dengan orang luar DIY.
Gusti Pembayun menjadi mitra Sampoerna Group, yang telah membangun pabrik rokok di Kabupaten Bantul, menjaring konsumen rakyat bawah, dengan merek Kraton Dalem. Kongsi itu mendapatkan alokasi tanah untuk menanam tembakau di Bantul.
PT JMI (Jogja Magasa Iron), anak perusahaan PT JMM (Jogja Magasa Mining) milik Gusti Pembayun dan pamannya, GBPH Joyokusumo (adik HB X), menjadi mitra Indo Mines Ltd, suatu perusahaan pertambangan Australia yang terdaftar di bursa saham Perth, dalam rencana penambangan pasir besi, yang akan memotong areal sepuluh desa di Kabupaten Kulonprogo, DIY. Rencana itu ditentang rakyat setempat anggota Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) Kulonprogo (Koran Tempo, 12 Nov. 2008, 12 Febr. 2009; Direct Action, Agustus 2008).
Ketika ribuan petani anggota PPLP melakukan unjuk rasa di depan Mendagri Mardiyanto dan Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, Selasa, 17 Maret yang lalu, Freddy Numberi bukannya membela para petani pesisir tersebut. Ia menghimbau para calon korban gusuran proyek pertambangan pasir besi itu untuk “melihat ke depan”, karena kerjasama antara keluarga keratin dan kapitalis Australia itu “menguntungkan beberapa pihak”. “Penolakan warga itu hal biasa”, begitu ia tambahkan. Tampaknya kedua Menteri Kabinet Indonesia Bersatu itu tidak mau mempertimbangkan pertimbangan para petani pesisir, bahwa tanah mereka adalah tanah bersertifikat. Bukan tanah milik Sultan alias Sultan’s Gronden (Harian Yogya, 18 Maret 2009).
KESIMPULAN:
Dari uraian di atas, tampaklah bahwa tujuh orang calon presiden – SBY, JK, Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Wiranto, Sutyoso, dan Sultan HB X -- , tidak dapat diharapkan mengatasi berbagai masalah lingkungan di Indonesia. Apa yang dapat diharapkan dari sudut pemeliharaan kelestarian lingkungan di Nusantara, apabila satu di antara mereka terpilih sebagai Presiden?
Sebaiknya kita mulai perhatikan agenda kampanye para capres dan cawapres alternatif, yang masih aktif dalam gerakan pro-demokrasi di Indonesia, seperti pasangan Rizal Ramli dan Eros Djarot, atau capres yang berasal dari partai-partai mapan, seperti Golkar, tapi berani melawan arus, seperti Marwah Daud Ibrahim dan Judy Chrisnandy.
Namun yang paling penting dan paling baik adalah: pilihlah capres alternatif yang sejak dini berani mengungkapkan siapa calon Menteri Lingkungannya, kemudian pilihlah calon presiden dan calon menteri lingkungan yang punya jejak rekam yang tetap setia pada pelestarian lingkungan, penegakan HAM, dan pemberantasan korupsi di Nusantara.
Yogyakarta, 30 Maret 2009
Catatan Belakang:
(1) Mantan Wakil Ketua Presidium WALHI; mantan Direktur YPMD-Irja; anggota Dewan Penasihat People’s Empowerment Consortium (PEC)
0 komentar:
Posting Komentar