WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Maret 05, 2009

Siaran pers ED WALHI Sumsel : “Gubernur Tidak Jeli Melihat Realitas Lingkungan Hidup Di Sumsel”

Menyikapi pernyataan Gubernur Sumsel Ir. H Alex Noerdin SH di media harian (4/3), mengenai kondisi lingkungan yang rusak akibat ulah perusahaan besar. Bahwa Gubernur menghimbau kepada perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan, energi, perkebunan dan perhutanan di Sumsel dapat ikut menjaga kelestarian lingkungan. Menurut WALHI, semestinya Gubernur Sumsel tidak perlu memberikan himbauan dengan cara bersilahturahmi kepada pelaku usaha. Melainkan harus melaksanakan penegakan hukum kepada perusahaan yang terbukti melakukan pelanggaran kemanusiaan ataupun perusakan lingkungan akibat kegiatan usahanya.


Bahwa apa yang dinyatakan oleh Gubernur Sumsel mengenai kondisi hutan yang rusak sebenarnya bukanlah sebuah kondisi yang baru bagi Sumatera Selatan. Apalah artinya kalau hanya sekedar memberikan himbauan kepada pengusaha, sementara paraktek eksploitasi SDA terus saja terjadi, dan adanya pemakluman ketika terjadi pelanggaran hukum, serta diberikannya berbagai kemudahan bagi kalangan pengusaha dalam memperoleh perizinan. Tentunya kondisi itu akan tatap saja memperpanjang rentetan kerusakan lingkungan di Sumsel. Berikut beberapa fakta kerusakan lingkungan yang terjadi di Sumatera Selatan;

Pencemaran
Beberapa kasus pencemaran yang muncul di tahun 2008, lebih banyak dilakukan oleh berbagai aktifitas perusahaan dan industri seperti Migas dan Crude Palm Oil (pengolahan minyak sawit). Dalam catatan WALHI Sumsel, telah terjadi 11 kali pencemaran, yang diantaranya diakibatkan oleh kebocoran pipa dan tumpahan minyak (7 kali) dan pencemaran limbah pabrik kelapa sawit (4 kali).

Tumpahan minyak dan kebocoran pipa paling banyak terjadi pada PT. Pertamina. Beberapa kejadian tersebut selain berdampak kepada tercemarnya air sungai (sungai Rebo di Banyuasin I, dan sungai Kelekar di Prabumulih Barat) juga banyak merugikan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial. PT. Elnusa Oilfield Services (PT. EOS) juga pernah mengalami kebocoran pipa. Kejadian yang terjadi di Kelurahan Betung Kabupaten Banyuasin tersebut menyebabkan air-air sumur warga rusak dan tercemarnya sungai Sedompok sehingga menyebabkan ratusan ikan mati.

Demikian pula pencemaran yang terjadi oleh limbah kelapa sawit. Beberapa kali usaha PT. Ciptu Futera (Cifu) telah mencemari Sungai Lagan dan Nau. Atas peristiwa yang telah menyebabkan bau busuk dan matinya ikan di kedua Sungai itu, masyarakat Desa Ulak Bandung Kecamatan Ujan Mas Kabupaten Muara Enim telah melaporkan peristiwa tersebut kepada Pemkab Muara Enim. Hal yang serupa juga dialami oleh masyarakat di Pangkalan Benteng Talang Kelapa Kabupaten Banyuasin. Pencemaran yang dilakukan oleh limbah pabrik juga telah merusak air sungai yang kerap digunakan warga untuk kebutuhan sehari-hari, seperti mandi, minum, dan memasak.

Perkebunan (Kelapa Sawit)
Bahwa ambisi Pemerintah Sumsel yang menargetkan perluasan kebun kelapa sawit pada tahum 2010 yang mencapai 900 ribu hektar, kiranya telah memunculkan berbagai persoalan sosial di lapangan, berupa konflik pertanahan.
Dalam pantauan WALHI Sumsel salah satunya yang terparah terjadi di kawasan hutan Suaka Marga Bentayan, yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Sentosa Mulya Bahagia (SMB), yang berada di Desa Peninggalan dan Desa Simpang Tungkal – Kabupaten MUBA. Perusahaan tersebut telah mencaplok hutan konservasi, yang berdasarkan UU No. 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam, wajib dilindungi.

Hutan Tanaman Industri
Kegiatan usaha hutan tanaman industri (HTI), ikut pula menyokong laju percepatan kerusakan hutan alam di Sumsel. Spirit yang dimunculkan, bahwa HTI merupakan jenis usaha guna memulihkan kondisi hutan tidaklah demikian realitasnya. Tercatat hingga saat ini dengan luas lahan investasi HTI di Sumsel yang mencapai 1.103.870 ha, banyak diantaranya berada di dalam kawasan hutan tropis Sumsel. Umumnya perusahaan HTI tersebut mengawali usahanya dengan mencaplok hutan alam yang masuk ataupun berada di sekitar izin usahanya.
Sebagai contoh, Pada kawasan Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur – Mesuji (OKI) sepanjang tahun 2008, telah dilakukan pembukaan kawasan lindung tersebut menjadi lokasi sarana prasarana bagi kegiatan HTI (group Sinar Mas), berupa: pembukaan kanal Outlet, basecamp, logyard, dengan luas kawasan lindung yang digunakan untuk keperluan tersebut mencapai 190 ha.

Disamping itu, dari sisa hutan produksi alam yang masih cukup baik dan bernilai penting bagi kehidupan liar yang dilindungi serta penyimpan karbon hutan terbesar di Sumatera Selatan (± 47 jutan ton Carbon) adalah Kawasan Hutan Gambut Merang – Kepayang, Kecamatan Bayung Lencir (MUBA) seluas ± 204.000 ha. Namun pada beberapa tempat telah dialokasikan sebagai konsesi HTI, bahkan pada akhir tahun 2006 pada lokasi gambut tebal (feat dome) juga telah dialokasikan menjadi HTI oleh Menteri Kehutanan atas rekomendasi Bupati MUBA dan Gubernur Sumsel seluas 55.150 ha. Sehingga total areal pada kawasan HRGMK yang telah menjadi konsesi HTI adalah seluas 108.945 ha.

Sektor Kehutanan
Laju kerusakan hutan Sumsel saat ini berada pada situasi yang sangat memperihatinkan. Dari luasan kawasan hutan Sumsel yang mencapai 3.777.457 hektar atau 3,4% dari luasan kawasan hutan yang ada di Indonesia, diasumsikan luas hutan Sumsel saat ini hanya tinggal sekitar 1.129.000 ha saja.
Salah satunya pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang menggunakan kawasan Lindung Air Telang seluas 600 ha, juga menjadi catatan penting didalam skenario pengrusakan Hutan Lindung di Sumatera Selatan. Karena pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang telah dimulai pada awal tahun 2008, tidaklah dikaji secara mendalam dampak yang ditimbulkan bagi kawasan lindung dan Taman Nasional Sembilang yang ada di sekitarnya.
Sementara disisi lainnya, perlu difahami bahwa izin pembangunan pelabuhan TAA yang mengkonversi hutan lindung Air Telang merupakan hasil kong-kalingkong antara Pemerintah Daerah ketika itu dan Komisi IV DPR RI. Dengan telah dijatuhkannya vonis hukum tetap terhadap salah satu mantan anggota Komisi IV DPR RI (Sarjan Taher), WALHI Sumsel menegaskan bahwa bahwa perizinan pelabuhan TAA benar-benar bermasalah alias cacat hukum.

Program CSR
Sementara terkait dengan program Corporate Social Responsibility (CSR), berdasarkan penelitian WALHI Sumsel terhadap PT. Medco Energi di Kabupaten Musi Banyuasin (MUBA), bahwa ternyata kehadiran perusahaan melalui program-program CSRnya, justru cendrung banyak memunculkan berbagai persoalan sosial di masyarakat, diantaranya :
 Konflik horizontal antara masyarakat dengan masyarakat dan masyarakat dengan perangkat desa, karena tidak jelasnya mekanisme yang dijalankan oleh perusahaan dan Perangkat Desa dalam melakukan pembagian bantuan kepada masyarakat. Contohnya, bibit karet, anak ayam dan bibit ikan tidak diketahui berapa jumlah bantuan untuk masing-masing orang atau keluarga, sehingga banyak warga yang tidak kebagian bantuan. Ini menimbulkan kecemburuan warga yang tidak mendapatkan terhadap warga yang mendapatkan bantuan.

 Sejak kehadiran perusahaan, banyak perkebunan rakyat yang dijadikan lokasi ekplorasi dan produksi migas, sehingga menyebabkan banyak warga masyarakat kehilangan tanah kehidupannya. Sementara itu, perusahaan tidak melakukan rekrutmen karyawan terhadap warga setempat. Kalaupun terdapat warga setempat atau warga asli yang bisa bekerja di perusahaan hanyalah orang-orang kaya, karena mereka harus mengeluarkan uang pelicin (sogokan) kepada oknum karyawan perusahaan untuk bisa bekerja menjadi karyawan perusahaan. Hal ini menimbulkan kesenjangan antara orang kaya dengan orang miskin.

 Manipulasi dan korupsi dalam pelaksanaan program. Contohnya, pemberian bantuan bibit ikan di Desa Teluk yang berdasarkan janji perusahaan seharusnya mencapai lima puluh ribu ekor bibit. Namun pelaksanaannya hanya tiga puluh ribu ekor bibit, sementara masyarakat yakin bahwa bantuan tersebut sebanyak lima puluh ribu bibit. Manipulasi di sini dilakukan oleh pemerintah desa.

 Konflik horizontal antara masyarakat dengan masyarakat akibat dari aliran air bersih yang tidak sampai ke warga yang rumahnya berada di ujung pipa aliran air, sedangkan untuk warga yang rumahnya berada di pangkal mereka selalu mendapatkan air. Hal ini menimbulkan asumsi dari warga yang tidak kebagian air bersih bahwa aliran air untuk mereka ditutup oleh warga yang mendapatkan air.

Kiranya persoalan dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi selama ini, tidaklah juga mencerminkan adanya perbaikan dan pembenahan ketika masih saja tampak terpampang watak pemerintah yang eksploitatif. Berbagai gambaran persoalan di atas merupakan realitas, bahwa politik ekologi belumlah diletakkan sebagai asfek dasar bagi kebijakan pembangunan di Sumsel. Program CSR yang di terapkan oleh perusahaan merupakan agenda terselubung untuk menguasai dan menguras SDA secara leluasa.


Palembang, 5 Maret 2009







Artikel Terkait:

0 komentar: