Terkait penggusuran
lahan di Desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir (OI) oleh anggotan TNI AD,
Jumat (23/11/2012) lalu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera
Selatan (Sumsel) meminta Pangdam II Sriwijaya untuk segera menarik
pasukannya dari Rengas.
Direktur Eksekutif
WALHI Sumsel, Anwar Sadat menilai, keberadaan TNI disana (Rengas)
sangatlah tidak relevan, karena seperti yang kita tahu, tugas TNI adalah
pengamanan negara dan menjaga asset negara. Jadi keberadaan TNI AD di
Desa Rengas tersebut masih menjadi pertanyaan.
“Memang
saat ini masih ada konflik sengketa antara warga Rengas dan pihak PTPN
VII, akan tetapi tidak terjadi bentrokan. Namun kenapa sampai hari ini
masih ada anggota TNI yang melakukan penjagaan Rengas. Akibatnya warga
menjadi khawatir, dan ini sudah jelas mengganggu aktifitas dalam
memenuhi kebutuhan sehari-hari,” terang Sadat saat di wawancarai BeritAnda.com di kantornya, Senin (26/11/2012).
Lanjut
Sadat, PTPN VII sampai dengan saat ini juga belum dapat di katakan
sebagai aset negara, karena perusahaan tersebut masih banyak masalah,
seperti dari penguasaan lahan yang melebihi ijin usaha.
“Hak
Guna Usaha (HGU) PTPN VII atas lahan hanyalah 6.500 hektar (ha), tetapi
kenyataannya PTPN VII telah menguasai lahan seluas 20 ribu ha lebih.
Nah jadi bila alasan TNI yang berjaga di lahan yang sedang bersengketa
dengan warga tersebut untuk menjaga aset daerah, maka jelas bahwa alasan
tersebut sama sekali tidak tepat,” tandasnya, seraya menambahkan,
keberadaan TNI disana terkesan hanya menjadi ‘bisnis’ bagi militer saja.
“Seperti menjadi keamanan atau melakukan penjagaan di lahan yang sedang
bersengketa,” paparnya.
Sesuai dengan standard operating procedure (SOP)
nya, tambah Sadat, seharusnya keberadaan anggota TNI dalam posisi
diminta atau di Bawah Kendali Operasi (BKO) kan untuk mengamakan bila
terjadi kerusuhan seperti kejadian di Lampung.
“Sedangkan
di Desa Rengas sendiri tidak terjadi kerusahan antara warga dengan
pihak perusahaan. hal inilah yang menimbulkan kesan pegamanan atau
penjagaan di lahan yang sedang bersengketa seolah-olah menjadi ‘bisnis
militer’,” ungkap Sadat.
Proses hukum PTPN VII dan warga baru sekali
Sementara
itu, ditempat terpisah, Kepala Divisi Ekonomi Sosial dan Budaya
(EKOSOB) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, Andri Meilansyah, SH
saat di temui BeritAnda.com mengatakan sejauh
ini konflik Desa Rengas dan PTPN VII, baru satu kali melalui proses
hukum itupun terjadi pada tahun 1996, dimana dua warga Desa Rengas
menuntut untuk mempertahankan lahannya karena mempunyai alasan hak yang
kuat (sertifikat), dan proses hukum ini sampai ke Mahkamah Agung (Kasasi
-red).
“Untuik
proses hukumnya sengketa lahan yang terjadi antara warga Desa Rengas
dan PTPN VII hanya ada satu kali, dan itupun di menangkan oleh warga,
karena terbukti lahan yang di klaim oleh PTPN VII bahwa lahan tersebut
masuk dalam perijinannya terbantahkan karena dua warga tersebut dapat
menunjukan alat bukti kepemilikian yang sah atas lahan tersebut,” jelas
Andri.
Sumber : beritanda.com
0 komentar:
Posting Komentar