WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, November 26, 2012

WALHI Sumsel Desak Pangdam II Sriwijaya Tarik Pasukan dari Rengas

Terkait penggusuran lahan di Desa Rengas, Kabupaten Ogan Ilir (OI) oleh anggotan TNI AD, Jumat (23/11/2012) lalu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Selatan (Sumsel) meminta Pangdam II Sriwijaya untuk segera menarik pasukannya dari Rengas.
Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Anwar Sadat menilai, keberadaan TNI disana (Rengas) sangatlah tidak relevan, karena seperti yang kita tahu, tugas TNI adalah pengamanan negara dan menjaga asset negara. Jadi keberadaan TNI AD di Desa Rengas tersebut masih menjadi pertanyaan.
“Memang saat ini masih ada konflik sengketa antara warga Rengas dan pihak PTPN VII, akan tetapi tidak terjadi bentrokan. Namun kenapa sampai hari ini masih ada anggota TNI yang melakukan penjagaan Rengas. Akibatnya warga menjadi khawatir, dan ini sudah jelas mengganggu aktifitas dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari,” terang Sadat saat di wawancarai BeritAnda.com di kantornya, Senin (26/11/2012).
Lanjut Sadat, PTPN VII sampai dengan saat ini juga belum dapat di katakan sebagai aset negara, karena perusahaan tersebut masih banyak masalah, seperti dari penguasaan lahan yang melebihi ijin usaha.
“Hak Guna Usaha (HGU) PTPN VII atas lahan hanyalah 6.500 hektar (ha), tetapi kenyataannya PTPN VII telah menguasai lahan seluas 20 ribu ha lebih. Nah jadi bila alasan TNI yang berjaga di lahan yang sedang bersengketa dengan warga tersebut untuk menjaga aset daerah, maka jelas bahwa alasan tersebut sama sekali tidak tepat,” tandasnya, seraya menambahkan, keberadaan TNI disana terkesan hanya menjadi ‘bisnis’ bagi militer saja. “Seperti menjadi keamanan atau melakukan penjagaan di lahan yang sedang bersengketa,” paparnya.
Sesuai dengan standard operating procedure (SOP) nya, tambah Sadat, seharusnya keberadaan anggota TNI dalam posisi diminta atau di Bawah Kendali Operasi (BKO) kan untuk mengamakan bila terjadi kerusuhan seperti kejadian di Lampung.
“Sedangkan di Desa Rengas sendiri tidak terjadi kerusahan antara warga dengan pihak perusahaan. hal inilah yang menimbulkan kesan pegamanan atau penjagaan di lahan yang sedang bersengketa seolah-olah menjadi ‘bisnis militer’,” ungkap Sadat.
Proses hukum PTPN VII dan warga baru sekali
Sementara itu, ditempat terpisah, Kepala Divisi Ekonomi Sosial dan Budaya (EKOSOB) Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, Andri Meilansyah, SH saat di temui BeritAnda.com mengatakan sejauh ini konflik Desa Rengas dan PTPN VII, baru satu kali melalui proses hukum itupun terjadi pada tahun 1996, dimana dua warga Desa Rengas menuntut untuk mempertahankan lahannya karena mempunyai alasan hak yang kuat (sertifikat), dan proses hukum ini sampai ke Mahkamah Agung (Kasasi -red).
“Untuik proses hukumnya sengketa lahan yang terjadi antara warga Desa Rengas dan PTPN VII hanya ada satu kali, dan itupun di menangkan oleh warga, karena terbukti lahan yang di klaim oleh PTPN VII bahwa lahan tersebut masuk dalam perijinannya terbantahkan karena dua warga tersebut dapat menunjukan alat bukti kepemilikian yang sah atas lahan tersebut,” jelas Andri.

Sumber : beritanda.com



Artikel Terkait:

0 komentar: