oleh :
S. Rahma Mary
H
Noer Fauzi
Rachman
Awal
Desember 2011, publik Indonesia disentakkan dengan pengaduan perwakilan
masyarakat beberapa desa di Mesuji Lampung kepada wakil rakyat di DPR RI.
Mereka mengadukan peristiwa pembunuhan sekitar 30 orang masyarakat desa di sekitar
perkebunan sawit di Kabupaten Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan. Peristiwa itu terjadi antara 2009-2011.
Wakil masyarakat
menyingkap tabir kejahatan perusahaan-perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman
Industri (HTI) kepada masyarakat disekitar perkebunan kelapa sawit. Pertama, kasus pembunuhan warga Desa
Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, dalam konflik
tanah antara masyarakat dengan PT Sumber Wangi Alam, kedua, kasus
penembakan warga Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung, dan Nipah Kuning, Kecamatan
Mesuji Kabupaten Lampung Utara, dalam konflik tanah antara masyarakat dengan PT
Barat Selatan Makmur Investindo, dan ketiga,
terbunuhnya seorang warga dalam konflik tanah di Register 45 Sungai Buaya
Lampung antara masyarakat Kampung Talang Batu, Talang Gunung dan Labuhan Batin Kecamatan Way Serdang
Kabupaten Mesuji Lampung dengan PT. Silva Inhutani.
Ketiga kasus diatas
tergolong pelanggaran HAM yang dilandasi perampasan tanah masyarakat untuk
perkebunan sawit yang terjadi disekitar tahun 1990-an. Pemerintah menyetujui
permohonan-permohonan ijin pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan Hutan
Tanaman Industri yang diajukan perusahaan-perusahaan itu. Kemudahan memperoleh
ijin lokasi bagi kedua perkebunan sawit dan ijin pengusahaan hutan tanaman
industri untuk PT. Silva Inhutani menjadi permulaan konflik agraria ini.
Konflik agraria di
Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan tersebut, memecah kebekuan atas penanganan ribuan
konflik agraria. Pemerintah lebih banyak mendiamkan konflik-konflik tersebut. Data
yang dihimpun Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum dan Masyarakat (HuMa)
menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir terdapat 108 konflik agraria di
10 provinsi di Indonesia yang didominasi oleh konflik tenurial dikawasan hutan
(69 kasus) dan konflik perkebunan (23 kasus). BPN bahkan mencatat 8000 konflik
agraria di Indonesia. Sementara Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan
kelapa sawit mencapai 663 diseluruh Indonesia. Konflik agraria ini melibatkan
perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, Taman
Nasional, dan Perhutani. HuMa juga mengamati bahwa hampir disetiap konflik,
terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian dan militer. Selain
itu juga keterlibatan preman atau pamswakarsa. Pengusaha menggunakan mereka
untuk mengamankan perusahaan dari tuntutan-tuntutan masyarakat atas tanah yang
dikuasai perusahaan. Aparat keamanan yang seharusnya melindungi dan mengayomi
masyarakat sesuai dengan fungsinya dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang
Kepolisian lebih memilih untuk menjaga kepentingan perusahaan. Masyarakat
penuntut tanah, juga menjadi sasaran yang dikriminalkan aparat kepolisian.
Akar Konflik: Penggunaan dan Penyalahgunaan Kewenangan
Di masa Orde Baru,
terutama disekitar tahun 1980-1997, pemerintah banyak memberikan ijin-ijin
lokasi dan pengusahaan hutan kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak
dibidang perkebunan dan pengusahaan hutan. Dari hasil investigasi Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), diketahui bahwa PT. Barat Selatan
Makmur Investindo (BSMI) mendapatkan ijin lokasi dari Badan Pertanahan Nasional
(BPN) RI pada 1994 untuk tanah seluas 10.000 hektar untuk kebun inti dan 5000
hektar untuk kebun plasma. PT. BSMI lalu memperluas areal kebun sawitnya 2.455
hektar diluar ijin yang dikeluarkan BPN. Ijin pengusahaan hutan juga
dikeluarkan Menteri Kehutanan untuk PT. Silva Inhutani pada 1991 diatas tanah
seluas 32.600 hektar. Sementara PT. Sumber Wangi Alam, diduga mengambil alih
tanah masyarakat Desa Sungai Sodong seluas 1533 hektar untuk perkebunan sawit.
Pemberian ijin-ijin untuk perusahaan-perusahaan tersebut tidak
mempertimbangkan keberadaan penduduk desa yang terlebih dahulu ada diatas
tanah-tanah tersebut. Masyarakat tak dimintai persetujuan atas keluarnya
perijinan tersebut. Pemicu konflik agraria di areal HTI Register 45 Sungai
Buaya adalah karena pemerintah telah memperluas luas kawasan hutan dimana
sebagian tanah itu merupakan tanah adat. Tuntutan penduduk Desa Gunung Batu
untuk pengembalian tanah yang diambil alih perusahaan seluas 7.000 hektar,
hanya dikabulkan pemerintah seluas 2.300 hektar untuk kemudian di enclave dari kawasan HTI. Ironisnya, pihak
perusahaan dan aparat menuduh penduduk desa itu di tuduh sebagai perambah hutan
(Siaran Pers YLBHI, WALHI, Sawit Watch, KPSHK, HuMa, SPI, 16 Desember 2011).
Perampasan tanah oleh
pemerintah dan perusahaan perkebunan, membuat penduduk yang
menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, terusir dari tempat tinggalnya. Padahal, bagi mereka tanah adalah syarat
keberlanjutan kehidupannya. Karena itu, mereka kembali menuntut pengembalian
tanah-tanah adat khususnya setelah masa reformasi 1998. Sayangnya, penuntutan
kembali hak-hak atas tanah oleh masyarakat adat ini direspon secara represif
oleh aparat Negara dan perusahaan.
Kasus Mesuji membukakan mata mengenai betapa mudahnya tanah-tanah
masyarakat beralih menjadi penguasaan perkebunan besar. Masa lalu, sekarang,
dan masa depan, penduduk desa pedalaman, mengalami
penyingkiran melalui penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan pemerintahan
dalam memberikan konsesi dan mengunakan aparatus represifnya. Penyingkiran
rakyat dari tanah model Mesuji ini adalah salah satu bentuk saja dari
bentuk-bentuk penyingkiran lainnya. Hall, Hirsch, dan Li (2011), dalam bukunya Powers of Exclusion mengidentifikasi
beberapa bentuk eksklusi (penyingkiran) masyarakat dari akses terhadap tanah
atas tindakan para aktor yang berkuasa. Keenam bentuk eksklusi itu adalah: (1)
regularisasi akses terhadap tanah melalui program sertifikasi tanah,
formalisasi, dan pemindahan masyarakat, (2) ekspansi ruang dan upaya
intensifikasi untuk mengkonservasi hutan melalui pembatasan pertanian, (3)
datangnya tanaman-tanaman baru secara massif, cepat, dan terjadinya konversi
tanah-tanah untuk produksi tanaman sejenis (monocropped),
(4) konversi lahan untuk penggunaan diluar sektor agraris, (5) proses perubahan
kelas agraria pada skala desa tertentu, dan (6) mobilisasi kolektif untuk
mempertahankan atau menuntut akses tanah dengan mengorbankan pengguna tanah lain
atau penggunaan tanah lainnya.
Kelapa sawit,
menjadi komoditas monokultur andalan Indonesia selama duapuluh tahun terakhir.
Keuntungan besar dan orientasi ekspor komoditas ini membuat pemerintah
mendorong investasi besar-besaran perkebunan kelapa sawit. Terjadilah pembukaan
tanah dan hutan besar-besaran khususnya di wilayah Sumatera. Kebijakan
pemerintah yang pro investasi, mengakibatkan tercerabutnya hak-hak rakyat atas
tanah. Rakyat tersingkir dari ruang hidupnya. Pemerintah menggunakan hukum
negara secara membabi buta sebagai alat pelegitimasi perampasan tanah, dan menegasikan
hukum lokal yang telah ada. Perusahaan, memanfaatkan perijinan tersebut untuk
memperluas areal pengusahaan kelapa sawit.
Dalam
kasus Mesuji, pemerintah sebenarnya telah mengetahui bahwa ada hak-hak penduduk di
atas tanah yang disengketakan itu. Ini terlihat, misalnya dari kewajiban yang
harus dilakukan perusahaan kepada mereka yang tinggal disekitar perkebunan.
Dalam SK yang dikeluarkan, Menteri Kehutanan mewajibkan PT. Silva Inhutani memberikan ijin
kepada masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional dan anggota-anggotanya yang
berada dalam wilayah kerjanya untuk memungut, mengambil, mengumpulkan dan
mengangkut hasil hutan ikutan seperti rotan, madu, sagu, damar, buah-buahan,
getah-getahan, rumput-rumputan, bambu, kulit kayu, untuk memenuhi
kehidupan sehari-harinya. Tetapi ‘niat baik’ ini sudah didahului dengan penyalahgunaan
kewenangan berupa penyerahan tanah-tanah rakyat kepada perusahaan dengan Surat
Keputusan pemberian ijin HTI.
Mesuji
adalah contoh dari bagaimana kewenangan pemerintahan digunakan dan disalahgunakan
untuk pengembangan perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa. Secara umum kita
menyaksikan tak henti-hentinya bagaimana perampasan tanah itu dibenarkan
melalui proses yang saya istilahkan negaraisasi tanah-tanah rakyat, yakni tanah
rakyat dimasukkan dalam kategori sebagai “tanah negara”, lalu atas dasar
definisi “tanah negara” itu, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian
Kehutanan, memberi konsesi untuk badan-badan usaha produksi raksasa. Konflik agraria di
Mesuji adalah bagian kecil dari ribuan konflik agraria nasional. Setelah
mencuatnya kasus Mesuji, berturut-turut konflik agraria bermunculan ke
permukaan seperti konflik agraria di Pulau Padang, pembakaran rumah-rumah
masyarakat adat di Sumbawa dalam konflik dengan Dinas Kehutanan, dan yang
terbaru adalah kasus penembakan masyarakat di Sape, Bima karena memprotes
tambang emas. Selama ini, belum ada penyelesaian menyeluruh mengenai
konflik-konflik agraria ini.
Mesuji secara spektakuler memberi pelajaran sangat penting, apalagi
pemerintahan SBY tengah memfinalisasi Peraturan Pemerintah tentang Reforma
Agraria yang berjiwakan fungsi sosial atas tanah. Bagaimana birokrasi agraria saat ini, baik di Kementerian
Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, dan lainnya dapat mengatasi warisan, posisi, dan kebiasaan sebagai
pelayan perusahaan kapitalis dengan menyingkirkan rakyat dari tanahnya. Ketidakadilan
agraria ini bersifat kronis, dan tampil “meledak” seperti dalam kasus Mesuji
ini, tidak bisa diatasi dengan
cara business as usual. Kita
memerlukan langkah dari pimpinan tertinggi pemerintahan, Presiden Republik
Indonesia, untuk menangani konflik-konflik agraria yang kronis. Kewenangan
birokrasi sektoral tidak memadai mengatasi konflik-konflik agraria yang kronis
ini. Masih dapatkah dalam proses finalisasi PP tentang Reforma Agraria itu
dimasukkan pembentukan suatu lembaga khusus yang mengelola pelaksanaan reforma
agraria, termasuk konflik-konflik agraria yang kronis? Quo vadis?
_______
*) S. Rahma Mary H, SH, MSi adalah Manager Program
Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik pada Perkumpulan untuk Pembaharuan
Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), dan Noer Fauzi Rachman PhD adalah Anggota Perkumpulan
HuMa, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, dan dosen studi agraria dan
kebijakan pertanahan di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
0 komentar:
Posting Komentar