Jakarta, 16/12 Mesuji selalu bersimbah darah dari tahun ketahun meski
dalam pembukaan UUD 1945 telah diamanatkan bahwa pemerintah negara
Indonesia wajib melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia. Dalam kenyataannya pemerintah belum mampu melindungi
tumpah darah Indonesia. Hal ini bisa kita lihat sekurangnya dalam kasus
yang menimpa warga Desa Sodong Kec. Mesuji Propinsi Sumatera Selatan,
Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning Kabupaten Mesuji dan
Desa Talang Batu Kab. Mesuji Propinsi Lampung. Warga di ketiga lokasi
ini telah menjadi korban perampasan Hak Atas Tanah dan ketidakadilan
perlakuan oleh korporasi dan aparat penegak hukum. Bahkan tindakan tak
beradab dan keji menimpa warga desa.
Kasus yang mencuat saat ini di Mesuji terdapat tiga kasus, walau
sesungguhnya masih ada kasus yang tinggal menunggu bom waktu. Ketiga
kasus tersebut, pertama adalah kasus pengelolaan lahan milik adat di
areal kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 Way Buaya tepatnya di
Talang Pelita Jaya Desa Gunung Batu telah mencuat pada februari 2006
dan puncaknya berujung kematian Made Asta pada 6 Nopember 2010. Kedua,
kasus sengketa tanah lahan sawit seluas 1533 ha antara warga Desa Sei
Sodong dengan PT. Sumber Wangi Alam yang berakhir dengan tragedi
pembantaian terhadap dua orang petani tak bersenjata ditengah kebun
sawit pada 21 April 2011. Dan ketiga kasus tanah lahan sawit seluas 17
ribu ha antara warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah kuning
dengan PT. Barat Selatan Makmur Investindo yang puncaknya berujung
kematian Zaini pada 10 Nopember 2011.
Tindakan biadab dan keji ini tidak pernah oleh negara disebut sebagai
pelanggaran HAM Berat. Malah ditengah situasi duka, aparat masih
menjalankan upaya kriminalisasi kepada warga yang menjadi korban walau
masyarakat sejak awal telah mengadu kepada Polisi dan pemerintah
setempat. Demikian pula terhadap Komnas HAM, warga Desa Sritanjung
melapor kepada Komnas HAM sejak Baharudin Lopa masih menjabat hingga
menjelang satu hari sebelum terjadi penembakan oleh Brimob. Kasus di
Desa Sodong telah pula di koordinasikan sejak Mei 2011 kepada Komnas
HAM.
Dari ketiga kasus ini kami melihat bahwa pemicu konflik terkait
perkebunan sawit adalah karena pihak perkebunan sawit telah merampas dan
menguasai tanah warga dalam waktu yang lama mulai 10 – 17 tahun. Dan
warga tidak satu rupiah-pun mendapatkan manfaat dari hasil kebun sawit
itu.
Tindakan sewenang-wenang perusahaan ini selalu berlindung atas UU
perkebunan Nomor 18 tahun 2004. Dimana UU ini telah memberikan legalitas
yang sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk
mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Pasal-pasal dalam UU ini
dengan jelas memberikan ruang yang besar kepada perusahaan perkebunan
baik swasta maupun pemerintah untuk terus melakukan tindakan kekerasan
dan kriminalisasi terhadap petani.
Sedangkan pemicu konflik diareal HTI Reg 45 Way Buaya adalah karena
pemerintah telah memperluas luas kawasan hutan dimana sebagian lahan
merupakan tanah adat/ulayat. Tuntutan warga Desa Gunung Batu atas lahan
seluas 7 ribu ha, hanya dikabulkan 2300 ha untuk kemudian di enclave
dari kawasan HTI. Dan ketika warga adat memberikan lahan untuk dikelola
kepada warga lokal pihak perusahaan dan aparat telah menstigma
pengelola sebagai perambah hutan.
Menjadi pertanyaan besar karena keterlibatan aparat polisi dalam
semua kasus justeru bukan untuk meredam konflik melainkan melindungi
perusahaan. Jangan heran jika organisasi masyarakat sipil
mengkatagorikannya sebagai Centeng Perusahaan. Mengapa demikian karena
polisi bukan menjadi pangayom atau sekurangnya hadir disaat ketengangan
terjadi, akan tetapi polisi memang telah bermarkas di areal kebun sawit
seperti di dapati di PT. BMSI. Kondisi inilah yang telah memperumit
situasi. Dan polisi pun dengan mudah memuntahkan peluru kearah
masyarakat tanpa mengikuti SOP.
Bukan hanya polisi, pihak Badan Pertanahan juga memiliki andil sangat
besar dalam kasus-kasus perkebunan sawit. Seharunya departemen ini
ketika akan menerbitkan HGU wajib berpegang kukuh pada prinsip clean dan
clear. Tentu harus pula melakukan pengawasan kelokasi terhadap areal
HGU. Dan memberikan respon cepat ketika terdapat pengaduan warga, bukan
terus sibuk menerbitkan HGU dan mengabaikan sengketa agraria.
Demikian pula Dinas Kehutanan. Seharusnya cepat mencabut izin
perusahaan yang dengan terang dan jelas telah menelantarkan lahan dan
menyalahgunakan peruntukan lahan. Seperti dilakukan oleh Silva Inhutani.
Lahan yang seharusnya ditanami kayu, malah ditanami singkong dan nenas.
Semestinya pula lahan-lahan yang diterlantarkan tersebut bisa
diserahkan kepada warga untuk dikelola dengan mekanisme hutan desa atau
mekanisme lainya sehingga fungsi hutan tetap terjaga dan masyarakat
mendapat manfaat.
Berdasarkan advokasi WALHI, WANACALA dan LBH Bandar Lampung pada
tahun 2006 terhadap kasus Register 45, Penerimaan laporan dan
investigasi kasus di Desa Sodong oleh WALHI, YLBHI, Sawit Watch dan
KpSHK pada Juli – Nopember 2011 dan investigasi kasus Desa Sritanjung an
Kagungan Dalamm Kabupaten Mesuji pada 11 Nopember 2011kami
berkesimpulan bahwa wilayah Mesuji merupakan Ladang Pelanggaran Ham
Berat terhadap petani dimana kasus juga terjadi secara beruntun dari
tahun ketahun dan telah pula memakan korban jiwa yang cukup besar.
Untuk semua itu, pada kesempatan ini kami kembali mengulangi
peryataan mengutuk tindakan pelanggaran HAM berat di Mesuji dan
menyampaikan hal-hal mendasar sebagai berikut;
- Mendesak DPR untuk segera melakukan interpelasi
- Mendesar Presiden untuk melakukan evalusi terhadap POLRI dan menempatkannya dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri
- Mendesak KAPOLRI agar segera menarik seluruh pasukan Brimob dari dalam areal perkebunan sawit dan menghukum berat pelaku penembakan petani serta tidak terlibat dalam sengketa agraria
- Mendesak POLRI untuk menghentikan proses kriminalisasi terhadap petani di Mesuji dan memberikan pertanggungan atas seluruh biaya yang ditimbulkan atas para korban baik yang meninggal dan masih dirawat di rumah sakit
- Mendesak BPN RI untuk segera mengevaluasi seluruh HGU yang berkonflik dan mencabut HGU perusahaan yang telah merugikan rakyat khususnya HGU PT.SWA dan PT. BMSI
- Mendesak Menteri Kehutanan RI mencabut izin PT. Silva Lampung Abadi dan Inhutani V serta memberikan pengelolaan lahan kepada warga sesuai mekanisme yang ada
- Mendesak Komnas HAM untuk mengumumkan bahwa kasus di Mesuji merupakan pelanggaranHAM Berat.
- Mengajak kepada konsumen baik CPO maupun kertas untuk menghentikan penggunaan produk yang dihasilkan oleh PT. BSMI, PT. SWA dan PT.Silva Lampung Abadi/Inhutani V.
- Mendesak Presiden untuk segar turun memimpin penghentian tindak pelanggaran HAM disemua sektor
Selesai.
0 komentar:
Posting Komentar