PALEMBANG – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel)
menilai Pemprov Sumsel tidak serius menyelesaikan kasus sengketa lahan
antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. “Ditundanya pelaksanaan
pertemuan untuk membahas sejumlah kasus sengketa lahan yang terjadi
antara masyarakat dan perusahaan diwilayah OKI dan Muba yang dijadwalkan
hari ini (kemarin) tidak wajar karena diputuskan sepihak oleh Pemprov
Sumsel tanpa alasan yang jelas,” papar Kadiv PPER Walhi Sumsel, Hadi
Jatmiko, saat aksi demonstrasi bersama puluhan petani dari Kabupaten OKI
dan Muba diKantor Gubernur Sumsel,kemarin.
Menurut Hadi,
penundaan yang terjadi mengisyaratkan Pemprov tidak serius ingin
menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Sumsel khususnya yang
melibatkan 10 perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) di
Kabupaten OKI dan Muba. Akibat penundaan tersebut Hadi menuntut Pemprov
Sumsel tidak menunda lagi pertemuan selanjutnya pada Jumat (20/1).
“Kami
ingin pertemuan mendatang tidak lagi ditunda agar dapat membahas
seluruh konflik yang diangkat dan secara konkrit menuntaskannya yaitu
dikembalikannya hak-hak rakyat,”tukasnya. Asisten I Setda Pemprov
Sumsel, Mukti Sulaiman, atas nama Gubernur Sumsel Alex Noerdin berjanji
pada pertemuan yang akan dilakukan pada 20 Januari mendatang tidak akan
terjadi penundaan.
”Kita sepakat bahwa akan dilakukan pertemuan
antara Pemprov Sumsel dengan jajaran pemerintahan Kabupaten OKI dan
Muba, Walhi, serta utusan masyarakat yang dipimpin langsung Wagub Sumsel
pada 20 Januari 2012 pukul 08.00 WIB,”jelas Mukti. Sementara itu, Wakil
Gubernur (Wagub) Sumsel Eddy Yusuf ketika dikonfirmasi mengenai
penundaan penyelesaian lahan yang telah dijanjikan bukan karena faktor
kesengajaan.
“Sebenarnya tidak ada batas waktu untuk
penyelesaian sengketa tanah. Mana yang bisa diselesaikan,maka segera
kita selesaikan. Jadi harus bijaksana menyikapinya dan jangan sampai
ribut,”katanya di Martapura kemarin. Sebelumnya, Bupati Muba Pahri
Azhari menyatakan telah mengevaluasi secara keseluruhan permasalahan
sengketa lahan yang terjadi di wilayahnya.
”Semua permasalahan
akan diselesaikan dengan baik dengan mengajak semua instansi terkait
mulai dari perusahaan hingga BPN. Karena senegketa lahan tidak bisa
diselesaikan sepihak oleh pemerintah,” katanya.
Sumber : Seputar Indonesia
Selengkapnya...
WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Rabu, Januari 18, 2012
Selesaikan Kasus Agraria-Pemprov Dinilai Tak Serius
Minggu, Januari 15, 2012
Warga Sei Sodong Waspadai Provokator
”Sejak semalam beberapa warga berjaga di tenda yang didirikan di sekitar desa guna memantau orang luar yang masuk. Kami juga menghubungi kepolisian. Beberapa petugas kepolisian pun sudah datang ikut memantau,” kata Chichan, tokoh pemuda Sei Sodong, Kamis (12/1/2012).
Warga khawatir masuknya provokator dapat menyebabkan keadaan memanas. Pasca-bentrokan yang menewaskan tujuh orang April lalu, warga desa Sei Sodong hanya berharap kehidupan tenteram dan damai.
”Masyarakat Sei Sodong sebenarnya tetap mengutamakan kedamaian dan tidak akan menyerang lebih dulu. Tapi adat kami memang akan membela diri jika diserang duluan,” ujar Chichan menambahkan.
Zikir dan doa bersama mengundang perwakilan masyarakat yang juga tengah berkonflik dengan perusahaan di beberapa wilayah Sumatera Selatan dan Mesuji, Lampung. Pada April lalu, warga Sei Sodong bentrok dengan pekerja perusahaan perkebunan kelapa sawit PT SWA yang mengakibatkan tujuh orang tewas.
Jumat, Januari 13, 2012
Doa Bersama Sei Sodong Bagian Aksi Serentak Nasional
KOMPAS.com — Zikir dan doa bersama yang digelar di
Desa Sei Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Sumatera Selatan, Kamis (12/1/2012) siang, merupakan bagian dari aksi
nasional menentang penyerobotan lahan masyarakat oleh perusahaan. Aksi
ini berlangsung serentak di sejumlah daerah di Indonesia.
”Hari
ini ada aksi serentak di berbagai daerah terkait konflik agraria. Ada 30
organisasi masyarakat yang tergabung dalam sekretariat bersama yang
berkoordinasi untuk aksi-aksi ini,” kata Direktur Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Anwar Sadat yang tengah menuju
lokasi zikir dan doa bersama.
Khusus di Sumatera Selatan, aksi
damai berupa zikir dan doa bersama dipusatkan di Desa Sei Sodong di
mana terjadi bentrokan antara warga dan pekerja perusahaan perkebunan
sawit PT SWA April lalu. Kegiatan ini juga dimaksudkan mendorong
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk memberi penyelesaian yang
berpihak pada masyarakat.
Sebelumnya, Wakil Gubernur Sumatera
Selatan berjanji memberi keputusan terkait 16 kasus sengketa lahan
masyarakat dengan perusahaan pada 17 Januari mendatang. Sengketa lahan
ini melibatkan delapan perusahaan di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan
Musi Banyuasin dengan luas lahan yang disengketakan sekitar 10.000
hektar.
Menurut data Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera
Selatan, terdapat 37 kasus sengketa lahan masyarakat dan perusahaan.
Namun, versi Walhi Sumatera Selatan terdapat 57 kasus yang beberapa di
antaranya berpotensi menimbulkan konflik terbuka seperti di Sei Sodong.
Selengkapnya...
Peringati Tragedi Sodong, Walhi Gelar Dzikir
Rombongan Walhi Sumsel dan beberapa elemen persatuan petani dari
Banyuasin dan Muba baru saja tiba di Kecamatan Mesuji, Kabupaten OKI
Kamis (12/1/2012) pukul 05.30. Saat ini mereka sedang beristirahat di
rumah seorang perwakilan Walhi Sumsel yang ada di OKI.Banyaknya anggota yang datang membuat rumah seperti sebuah gubuk. Padahal, rumah tersebut bisa dibilang berukuran sangat besar.
Karena
keterbatasan ruang, beberapa anggota terpaksa beristirahat di luar
ruangan. Diantara mereka ada yang tidur dan ada juga yang menghabiskan
malam dengan bercerita.
Rombongan ini berangkat dari Kantor Walhi
Sumsel Rabu (11/1/2012) pukul 22.00. Mereka berangkat dengan menumpang
dua bis kota Indralaya-Palembang. Satu mobil Toyota Avanza juga tampak
mengiringi dua bis tersebut.
Rombongan dijadwalkan tiba di Desa
Sodong Kecamatan Mesuji pada pukul 13.00. Rencananya di sana mereka akan
mengadakan zikir bersama di tempat terjadinya Tragedi Sodong.
Selengkapnya...
Walhi Sumsel Gelar Zikir Bersama dengan Warga Sungai Sodong Mesuji
Palembang -
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera
Selatan akan menggelar zikir bersama warga Sungai Sodong, Kecamatan
Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Zikir
bersama tersebut dilakukan di lokasi konflik yang menewaskan sejumlah
pada April lalu.
“Rencananya kami akan melakukan zikir di lokasi
tragedi,” kata Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, yang dihubungi, Kamis
(12/01/2012).
Dijelaskan Sadat, selain aktivis Walhi Sumsel
bersama mereka juga ada perwakilan petani dari daerah lain di Sumatera
Selatan. Mereka baru sampai di Kecamatan Mesuji sekitar pukul 05.15, dan
istirahat sejenak di rumah seorang warga.
Kemudian melanjutkan
perjalanan ke Sungai Sodong, yang diperkirakan akan tiba sekitar pukul
13.00 WIB. Selanjutnya melakukan zikir bersama di lokasi konflik
berdarah antara warga Sungai Sodong dengan karyawan PT Sumber Wangi Alam
(SWA) yang menewaskan sejumlah orang pada April
2011 lalu.
Para
aktifis Walhi Sumsel itu sendiri berangkat dari sekretariat Walhi
Sumsel, Bukitkecil, Palembang, pada Rabu (11/01/2012) sekitar pukul
23.00 WIB. Mereka menggunakan dua bus dan sebuah mobil minibus.
sumber : Detik.com
Selengkapnya...
Selasa, Desember 27, 2011
Ribuan Petani OKI Sumsel Aksi di Palembang
Palembang -
Sebanyak 1.800 petani dari Kabupaten Ogan Komering Ilir
(OKI), Sumatera Selatan, melakukan aksi di Palembang. Mereka menuntut
agar kepolisian ditarik dari lokasi perkebunan, serta mencabut izin
perusahaan sebab keberadaannya merugikan rakyat.
Aksi dimulai
pukul 09.00 dengan mendatangi Markas Kepolisian Daerah Sumatera Selatan
di Jalan Jenderal Sudirman, Palembang. Mereka membawa spanduk dan
ratusan bendera Walhi Sumsel. Mereka bergerak dari kantor Walhi Sumsel,
di kawasan Bukitkecil, Palembang. Di Mapolda Sumsel mereka menuntut agar
kepolisian menarik aparatnya yang diduga terlibat sebagai pengaman
sejumlah perusahaan perkebunan. Pihak Polda Sumsel berjanji akan
mengusut dugaan tersebut.
Di antara pengunjukrasa, yang sebagian
dari Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, itu, kemudian melakukan aksi
ke Kantor Gubernur Sumsel di Jalan Kapten A. Rivai Palembang.
Di
sini, mereka menutut Gubernur Sumsel Alex Noerdin untuk memerintahkan
Bupati Ogan Komering Ilir (OKI) Ishak Mekki untuk mencabut Izin Guna
Usaha beberapa perusahaan asing yang beroperasi di OKI.
"Beberapa
perusahaan itu kami dapatkan informasi merupakan perusahaan asing dari
Malaysia. Yang menjadi permasalahan bagi kami, perusahaan-perusahaan itu
menyerobot lahan kami," kata Sudir, seorang pengunjuk rasa.
Menurut
Anwar Sadat, Direktur Walhi Sumsel, yang mendampingi para
pengunjukrasa, permasalahan sengketa tanah milik petani di Sumatera
Selatan, cukup banyak, semuanya berpotens terjadinya konflik berdarah
seperti yang terjadi di Mesuji.
"Jadi guna mengantisipasi hal
tersebut terjadi, sebaiknya pemerintah mencabut semua izin guna usaha
semua perusahaan yang bermasalah itu," katanya.
Ditemui Wakil Gubernur
Demonstran
diterima Wakil Gubernur Sumsel Eddy Yusuf. Kepada pengunjukrasa Eddy
menyatakan akan menyampaikan semua tuntutan warga ke Gubernur Sumsel
Alex Noerdin yang kini tengah berada di luar kota.
"Saat ini
Gubernur Sumsel Alex Noerdin tengah ada tugas di luar. Saya berjanji,
saat gubernur pulang pada tanggal 29 Desember nanti langsung saya
sampaikan orasi kalian pada beliau," jelas Eddy, yang menyampaikan hal
tersebut sambil naik mobil pick up pendemo yang terparkir di halaman
kantor Gubernur Sumsel, Jalan Kapten A. Rivai, Palembang.
Mendapatkan
pernyataan itu, sebagian pengunjukrasa tidak terima dengan menyatakan
tidak setuju. Mereka tetap ingin bertemu dengan Gubernur Sumsel Alex
Noerdin. Tapi reaksinya tidak terlalu berlebihan.
sumber : detiknews.com
Selengkapnya...
Senin, Desember 26, 2011
Mesuji, Cermin Konflik Agraria yang Kronis
Kamis, Desember 22, 2011
Ratapan Warga Sungai Sodong Sumsel tentang Kasus Mesuji
Sungai Sodong -
Warga Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Sumatera
Selatan (Sumsel) angkat bicara mengenai kasus Mesuji. Warga
mengungkapkan inti permasalahan, yaitu sengketa di atas lahan yang
mereka diami selama puluhan tahun hingga hadirnya perusahaan PT Sumber
Wangi Alam (SWA) pada tahun 1996 hingga dijanjikan menjadi petani
plasma.
Desa Sungai Sodong, merupakan salah satu desa yang
didiami Suku Kayu Agung. Bahasa yang dipakai pun bukan bahasa yang
dipakai di Palembang atau Lampung. Di Kecamatan Mesuji, Sumsel itu, Suku
Kayu Agung juga mendiami beberapa desa yaitu Desa Sungai Badak, Desa
Nipah Kuning, dan Desa Pagar Dewa. Tak heran, banyak warga di keempat
desa itu berkerabat.
Kecamatan Mesuji di Sumsel dengan Kabupaten Mesuji di Lampung dipisahkan oleh Sungai Mesuji yang lebarnya 100-200 meter.
Untuk
mencapai Desa Sungai Sodong, Sumsel, membutuhkan waktu 8-10 jam
perjalanan darat dari Provinsi Lampung. Di desa itu, ada 400 kepala
keluarga yang mencakup 1.500 jiwa.
Menurut Riyadi (bukan nama
sebenarnya-red), salah satu warga yang dituakan di desa itu, sebelum ada
perkebunan, Suku Kayu Agung sudah menempati tanah ulayat di wilayah itu
turun temurun. Riyadi bahkan sudah sekitar 4 dasawarsa, semenjak lahir,
mendiami wilayah itu.
Suku Kayu Agung hidup dari hutan dengan
mencari kayu dan hasil hutan. Karena dekat dengan Sungai Mesuji, maka
memancing ikan di sungai juga menjadi pilihan untuk bertahan hidup.
"Sekarang
memancing sudah nggak karena di sungai semenjak ada industri, kalau
habis pemupukan sawit, bekas pupuk turun ke sungai, ikan jadi susah,"
tutur Riyadi.
Dengan bahasa campur-campur, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, Riyadi menjawab pertanyaan detikcom pada Rabu (21/12/2011). detikcom juga sempat menunjukkan rekaman video kasus Mesuji yang sudah tersebar luas di masyarakat.
Awal sengketa seperti apa?
Inti
permasalahan ini adalah karena PT SWA tidak menepati janji mereka yang
akan memberikan hak tanah plasma yang seluas 533 hektar tahun 1996.
Lahan ini yang disebut plasma kelompok. Selain itu kami juga dijanjikan
akan ada plasma desa seluas 1.000-an hektar. Kami hanya menuntut
dipenuhinya hak kami yang seluas 533 ha saja, agar kami bisa makan, kami
ini orang bodoh.
Kami sudah mengadukan kasus ini ke DPRD Kayu
Agung sekali, dan Bupati OKI (Ogan Komering Ilir) dua kali pada awal
2011, namun tidak ada respons.
Sebelumnya pada awal tahun 2011
kami sempat menduduki lahan perkebunan sebanyak ratusan orang selama
beberapa hari, akhirnya setelah ditemui pihak Kapolsek, Kapolres, mereka
membubarkan aksi.
Sementara, peristiwa terbunuhnya dua warga
kampung, hanya berjarak 10-15 hari setelah melakukan aksi di DPRD. Kami
kaget, bukannya permintaan kami ditindaklanjuti tapi malah terjadi aksi
pembunuhan.
Masalah video pembunuhan bagaimana?
Kami
tidak mengenali video tersebut terjadi di kampung ini. Karena bentuk
bangunan yang berbeda dengan rumah kebanyakan di wilayah kampung Sungai
Sodong. Di Sungai Sodong itu rumah semuanya berbentuk panggung. Kan yang
di video itu rumah rendah.
Selain itu wajah para korban juga
tidak ada yang kami kenal, dan kami bisa memastikan bahwa wajah tersebut
bukanlah Indra dan Syaktu Macan. Namun benar adanya warga, yaitu Indra
Syafii (16) dan Syaktu Macan (17) tewas terbunuh. Mereka masih
berkerabat, Syaktu itu paman Indra Syafii.
Awal kejadian terbunuhnya bagaimana Pak?
Jadi
begini, tanggal 21 April 2011, Indra dan Syaktu itu akan pergi ke pasar
naik motor berboncengan untuk membeli racun ilalang (herbisida). Di
tengah jalan mereka dicegat dan terjadilah peristiwa itu. Kami baru
mengetahui kejadian tersebut karena ada mayat sekitar jam 13.00 WIB
datang. Saya nggak tahu siapa yang membawa mayat.
Setelah
dilihat, ternyata Indra yang mati dengan luka tembak di dada kiri, dada
kanan, dan dada tengah. Selain itu ada luka tembak di kepala, serta
leher yang digorok hampir putus. Saya lihat dengan mata kepala sendiri.
Sementara
Syaktu ditemukan dalam keadaan penuh luka bacok, dan masih nempel
pisau. Pisaunya gede dan bergerigi, bukan pisau biasa.
Syaktu
masih hidup, masih bisa ngomong. Sempat ditanya oleh warga, siapa yang
melakukan? Dia mengatakan itu adalah Pam (sekuriti perusahaan-red),
preman dan Brimob. Ketika dibawa ke Puskesmas nyawa Syaktu tidak
tertolong.
Kondisi kampung sebelum ada mayat itu biasa saja,
setelah itu baru geger. Takut ada yang menyerang lagi. Tapi kita nggak
menyerang.
Apakah ada kehadiran Brimob?
Ada, mereka sering berjaga di sekitar PT.
Jumlah Brimob yang berjaga?
Nggak tahu pasti.
Kalau yang Bapak sebut preman apakah jumlahnya banyak?
Sekitar 40-an orang.
Sejak kapan mereka di sana?
Kalau tidak salah seminggu sebelum penusukan
Pam pernah melakukan kekerasan terhadap warga?
Tidak,
tapi dari tatapan mereka saat kami melewati areal kebun yang dijaga
mereka itu menunjukkan ketidaksukaan mereka kepada warga.
Pam dipersenjatai?
Senjata tajam, golok.
Setelah
kejadian tersebut, kami warga hanya diam di kampung saja, kami juga
tidak mengetahui kelanjutan kasus ini. Apakah dilanjutkan prosesnya atau
tidak.
Namun kami ini warga Sodong apabila dijahatin kami tentu
balas, tapi jika orang tersebut baik satu kali kami akan balas dengan 10
lebih kebaikan.
Sehari setelah kasus tersebut, pada tanggal 22
April 2011, ada satu warga yang diamankan oleh pihak kepolisian, namanya
Goni. Dia berumur 16 tahun warga Desa Pagar Dewa, namun kakeknya
merupakan warga Sungai Sodong.
Goni pada tanggal 22 April 2011
bermaksud mendatangi pemakaman, namun di sana malah ditetapkan sebagai
tersangka. Namun warga tidak mengetahui. Kami tidak tahu Goni ditetapkan
sebagai tersangka dalam kasus apa, sekarang sudah berada di LP Tanjung
Raja.
Dihukum berapa lama?
Nggak tahu saya
sumber : DetikNews.
Selengkapnya...
Selesaikan Kasus Mesuji, Pemerintah Diminta Cabut Izin PT SWA
Kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di
Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) harus
segera diungkap. Agar penyelesaian berjalan baik, pemerintah diminta mencabut
izin operasional PT Sumber Wangi Alam (SWA) terlebih dahulu.
“Saya pikir kalau perusahaan itu berhenti beroperasi, dan pemerintah
menyelesaikan persoalan secara fair, itu yang baru namanya pemerintahan yang
pro rakyat. Masak pihak yang jelas-jelas menyebabkan Indonesia menjadi sorotan
international
tetap dibiarkan beroperasi. Kalau persoalan sudah selesai, mungkin mereka baru
beroperasi kembali,” kata Direktur Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat kepada
pers di kantornya, Kawasan Bukitkecil, Palembang, Selasa (20/12/2011) malam.
Menurut Sadat, dalam kasus Mesuji diduga ada unsur pelanggaran HAM yang
dilakukan aparat. Hal ini dilihat dari sejumlah bukti yang ditemukan.
“Konflik itu sendiri memiliki indikasi pelanggaran HAM. Sejumlah bukti seperti
selongsong peluru, luka akibat sangkur, dan pengakuan saksi bahwa seorang
korban sebelum meninggal dunia menyebut adanya sosok aparat keamanan yang turut
menyiksanya, semua itu harus diverifikasi. Artinya adanya pelanggaran HAM,
kasus ini harus ditelusuri. Komnas HAM sudah tahu soal bukti-bukti sebagai
indikasi pelanggaran HAM,” terangnya.
Kedua, tentu saja persoalan tanah ulayat yang telah dirampas perusahaan harus
segera diselesaikan. Sebab menurutnya, itulah pangkal dari semua persoalan
sehingga melahirkan konflik berdarah itu.
"Kalau dibilang saat ini tenang atau damai, dapat saja diterima. Tapi,
percayalah, mana ada manusia di dunia ini yang tenang jika haknya dirampas dan
keluarganya tewas atau diteror,” kata Sadat.
“Yang ketiga, yakni proses hukum yang saat ini sudah dijalankan kepolisian dan
pengadilan. Jadi, masih ada dua lagi persoalan,” imbuhnya.
Sebelumnya Komnas HAM memastikan ada 8 orang tewas terkait insiden bentrok
petani dengan perusahaan sawit. 8 Orang itu tewas di 3 tempat berbeda di Mesuji
Lampung dan Mesuji Sumsel.
"Ada 3 kasus di 2 provinsi," demikian jelas Ketua Komnas HAM Ifdhal
Kasim ketika dihubungi detikcom, Kamis (15/12). Ifdhal pun menjelaskan 3 kasus
itu.
1. Kasus antara PT Sumber Wangi Alam (SWA) dengan warga di Sungai Sodong,
Kecamatan Mesuji, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Peristiwa terjadi 21
April 2011. Ada pembunuhan 2 warga. Pembunuhan terhadap warga ini membuat warga
marah karena menduga 2 warga tewas korban dari PT SWA. Akhirnya, warga
menyerang PT SWA yang menyebabkan 5 orang tewas yaitu 2 orang Pam Swakarsa dan
3 orang karyawan perusahaan.
2. Kasus antara PT Silva Inhutani dengan warga di register 45 di Kabupaten
Mesuji, Provinsi Lampung, terjadi sejak tahun 2009. PT Silva mendapatkan
penambahan lahan Hak Guna Usaha (HGU). Nah, penambahan HGU itu melebar hingga
ke wilayah pemukiman warga sekitar. HGU ini menjadi sumber konflik karena warga
yang sudah tinggal bertahun-tahun di wilayah pemukiman diusir. Rumah-rumah
warga dirobohkan.
Komnas HAM masih menyelidiki adanya korban dari kasus kedua ini. Sehingga,
Komnas HAM belum menyatakan ada korban tewas dari kasus ini.
3. Kasus antara PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dengan warga di
register 45, Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung, pada 10 November 2011. PT
BSMI ini memang letaknya berdekatan dengan PT Silva Inhutani. Ada penembakan terhadap warga yang dilakukan Brimob dan Marinir, 1 warga
tewas dan 6 warga menderita luka tembak.
Selengkapnya...
Tim Pencari Fakta Bertolak ke Mesuji Malam Ini
"Nanti malam sebagian dari kami berangkat ke Lampung. Sebagian lagi akan berangkat ke Mesuji, Sumatera Selatan. Yang ke Sumsel salah satunya Pak Ota (Mas Achmad Santosa, anggota Satuan Tugas Antimafia Hukum)," kata Ketua TGPF Denny Indrayana saat ditemui di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, siang ini.
Denny mengatakan investigasi ke lapangan dilakukan setelah pihaknya mengumpulkan data terkait kasus Mesuji dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). "Setelah mengumpulkan data, kami ke lapangan untuk verifikasi dan klarifikasi, baru kemudian melaporkan hasilnya ke publik," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM tersebut.
Di Lampung, Denny yang dibantu tim asistensi akan fokus melihat kondisi sejumlah orang yang disebut-sebut menjadi korban kekerasan aparat keamanan perusahaan sawit. Menurut Denny, pihaknya juga akan melakukan verifikasi jumlah korban, serta mencari tahu kebenaran video kekerasan yang diserahkan warga Mesuji ke Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, pekan lalu.
"Berapa pun jumlah korbannya, satu orang pun, penting untuk diketahui demi memberikan keadilan bagi korban. Soal video juga penting diverifikasi ketimbang berlarut-larut meributkan hal itu," ujarnya.
Mengenai kapan TGPF akan rampung melakukan tinjauan lapangan dan penelaahan data, Denny belum bisa memastikan. Ia menyebut, perumusan hasil kajian membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kunjungan TGPF ke lapangan saja, kata dia, membutuhkan waktu beberapa hari.
Seperti diketahui, ada tiga kasus kekerasan yang terjadi di Mesuji. Pertama adalah kasus pengelolaan lahan adat di kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 Way Buaya yang menewaskan Made Asta pada 6 November 2010. Kedua, kasus sengketa tanah lahan sawit seluas 1533 hektare antara warga Desa Sei Sodong dengan PT Sumber Wangi Alam (SWA), yang berakhir dengan terbunuhnya dua petani tak bersenjata pada 21 April 2011. Ketiga adalah kasus lahan sawit seluas 17 ribu hektare antara warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam, dan Nipah Kuning dengan PT BSMI yang mengakibatkan tewasnya Zaini, November lalu.
Dari ketiga kasus tersebut, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Berry Nahdian Furqon menilai pemicu konflik adalah karena pihak perusahaan sawit telah merampas dan menguasai tanah warga dalam waktu yang lama, antara 10-17 tahun. Sementara warga yang memiliki tanah tersebut tidak menuai manfaat yang pantas.
Perusahaan sawit umumnya bertindak atas dasar Undang-Undang Perkebunan No.18 Tahun 2004. UU tersebut dinilai telah memberikan legalitas sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Pasal-pasal dalam UU, menurut Walhi, memberikan ruang yang besar kepada perusahaan perkebunan untuk melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani.
Adapun lima warga Mesuji mengadu ke Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu pekan lalu. Pengacara warga, Bob Hasan, menuturkan, sejak 2009 sampai 2011 sudah 30 korban tewas dari pihak warga. Tujuh di antaranya korban insiden di Mesuji, Sumatera Selatan. Mereka juga menyerahkan rekaman video pembunuhan sadis sejumlah orang.
Selasa, Desember 20, 2011
Jumlah Korban Mesuji itu Akumulasi sejak 2004
JAKARTA--MICOM: Ketua Tim
Advokasi warga Mesuji Saurip Kadi mengatakan catatan dari pihaknya
menunjukkan jumlah korban kasus Mesuji temuan pihaknya mencapai 32 orang
yang merupakan akumulasi sejak tahun 2004.
"Jumlahnya sekarang 32 orang dan kemungkinan masih bertambah.
Itu akumulasi dari kejadian tahun 2004 sampai 2011," ujarnya ketika
dihubungi, Senin (19/12).
Ia menjelaskan lebih lanjut, semua korban tersebut merupakan
kasus sengketa tanah di Sumatra Selatan dan Lampung. "Itu kami dapat
dari 11 titik di Lampung dan Sumsel. Kasus-kasus yang lalu harus
diungkap juga. Adapun polisi dan DPR kemarin hanya mendatangi dua tempat
saja," tuturnya.
Namun Saurip enggan memaparkan di mana 11 titik lokasi tersebut
pada saat ini. "Nanti akan diungkapkan pada waktu yang tepat, sekaligus
ada testimoni dari keluarga korban."
Mengenai tim investigasi gabungan pencari fakta sendiri, ia
mengaku pesimis dengan hasilnya. Karena sebelumnya, pemerintahan daerah
setempat, Komnas HAM dan Walhi telah melakukan investigasi terhadap
kasus-kasus pembantaian tersebut.
"Ini ujung-ujungnya buying time, kemudian nanti
keputusan-keputusan yang lama diperhalus, mengaburkan fakta yang
sebelumnya. Yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah tindakan, bukan
investigasi lagi," tukasnya. (Wta/OL-2)
sumber : micom
Selengkapnya...
Mesuji, Potret Buram Konflik Agraria
MESUJI, akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Media menyebutkan ada
pembataian petani di daerah itu. Kebenaran tentang informasi ini pun masih
terus ditelusuri. Pemerintah dan DPR juga telah membentuk Tim Gabungan Pencari
Fakta (TGPF). Mereka akan mengumpulkan bukti-bukti.
Sejumlah pihak pun melaporkan bukti-bukti awal terkait pembantaian itu. Ada
Video, ada pula data-data statistik seperti yang dilaporkan Walhi. Menurut
Walhi, pembantaian itu benar adanya, namun menyangkut video yang terlanjur
beredar luas itu, Walhi menyatakan bahwa mereka tidak memiliki data akurat
tentang video dimaksud.
Sejumlah pakar telematika sempat meragukan keaslian video itu. Pasalnya
ditemukan penggalan-penggalan video yang terasa janggal. Diduga sebagian video
itu merupakan peristiwa kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan, bukan
Mesuji.
Terlepas dari ramainya kasus Mesuji, sebenarnya hal itu hanyalah puzzle dari
konflik agraria yang sering terjadi di Tanah Air. Jika ditelusuri kasus serupa
juga banyak terjadi di Tanah Air. Walhi mencatat sepanjang 2011 hingga
November, jumlah kasus konflik agraria ini mencapai 102 kasus. Angka ini
diperkirakan masih akan melambung, karena banyak kasus yang tidak terdeteksi
ataupun tidak terlaporkan.
Kasus konflik agraria yang sering mencuat ke permukaan adalah kasus-kasus
sengketa yang melibatkan perusahaan dan warga, terutama dalam hal lahan
perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan. Tentu saja kejadian ini harus
dijadikan refleksi semua pihak.
Pemerintah berkewajiban menata ulang soal konsesi lahan ini. Jangan sampai
konsesi ini menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar. Aspek penghargaan
terhadap budaya lokal pun mesti dikedepankan. Tidak cukup itu, masyarakat
sekitar juga harus mendapatkan manfaat positif dari keberadaan sebuah
perusahaan, baik itu yang bergerak di perkebunan, kehutanan, maupun
pertambangan. Aturan tentang hal ini
harus jelas dan mesti ditegakkan secara ketat.
Perusahaan pun wajib untuk menghargai aturan dan budaya lokal. Jangan karena
mereka sudah memiliki hak konsesi lahan, lantas seenaknya untuk membabat habis
tanpa mempedulikan masyarakat sekitar. Demikian juga masyarakat pun mesti taat
hukum. Jika ada sengketa, sudah sepantasnya jalur hukum yang dikedepankan.
Mesuji mungkin bisa dijadikan awal yang baik bagi semua pihak untuk menata
pemanfaatan lahan ini. Konflik mesti dihindarkan, apalagi konflik yang mengarah
ke kekerasan fisik. Budaya timur selalu identik dengan gotong royong dan
musyawarah dalam menyelesaikan berbagai masalah. Kiranya kekerasan fisik bukan
jalan yang baik untuk menyelesaikan konflik. Dan, bagi siapa saja yang terbukti
melakukan hal itu, pantas untuk diberikan hukuman yang setimpal.
Pelajaran berharga sudah diberikan Mesuji. Jangan ada lagi, daerah lain yang
sama dengan Mesuji.
Minggu, Desember 18, 2011
Pamswakarsa Mesuji Akui Dibekingi Brimob dan TNI
"Yang di film (video), kejadian yang ditayangkan TV itu memang benar ada. Kalau ada yang mengatakan rekayasa, saya bertanggung jawab dan siap menunjukkan lokasinya," kata mantan pamswakarsa perkebunan PT Silva Inhutani, Trubus, dalam konferensi pers di kantor Kontras, Jakarta, kemarin.
Dalam video itu tampak sejumlah orang mengenakan seragam Brimob dan TNI dengan membawa senjata berada di lokasi pembunuhan. Menurut Komnas HAM, PT Silva Inhutani adalah satu dari tiga perusahaan yang paling banyak terlibat sengketa tanah dengan warga (Media Indonesia, 16/12).
Trubus menjelaskan pamswakarsa perkebunan tidak dipersenjatai dengan senjata api. "Kami diminta membawa golok atau pisau. Kami berani karena di belakang kami ada aparat dan Brimob," paparnya.
Lebih lanjut Trubus mengungkapkan jumlah pamswakarsa yang bertugas mengamankan hutan tanaman industri milik PT Silva Inhutani sebanyak 200 orang. Ia juga menyebut Daniel, warga negara Malaysia, sebagai komandan pamswakarsa. "Bagaimana mungkin pamswakarsa yang jumlahnya 200 orang mengusir ribuan warga desa," tuturnya.
Salah satu korban di Mesuji, Lampung, Wayan Sukadana, pun menyebut Daniel sebagai pemimpinnya (pamswakarsa). "Dia manajer lapangan yang wujudnya manusia, tetapi hatinya binatang," ujarnya.
Mediator advokasi korban pembantaian, Saurip Kadi, menambahkan sangat tidak mungkin pamswakarsa mengusir petani di wilayah Mesuji tanpa ada beking aparat. "Kita tahu ada negara dan pemerintah, tapi yang berkuasa secara riil adalah uang dan senjata dalam konteks tanah," tukasnya.
Menurut laporan keluarga warga, ada 30 orang korban tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam pembantaian tersebut.
3.000 warga mengungsi
Saat ini, ada sekitar 3.000 warga Mesuji, Lampung, yang mengungsi sejak rumah mereka digusur dan dibakar. Dari jumlah itu, sekitar 700 anak tidak bisa bersekolah.
"Kami minta pemerintah memberikan jaminan dan mengembalikan hak-hak yang sebelumnya kami miliki," kata saksi kekejaman pamswakarsa di Mesuji, Mathius Totok Nugroho.
Terkait dengan dugaan keterlibatan Brimob dalam kasus itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyatakan sudah ada dua anggotanya yang telah diproses. "Kalau terbukti, nanti ada pidananya," ujarnya di Mabes Polri.
Sebelumnya di Semarang, Jawa Tengah, Timur menegaskan Polri tidak akan menarik Brimob dari Mesuji. Keberadaan polisi di tempat itu justru untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum lebih lanjut.
Pada bagian lain, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono membantah keterlibatan anggota TNI dalam pembantaian itu. Menurutnya, keberadaan TNI di lokasi kejadian justru untuk melerai pertikaian. "Jika ada foto tentang anggota TNI, itu sehabis kejadian," pungkasnya.
Sumber : media Indonesia Selengkapnya...
Sabtu, Desember 17, 2011
Aparat Dinilai jadi Centeng Perusahaan
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Forkan mengatakan, konflik lahan antara petani dengan perusahaan sawit semakin runcing karena keterlibatan aparat kepolisian. Walhi menyebut aparat lebih berperan sebagai centeng perusahaan, dibanding membela warga.
"Keterlibatan aparat polisi dalam semua kasus justru bukan untuk meredam konflik melainkan melindungi perusahaan. Maka jangan heran jika organisasi masyarakat sipil mengkategorikan mereka sebagai centeng perusahaan," kata Berry Nahdian di Sekertariat Walhi, Jakarta Selatan, kemarin (16/12).
Dengan tegas, Walhi mendesak Kapolri Jenderal Timur Pradopo agar segera menarik seluruh personilnya dari area perkebunan sawit di beberapa daerah Indonesia.
Walhi memberi contoh peran aparat di tragedi Mesuji. Menurut Bery, pemicu konflik karena pihak perusahaan perkebunan sawit telah merampas dan menguasai tanah warga sejak lama. Perusahaan lantas meminta aparat tersebut menjaga dan mengamankan wilayah tanah perusahaan dari serangan warga yang biasanya melawan karena merasa tanahnya dirampas.
Dengan dalih menjaga keamanan, polisi bermarkas di areal kebun sawit dengan mendirikan pos-pos di dalam lahan perkebunan seperti didapati di PT BSMI di Lampung. Kondisi seperti ini yang memperuncing konflik. "Dan polisi pun dengan mudah memuntahkan peluru ke arah masyarakat tanpa mengikuti SOP," ucapnya.
Data Walhi menyebutkan, dari Januari hingga November 2011, ada lebih 102 kasus kekerasan baik di area kebun sawit, tambang, dan hutan. Dari 102 kasus tersebut, 123 warga dikriminalkan, 62 orang luka tembak, 26 orang dianiaya, dan sembilan orang meninggal dunia.
"Ini semua dilakukan oleh aparat kepolisian khususnya brimob yang bertugas untuk menjaga lahan perkebunan dan pertambangan. Dan kalau ini tidak segera dihentikan oleh negara, ke depan, potensi konflik akan semakin besar, ribuan orang akan menjadi korban," katanya.
Terpisah, Kapolri Jenderal Timur Pardopo membantah tudingan itu. Dia tegasnya, polisian bersikap tidak memihak. Hanya saja diakui, tidak tertutup kemungkinan ada anggotanya yang nakal. "Kita netral, kita jamin. Kalau ada anggota kita yang seperti itu, ya kita proses dan kita luruskan,’’ ujar Timur di Mabes Polri, Jumat (16/12). (sam/jpnn)
Pisau Berdarah Ini Saksi Bisu Derita Warga Sodong, Mesuji, Sumsel
JAKARTA, -
Potret sebilah pisau berdarah dikirimkan WALHI (Wahana Lingkungan
Hidup) Sumatera Selatan kepada PedomanNEWS.com, Sabtu (17/12/2011).
Selama ini Walhi Sumsel adalah organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) dengan reputasi nasional dan internasional, selalu mendampingi
(advokasi) warga yang bersengketa dengan pengusaha terkait lingkungan
hidup, juga tanah rakyat.
Jumat, Desember 16, 2011
Walhi Duga Polisi Terlibat Bentrok Sungai Sodong
Bentrok yang
terjadi di Desa Sungai Sodong, Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir,
Sumatra Selatan, beberapa waktu lalu, dinilai mengindikasikan
keterlibatan aparat keamanan.
Penilaian itu disampaikan Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatra
Selatan Anwar Sadat di Palembang, Sumatra Selatan, Jumat (16/12). Anwar
bukan tanpa alasan, konflik pertanahan itu tak pernah kunjung selesai,
malah cenderung ditutup-tutupi.
Ia mengaku sempat mendatangi lokasi bentrok dan menanyai warga sekitar.
Hasilnya, ia mendapat keterangan dari salah satu warga bahwa perusahaan
kelapa sawit yang bertindak refresif terhadap warga dibantu aparat
kepolisian.
Sumber : Metrotvnews.com
Selengkapnya...
Pembantaian Mesuji, Kegagalan Aparat dan Negara
Namun Berry menjelaskan ada tiga kasus kekerasan yang terjadi di Mesuji, berdiri sendiri-sendiri walaupun semuanya melibatkan konflik antara perusahaan perkebunan dengan warga setempat.
Menurut Berry, tereksposnya kasus-kasus sekarang ini karena adanya upaya untuk menutup-nutupinya. Pertama untuk kepentingan korporasi, kedua kepentingan aparat keamanan itu sendiri, dan ketiga dicurigai ada elit-elit politik yang berada di belakangnya.
Walhi menyatakan kecewa dengan kelambanan Komnas Ham dalam menanggapi peristiwa ini. Walaupun mereka telah turun ke lapangan, tapi tindakannya terlalu lamban. Walhi juga meminta DPR untuk memanggil Kapolri serta melakukan evaluasi terhadap kewenangan polisi. "Tindakan aparat sudah kebablasan," demikian Berry mengakhiri penjelasannya.
Komnas HAM kritik aparat yang lamban tangani kasus Mesuji
"Kami sudah serahkan hasil penyelidikan dan rekomendasi pada kepolisian, juga (pemerintah) provinsi, tapi tidak ada tindak lanjut," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim.
Konflik terbuka pecah di Desa Sodong Kec. Mesuji Kabupaten Ogan Kemering Ilir, Provinsi Sumsel, pada April lalu dan mengakibatkan sedikitnya tujuh korban tewas, padahal menurut Ifdhal sebenarnya bentrokan bisa dicegah.
Tersangka ditahan
Kasus perebutan lahan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan warga sekitar ini sudah dimulai setidaknya sejak 2009, saat PT Sumber Wangi Alam di Kecamatan Mesuji OKI, Sumsel, berniat memperluas wilayah perkebunan sawitnya."Yang tidak diungkap adalah bagaimana aparat lebih condong pada perusahaan daripada melakukan tindakan pencegahan agar bentrok pecah."Anwar Sadat
"Mulanya ada dua warga yang ditemukan dalam kondisi sangat mengenaskan, penuh luka tusuk," kata Anwar Sadat, dari Walhi Sumatera Selatan yang beberapa tahun terakhir banyak mendampingi warga setempat dalam konflik perebutan lahan dengan perusahaan kelapa sawit.
Massa yang marah kemudian menuntut balas dengan menyerbu areal perkebunan. Namun mereka disambut oleh personel TNI dan Polri yang diminta pemilik perkebunan untuk menjaga lokasi, ditambah ratusan warga yang disewa perusahaan sebagai anggota pengaman swakarsa.
Polisi mengatakan lima orang tewas akibat kekerasan, yaitu dua anggota pengaman swakarsa serta dua pekerja perkebunan. Aparat kini menahan lima tersangka dari kubu warga yang diajukan ke pengadilan.
Keterlibatan aparat
Bentrok lain pecah di wilayah hutan Register 45, Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Lampung pada November lalu.Warga menyerbu areal karena perebutan klaim atas lahan dengan perkebunan kelapa sawit PT BSMI. Menurut temuan Komnas HAM, lokasi perkebunan juga dijaga oleh PAM Swakarsa, tentara, marinir dan Brimob. Seorang warga tewas akibat tembakan polisi.
"Memang betul ada tembakan aparat, tetapi itu karena warga melawan petugas," kata Humas Polda Lampung, AKBP Sulistyaningsih
Aparat yang melakukan penembakan menurut Sulistyaningsih telah diperiksa dan dikenai sanksi.
Sekalipun klaim warga melawan petugas itu benar, Ifdhal Kasim tetap berpendapat bentrok sebenarnya bisa dihindari mengingat di wilayah itu sudah sering terjadi ketegangan sebelumnya antara warga hutan Register 45 dengan PT Silva Inhutani, sebuah perusahaat sawit lain yang juga membuka lahan di sana.
"Kalau konflik lahan bisa diselesaikan lebih objektif dan tidak diambangkan seperti ini maka masyarakat tidak menyelesaikannya sendiri, cara seperti ini tidak terjadi," tegas Ifdhal.
"Itu bukan di wilayah polda Lampung. Kejadian tersebut terjadi di PT SWA 21 April 2011, yang berlokasi di Desa Sodong, Kecamatan Mesuji Kabupaten OKI, Sumsel."
Lempar tanggung jawab
Hal lain yang juga disesalkan Komnas adalah munculnya kesan kepolisian saling lempar tanggung jawab dalam bentrok di dua wilayah ini.Meski mengaku sempat terjadi bentrokan November lalu di wilayah Polda lampung, kepada BBC Humas Polda AKPB Sulistyaningsih membantah bentrok dengan jatuhnya banyak korban terjadi di wilayahnya.
"Itu bukan di wilayah polda Lampung. Kejadian tersebut terjadi di PT SWA 21 April 2011, yang berlokasi di Desa Sodong, Kecamatan Mesuji Kabupaten OKI, Sumsel," tegas Sulistyaningsih.
Sebaliknya menurut seorang pejabat di kepolsiian Sumsel, AKBP Abu Sofa Ibrahim, bentrokan justru banyak terjadi di Lampung.
"Mesuji itu sedikit sekali yang masuk wilayah kami, itu kebanyakan di lampung," kata Abu.
Komnas HAM menilai situasi semacam ini turut menyebabkan kasus berjalan tanpa penanganan yang layak dari aparat sehingga letupan konflik terus terjadi.
Setelah sempat diadukan ke Komisi III DPR kemarin, hari ini Presiden memerintahkan agar Menteri Koordinator Politik dan Keamanan serta Kapolri membentuk tim pencari fakta ke lokasi konflik.
Kalangan pegiat HAM dan lingkungan menyatakan kasus-kasus kekerasan berlatar perebutan lahan bukan hanya terjadi di Mesuji, tetapi menjadi fenomena yang hampir merata di seluruh Indonesia sejak pemerintah mengizinkan pembukaan hutan untuk perluasan perkebunan sawit.
Sumber : http://www.bbc.co.uk Selengkapnya...
57 Kasus Sengketa Lahan di Sumsel Rawan Konflik
PALEMBANG - Kasus sengketa lahan antara warga dan pihak
swasta di Desa Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir
(OKI), Sumatera Selatan, hanyalah satu dari banyak kasus perebutan lahan
yang berujung konflik. Masih ada sekira 57 titik sengketa lahan di
wilayah Sumsel yang berpotensi menimbulkan konflik.
Sengketa
lahan itu terjadi di sembilan kabupaten yang ada di Sumsel yakni Ogan
Komering Ilir, Ogan Ilir, Palembang, Banyuasin, Musi Rawas, Musi
Banyuasin, Muara Enim, OKU Timur, dan Lubuk Linggau.
Direktur
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat,
mengatakan sengketa tanah untuk perkebunan sudah terjadi sejak 1987
seiring masuknya pihak swasta untuk membuka perkebunan dengan mengambil
tanah rakyat.
“Dari tiga tahun terakhir ini, kami mencatat ada 57
kasus yang terjadi di Sumsel, Ini kebanyakan dari pembukaan lahan
perkebunan oleh perusahaan swasta," ujar Sadat, Jumat (16/12/2011).
Dituturkannya,
persoalan konflik terjadi karena tingginya kepentingan pemegang modal
yang diberikan izin oleh pemerintah, sehingga hak-hak atas tanah rakyat
dirampas.
“Dalam membuka kebun sawit untuk pihak swasta, biasanya
pemerintah hanya melihat sisi formal kepemilikan lahan saja, tidak
melihat sisi historis dan sosiologi. Akibatnya rakyat dirugikan karena
kehilangan lahan produktif,” jelas Anwar.
Dijelaskannya, Walhi
yang selalu aktif memberikan advokasi kepada warga sekaligus
menginvestigasi kasus lahan konflik. Dia mengakui banyak menemui kendala
karena keterlibatan aparat dalam melindungi perusahaan swasta.
“Puncaknya
terjadi pada 21 April lalu di Sodong, Kecamatan Mesuji, OKI, yang
mengkibatkan tujuh warga sipil tewas, tujuh lainnya masuk penjara, dan
beberapa orang dinyatakan buron,” paparnya.
Kasus sengketa lahan
di Sumsel, lanjut dia, terkesan mengambang pasalnya karakter masyarakat
di Sumsel lebih menahan diri karena takut terjadi korban jiwa. “Seperti
kasus di Muba (Musi Banyuasin), di Desa Sinar Harapan ini bisa saja
terjadi konflik padahal sengketa ini sudah terjadi sejak 2007,”
sebutnya.
Sumber : okezone.com
Selengkapnya...
Banyak Kasus yang Berpotensi MESUJI
Wahana Lingkungan hidup indonesia sumsel, memprediksi
kejadian seperti mesuji akan terulang dibanyak tempat. “ Kami memprediksi,
sedikitnya ada 50 kasus yang berpotensi akan terjadi seperti mesuji, dan berada
di 9 kabupaten/Kota di sumatera Selatan Ungkap hadi jatmiko Kepala Divisi
Pengembangan dan Pengorganisasian Rakyat (PPER) Walhi Sumsel,