WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat
Tampilkan postingan dengan label mesuji. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label mesuji. Tampilkan semua postingan

Rabu, Januari 18, 2012

Selesaikan Kasus Agraria-Pemprov Dinilai Tak Serius

PALEMBANG – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel) menilai Pemprov Sumsel tidak serius menyelesaikan kasus sengketa lahan antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan. “Ditundanya pelaksanaan pertemuan untuk membahas sejumlah kasus sengketa lahan yang terjadi antara masyarakat dan perusahaan diwilayah OKI dan Muba yang dijadwalkan hari ini (kemarin) tidak wajar karena diputuskan sepihak oleh Pemprov Sumsel tanpa alasan yang jelas,” papar Kadiv PPER Walhi Sumsel, Hadi Jatmiko, saat aksi demonstrasi bersama puluhan petani dari Kabupaten OKI dan Muba diKantor Gubernur Sumsel,kemarin.

Menurut Hadi, penundaan yang terjadi mengisyaratkan Pemprov tidak serius ingin menyelesaikan konflik agraria yang terjadi di Sumsel khususnya yang melibatkan 10 perusahaan perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) di Kabupaten OKI dan Muba. Akibat penundaan tersebut Hadi menuntut Pemprov Sumsel tidak menunda lagi pertemuan selanjutnya pada Jumat (20/1).

“Kami ingin pertemuan mendatang tidak lagi ditunda agar dapat membahas seluruh konflik yang diangkat dan secara konkrit menuntaskannya yaitu dikembalikannya hak-hak rakyat,”tukasnya. Asisten I Setda Pemprov Sumsel, Mukti Sulaiman, atas nama Gubernur Sumsel Alex Noerdin berjanji pada pertemuan yang akan dilakukan pada 20 Januari mendatang tidak akan terjadi penundaan.

”Kita sepakat bahwa akan dilakukan pertemuan antara Pemprov Sumsel dengan jajaran pemerintahan Kabupaten OKI dan Muba, Walhi, serta utusan masyarakat yang dipimpin langsung Wagub Sumsel pada 20 Januari 2012 pukul 08.00 WIB,”jelas Mukti. Sementara itu, Wakil Gubernur (Wagub) Sumsel Eddy Yusuf ketika dikonfirmasi mengenai penundaan penyelesaian lahan yang telah dijanjikan bukan karena faktor kesengajaan.

“Sebenarnya tidak ada batas waktu untuk penyelesaian sengketa tanah. Mana yang bisa diselesaikan,maka segera kita selesaikan. Jadi harus bijaksana menyikapinya dan jangan sampai ribut,”katanya di Martapura kemarin. Sebelumnya, Bupati Muba Pahri Azhari menyatakan telah mengevaluasi secara keseluruhan permasalahan sengketa lahan yang terjadi di wilayahnya.

”Semua permasalahan akan diselesaikan dengan baik dengan mengajak semua instansi terkait mulai dari perusahaan hingga BPN. Karena senegketa lahan tidak bisa diselesaikan sepihak oleh pemerintah,” katanya.

Sumber : Seputar Indonesia Selengkapnya...

Minggu, Januari 15, 2012

Warga Sei Sodong Waspadai Provokator

Warga Desa Sei Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, memperketat pengawasan di sekitar desa menjelang pelaksanaan zikir dan doa bersama terkait konflik lahan. Pengawasan dimaksudkan untuk mencegah masuknya provokator pada aksi damai yang rencananya dihadiri 1.000-2.000 orang itu.

”Sejak semalam beberapa warga berjaga di tenda yang didirikan di sekitar desa guna memantau orang luar yang masuk. Kami juga menghubungi kepolisian. Beberapa petugas kepolisian pun sudah datang ikut memantau,” kata Chichan, tokoh pemuda Sei Sodong, Kamis (12/1/2012).

Warga khawatir masuknya provokator dapat menyebabkan keadaan memanas. Pasca-bentrokan yang menewaskan tujuh orang April lalu, warga desa Sei Sodong hanya berharap kehidupan tenteram dan damai.

”Masyarakat Sei Sodong sebenarnya tetap mengutamakan kedamaian dan tidak akan menyerang lebih dulu. Tapi adat kami memang akan membela diri jika diserang duluan,” ujar Chichan menambahkan.

Zikir dan doa bersama mengundang perwakilan masyarakat yang juga tengah berkonflik dengan perusahaan di beberapa wilayah Sumatera Selatan dan Mesuji, Lampung. Pada April lalu, warga Sei Sodong bentrok dengan pekerja perusahaan perkebunan kelapa sawit PT SWA yang mengakibatkan tujuh orang tewas.  
Selengkapnya...

Jumat, Januari 13, 2012

Doa Bersama Sei Sodong Bagian Aksi Serentak Nasional


KOMPAS.com — Zikir dan doa bersama yang digelar di Desa Sei Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (12/1/2012) siang, merupakan bagian dari aksi nasional menentang penyerobotan lahan masyarakat oleh perusahaan. Aksi ini berlangsung serentak di sejumlah daerah di Indonesia.

”Hari ini ada aksi serentak di berbagai daerah terkait konflik agraria. Ada 30 organisasi masyarakat yang tergabung dalam sekretariat bersama yang berkoordinasi untuk aksi-aksi ini,” kata Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan Anwar Sadat yang tengah menuju lokasi zikir dan doa bersama.

Khusus di Sumatera Selatan, aksi damai berupa zikir dan doa bersama dipusatkan di Desa Sei Sodong di mana  terjadi bentrokan antara warga dan pekerja perusahaan perkebunan sawit PT SWA April lalu. Kegiatan ini juga dimaksudkan mendorong Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk memberi penyelesaian yang berpihak pada masyarakat.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Sumatera Selatan berjanji memberi keputusan terkait 16 kasus sengketa lahan masyarakat dengan perusahaan pada 17 Januari mendatang. Sengketa lahan ini melibatkan delapan perusahaan di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin dengan luas lahan yang disengketakan sekitar 10.000 hektar.

Menurut data Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sumatera Selatan, terdapat 37 kasus sengketa lahan masyarakat dan perusahaan. Namun, versi Walhi Sumatera Selatan terdapat 57 kasus yang beberapa di antaranya berpotensi menimbulkan konflik terbuka seperti di Sei Sodong.  Selengkapnya...

Peringati Tragedi Sodong, Walhi Gelar Dzikir


Rombongan Walhi Sumsel dan beberapa elemen persatuan petani dari Banyuasin dan Muba baru saja tiba di Kecamatan Mesuji, Kabupaten OKI Kamis (12/1/2012) pukul 05.30. Saat ini mereka sedang beristirahat di rumah seorang perwakilan Walhi Sumsel yang ada di OKI.Banyaknya anggota yang datang membuat rumah seperti sebuah gubuk. Padahal, rumah tersebut bisa dibilang berukuran sangat besar.
Karena keterbatasan ruang, beberapa anggota terpaksa beristirahat di luar ruangan. Diantara mereka ada yang tidur dan ada juga yang menghabiskan malam dengan bercerita.
Rombongan ini berangkat dari Kantor Walhi Sumsel Rabu (11/1/2012) pukul 22.00. Mereka berangkat dengan menumpang dua bis kota Indralaya-Palembang. Satu mobil Toyota Avanza juga tampak mengiringi dua bis tersebut.
Rombongan dijadwalkan tiba di Desa Sodong Kecamatan Mesuji pada pukul 13.00. Rencananya di sana mereka akan mengadakan zikir bersama di tempat terjadinya Tragedi Sodong. Selengkapnya...

Walhi Sumsel Gelar Zikir Bersama dengan Warga Sungai Sodong Mesuji


Palembang - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan akan menggelar zikir bersama warga Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Zikir bersama tersebut dilakukan di lokasi konflik yang menewaskan sejumlah pada April lalu.

“Rencananya kami akan melakukan zikir di lokasi tragedi,” kata Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat, yang dihubungi, Kamis (12/01/2012).

Dijelaskan Sadat, selain aktivis Walhi Sumsel bersama mereka juga ada perwakilan petani dari daerah lain di Sumatera Selatan. Mereka baru sampai di Kecamatan Mesuji sekitar pukul 05.15, dan istirahat sejenak di rumah seorang warga.

Kemudian melanjutkan perjalanan ke Sungai Sodong, yang diperkirakan akan tiba sekitar pukul 13.00 WIB. Selanjutnya melakukan zikir bersama di lokasi konflik berdarah antara warga Sungai Sodong dengan karyawan PT Sumber Wangi Alam (SWA) yang menewaskan sejumlah orang pada April
2011 lalu.

Para aktifis Walhi Sumsel itu sendiri berangkat dari sekretariat Walhi Sumsel, Bukitkecil, Palembang, pada Rabu (11/01/2012) sekitar pukul 23.00 WIB. Mereka menggunakan dua bus dan sebuah mobil minibus.

sumber : Detik.com Selengkapnya...

Selasa, Desember 27, 2011

Ribuan Petani OKI Sumsel Aksi di Palembang

Palembang - Sebanyak 1.800 petani dari Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, melakukan aksi di Palembang. Mereka menuntut agar kepolisian ditarik dari lokasi perkebunan, serta mencabut izin perusahaan sebab keberadaannya merugikan rakyat.

Aksi dimulai pukul 09.00 dengan mendatangi Markas Kepolisian Daerah Sumatera Selatan di Jalan Jenderal Sudirman, Palembang. Mereka membawa spanduk dan ratusan bendera Walhi Sumsel. Mereka bergerak dari kantor Walhi Sumsel, di kawasan Bukitkecil, Palembang. Di Mapolda Sumsel mereka menuntut agar kepolisian menarik aparatnya yang diduga terlibat sebagai pengaman sejumlah perusahaan perkebunan. Pihak Polda Sumsel berjanji akan mengusut dugaan tersebut.

Di antara pengunjukrasa, yang sebagian dari Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, itu, kemudian melakukan aksi ke Kantor Gubernur Sumsel di Jalan Kapten A. Rivai Palembang.

Di sini, mereka menutut Gubernur Sumsel Alex Noerdin untuk memerintahkan Bupati Ogan Komering Ilir (OKI) Ishak Mekki untuk mencabut Izin Guna Usaha beberapa perusahaan asing yang beroperasi di OKI.

"Beberapa perusahaan itu kami dapatkan informasi merupakan perusahaan asing dari Malaysia. Yang menjadi permasalahan bagi kami, perusahaan-perusahaan itu menyerobot lahan kami," kata Sudir, seorang pengunjuk rasa.

Menurut Anwar Sadat, Direktur Walhi Sumsel, yang mendampingi para pengunjukrasa, permasalahan sengketa tanah milik petani di Sumatera Selatan, cukup banyak, semuanya berpotens terjadinya konflik berdarah seperti yang terjadi di Mesuji.

"Jadi guna mengantisipasi hal tersebut terjadi, sebaiknya pemerintah mencabut semua izin guna usaha semua perusahaan yang bermasalah itu," katanya.


Ditemui Wakil Gubernur

Demonstran diterima Wakil Gubernur Sumsel Eddy Yusuf. Kepada pengunjukrasa Eddy menyatakan akan menyampaikan semua tuntutan warga ke Gubernur Sumsel Alex Noerdin yang kini tengah berada di luar kota.

"Saat ini Gubernur Sumsel Alex Noerdin tengah ada tugas di luar. Saya berjanji, saat gubernur pulang pada tanggal 29 Desember nanti langsung saya sampaikan orasi kalian pada beliau," jelas Eddy, yang menyampaikan hal tersebut sambil naik mobil pick up pendemo yang terparkir di halaman kantor Gubernur Sumsel, Jalan Kapten A. Rivai, Palembang.

Mendapatkan pernyataan itu, sebagian pengunjukrasa tidak terima dengan menyatakan tidak setuju. Mereka tetap ingin bertemu dengan Gubernur Sumsel Alex Noerdin. Tapi reaksinya tidak terlalu berlebihan.

sumber : detiknews.com Selengkapnya...

Senin, Desember 26, 2011

Mesuji, Cermin Konflik Agraria yang Kronis

oleh :
S. Rahma Mary H
Noer Fauzi Rachman
 
Awal Desember 2011, publik Indonesia disentakkan dengan pengaduan perwakilan masyarakat beberapa desa di Mesuji Lampung kepada wakil rakyat di DPR RI. Mereka mengadukan peristiwa pembunuhan sekitar 30 orang masyarakat desa di sekitar perkebunan sawit di Kabupaten Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan.  Peristiwa itu terjadi antara 2009-2011.
Wakil masyarakat menyingkap tabir kejahatan perusahaan-perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) kepada masyarakat disekitar perkebunan kelapa sawit. Pertama, kasus pembunuhan warga Desa Sodong, Kecamatan Mesuji, Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan, dalam konflik tanah antara masyarakat dengan PT Sumber Wangi Alam,  kedua, kasus penembakan warga Desa Kagungan Dalam, Sri Tanjung, dan Nipah Kuning, Kecamatan Mesuji Kabupaten Lampung Utara, dalam konflik tanah antara masyarakat dengan PT Barat Selatan Makmur Investindo, dan ketiga, terbunuhnya seorang warga dalam konflik tanah di Register 45 Sungai Buaya Lampung antara masyarakat Kampung Talang Batu, Talang Gunung dan Labuhan Batin Kecamatan Way Serdang Kabupaten Mesuji Lampung dengan PT. Silva Inhutani.
Ketiga kasus diatas tergolong pelanggaran HAM yang dilandasi perampasan tanah masyarakat untuk perkebunan sawit yang terjadi disekitar tahun 1990-an. Pemerintah menyetujui permohonan-permohonan ijin pembukaan lahan untuk perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri yang diajukan perusahaan-perusahaan itu. Kemudahan memperoleh ijin lokasi bagi kedua perkebunan sawit dan ijin pengusahaan hutan tanaman industri untuk PT. Silva Inhutani menjadi permulaan konflik agraria ini.
Konflik agraria di Mesuji Lampung dan Sumatera Selatan tersebut, memecah kebekuan atas penanganan ribuan konflik agraria. Pemerintah lebih banyak mendiamkan konflik-konflik tersebut. Data yang dihimpun Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum dan Masyarakat (HuMa) menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir terdapat 108 konflik agraria di 10 provinsi di Indonesia yang didominasi oleh konflik tenurial dikawasan hutan (69 kasus) dan konflik perkebunan (23 kasus). BPN bahkan mencatat 8000 konflik agraria di Indonesia. Sementara Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663 diseluruh Indonesia. Konflik agraria ini melibatkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional, dan Perhutani. HuMa juga mengamati bahwa hampir disetiap konflik, terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian dan militer. Selain itu juga keterlibatan preman atau pamswakarsa. Pengusaha menggunakan mereka untuk mengamankan perusahaan dari tuntutan-tuntutan masyarakat atas tanah yang dikuasai perusahaan. Aparat keamanan yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat sesuai dengan fungsinya dalam Undang-undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian lebih memilih untuk menjaga kepentingan perusahaan. Masyarakat penuntut tanah, juga menjadi sasaran yang dikriminalkan aparat kepolisian.

Akar Konflik: Penggunaan dan Penyalahgunaan Kewenangan
Di masa Orde Baru, terutama disekitar tahun 1980-1997, pemerintah banyak memberikan ijin-ijin lokasi dan pengusahaan hutan kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang perkebunan dan pengusahaan hutan. Dari hasil investigasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), diketahui bahwa PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) mendapatkan ijin lokasi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI pada 1994 untuk tanah seluas 10.000 hektar untuk kebun inti dan 5000 hektar untuk kebun plasma. PT. BSMI lalu memperluas areal kebun sawitnya 2.455 hektar diluar ijin yang dikeluarkan BPN. Ijin pengusahaan hutan juga dikeluarkan Menteri Kehutanan untuk PT. Silva Inhutani pada 1991 diatas tanah seluas 32.600 hektar. Sementara PT. Sumber Wangi Alam, diduga mengambil alih tanah masyarakat Desa Sungai Sodong seluas 1533 hektar untuk perkebunan sawit.
Pemberian ijin-ijin untuk perusahaan-perusahaan tersebut tidak mempertimbangkan keberadaan penduduk desa yang terlebih dahulu ada diatas tanah-tanah tersebut. Masyarakat tak dimintai persetujuan atas keluarnya perijinan tersebut. Pemicu konflik agraria di areal HTI Register 45 Sungai Buaya adalah karena pemerintah telah memperluas luas kawasan hutan dimana sebagian tanah itu merupakan tanah adat. Tuntutan penduduk Desa Gunung Batu untuk pengembalian tanah yang diambil alih perusahaan seluas 7.000 hektar, hanya dikabulkan pemerintah seluas 2.300 hektar untuk kemudian di enclave dari kawasan HTI. Ironisnya, pihak perusahaan dan aparat menuduh penduduk desa itu di tuduh sebagai perambah hutan (Siaran Pers YLBHI, WALHI, Sawit Watch, KPSHK, HuMa, SPI, 16 Desember 2011).
Perampasan tanah oleh pemerintah dan perusahaan perkebunan, membuat penduduk yang menyebut dirinya sebagai masyarakat adat, terusir dari tempat tinggalnya. Padahal, bagi mereka tanah adalah syarat keberlanjutan kehidupannya. Karena itu, mereka kembali menuntut pengembalian tanah-tanah adat khususnya setelah masa reformasi 1998. Sayangnya, penuntutan kembali hak-hak atas tanah oleh masyarakat adat ini direspon secara represif oleh aparat Negara dan perusahaan.
Kasus Mesuji membukakan mata mengenai betapa mudahnya tanah-tanah masyarakat beralih menjadi penguasaan perkebunan besar. Masa lalu, sekarang, dan masa depan, penduduk desa pedalaman, mengalami penyingkiran melalui penggunaan dan penyalahgunaan kewenangan pemerintahan dalam memberikan konsesi dan mengunakan aparatus represifnya. Penyingkiran rakyat dari tanah model Mesuji ini adalah salah satu bentuk saja dari bentuk-bentuk penyingkiran lainnya. Hall, Hirsch, dan Li (2011), dalam bukunya Powers of Exclusion mengidentifikasi beberapa bentuk eksklusi (penyingkiran) masyarakat dari akses terhadap tanah atas tindakan para aktor yang berkuasa. Keenam bentuk eksklusi itu adalah: (1) regularisasi akses terhadap tanah melalui program sertifikasi tanah, formalisasi, dan pemindahan masyarakat, (2) ekspansi ruang dan upaya intensifikasi untuk mengkonservasi hutan melalui pembatasan pertanian, (3) datangnya tanaman-tanaman baru secara massif, cepat, dan terjadinya konversi tanah-tanah untuk produksi tanaman sejenis (monocropped), (4) konversi lahan untuk penggunaan diluar sektor agraris, (5) proses perubahan kelas agraria pada skala desa tertentu, dan (6) mobilisasi kolektif untuk mempertahankan atau menuntut akses tanah dengan mengorbankan pengguna tanah lain atau penggunaan tanah lainnya.
Kelapa sawit, menjadi komoditas monokultur andalan Indonesia selama duapuluh tahun terakhir. Keuntungan besar dan orientasi ekspor komoditas ini membuat pemerintah mendorong investasi besar-besaran perkebunan kelapa sawit. Terjadilah pembukaan tanah dan hutan besar-besaran khususnya di wilayah Sumatera. Kebijakan pemerintah yang pro investasi, mengakibatkan tercerabutnya hak-hak rakyat atas tanah. Rakyat tersingkir dari ruang hidupnya. Pemerintah menggunakan hukum negara secara membabi buta sebagai alat pelegitimasi perampasan tanah, dan menegasikan hukum lokal yang telah ada. Perusahaan, memanfaatkan perijinan tersebut untuk memperluas areal pengusahaan kelapa sawit.
Dalam kasus Mesuji, pemerintah sebenarnya telah mengetahui bahwa ada hak-hak penduduk di atas tanah yang disengketakan itu. Ini terlihat, misalnya dari kewajiban yang harus dilakukan perusahaan kepada mereka yang tinggal disekitar perkebunan. Dalam SK yang dikeluarkan, Menteri Kehutanan mewajibkan PT. Silva Inhutani memberikan ijin kepada masyarakat hukum adat/masyarakat tradisional dan anggota-anggotanya yang berada dalam wilayah kerjanya untuk memungut, mengambil, mengumpulkan dan mengangkut hasil hutan ikutan seperti rotan, madu, sagu, damar, buah-buahan, getah-getahan, rumput-rumputan,  bambu, kulit kayu, untuk memenuhi kehidupan sehari-harinya. Tetapi ‘niat baik’ ini sudah didahului dengan penyalahgunaan kewenangan berupa penyerahan tanah-tanah rakyat kepada perusahaan dengan Surat Keputusan pemberian ijin HTI.
Mesuji adalah contoh dari bagaimana kewenangan pemerintahan digunakan dan disalahgunakan untuk pengembangan perusahaan-perusahaan kapitalis raksasa. Secara umum kita menyaksikan tak henti-hentinya bagaimana perampasan tanah itu dibenarkan melalui proses yang saya istilahkan negaraisasi tanah-tanah rakyat, yakni tanah rakyat dimasukkan dalam kategori sebagai “tanah negara”, lalu atas dasar definisi “tanah negara” itu, pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Kehutanan, memberi konsesi untuk badan-badan usaha produksi raksasa. Konflik agraria di Mesuji adalah bagian kecil dari ribuan konflik agraria nasional. Setelah mencuatnya kasus Mesuji, berturut-turut konflik agraria bermunculan ke permukaan seperti konflik agraria di Pulau Padang, pembakaran rumah-rumah masyarakat adat di Sumbawa dalam konflik dengan Dinas Kehutanan, dan yang terbaru adalah kasus penembakan masyarakat di Sape, Bima karena memprotes tambang emas. Selama ini, belum ada penyelesaian menyeluruh mengenai konflik-konflik agraria ini.
Mesuji secara spektakuler memberi pelajaran sangat penting, apalagi pemerintahan SBY tengah memfinalisasi Peraturan Pemerintah tentang Reforma Agraria yang berjiwakan fungsi sosial atas tanah. Bagaimana birokrasi agraria saat ini, baik di Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional, dan lainnya  dapat mengatasi warisan, posisi, dan kebiasaan sebagai pelayan perusahaan kapitalis dengan menyingkirkan rakyat dari tanahnya. Ketidakadilan agraria ini bersifat kronis, dan tampil “meledak” seperti dalam kasus Mesuji ini,  tidak bisa diatasi dengan cara business as usual. Kita memerlukan langkah dari pimpinan tertinggi pemerintahan, Presiden Republik Indonesia, untuk menangani konflik-konflik agraria yang kronis. Kewenangan birokrasi sektoral tidak memadai mengatasi konflik-konflik agraria yang kronis ini. Masih dapatkah dalam proses finalisasi PP tentang Reforma Agraria itu dimasukkan pembentukan suatu lembaga khusus yang mengelola pelaksanaan reforma agraria, termasuk konflik-konflik agraria yang kronis? Quo vadis?
 
_______
*) S. Rahma Mary H, SH, MSi adalah Manager Program Pembaruan Hukum dan Resolusi Konflik pada Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), dan Noer Fauzi Rachman PhD adalah Anggota Perkumpulan HuMa, Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria, dan dosen studi agraria dan kebijakan pertanahan di Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Selengkapnya...

Kamis, Desember 22, 2011

Ratapan Warga Sungai Sodong Sumsel tentang Kasus Mesuji

Sungai Sodong - Warga Desa Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Sumatera Selatan (Sumsel) angkat bicara mengenai kasus Mesuji. Warga mengungkapkan inti permasalahan, yaitu sengketa di atas lahan yang mereka diami selama puluhan tahun hingga hadirnya perusahaan PT Sumber Wangi Alam (SWA) pada tahun 1996 hingga dijanjikan menjadi petani plasma.

Desa Sungai Sodong, merupakan salah satu desa yang didiami Suku Kayu Agung. Bahasa yang dipakai pun bukan bahasa yang dipakai di Palembang atau Lampung. Di Kecamatan Mesuji, Sumsel itu, Suku Kayu Agung juga mendiami beberapa desa yaitu Desa Sungai Badak, Desa Nipah Kuning, dan Desa Pagar Dewa. Tak heran, banyak warga di keempat desa itu berkerabat.

Kecamatan Mesuji di Sumsel dengan Kabupaten Mesuji di Lampung dipisahkan oleh Sungai Mesuji yang lebarnya 100-200 meter.

Untuk mencapai Desa Sungai Sodong, Sumsel, membutuhkan waktu 8-10 jam perjalanan darat dari Provinsi Lampung. Di desa itu, ada 400 kepala keluarga yang mencakup 1.500 jiwa.

Menurut Riyadi (bukan nama sebenarnya-red), salah satu warga yang dituakan di desa itu, sebelum ada perkebunan, Suku Kayu Agung sudah menempati tanah ulayat di wilayah itu turun temurun. Riyadi bahkan sudah sekitar 4 dasawarsa, semenjak lahir, mendiami wilayah itu.

Suku Kayu Agung hidup dari hutan dengan mencari kayu dan hasil hutan. Karena dekat dengan Sungai Mesuji, maka memancing ikan di sungai juga menjadi pilihan untuk bertahan hidup.

"Sekarang memancing sudah nggak karena di sungai semenjak ada industri, kalau habis pemupukan sawit, bekas pupuk turun ke sungai, ikan jadi susah," tutur Riyadi.

Dengan bahasa campur-campur, bahasa Indonesia dan bahasa daerah, Riyadi menjawab pertanyaan detikcom pada Rabu (21/12/2011). detikcom juga sempat menunjukkan rekaman video kasus Mesuji yang sudah tersebar luas di masyarakat.

Awal sengketa seperti apa?

Inti permasalahan ini adalah karena PT SWA tidak menepati janji mereka yang akan memberikan hak tanah plasma yang seluas 533 hektar tahun 1996. Lahan ini yang disebut plasma kelompok. Selain itu kami juga dijanjikan akan ada plasma desa seluas 1.000-an hektar. Kami hanya menuntut dipenuhinya hak kami yang seluas 533 ha saja, agar kami bisa makan, kami ini orang bodoh.

Kami sudah mengadukan kasus ini ke DPRD Kayu Agung sekali, dan Bupati OKI (Ogan Komering Ilir) dua kali pada awal 2011, namun tidak ada respons.

Sebelumnya pada awal tahun 2011 kami sempat menduduki lahan perkebunan sebanyak ratusan orang selama beberapa hari, akhirnya setelah ditemui pihak Kapolsek, Kapolres, mereka membubarkan aksi.

Sementara, peristiwa terbunuhnya dua warga kampung, hanya berjarak 10-15 hari setelah melakukan aksi di DPRD. Kami kaget, bukannya permintaan kami ditindaklanjuti tapi malah terjadi aksi pembunuhan.

Masalah video pembunuhan bagaimana?

Kami tidak mengenali video tersebut terjadi di kampung ini. Karena bentuk bangunan yang berbeda dengan rumah kebanyakan di wilayah kampung Sungai Sodong. Di Sungai Sodong itu rumah semuanya berbentuk panggung. Kan yang di video itu rumah rendah.

Selain itu wajah para korban juga tidak ada yang kami kenal, dan kami bisa memastikan bahwa wajah tersebut bukanlah Indra dan Syaktu Macan. Namun benar adanya warga, yaitu Indra Syafii (16) dan Syaktu Macan (17) tewas terbunuh. Mereka masih berkerabat, Syaktu itu paman Indra Syafii.

Awal kejadian terbunuhnya bagaimana Pak?

Jadi begini, tanggal 21 April 2011, Indra dan Syaktu itu akan pergi ke pasar naik motor berboncengan untuk membeli racun ilalang (herbisida). Di tengah jalan mereka dicegat dan terjadilah peristiwa itu. Kami baru mengetahui kejadian tersebut karena ada mayat sekitar jam 13.00 WIB datang. Saya nggak tahu siapa yang membawa mayat.

Setelah dilihat, ternyata Indra yang mati dengan luka tembak di dada kiri, dada kanan, dan dada tengah. Selain itu ada luka tembak di kepala, serta leher yang digorok hampir putus. Saya lihat dengan mata kepala sendiri.

Sementara Syaktu ditemukan dalam keadaan penuh luka bacok, dan masih nempel pisau. Pisaunya gede dan bergerigi, bukan pisau biasa.

Syaktu masih hidup, masih bisa ngomong. Sempat ditanya oleh warga, siapa yang melakukan? Dia mengatakan itu adalah Pam (sekuriti perusahaan-red), preman dan Brimob. Ketika dibawa ke Puskesmas nyawa Syaktu tidak tertolong.

Kondisi kampung sebelum ada mayat itu biasa saja, setelah itu baru geger. Takut ada yang menyerang lagi. Tapi kita nggak menyerang.

Apakah ada kehadiran Brimob?

Ada, mereka sering berjaga di sekitar PT.

Jumlah Brimob yang berjaga?

Nggak tahu pasti.

Kalau yang Bapak sebut preman apakah jumlahnya banyak?

Sekitar 40-an orang.

Sejak kapan mereka di sana?

Kalau tidak salah seminggu sebelum penusukan

Pam pernah melakukan kekerasan terhadap warga?

Tidak, tapi dari tatapan mereka saat kami melewati areal kebun yang dijaga mereka itu menunjukkan ketidaksukaan mereka kepada warga.

Pam dipersenjatai?

Senjata tajam, golok.

Setelah kejadian tersebut, kami warga hanya diam di kampung saja, kami juga tidak mengetahui kelanjutan kasus ini. Apakah dilanjutkan prosesnya atau tidak.

Namun kami ini warga Sodong apabila dijahatin kami tentu balas, tapi jika orang tersebut baik satu kali kami akan balas dengan 10 lebih kebaikan.

Sehari setelah kasus tersebut, pada tanggal 22 April 2011, ada satu warga yang diamankan oleh pihak kepolisian, namanya Goni. Dia berumur 16 tahun warga Desa Pagar Dewa, namun kakeknya merupakan warga Sungai Sodong.

Goni pada tanggal 22 April 2011 bermaksud mendatangi pemakaman, namun di sana malah ditetapkan sebagai tersangka. Namun warga tidak mengetahui. Kami tidak tahu Goni ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus apa, sekarang sudah berada di LP Tanjung Raja.

Dihukum berapa lama?

Nggak tahu saya

sumber : DetikNews. Selengkapnya...

Selesaikan Kasus Mesuji, Pemerintah Diminta Cabut Izin PT SWA


Kasus dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) harus segera diungkap. Agar penyelesaian berjalan baik, pemerintah diminta mencabut izin operasional PT Sumber Wangi Alam (SWA) terlebih dahulu.

“Saya pikir kalau perusahaan itu berhenti beroperasi, dan pemerintah menyelesaikan persoalan secara fair, itu yang baru namanya pemerintahan yang pro rakyat. Masak pihak yang jelas-jelas menyebabkan Indonesia menjadi sorotan international
tetap dibiarkan beroperasi. Kalau persoalan sudah selesai, mungkin mereka baru beroperasi kembali,” kata Direktur Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat kepada pers di kantornya, Kawasan Bukitkecil, Palembang, Selasa (20/12/2011) malam.

Menurut Sadat, dalam kasus Mesuji diduga ada unsur pelanggaran HAM yang dilakukan aparat. Hal ini dilihat dari sejumlah bukti yang ditemukan.

“Konflik itu sendiri memiliki indikasi pelanggaran HAM. Sejumlah bukti seperti selongsong peluru, luka akibat sangkur, dan pengakuan saksi bahwa seorang korban sebelum meninggal dunia menyebut adanya sosok aparat keamanan yang turut menyiksanya, semua itu harus diverifikasi. Artinya adanya pelanggaran HAM, kasus ini harus ditelusuri. Komnas HAM sudah tahu soal bukti-bukti sebagai indikasi pelanggaran HAM,” terangnya.

Kedua, tentu saja persoalan tanah ulayat yang telah dirampas perusahaan harus segera diselesaikan. Sebab menurutnya, itulah pangkal dari semua persoalan sehingga melahirkan konflik berdarah itu.

"Kalau dibilang saat ini tenang atau damai, dapat saja diterima. Tapi, percayalah, mana ada manusia di dunia ini yang tenang jika haknya dirampas dan keluarganya tewas atau diteror,” kata Sadat.

“Yang ketiga, yakni proses hukum yang saat ini sudah dijalankan kepolisian dan pengadilan. Jadi, masih ada dua lagi persoalan,” imbuhnya.

Sebelumnya Komnas HAM memastikan ada 8 orang tewas terkait insiden bentrok petani dengan perusahaan sawit. 8 Orang itu tewas di 3 tempat berbeda di Mesuji Lampung dan Mesuji Sumsel.

"Ada 3 kasus di 2 provinsi," demikian jelas Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim ketika dihubungi detikcom, Kamis (15/12). Ifdhal pun menjelaskan 3 kasus itu.

1. Kasus antara PT Sumber Wangi Alam (SWA) dengan warga di Sungai Sodong, Kecamatan Mesuji, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). Peristiwa terjadi 21 April 2011. Ada pembunuhan 2 warga. Pembunuhan terhadap warga ini membuat warga marah karena menduga 2 warga tewas korban dari PT SWA. Akhirnya, warga menyerang PT SWA yang menyebabkan 5 orang tewas yaitu 2 orang Pam Swakarsa dan 3 orang karyawan perusahaan.

2. Kasus antara PT Silva Inhutani dengan warga di register 45 di Kabupaten Mesuji, Provinsi Lampung, terjadi sejak tahun 2009. PT Silva mendapatkan penambahan lahan Hak Guna Usaha (HGU). Nah, penambahan HGU itu melebar hingga ke wilayah pemukiman warga sekitar. HGU ini menjadi sumber konflik karena warga yang sudah tinggal bertahun-tahun di wilayah pemukiman diusir. Rumah-rumah warga dirobohkan.

Komnas HAM masih menyelidiki adanya korban dari kasus kedua ini. Sehingga, Komnas HAM belum menyatakan ada korban tewas dari kasus ini.

3. Kasus antara PT Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) dengan warga di register 45, Kabupaten Mesuji di Provinsi Lampung, pada 10 November 2011. PT BSMI ini memang letaknya berdekatan dengan PT Silva Inhutani.
Ada penembakan terhadap warga yang dilakukan Brimob dan Marinir, 1 warga tewas dan 6 warga menderita luka tembak.

Selengkapnya...

Tim Pencari Fakta Bertolak ke Mesuji Malam Ini


Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Kasus Mesuji mulai bergerak melakukan investigasi ke lapangan. Malam ini, 21 Desember 2011, sejumlah anggota tim bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan berangkat ke Mesuji, Lampung, untuk menindaklanjuti data yang sudah terkumpul.

"Nanti malam sebagian dari kami berangkat ke Lampung. Sebagian lagi akan berangkat ke Mesuji, Sumatera Selatan. Yang ke Sumsel salah satunya Pak Ota (Mas Achmad Santosa, anggota Satuan Tugas Antimafia Hukum)," kata Ketua TGPF Denny Indrayana saat ditemui di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, siang ini.

Denny mengatakan investigasi ke lapangan dilakukan setelah pihaknya mengumpulkan data terkait kasus Mesuji dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi). "Setelah mengumpulkan data, kami ke lapangan untuk verifikasi dan klarifikasi, baru kemudian melaporkan hasilnya ke publik," ujar Wakil Menteri Hukum dan HAM tersebut.

Di Lampung, Denny yang dibantu tim asistensi akan fokus melihat kondisi sejumlah orang yang disebut-sebut menjadi korban kekerasan aparat keamanan perusahaan sawit. Menurut Denny, pihaknya juga akan melakukan verifikasi jumlah korban, serta mencari tahu kebenaran video kekerasan yang diserahkan warga Mesuji ke Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu, pekan lalu.

"Berapa pun jumlah korbannya, satu orang pun, penting untuk diketahui demi memberikan keadilan bagi korban. Soal video juga penting diverifikasi ketimbang berlarut-larut meributkan hal itu," ujarnya.

Mengenai kapan TGPF akan rampung melakukan tinjauan lapangan dan penelaahan data, Denny belum bisa memastikan. Ia menyebut, perumusan hasil kajian membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Kunjungan TGPF ke lapangan saja, kata dia, membutuhkan waktu beberapa hari.

Seperti diketahui, ada tiga kasus kekerasan yang terjadi di Mesuji. Pertama adalah kasus pengelolaan lahan adat di kawasan Hutan Tanaman Industri Register 45 Way Buaya yang menewaskan Made Asta pada 6 November 2010. Kedua, kasus sengketa tanah lahan sawit seluas 1533 hektare antara warga Desa Sei Sodong dengan PT Sumber Wangi Alam (SWA), yang berakhir dengan terbunuhnya dua petani tak bersenjata pada 21 April 2011. Ketiga adalah kasus lahan sawit seluas 17 ribu hektare antara warga Desa Sritanjung, Kagungan Dalam, dan Nipah Kuning dengan PT BSMI yang mengakibatkan tewasnya Zaini, November lalu.

Dari ketiga kasus tersebut, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Berry Nahdian Furqon menilai pemicu konflik adalah karena pihak perusahaan sawit telah merampas dan menguasai tanah warga dalam waktu yang lama, antara 10-17 tahun. Sementara warga yang memiliki tanah tersebut tidak menuai manfaat yang pantas.

Perusahaan sawit umumnya bertindak atas dasar Undang-Undang Perkebunan No.18 Tahun 2004. UU tersebut dinilai telah memberikan legalitas sangat kuat kepada perusahaan-perusahaan perkebunan untuk mengambil tanah-tanah yang dikuasai rakyat. Pasal-pasal dalam UU, menurut Walhi, memberikan ruang yang besar kepada perusahaan perkebunan untuk melakukan tindakan kekerasan dan kriminalisasi terhadap petani.

Adapun lima warga Mesuji mengadu ke Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Rabu pekan lalu. Pengacara warga, Bob Hasan, menuturkan, sejak 2009 sampai 2011 sudah 30 korban tewas dari pihak warga. Tujuh di antaranya korban insiden di Mesuji, Sumatera Selatan. Mereka juga menyerahkan rekaman video pembunuhan sadis sejumlah orang.

Selengkapnya...

Selasa, Desember 20, 2011

Jumlah Korban Mesuji itu Akumulasi sejak 2004


JAKARTA--MICOM: Ketua Tim Advokasi warga Mesuji Saurip Kadi mengatakan catatan dari pihaknya menunjukkan jumlah korban kasus Mesuji temuan pihaknya mencapai 32 orang yang merupakan akumulasi sejak tahun 2004.

"Jumlahnya sekarang 32 orang dan kemungkinan masih bertambah. Itu akumulasi dari kejadian tahun 2004 sampai 2011," ujarnya ketika dihubungi, Senin (19/12).

Ia menjelaskan lebih lanjut, semua korban tersebut merupakan kasus sengketa tanah di Sumatra Selatan dan Lampung. "Itu kami dapat dari 11 titik di Lampung dan Sumsel. Kasus-kasus yang lalu harus diungkap juga. Adapun polisi dan DPR kemarin hanya mendatangi dua tempat saja," tuturnya.

Namun Saurip enggan memaparkan di mana 11 titik lokasi tersebut pada saat ini. "Nanti akan diungkapkan pada waktu yang tepat, sekaligus ada testimoni dari keluarga korban."

Mengenai tim investigasi gabungan pencari fakta sendiri, ia mengaku pesimis dengan hasilnya. Karena sebelumnya, pemerintahan daerah setempat, Komnas HAM dan Walhi telah melakukan investigasi terhadap kasus-kasus pembantaian tersebut.

"Ini ujung-ujungnya buying time, kemudian nanti keputusan-keputusan yang lama diperhalus, mengaburkan fakta yang sebelumnya. Yang dibutuhkan rakyat saat ini adalah tindakan, bukan investigasi lagi," tukasnya. (Wta/OL-2)

sumber : micom Selengkapnya...

Mesuji, Potret Buram Konflik Agraria


MESUJI, akhir-akhir ini ramai diperbincangkan. Media menyebutkan ada pembataian petani di daerah itu. Kebenaran tentang informasi ini pun masih terus ditelusuri. Pemerintah dan DPR juga telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Mereka akan mengumpulkan bukti-bukti.

Sejumlah pihak pun melaporkan bukti-bukti awal terkait pembantaian itu. Ada Video, ada pula data-data statistik seperti yang dilaporkan Walhi. Menurut Walhi, pembantaian itu benar adanya, namun menyangkut video yang terlanjur beredar luas itu, Walhi menyatakan bahwa mereka tidak memiliki data akurat tentang video dimaksud.

Sejumlah pakar telematika sempat meragukan keaslian video itu. Pasalnya ditemukan penggalan-penggalan video yang terasa janggal. Diduga sebagian video itu merupakan peristiwa kekerasan yang terjadi di Thailand Selatan, bukan Mesuji.

Terlepas dari ramainya kasus Mesuji, sebenarnya hal itu hanyalah puzzle dari konflik agraria yang sering terjadi di Tanah Air. Jika ditelusuri kasus serupa juga banyak terjadi di Tanah Air. Walhi mencatat sepanjang 2011 hingga November, jumlah kasus konflik agraria ini mencapai 102 kasus. Angka ini diperkirakan masih akan melambung, karena banyak kasus yang tidak terdeteksi ataupun tidak terlaporkan.

Kasus konflik agraria yang sering mencuat ke permukaan adalah kasus-kasus sengketa yang melibatkan perusahaan dan warga, terutama dalam hal lahan perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan. Tentu saja kejadian ini harus dijadikan refleksi semua pihak.

Pemerintah berkewajiban menata ulang soal konsesi lahan ini. Jangan sampai konsesi ini menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar. Aspek penghargaan terhadap budaya lokal pun mesti dikedepankan. Tidak cukup itu, masyarakat sekitar juga harus mendapatkan manfaat positif dari keberadaan sebuah perusahaan, baik itu yang bergerak di perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan. Aturan tentang hal ini harus jelas dan mesti ditegakkan secara ketat.

Perusahaan pun wajib untuk menghargai aturan dan budaya lokal. Jangan karena mereka sudah memiliki hak konsesi lahan, lantas seenaknya untuk membabat habis tanpa mempedulikan masyarakat sekitar. Demikian juga masyarakat pun mesti taat hukum. Jika ada sengketa, sudah sepantasnya jalur hukum yang dikedepankan.

Mesuji mungkin bisa dijadikan awal yang baik bagi semua pihak untuk menata pemanfaatan lahan ini. Konflik mesti dihindarkan, apalagi konflik yang mengarah ke kekerasan fisik. Budaya timur selalu identik dengan gotong royong dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai masalah. Kiranya kekerasan fisik bukan jalan yang baik untuk menyelesaikan konflik. Dan, bagi siapa saja yang terbukti melakukan hal itu, pantas untuk diberikan hukuman yang setimpal.

Pelajaran berharga sudah diberikan Mesuji. Jangan ada lagi, daerah lain yang sama dengan Mesuji.


http://suar.okezone.com/read/2011/12/19/59/544170/mesuji-potret-buram-konflik-agraria
Selengkapnya...

Minggu, Desember 18, 2011

Pamswakarsa Mesuji Akui Dibekingi Brimob dan TNI

Pamswakarsa Mesuji Akui Dibekingi Brimob dan TNI
DUGAAN keterlibatan aparat negara dalam pembantaian warga Mesuji di Lampung dan Sumatra Selatan atas sengketa tanah di wilayah tersebut kian terkuak. Mantan pamswakarsa perusahaan perkebunan dalam kasus itu mengaku pembunuhan keji itu dibekingi Brimob dan TNI.

"Yang di film (video), kejadian yang ditayangkan TV itu memang benar ada. Kalau ada yang mengatakan rekayasa, saya bertanggung jawab dan siap menunjukkan lokasinya," kata mantan pamswakarsa perkebunan PT Silva Inhutani, Trubus, dalam konferensi pers di kantor Kontras, Jakarta, kemarin.

Dalam video itu tampak sejumlah orang mengenakan seragam Brimob dan TNI dengan membawa senjata berada di lokasi pembunuhan. Menurut Komnas HAM, PT Silva Inhutani adalah satu dari tiga perusahaan yang paling banyak terlibat sengketa tanah dengan warga (Media Indonesia, 16/12).

Trubus menjelaskan pamswakarsa perkebunan tidak dipersenjatai dengan senjata api. "Kami diminta membawa golok atau pisau. Kami berani karena di belakang kami ada aparat dan Brimob," paparnya.

Lebih lanjut Trubus mengungkapkan jumlah pamswakarsa yang bertugas mengamankan hutan tanaman industri milik PT Silva Inhutani sebanyak 200 orang. Ia juga menyebut Daniel, warga negara Malaysia, sebagai komandan pamswakarsa. "Bagaimana mungkin pamswakarsa yang jumlahnya 200 orang mengusir ribuan warga desa," tuturnya.

Salah satu korban di Mesuji, Lampung, Wayan Sukadana, pun menyebut Daniel sebagai pemimpinnya (pamswakarsa). "Dia manajer lapangan yang wujudnya manusia, tetapi hatinya binatang," ujarnya.

Mediator advokasi korban pembantaian, Saurip Kadi, menambahkan sangat tidak mungkin pamswakarsa mengusir petani di wilayah Mesuji tanpa ada beking aparat. "Kita tahu ada negara dan pemerintah, tapi yang berkuasa secara riil adalah uang dan senjata dalam konteks tanah," tukasnya.

Menurut laporan keluarga warga, ada 30 orang korban tewas dan ratusan lainnya luka-luka dalam pembantaian tersebut.

3.000 warga mengungsi

Saat ini, ada sekitar 3.000 warga Mesuji, Lampung, yang mengungsi sejak rumah mereka digusur dan dibakar. Dari jumlah itu, sekitar 700 anak tidak bisa bersekolah.

"Kami minta pemerintah memberikan jaminan dan mengembalikan hak-hak yang sebelumnya kami miliki," kata saksi kekejaman pamswakarsa di Mesuji, Mathius Totok Nugroho.

Terkait dengan dugaan keterlibatan Brimob dalam kasus itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo menyatakan sudah ada dua anggotanya yang telah diproses. "Kalau terbukti, nanti ada pidananya," ujarnya di Mabes Polri.

Sebelumnya di Semarang, Jawa Tengah, Timur menegaskan Polri tidak akan menarik Brimob dari Mesuji. Keberadaan polisi di tempat itu justru untuk mencegah terjadinya pelanggaran hukum lebih lanjut.

Pada bagian lain, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono membantah keterlibatan anggota TNI dalam pembantaian itu. Menurutnya, keberadaan TNI di lokasi kejadian justru untuk melerai pertikaian. "Jika ada foto tentang anggota TNI, itu sehabis kejadian," pungkasnya.

Sumber : media Indonesia Selengkapnya...

Sabtu, Desember 17, 2011

Aparat Dinilai jadi Centeng Perusahaan

JAKARTA--Kasus berdarah di area perkebunan sawit Kabupaten Mesuji Lampung dan Kecamatan Mesuji, Ogan Kemering Ilir (OKI), Sumsel, dinilai hanya puncak gunung es. Di sejumlah daerah, perkara serupa sering terjadi. Hanya kadar kekerasan saja yang membedakan.

Direktur Eksekutif  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)  Berry Nahdian Forkan mengatakan, konflik lahan antara petani dengan perusahaan sawit semakin runcing karena keterlibatan aparat kepolisian. Walhi menyebut aparat lebih berperan sebagai centeng perusahaan, dibanding membela warga.

"Keterlibatan aparat polisi dalam semua kasus justru bukan untuk meredam konflik melainkan melindungi perusahaan. Maka jangan heran jika organisasi masyarakat sipil mengkategorikan mereka sebagai centeng perusahaan," kata Berry Nahdian di Sekertariat Walhi, Jakarta Selatan, kemarin (16/12).

Dengan tegas, Walhi mendesak Kapolri Jenderal Timur Pradopo agar segera menarik seluruh personilnya dari area perkebunan sawit di beberapa daerah Indonesia.

Walhi memberi contoh peran aparat di tragedi Mesuji. Menurut Bery, pemicu konflik karena pihak perusahaan perkebunan sawit telah merampas dan menguasai tanah warga sejak lama. Perusahaan lantas meminta aparat tersebut menjaga dan mengamankan wilayah tanah perusahaan dari serangan warga yang biasanya melawan karena merasa tanahnya dirampas.

Dengan dalih menjaga keamanan, polisi bermarkas di areal kebun sawit dengan mendirikan pos-pos di dalam lahan perkebunan seperti didapati di PT BSMI di Lampung. Kondisi seperti ini yang memperuncing konflik. "Dan polisi pun dengan mudah memuntahkan peluru ke arah masyarakat tanpa mengikuti SOP," ucapnya.

Data Walhi menyebutkan, dari Januari hingga November 2011, ada lebih 102 kasus kekerasan baik di area kebun sawit, tambang, dan hutan. Dari 102 kasus tersebut, 123 warga dikriminalkan, 62 orang luka tembak, 26 orang dianiaya, dan sembilan orang meninggal dunia.

"Ini semua dilakukan oleh aparat kepolisian khususnya brimob yang bertugas untuk menjaga lahan perkebunan dan pertambangan. Dan kalau ini tidak segera dihentikan oleh negara, ke depan, potensi konflik akan semakin besar, ribuan orang akan menjadi korban," katanya.

Terpisah, Kapolri Jenderal Timur Pardopo membantah tudingan itu. Dia tegasnya, polisian bersikap tidak memihak. Hanya saja diakui, tidak tertutup kemungkinan ada anggotanya yang nakal. "Kita netral, kita jamin. Kalau ada anggota kita yang seperti itu, ya kita proses dan kita luruskan,’’ ujar Timur di Mabes Polri, Jumat (16/12). (sam/jpnn)
Selengkapnya...

Pisau Berdarah Ini Saksi Bisu Derita Warga Sodong, Mesuji, Sumsel

JAKARTA,  - Potret sebilah pisau berdarah dikirimkan WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) Sumatera Selatan kepada PedomanNEWS.com, Sabtu (17/12/2011). Selama ini Walhi Sumsel adalah organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dengan reputasi nasional dan internasional, selalu mendampingi (advokasi) warga yang bersengketa dengan pengusaha terkait lingkungan hidup, juga tanah rakyat.
 

"Pisau ini saksi bisu kematian 2 (dua) warga Sodong #Mesuji Ogan Komering Ilir, ada yang tahu ciri pisau milik "oknum" aparat?" Tanya Walhi Sumsel. Jenis pisau Cobra, panjang blade 19 (sembilan belas) centimeter, panjang gagang 11 (sebelas) centimeter, ketebalan pisau 6 (enam) milimeter, lebar blade 4 (empat) centimeter, bahan blade baja per.

Walhi (wahana Lingkungan Hidup) Sumatera Selatan sudah pernah merilis kronologis dari hasil investigasi bentrokan yang terjadi antara masyarakat desa Sodong dengan PT SWA (Sumber Wangi Alam) , Kecamatan Mesuji Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), pada Minggu, 24 April 2011. Direktur Walhi Sumatera Selatan, Anwar Sadat mengatakan kepada PedomanNEWS.com dalam bentrokan ini tidak ada warga yang merekam kejadian tersebut namun dia tidak membantah jika paska bentrokan itu ada warga yang merekam, kemungkinan versi itulah yang diputar di DPR dan sekarang muncul di media massa.

Pada hari Kamis, 21 April 2011, warga mendapati satu orang warganya tewas di bunuh dengan leher di gorok dan nyaris putus serta luka tembak sebanyak 3 liang bernama Indra Syafe’i (19). Sekitar 30 meter dari Indra Syafe’i, warga juga mendapati warganya bernama Saktu (20) terkapar bersimbah darah dengan telinga, bahu di bacok dan sebilah pisau belati masih menancap di pundaknya. Pada saat di temukan, Saktu masih bernafas dan masih bisa bicara, almarhum menyampaikan kepada warganya “jangan tinggalkan aku, tolong aku, aku di keroyok oleh satpam dan petugas”. Tidak lama kemudian, dalam perjalanan Saktu menghembuskan nafas terakhirnya.

Tim PedomanNEWS.com
Selengkapnya...

Jumat, Desember 16, 2011

Walhi Duga Polisi Terlibat Bentrok Sungai Sodong


 Bentrok yang terjadi di Desa Sungai Sodong, Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan, beberapa waktu lalu, dinilai mengindikasikan keterlibatan aparat keamanan.

Penilaian itu disampaikan Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatra Selatan Anwar Sadat di Palembang, Sumatra Selatan, Jumat (16/12). Anwar bukan tanpa alasan, konflik pertanahan itu tak pernah kunjung selesai, malah cenderung ditutup-tutupi.

Ia mengaku sempat mendatangi lokasi bentrok dan menanyai warga sekitar. Hasilnya, ia mendapat keterangan dari salah satu warga bahwa perusahaan kelapa sawit yang bertindak refresif terhadap warga dibantu aparat kepolisian.

Sumber : Metrotvnews.com Selengkapnya...

Pembantaian Mesuji, Kegagalan Aparat dan Negara

Apakah benar telah terjadi pembantaian petani di Kabupaten Mesuji, Lampung? Pihak kepolisian daerah Lampung maupun Kapolri Jendral Timor Pradopo membantahnya. Namun bantahan itu disanggah oleh direktur Walhi Nasional Berry Nahdian Forgan yang baru saja kembali dari Mesuji untuk melakukan investigasi.
"Pembantaian itu memang betul terjadi. Ada rekaman video dan gambar-gambarnya," tegas Berry kepada Radio Nederland Wereldomroep. "Kami di sana menemukan selongsong-selongsong peluru yang berhamburan. Bukan peluru karet seperti pernyataan yang dikeluarkan. Ini fakta."

Tiga kasus
Namun Berry menjelaskan ada tiga kasus kekerasan yang terjadi di Mesuji, berdiri sendiri-sendiri walaupun semuanya melibatkan konflik antara perusahaan perkebunan dengan warga setempat.
Pertama, kasus pembantaian di bulan April, kedua kasus penembakan, dan ketiga kasus penembakan dan pembunuhan di bulan November lalu. Dalam kasus terakhir, satu orang meninggal dan tujuh luka-luka akibat tembakan aparat Brimob.
Penyebab peristiwa terakhir: perkebunan kelapa sawit mengambil lahan masyarakat dengan perjanjian memberi ganti rugi serta membuat lahan inti dan plasma. Warga dan perusahaan sepakat bahwa warga hanya memanen sawit di lahan plasma, tapi oleh aparat keamanan mereka dianggap pencuri dan ditangkap.
Ketika warga protes, aparat melepas tembakan dan berbuntut pada kerusuhan dan pembakaran. Demikian jelas Berry. "Jadi bukan seperti yang dikatakan polisi bahwa pembakaran terjadi dan aparat baru melepas tembakan."

Ditutup-tutupi
Menurut Berry, tereksposnya kasus-kasus sekarang ini karena adanya upaya untuk menutup-nutupinya. Pertama untuk kepentingan korporasi, kedua kepentingan aparat keamanan itu sendiri, dan ketiga dicurigai ada elit-elit politik yang berada di belakangnya.
Kasus Mesuji ini hanyalah satu dari 101 kasus pelanggaran dan tindakan kekerasan yang dicatat Walhi dalam tahun 2011, yang melibatkan aparat dalam menangani konflik pengelolaan sumber daya alam antara warga dengan perusahaan.
Sebanyak 123 orang ditahan, 26 luka berat, dan sembilan meninggal dunia. Terdapat 62 orang terkena luka tembak.
Mengomentari kenyataan di atas, direktur Walhi mengatakan, "ini menunjukkan kebobrokkan negara dalam mengurus warganya untuk mendapatkan hak-hak mereka seperti lahan dan mata pencaharian." Aparat yang seharusnya bertindak netral, justru berada di pihak perusahaan karena mereka dibayar.
"Kami temukan di semua tempat termasuk di Mesuji, mereka dibayar langsung oleh perusahaan untuk mengamankan".

Kebablasan
Walhi menyatakan kecewa dengan kelambanan Komnas Ham dalam menanggapi peristiwa ini. Walaupun mereka telah turun ke lapangan, tapi tindakannya terlalu lamban. Walhi juga meminta DPR untuk memanggil Kapolri serta melakukan evaluasi terhadap kewenangan polisi. "Tindakan aparat sudah kebablasan," demikian Berry mengakhiri penjelasannya.

Sumber : http://www.rnw.nl/bahasa-indonesia/article/pembantaian-mesuji-kegagalan-aparat-dan-negara
Selengkapnya...

Komnas HAM kritik aparat yang lamban tangani kasus Mesuji

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengkritik sikap aparat kepolisian yang dinilai saling lempar tanggung jawab terkait kasus pembunuhan di Mesuji, Lampung dan Sumatera Selatan.
Dari kedua kasus itu sedikitnya menurut polisi sudah delapan orang tewas, sementara menurut warga yang terlibat konflik sudah jatuh lebih dari 30 korban sementara puluhan orang masih dalam tahanan polisi.
Dalam laporan penyelidikan serta rekomendasinya pada aparat, Komnas HAM menyatakan sudah menangani kasus kekerasan di dua wilayah yang berbeda ini sejak tahun 2009.
"Kami sudah serahkan hasil penyelidikan dan rekomendasi pada kepolisian, juga (pemerintah) provinsi, tapi tidak ada tindak lanjut," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim.
Konflik terbuka pecah di Desa Sodong Kec. Mesuji Kabupaten Ogan Kemering Ilir, Provinsi Sumsel, pada April lalu dan mengakibatkan sedikitnya tujuh korban tewas, padahal menurut Ifdhal sebenarnya bentrokan bisa dicegah.

Tersangka ditahan

Kasus perebutan lahan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan warga sekitar ini sudah dimulai setidaknya sejak 2009, saat PT Sumber Wangi Alam di Kecamatan Mesuji OKI, Sumsel, berniat memperluas wilayah perkebunan sawitnya.
"Yang tidak diungkap adalah bagaimana aparat lebih condong pada perusahaan daripada melakukan tindakan pencegahan agar bentrok pecah."Anwar Sadat
Warga yang merasa haknya dilanggar marah dan meyampaikan protes hingga beberapa kali memicu bentrok terbuka.
"Mulanya ada dua warga yang ditemukan dalam kondisi sangat mengenaskan, penuh luka tusuk," kata Anwar Sadat, dari Walhi Sumatera Selatan yang beberapa tahun terakhir banyak mendampingi warga setempat dalam konflik perebutan lahan dengan perusahaan kelapa sawit.
Massa yang marah kemudian menuntut balas dengan menyerbu areal perkebunan. Namun mereka disambut oleh personel TNI dan Polri yang diminta pemilik perkebunan untuk menjaga lokasi, ditambah ratusan warga yang disewa perusahaan sebagai anggota pengaman swakarsa.
Polisi mengatakan lima orang tewas akibat kekerasan, yaitu dua anggota pengaman swakarsa serta dua pekerja perkebunan. Aparat kini menahan lima tersangka dari kubu warga yang diajukan ke pengadilan.
Kekerasan berlatar konflik perebutan lahan juga terjadi di Kalimantan, Papua dan Sulawesi.
"Yang tidak diungkap adalah bagaimana aparat lebih condong pada perusahaan daripada melakukan tindakan pencegahan agar bentrok pecah," tambah Anwar.

Keterlibatan aparat

Bentrok lain pecah di wilayah hutan Register 45, Kecamatan Mesuji Timur, Kabupaten Mesuji, Lampung pada November lalu.
Warga menyerbu areal karena perebutan klaim atas lahan dengan perkebunan kelapa sawit PT BSMI. Menurut temuan Komnas HAM, lokasi perkebunan juga dijaga oleh PAM Swakarsa, tentara, marinir dan Brimob. Seorang warga tewas akibat tembakan polisi.
"Memang betul ada tembakan aparat, tetapi itu karena warga melawan petugas," kata Humas Polda Lampung, AKBP Sulistyaningsih
Aparat yang melakukan penembakan menurut Sulistyaningsih telah diperiksa dan dikenai sanksi.
Sekalipun klaim warga melawan petugas itu benar, Ifdhal Kasim tetap berpendapat bentrok sebenarnya bisa dihindari mengingat di wilayah itu sudah sering terjadi ketegangan sebelumnya antara warga hutan Register 45 dengan PT Silva Inhutani, sebuah perusahaat sawit lain yang juga membuka lahan di sana.
"Kalau konflik lahan bisa diselesaikan lebih objektif dan tidak diambangkan seperti ini maka masyarakat tidak menyelesaikannya sendiri, cara seperti ini tidak terjadi," tegas Ifdhal.
"Itu bukan di wilayah polda Lampung. Kejadian tersebut terjadi di PT SWA 21 April 2011, yang berlokasi di Desa Sodong, Kecamatan Mesuji Kabupaten OKI, Sumsel."
AKBP Sulistyaningsih
Indikasi keterlibatan aparat, menurut Ifdhal, menunjukkan keberpihakan aparat yang lebih condong pada pemilik modal ketimbang warganya sendiri.

Lempar tanggung jawab

Hal lain yang juga disesalkan Komnas adalah munculnya kesan kepolisian saling lempar tanggung jawab dalam bentrok di dua wilayah ini.
Meski mengaku sempat terjadi bentrokan November lalu di wilayah Polda lampung, kepada BBC Humas Polda AKPB Sulistyaningsih membantah bentrok dengan jatuhnya banyak korban terjadi di wilayahnya.
"Itu bukan di wilayah polda Lampung. Kejadian tersebut terjadi di PT SWA 21 April 2011, yang berlokasi di Desa Sodong, Kecamatan Mesuji Kabupaten OKI, Sumsel," tegas Sulistyaningsih.
Sebaliknya menurut seorang pejabat di kepolsiian Sumsel, AKBP Abu Sofa Ibrahim, bentrokan justru banyak terjadi di Lampung.
"Mesuji itu sedikit sekali yang masuk wilayah kami, itu kebanyakan di lampung," kata Abu.
Komnas HAM menilai situasi semacam ini turut menyebabkan kasus berjalan tanpa penanganan yang layak dari aparat sehingga letupan konflik terus terjadi.
Setelah sempat diadukan ke Komisi III DPR kemarin, hari ini Presiden memerintahkan agar Menteri Koordinator Politik dan Keamanan serta Kapolri membentuk tim pencari fakta ke lokasi konflik.
Kalangan pegiat HAM dan lingkungan menyatakan kasus-kasus kekerasan berlatar perebutan lahan bukan hanya terjadi di Mesuji, tetapi menjadi fenomena yang hampir merata di seluruh Indonesia sejak pemerintah mengizinkan pembukaan hutan untuk perluasan perkebunan sawit.

Sumber : http://www.bbc.co.uk Selengkapnya...

57 Kasus Sengketa Lahan di Sumsel Rawan Konflik

PALEMBANG - Kasus sengketa lahan antara warga dan pihak swasta di Desa Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, hanyalah satu dari banyak kasus perebutan lahan yang berujung konflik. Masih ada sekira 57 titik sengketa lahan di wilayah Sumsel yang berpotensi menimbulkan konflik.

Sengketa lahan itu terjadi di sembilan kabupaten yang ada di Sumsel yakni Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, Palembang, Banyuasin, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Muara Enim, OKU Timur, dan Lubuk Linggau.

Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Anwar Sadat, mengatakan sengketa tanah untuk perkebunan sudah terjadi sejak 1987 seiring masuknya pihak swasta untuk membuka perkebunan dengan mengambil tanah rakyat.

“Dari tiga tahun terakhir ini, kami mencatat ada 57 kasus yang terjadi di Sumsel, Ini kebanyakan dari pembukaan lahan perkebunan oleh perusahaan swasta," ujar Sadat, Jumat (16/12/2011).

Dituturkannya, persoalan konflik terjadi karena tingginya kepentingan pemegang modal yang diberikan izin oleh pemerintah, sehingga hak-hak atas tanah rakyat dirampas.

“Dalam membuka kebun sawit untuk pihak swasta, biasanya pemerintah hanya melihat sisi formal kepemilikan lahan saja, tidak melihat sisi historis dan sosiologi. Akibatnya rakyat dirugikan karena kehilangan lahan produktif,” jelas Anwar.

Dijelaskannya, Walhi yang selalu aktif memberikan advokasi kepada warga sekaligus menginvestigasi kasus lahan konflik. Dia mengakui banyak menemui kendala karena keterlibatan aparat dalam melindungi perusahaan swasta.

“Puncaknya terjadi pada 21 April lalu di Sodong, Kecamatan Mesuji, OKI, yang mengkibatkan tujuh warga sipil tewas, tujuh lainnya masuk penjara, dan beberapa orang dinyatakan buron,” paparnya.

Kasus sengketa lahan di Sumsel, lanjut dia, terkesan mengambang pasalnya karakter masyarakat di Sumsel lebih menahan diri karena takut terjadi korban jiwa. “Seperti kasus di Muba (Musi Banyuasin), di Desa Sinar Harapan ini bisa saja terjadi konflik padahal sengketa ini sudah terjadi sejak 2007,” sebutnya.

Sumber : okezone.com Selengkapnya...

Banyak Kasus yang Berpotensi MESUJI

Wahana Lingkungan hidup indonesia sumsel, memprediksi kejadian seperti mesuji akan terulang dibanyak tempat. “ Kami memprediksi, sedikitnya ada 50 kasus yang berpotensi akan terjadi seperti mesuji, dan berada di 9 kabupaten/Kota di sumatera Selatan Ungkap hadi jatmiko Kepala Divisi Pengembangan dan Pengorganisasian Rakyat (PPER) Walhi Sumsel,


Hal ini disebabkan praktek pembiaran yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah terhadap konflik konflik lahan yang ada di Sumatera Selatan. Padahal masyarakat telah berulang kali mengadukannya kepada Pemerintah daerah baik melalui surat resmi maupun laporan yang diikuti dengan aksi massa.

Selain itu konflik ini akan terjadi  karena pemerintah eksekutif maupun legislative,tidak pernah mau menghentikan Bisnis pengamanan yang selama ini sering dilakukan oleh aparat kepolisian dengan Pihak perusahaan

“Polisi selalu berada di barisan terdepan melindungi Perusahaan dan  mereka selalu ikut serta dalam praktek perampasan tanah rakyat yang dilalukan oleh perusahaan. Ungkap Hadi Jatmiko

Disebutkan oleh hadi, contoh konflik yang jika tidak diselesaikan segera, berpotensi  seperti Mesuji adalah konflik antara warga desa Nusantara melawan Perusahaan sawit PT. SAML  di kabupaten OKI. Dimana 3 hari lalu (13/12) pihak Perusahaan bersama Brimob mendatangi warga untuk meminta warga segera melepaskan 1.200 hektar lahan Pertanian mereka, dengan alasan bahwa lahan tersebut milik perusahaan.

Kasus Lainnya adalah yang terjadi di kabupaten Musi Banyuasin desa Sinar harapan dan desa Simpang bayat, yang berkonflik dengan Perusahaan yang bergerak di Industri Kehutanan. seperti PT. Bumi Persada permai Graoupnya Sinar mas dan PT. Pakerin. Semua Perusahaa tersebut selalu menggunakan Aparat Brimob untuk menakut nakuti dan Mengusir Warga dari Lahannya.
Selengkapnya...