WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Sabtu, Agustus 04, 2012

Limbang Jaya tidak seperti dulu lagi.


Pasukan Brimob dan Polisi saat penyerbuan di limbang jaya

Tiga hari pasca penyerbuan satuan Brimob Polda Sumsel (27/7), di desa Limbang Jaya Ogan Ilir Banyuasin, situasi desa sangat berubah. Aksi penembakan yang dilakukan satuan khusus kepolisian telah menciptakan trauma yang tersistematis (traumatis) bagi warga desa, terutama perempuan dan anak-anak. Saat ini, warga desa menjadi lebih tertutup.

Traumatis ini tidak hanya dialami oleh warga desa di mana aksi penembakan yang menelan korban. Ratusan warga di beberapa desa sekitar lokasipun mengalami tekanan spikologis yang sama.Takut dan tertutup.

Traumatik yang dialami warga desa Limbang Jaya dan sekitarnya masih sangat terasa, apalagi mengingat aksi penembakan terkordinir (sweeping) anggota Brimob Polda telah mengakibatkan seorang anak warga desa, Angga bin Dewmawan, 12, tewas dan empat warga lainya mengalami luka tembak.

Perubahan spikologis ini, tentu mempengaruhi budaya dan perilaku warga desa setempat. Budaya yang terbangun atas kebiasaan hidup nyaman, berdampingan dengan keramahtamahan antar warga berubah drastis di desa Limbang Jaya sekitarnya. Warga desa cendrung sangat tertutup dan terkesan “waspada” dengan cenderung mencurigai setiap kunjungan orang asing yang masuk ke desa mereka.

Mungkin hal ini wajar, mengingat pasca aksi penyerbuan, lokasi desa memang menjadi pusat perhatian semua pihak, mulai dari awak media, tim penyidik kepolisian sampai pada kunjungan-kunjungan orang yang memiliki kepentingan lainnya.

Perubahan mendasar terjadi pada budaya masyarakat desa. Sebelum aksi sweeping Brimob, warga desa terutama laki-laki sangat terbiasa berada di luar rumah hingga tengah malam. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan memang saat malam hari, mereka hanya berkumpul di balai-balai depan rumah dan berjaga-jaga untuk keamanan desa. Budaya berkumpul ini pun menciptakan rasa aman bagi warga desa.

Tapi kini, kebiasan yang membudaya itu sudah tidak ada. Warga desa, lebih memilih berada di dalam rumah. Sejak habis ibadah sholat isya’, jalan-jalan di desa sudah sepi. Tak lagi ada, warga yang berkumpul di luar rumah, tak ada lagi ada warga yang berani keluar rumah. Perubahan harmonisasi budaya ini cendrung menciptakan kondisi mengcekam di desa.

Perubahan nilai budaya lainya, terasa pada ibu-ibu yang sebelumnya berprofesi sebagai pengerajin, penenun kain. Mereka cendrung tidak lagi aktif berproduksi kerja di rumah. Mereka lebih memilih mengurung diri, tertutup di rumah atau malah merasa aman jika berkumpul dengan para tetangga untuk saling menjaga antar satu warga dengan warga lain.

Rusman korban luka tembak oleh Brimob dan polisi saat terjadi penyerbuan desa Limbang jaya, tangan kirinya harus diamputasi karena tembakan Brimob telah meremukan tulang tangannya.
Traumatik ini pun mengakibatkan ibu-ibu yang seharusnya memiliki kegiatan rumah tangga, seperti memasak dan mengurusin anak dan suami cendrung lebih pasif.

Sebelumnya aksi penembakan terjadi, budaya masyarakat Limbang Jaya dengan menabuh baduk di Masjid menjadi tradisi masyarakat yang mengikat. Tabuhan beduk menjadi tanda dengan tiga makna, yakni tabuhan karena telah terjadi kebakaran, pencurian atau kedatangan polisi memasuki desa.

Saat kejadian, tepatnya saat belasan mobil anggota Brimob yang mengangkut ratusan anggota memasuki desa, tabuhan beduk bertalu-talu menjadi panggilan tak langsung warga untuk berkumpul. Saat itu, warga terutama ibu-ibu pun menjadi sanksi kehadiran ratusan anggota polisi dan tindakan brutal mereka.

Nurlaila, perempuan setengah baya ini mengaku sempat mengetahui aksi penembakan dan penyerbuan polisi Brimob ke desa Limbang Jaya. Saat kejadian berlangsung dirinya berada di dalam rumah. Namun, karena kondisi yang tidak nyaman, dia memilih mengungsi bersama dengan ibu-ibu dan anak-anak lainnya ke rumah tetangga. Saat itu, isak tangis dan teriakan histeris saling bertautan terdengar. Saat polisi dengan leluasa masuk ke dalam rumah melakukan swepping dan suara tembakan yang mengenai jeruji pagar masjid, mereka mengaku sangat takut dan hanya bisa berkumpul di lokasi keluarga terdekat. Traumatis akan kenangan itupun, membuat warga terutama ibu-ibu akhirnya selalu tidak tenang dengan tabuhan beduk di masjid.

“Desai kami ini aman-aman saja, beduk hanya berbunyi jika ada bahaya besar. Kemarin (saat kejadian), beduk ditabuh berkali-kali. Sampai sekarang, saya takut mendengar bunyi beduk,”ungkap Nurlaila.

Hal yang sama diceritakan Saipah, perempuan dengan lokasi rumah bersebelahan dengan masjid Darusallam, radius lokasi terdekat dimana korban Angga tewas. Saipah menceritakan saat kejadian, awalnya sedang santai di dalam rumah. Lalu beberapa menit setelah beduk sholat Ashar dibunyikan, tiba-tiba beduk kembali dibunyikan dengan nada tanda bahaya.

Sontak, dia langsung keluar untuk mengetahui kejadian apa terjadi sehingga beduk dibunyikan berkali-kali. Beberapa menit kemudian, dia melihat belasan anggota polisi telah datang dari seluruh jalan masuk desa.

Saat sang suami tidak ada di rumah karena masih bekerja sebagai pandai besi di rumah tetangga, Saipah yang sedang mengandung anak pertamanya itu langsung ketakutan dan memilih mendekam bersama dengan tiga ibu-ibu lainnya di rumah tetangganya. Beduk kembali berbunyi bertaluh-taluh, mereka pun semakin takut.

Saat itu, meski polisi tak mengeluarkan suara sedikitpun, tapi suara hentakan kaki dan bunyi peluru yang ditembakkan terorganisir sangat mudah terdengar. Meraka merasakan sangat ketakutan.

Ingatan atas kejadian inipun tidak mudah dilupakan, kata Saipah.

Saat Saipah menceritakan kejadian yang dialaminya itu, muka Saipah langsung memucat, berkeringat, jemarinya gemetar dan obrolannya pun terpotong-potong. Dia terkesan tak ingin lagi bercerita, karena takut mengenang peristiwa tersebut. Saipah merasa sangat takut hingga malah dia sering khawatir dan curiga terhadap lawan bicaranya.

Traumatik serupa juga terjadi apa anak-anak di desa Limbang Jaya dan sekitarnya. Izza, misalnya, teman sepermainan korban penembakan, Angga cendrung sangat takut saat ditanya kejadian peristiwa Jum’at sore itu. Izza mengatakan, dia terpisah dari Angga saat hendak melihat iringan mobil Brimob yang masuk dalam desa mereka. Angga yang tertinggal di belakang, saat itu berjalan sendirian. Sementara Izza dan yang lainnya sudah bersembunyi di rumah tetangga. Izza saat ditanya sangat gugup. Tangannya bergerak tanpa harmonisasi yang jelas. Mimik mukanya masih takut untuk menceritakan kejadian tersebut. Malah, Izza yang menjadi korban penembakan pada awalnya lebih memilih tidak menceritakan kejadian tersebut pada ibunya. Izza mengalami tiga luka bekas peluru, diantaranya dua di punggung dan satu di ketiak kanan. Setelah mengalami luka, Izza cendrung mengurung diri dalam kamar, meski tidak sedang menjalan puasa, Izza malah tidak mau makan dan minum. Bahkan, saat masih dalam kondisi luka tertembak, Izza langsung mandi dan mencuci sendiri baju yang dipakainya yang masih dipenuhi dengan bercak darah.

Aku tau itu, pas liat baju Izza robek di bagian belakang. Tapi sebelumya dia tanya aku, katanya kalo ditembak polisi, pasti mati apo idak bu. Aku keno tembak jugo bu’”ujar Nur, ibu Izza yang menceritakan bagaimana pertama kali dia mengetahui, jika Izza juga termasuk salah satu korban terluka akibat aksi penyerbuan polisi Jum’at (27/7).

Izza yang berusia satu tahun lebih tua dibandingkan Angga mengatakan jika saat kejadian, aparat polisi sangat banyak masuk desa. Karena ingin tahu, Izza bersama yang lainnya membuntuti iringan mobil polisi tersebut dari belakang. Lalu ketika polisi langsung mengarahkan tembakan ke rumah-rumah warga melakukan sweeping. Izza bersama dengan teman lainnya langsung bersembunyi karena takut. “Agga ketinggalan di belakang. Jadi tak sempat kami liat, taunya dia sudah luka,”kata Izza.

Saat ini, Izza mengaku, masih teringat jelas peristiwa tersebut. Dikatakan dia, jumlah polisi yang berada di desa saat itu sangat banyak. Polisi bersenjata lengkap, dapat masuk dalam rumah-rumah warga dengan arogan. Banyak warga desa berlarian dan akhirnya kondisi desa menjadi mencekam hingga malam harinya.(ditulis admin Walhi Sumsel)



Artikel Terkait:

0 komentar: