Pasukan Brimob dan Polisi saat penyerbuan di limbang jaya |
Tiga hari pasca penyerbuan satuan Brimob
Polda Sumsel (27/7), di desa Limbang Jaya Ogan Ilir Banyuasin, situasi desa
sangat berubah. Aksi penembakan yang dilakukan satuan khusus kepolisian telah
menciptakan trauma yang tersistematis (traumatis) bagi warga desa, terutama
perempuan dan anak-anak. Saat ini, warga desa menjadi lebih tertutup.
Traumatis ini tidak hanya dialami oleh
warga desa di mana aksi penembakan yang menelan korban. Ratusan warga di
beberapa desa sekitar lokasipun mengalami tekanan spikologis yang sama.Takut
dan tertutup.
Traumatik yang dialami warga desa Limbang
Jaya dan sekitarnya masih sangat terasa, apalagi mengingat aksi penembakan
terkordinir (sweeping) anggota Brimob Polda telah mengakibatkan seorang anak
warga desa, Angga bin Dewmawan, 12, tewas dan empat warga lainya mengalami luka
tembak.
Perubahan spikologis ini, tentu
mempengaruhi budaya dan perilaku warga desa setempat. Budaya yang terbangun
atas kebiasaan hidup nyaman, berdampingan dengan keramahtamahan antar warga
berubah drastis di desa Limbang Jaya sekitarnya. Warga desa cendrung sangat
tertutup dan terkesan “waspada” dengan cenderung mencurigai setiap kunjungan
orang asing yang masuk ke desa mereka.
Mungkin hal ini wajar, mengingat pasca
aksi penyerbuan, lokasi desa memang menjadi pusat perhatian semua pihak, mulai
dari awak media, tim penyidik kepolisian sampai pada kunjungan-kunjungan orang
yang memiliki kepentingan lainnya.
Perubahan mendasar terjadi pada budaya
masyarakat desa. Sebelum aksi sweeping Brimob, warga desa terutama laki-laki
sangat terbiasa berada di luar rumah hingga tengah malam. Tidak banyak kegiatan
yang dilakukan memang saat malam hari, mereka hanya berkumpul di balai-balai
depan rumah dan berjaga-jaga untuk keamanan desa. Budaya berkumpul ini pun
menciptakan rasa aman bagi warga desa.
Tapi kini, kebiasan yang membudaya itu
sudah tidak ada. Warga desa, lebih memilih berada di dalam rumah. Sejak habis
ibadah sholat isya’, jalan-jalan di desa sudah sepi. Tak lagi ada, warga yang
berkumpul di luar rumah, tak ada lagi ada warga yang berani keluar rumah. Perubahan
harmonisasi budaya ini cendrung menciptakan kondisi mengcekam di desa.
Perubahan nilai budaya lainya, terasa pada
ibu-ibu yang sebelumnya berprofesi sebagai pengerajin, penenun kain. Mereka
cendrung tidak lagi aktif berproduksi kerja di rumah. Mereka lebih memilih
mengurung diri, tertutup di rumah atau malah merasa aman jika berkumpul dengan
para tetangga untuk saling menjaga antar satu warga dengan warga lain.
Rusman korban luka tembak oleh Brimob dan polisi saat terjadi penyerbuan desa Limbang jaya, tangan kirinya harus diamputasi karena tembakan Brimob telah meremukan tulang tangannya. |
Traumatik ini pun mengakibatkan ibu-ibu
yang seharusnya memiliki kegiatan rumah tangga, seperti memasak dan mengurusin
anak dan suami cendrung lebih pasif.
Sebelumnya aksi penembakan terjadi, budaya
masyarakat Limbang Jaya dengan menabuh baduk di Masjid menjadi tradisi
masyarakat yang mengikat. Tabuhan beduk menjadi tanda dengan tiga makna, yakni
tabuhan karena telah terjadi kebakaran, pencurian atau kedatangan polisi
memasuki desa.
Saat kejadian, tepatnya saat belasan mobil
anggota Brimob yang mengangkut ratusan anggota memasuki desa, tabuhan beduk
bertalu-talu menjadi panggilan tak langsung warga untuk berkumpul. Saat itu, warga
terutama ibu-ibu pun menjadi sanksi kehadiran ratusan anggota polisi dan
tindakan brutal mereka.
Nurlaila, perempuan setengah baya ini
mengaku sempat mengetahui aksi penembakan dan penyerbuan polisi Brimob ke desa
Limbang Jaya. Saat kejadian berlangsung dirinya berada di dalam rumah. Namun,
karena kondisi yang tidak nyaman, dia memilih mengungsi bersama dengan ibu-ibu
dan anak-anak lainnya ke rumah tetangga. Saat itu, isak tangis dan teriakan
histeris saling bertautan terdengar. Saat polisi dengan leluasa masuk ke dalam
rumah melakukan swepping dan suara tembakan yang mengenai jeruji pagar masjid,
mereka mengaku sangat takut dan hanya bisa berkumpul di lokasi keluarga
terdekat. Traumatis akan kenangan itupun, membuat warga terutama ibu-ibu
akhirnya selalu tidak tenang dengan tabuhan beduk di masjid.
“Desai kami ini aman-aman saja, beduk
hanya berbunyi jika ada bahaya besar. Kemarin (saat kejadian), beduk ditabuh
berkali-kali. Sampai sekarang, saya takut mendengar bunyi beduk,”ungkap
Nurlaila.
Hal yang sama diceritakan Saipah,
perempuan dengan lokasi rumah bersebelahan dengan masjid Darusallam, radius
lokasi terdekat dimana korban Angga tewas. Saipah menceritakan saat kejadian,
awalnya sedang santai di dalam rumah. Lalu beberapa menit setelah beduk sholat
Ashar dibunyikan, tiba-tiba beduk kembali dibunyikan dengan nada tanda bahaya.
Sontak, dia langsung keluar untuk
mengetahui kejadian apa terjadi sehingga beduk dibunyikan berkali-kali. Beberapa menit kemudian, dia melihat
belasan anggota polisi telah datang dari seluruh jalan masuk desa.
Saat sang suami tidak ada di rumah karena
masih bekerja sebagai pandai besi di rumah tetangga, Saipah yang sedang
mengandung anak pertamanya itu langsung ketakutan dan memilih mendekam bersama
dengan tiga ibu-ibu lainnya di rumah tetangganya. Beduk kembali berbunyi
bertaluh-taluh, mereka pun semakin takut.
Saat itu, meski polisi tak mengeluarkan
suara sedikitpun, tapi suara hentakan kaki dan bunyi peluru yang ditembakkan
terorganisir sangat mudah terdengar. Meraka merasakan sangat ketakutan.
Ingatan atas kejadian inipun tidak mudah
dilupakan, kata Saipah.
Saat Saipah menceritakan kejadian yang
dialaminya itu, muka Saipah langsung memucat, berkeringat, jemarinya gemetar
dan obrolannya pun terpotong-potong. Dia terkesan tak ingin lagi bercerita, karena takut mengenang peristiwa
tersebut. Saipah merasa sangat takut hingga malah dia sering khawatir dan
curiga terhadap lawan bicaranya.
Traumatik serupa juga terjadi apa
anak-anak di desa Limbang Jaya dan sekitarnya. Izza, misalnya, teman
sepermainan korban penembakan, Angga cendrung sangat takut saat ditanya
kejadian peristiwa Jum’at sore itu. Izza mengatakan, dia terpisah dari Angga
saat hendak melihat iringan mobil Brimob yang masuk dalam desa mereka. Angga
yang tertinggal di belakang, saat itu berjalan sendirian. Sementara Izza dan
yang lainnya sudah bersembunyi di rumah tetangga. Izza saat ditanya sangat
gugup. Tangannya bergerak tanpa harmonisasi yang jelas. Mimik mukanya masih
takut untuk menceritakan kejadian tersebut. Malah, Izza yang menjadi korban
penembakan pada awalnya lebih memilih tidak menceritakan kejadian tersebut pada
ibunya. Izza mengalami tiga luka bekas peluru, diantaranya dua di punggung dan
satu di ketiak kanan. Setelah mengalami luka, Izza cendrung mengurung diri
dalam kamar, meski tidak sedang menjalan puasa, Izza malah tidak mau makan dan
minum. Bahkan, saat masih dalam kondisi luka tertembak, Izza langsung mandi dan
mencuci sendiri baju yang dipakainya yang masih dipenuhi dengan bercak darah.
“Aku
tau itu, pas liat baju Izza robek di bagian belakang. Tapi sebelumya dia tanya aku, katanya kalo
ditembak polisi, pasti mati apo idak bu. Aku keno tembak jugo bu’”ujar Nur, ibu Izza yang menceritakan
bagaimana pertama kali dia mengetahui, jika Izza juga termasuk salah satu
korban terluka akibat aksi penyerbuan polisi Jum’at (27/7).
Izza yang berusia satu tahun lebih tua
dibandingkan Angga mengatakan jika saat kejadian, aparat polisi sangat banyak
masuk desa. Karena ingin tahu, Izza bersama yang lainnya membuntuti iringan
mobil polisi tersebut dari belakang. Lalu ketika polisi langsung mengarahkan
tembakan ke rumah-rumah warga melakukan sweeping. Izza bersama dengan teman lainnya langsung
bersembunyi karena takut. “Agga ketinggalan di belakang. Jadi tak sempat kami liat, taunya dia sudah
luka,”kata Izza.
Saat ini, Izza mengaku, masih teringat
jelas peristiwa tersebut. Dikatakan dia, jumlah polisi yang berada di desa saat
itu sangat banyak. Polisi bersenjata lengkap, dapat masuk dalam rumah-rumah
warga dengan arogan. Banyak warga desa berlarian dan akhirnya kondisi desa
menjadi mencekam hingga malam harinya.(ditulis admin Walhi Sumsel)
0 komentar:
Posting Komentar