BENTROKAN berdarah di Desa Limbang Jaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, membuktikan bahwa polisi masih saja memilih jalan pintas. Cara tak beradab diperagakan dalam menangani perselisihan lahan dan sumber daya alam. Bertruk-truk aparat Brigade Mobil dari Kepolisian Daerah Sumatera Selatan bersama petugas gegana yang diturunkan seperti sengaja dipersiapkan bertempur menghadapi teroris, bukan masyarakat sipil yang harus dilindungi.
Terus berulangnya tindakan brutal menghadapi protes masyarakat akibat konflik lahan memberi kesan polisi sengaja abai terhadap prosedur yang mengedepankan dialog dan persuasi. Lalu kita pun cuma bisa menyesali betapa gawat buntut tindakan represif yang tak semestinya terjadi ini: sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan yang tetap saja terulang. Angga bin Darmawan, 12 tahun, tewas seketika setelah peluru tajam yang diberondongkan dari senapan laras panjang aparat menerjang kepalanya. Tiga penduduk lainnya mengalami luka tembak pada dada, tangan, bahu, dan kaki.
Bercak darah kering di lokasi kejadian tewasnya sang bocah menandakan bahwa Brimob memang menerjang korban dengan senjata tajam. Hal ini dikuatkan oleh temuan tim advokasi lembaga swadaya masyarakat setempat yang mengaku sudah menyimpan bukti selongsong pelor tajam itu. Dari korban luka-luka, tim juga menemukan proyektil, serpihan peluru tajam. Hasil temuan di lapangan ini sekaligus menepis pernyataan prematur Kepala Polri Jenderal Timur Pradopo bahwa anggota Brimob sama sekali tak menggunakan peluru tajam.
Kekerasan itu merupakan buntut sengketa lahan dengan warga 22 desa di sekitar PTPN VII Cinta Manis. Ribut-ribut ini terkait dengan pengambilan lahan usaha masyarakat di sana yang dilakukan korporasi perkebunan tebu berpelat merah itu. Kalaupun ada di antara penduduk yang diduga mencuri 127 ton pupuk milik Cinta Manis, penyelesaiannya bukan lantas dengan dihadapi secara frontal dan membabi-buta. Besar kemungkinan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian ini akibat adanya praktek kepatuhan yang salah kaprah.
Insiden berdarah ini harus segera diinvestigasi. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia perlu bergegas turun ke lapangan guna mencari tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Rumah Sakit Polri Bhayangkara setempat juga mesti dipastikan tak diintervensi polisi. Semua hasil otopsi dan visum, yang menjadi alat bukti penting, harus dibuka secara transparan. Akan lebih bagus jika Komnas HAM juga ditopang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang kudu segera memberi perlindungan terhadap masyarakat setempat yang menjadi korban maupun saksi kejadian itu.
Akan lebih kuat lagi kalau lembaga Ombudsman Republik Indonesia ikut pula terjun ke lapangan. Mereka bisa bersama-sama menyelidiki dan merekonstruksi kronologi kejadian itu. Langkah serentak sangat perlu dijalankan untuk menunjukkan betapa peristiwa ini sangat serius, juga genting, sehingga harus diusut tuntas. Kita juga tak boleh menyerahkan sepenuhnya penyelidikan kasus ini kepada Markas Besar Kepolisian. Mereka patut diragukan berani bersikap independen tanpa bias. Jamak terjadi, korps ini cenderung menutup-nutupi keburukan yang menimpa anggotanya.
Apa pun hasil temuan tim bersama itu tak boleh dianggap angin lalu. Aparat yang terbukti bersalah harus dihukum setimpal. Reaksi dalam menghadapi kasus ini menjadi ukuran sejauh mana polisi akan berkomitmen menjalankan tugasnya secara profesional dalam melindungi masyarakat.
Sumber opini Tempo
0 komentar:
Posting Komentar