Banyak korban berjatuhan ketika Polri terlibat dalam penyelesaian konflik agraria.
Konflik agraria antara warga kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan
dengan PTPN VII berujung pada tewasnya Angga bin Darmawan, anak berumur
13 tahun asal desa Tanjung Pinang. Timah panas menembus kepala Angga
ketika aparat keamanan menyerbu desa Limbang Jaya, kecamatan Tanjung
Batu, kabupaten Ogan ilir, Sumsel pada 27 Juli 2012.
Puluhan warga mengalami luka-luka, beberapa di antaranya tertembus
peluru tajam. Menurut salah satu warga yang ada di lokasi kejadian,
Farida, warga sangat panik ketika diberondong aparat keamanan.
Beberapa warga yang menolong Angga menurut Farida berteriak minta
tolong untuk mendapatkan bantuan warga lainnya. Farida pun mengaku tak
mampu berbuat banyak, pasalnya bahu kanannya tertembus timah panas.
Dengan dibantu warga, Farida dilarikan ke rumah sakit untuk dioperasi.
Sampai saat ini Farida mengaku tangan kanannya tidak dapat digunakan
secara normal. Akibatnya, Farida tidak dapat menjalankan aktifitas
rutinnya setiap hari, yaitu berkebun.
“Tangan kanan saya masih sakit, belum bisa kembali bekerja,” keluh Farida saat jumpa pers di kantor Walhi Jakarta, Rabu (1/8).
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) wilayah
Sumsel, Anwar Sadat, konflik agraria antara warga dengan PTPN VII Cinta
Manis berlangsung sejak tahun 1982. Kala itu tanah warga diambil alih
untuk dijadikan perkebunan dengan ganti rugi yang tidak layak, disertai
tindak pemaksaan dan manipulasi.
Sebagai salah satu aktivis yang mendampingi warga, Sadat menyebut warga
di 22 desa yang berkonflik dengan PTPN VII membentuk Gerakan Petani
Penesak Bersatu (GPPB). Untuk menyelesaikan konflik agraria yang
terjadi, warga menyambangi berbagai instansi pemerintahan di daerah dan
pusat. Hasilnya, Kementerian BUMN membentuk suatu pertemuan dengan
warga, namun pihak PTPN VII Cinta Manis menurut Sadat bersikukuh untuk
menuntaskan masalah ini hanya lewat jalur hukum. Akhirnya pertemuan itu
berakhir dengan deadlock.
Alih-alih pasca pertemuan itu diharapkan para pihak menahan diri, namun
sehari setelah pertemuan itu aparat keamanan dari kesatuan Brimob
diterjunkan ke lokasi konflik. Dari pantauannya, Sadat menyebut sejak
itu tindak kekerasan aparat keamanan dimulai. Pada 19 Juli 2012, aparat
menyerang pondokan warga yang lokasinya dekat desa Sri Bandung. Dari
serbuan itu 12 warga ditangkap dan diproses dengan tuduhan memiliki
senjata tajam.
Menurut Sadat, warga menyebut tuduhan yang dialamatkan kepolisian
kepada warga yang ditahan sangat mengada-ada. Pasalnya, senjata tajam
seperti arit, sabit, pacul dan lainnya adalah peralatan yang digunakan
warga setiap hari untuk bertani dan berkebun. Menyikapi penahanan itu
warga menggelar demonstrasi dan menuntut Polda Sumsel membebaskan 12
warga yang ditahan.
Setelah berunding, Sadat mengatakan pejabat kepolisian di Polda Sumsel
berjanji akan membebaskan warga lewat proses penangguhan. Sayangnya,
sampai saat ini janji itu belum dipenuhi.
Dari pantauan Sadat di lokasi konflik, setelah aksi demonstrasi itu,
serangan aparat keamanan kepada warga masih terus terjadi. Ada yang
hendak ditangkap saat memandikan jenazah, ada yang ditangkap saat
menggendong bayinya dan ada juga yang dikriminalisasi karena dituduh
mencuri pupuk milik PTPN VII.
Dari berbagai pengakuan para warga dan korban, Sekjen Konsorsium
Pembaruan Agraria (KPA), Idham Arsyad, mengatakan pengakuan itu
membantah pernyataan pejabat Polri yang menyebut polisi tidak terlibat
dalam sengketa agraria.
Idham mengingatkan ketika Polri terlibat dalam konflik agraria, maka
banyak korban berjatuhan. Melihat banyaknya aparat yang dikerahkan,
Idham mensinyalir ada persekongkolan antara PTPN VII dan aparat
keamanan. “Mengerahkan aparat dalam jumlah banyak membutuhkan biaya
besar, dari mana biaya itu?” tuturnya.
Idham berpendapat bahwa penyerangan yang dilakukan aparat keamanan
merupakan dampak dari meningkatnya tuntutan masyarakat untuk
memperjuangkan hak atas tanah. Semakin kuat tuntutan itu disuarakan,
biasanya aparat keamanan akan melakukan sejumlah tindakan kepada warga.
Mulai dari intimidasi, teror, penangkapan, penembakan dan lainnya.
“Ini adalah bentuk kekerasan, penyalahgunaan kewenangan di dalam
menyelesaikan konflik agraria. Ini adalah bentuk pembantaian aparat
Kepolisian terhadap masyarakat yang memperjuangkan hak atas tanah. Itu
adalah cara-cara Orde Baru yang tidak pernah ditinggalkan rezim sampai
hari ini,” tegas Idham.
Bagi Idham, Polri secara institusi harus bertanggungjawab atas berbagai
tindakan aparatnya di kabupaten Ogan Ilir. Dari temuan di lapangan,
Idham mengatakan periode Januari – Juli 2012 terdapat 115 kasus terkait
konflik agraria yang mengakibatkan tiga orang tewas. Sementara luas
tanah yang disengketakan menurut idham mencapai 377 Ribu Hektar.
Sebelumnya,
Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Agus Riyanto menuturkan
bahwa pengerahan anggota Brimob kala itu telah dikoordinasikan dengan
satuan wilayah. Pengerahan Brimob juga telah memperhitungkan segala
kemungkinan yang akan terjadi, termasuk bentrokan.
Kala itu, lanjut Agus, aparat terpaksa bertindak tegas lantaran
masyarakat menghadang mobil aparat. Makanya, Kepala Detasemen selaku
pimpinan saat kejadian sempat meminta agar masyarakat tidak menghadang
aparat kemanan. Tetapi, permintaan itu tidak digubris. Masyarakat bahkan
melakukan tindakan yang mengancam keselamatan anggota polisi.
Sumber : http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50193f5090f26/polri-dinilai-hanya-memperkeruh-konflik-agraria
0 komentar:
Posting Komentar