Gelisah dan cemas mencengkeram benak Nita, ketika sang suami, Maulana,
tidak menjawab panggilan teleponnya. Kecemasan semakin menjadi ketika
ibu lima anak itu mendapatkan kabar Maulana ditangkap polisi karena
membawa senjata tajam. Di waktu yang sama, kasus sengketa tanah itu
sedang memanas.
Kisah itu berawal dari kabar yang diterima perempuan 40 tahun ini
melalui telepon pada 19 Juli lalu. Nita yang sedang berada di rumah
bersama anak-anaknya tersentak mendapat kabar Brimob baru saja
menangkap tiga warga Desa Sri Bandung, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten
Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Nita pun menghubungi Maulana melalui
telepon dan memintanya segera meninggalkan warung kopi, tempat Maulana
biasa mangkal setiap sore.
Apalagi, lokasi penangkapan ketiga warga oleh Brimob, di sebuah tempat
tak jauh dari warung kopi itu. “Aman kok di sini (warung kopi),” jawab
Maulana seperti ditirukan Nita. Entah mengapa, jawaban itu tidak
menghapus gelisahnya. Ketika ia memutuskan untuk kembali menghubungi
suaminya, telepon tidak terjawab.
Tanpa pikir panjang, Nita bergegas menuju warung kopi. Di tempat itu Ia
mendapati puluhan pasukan brimob bersenjata lengkap sedang berjaga-jaga.
Agus, anak pemilik warung kopi mengabarkan Maulana telah ditangkap.
“Waktu itu, ada 9 orang yang ditangkap dengan tuduhan membawa senjata
tajam,” kata Nita.
Penangkapan itu menciptakan protes dari Nita dan keluarga korban lain
yang juga ikut ditangkap. Bersama warga Desa Seri Bandung, Nita
mendatangi Markas Polda Sumatera Selatan keesokan harinya, untuk
menuntut warga yang ditangkap segera dibebaskan.
Ketika diberi kesempatan bertemu dengan Maulana, Nita mendapati suaminya
disiksa. Tangan Maulana memar, dengan jahitan di bagian kepalanya.
“Suami saya mengaku dipukuli Brimob dengan senjata. Bahkan, dadanya
dihantam dengan gagang senjata. Suami saya diperlakukan seperti
binatang,” kata Nita.
Ratusan kasus
Sengketa pertanahan yang terjadi di Kabupaten Ogan Ilir adalah satu dari
ratusan kasus konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Hingga Juli
2012, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat adanya 115 kasus
konflik agraria, dengan luas tanah yang disengketakan mencapai 377 ribu
hektar lebih, meliputi sektor perkebunan, kehutanan, dan infrastruktur.
Dari konflik tersebut, setidaknya ada 25.000 petani di Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB),
Maluku dan Papua kehilangan tanahnya. Mereka diusir dari tempat
tinggalnya.
Ironisnya, konflik agraria itu tidak lepas dari aksi kekerasan. Dalam
kasus di Sumatera Barat saja, korban penembakan 15 petani ditembak, 35
orang ditahan, dan 25 orang yang dianiaya. Sedangkan korban yang tewas
sebanyak 3 orang, diantaranya Kabupaten Ogan Ilir 1 orang, Jambi (1),
dan Sulawesi Tengah (1).
Semua tragedi itu bertabrakan dengan program Hutan Tanaman Industri
(HTI) Indonesia yang mencapai 9,39 juta hektar, dengan pengelolaan 262
unit perusahaan. Izin terlama yang dikantongi pengusaha hingga 100
tahun. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan dengan izin Hutan Tanaman
Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631,5 ribu hektar lebih.
Sementara, luas Hak Penguasaan Hutan (HPH) di Indonesia sekitar 214,9
juta hektar dari 303 perusahaan.
Sengketa pertanahan akan terus menjadi persoalan di tingkat nasional,
mengingat adanya lima undang-undang yang memberikan kewenangan luas
kepada pemerintah atas sumber-sumber agrarian. UU Kehutanan, UU
Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil, dan UU Mineral dan Batubara. Kewenangan tersebut
tidak mengikuti semangat UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria
(UUPA), karena cenderung memposisikan masyakat dalam pihak yang
‘lemah’..
“Banyaknya regulasi-regulasi yang berpotensi menyingkirkan rakyat dari
tanah-tanah mereka, maka diproyeksikan bahwa perampasan tanah dan
kekerasan akibat konflik agraria di masa depan akan semakin meluas,”
kata Sekretaris Jenderal KPA, Idham Arsyad.
Tak heran bila Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat
menilai kasus Ogan Ilir bermasalah sejak awal PTPN VII beroperasi di
wilayah itu. Pengukuran tanah oleh PTPN VII dilakukan sepihak. Warga
sama sekali tidak dilibatkan ketika BUMN itu menjalankan program
penanaman tebu pada 1982. Akibatnya, tanah warga pun terampas dan
menciptakan perlawanan. “Banyak protes dilakukan, banyak juga yang
ditangkap dan dipenjara,” kata Anwar.
Dan pada akhirnya, warga masyarakat seperti Nita dan keluarganya yang menjadi korban.
Sumber : http://www.headline-lingkarberita.com/2012/08/nita-dan-potret-sengketa-agraria.html?spref=fb
WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Minggu, Agustus 05, 2012
Nita dan potret sengketa agraria
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar