WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Minggu, Agustus 05, 2012

Nita dan potret sengketa agraria


Gelisah dan cemas mencengkeram benak Nita, ketika sang suami, Maulana, tidak menjawab panggilan teleponnya. Kecemasan semakin menjadi ketika ibu lima anak itu mendapatkan kabar Maulana ditangkap polisi karena membawa senjata tajam. Di waktu yang sama, kasus sengketa tanah itu sedang memanas.

Kisah itu berawal dari kabar yang diterima perempuan 40 tahun ini melalui telepon pada 19 Juli lalu. Nita yang sedang berada di rumah bersama anak-anaknya tersentak mendapat kabar  Brimob baru saja menangkap tiga warga Desa Sri Bandung, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Nita pun menghubungi Maulana melalui telepon dan memintanya segera meninggalkan warung kopi, tempat Maulana biasa mangkal setiap sore.

Apalagi, lokasi penangkapan ketiga warga oleh Brimob, di sebuah tempat tak jauh dari warung kopi itu. “Aman kok di sini (warung kopi),” jawab Maulana seperti ditirukan Nita. Entah mengapa, jawaban itu tidak menghapus gelisahnya. Ketika ia memutuskan untuk kembali menghubungi suaminya, telepon tidak terjawab.

Tanpa pikir panjang, Nita bergegas menuju warung kopi. Di tempat itu Ia mendapati puluhan pasukan brimob bersenjata lengkap sedang berjaga-jaga. Agus, anak pemilik warung kopi mengabarkan Maulana telah ditangkap. “Waktu itu, ada 9 orang yang ditangkap dengan tuduhan membawa senjata tajam,” kata Nita.

Penangkapan itu menciptakan protes dari Nita dan keluarga korban lain yang juga ikut ditangkap. Bersama warga Desa Seri Bandung, Nita mendatangi Markas Polda Sumatera Selatan keesokan harinya, untuk menuntut warga yang ditangkap segera dibebaskan.

Ketika diberi kesempatan bertemu dengan Maulana, Nita mendapati suaminya disiksa. Tangan Maulana memar, dengan jahitan di bagian kepalanya. “Suami saya mengaku dipukuli Brimob dengan senjata. Bahkan, dadanya dihantam dengan gagang senjata. Suami saya diperlakukan seperti binatang,” kata Nita.

Ratusan kasus

Sengketa pertanahan yang terjadi di Kabupaten Ogan Ilir adalah satu dari ratusan kasus konflik agraria yang terjadi di Indonesia. Hingga Juli 2012, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat adanya 115 kasus konflik agraria, dengan luas tanah yang disengketakan mencapai 377 ribu hektar lebih, meliputi sektor perkebunan, kehutanan, dan infrastruktur.

Dari konflik tersebut, setidaknya ada 25.000 petani di Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat (NTB), Maluku dan Papua kehilangan tanahnya.  Mereka diusir dari tempat tinggalnya.

Ironisnya, konflik agraria itu tidak lepas dari aksi kekerasan. Dalam kasus di Sumatera Barat saja, korban penembakan 15 petani ditembak,  35 orang ditahan, dan 25 orang yang dianiaya. Sedangkan korban yang tewas sebanyak 3 orang, diantaranya Kabupaten Ogan Ilir 1 orang, Jambi (1), dan Sulawesi Tengah (1).

Semua tragedi itu bertabrakan dengan program Hutan Tanaman Industri (HTI) Indonesia yang mencapai 9,39 juta hektar, dengan pengelolaan 262 unit perusahaan. Izin terlama yang dikantongi pengusaha hingga 100 tahun. Jumlah itu lebih sedikit dibandingkan dengan  izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631,5 ribu hektar lebih. Sementara, luas Hak Penguasaan Hutan (HPH) di Indonesia sekitar 214,9 juta hektar dari 303 perusahaan.

Sengketa pertanahan akan terus menjadi persoalan di tingkat nasional, mengingat adanya lima undang-undang yang memberikan kewenangan luas kepada pemerintah atas sumber-sumber agrarian. UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU  Mineral dan Batubara. Kewenangan tersebut tidak mengikuti semangat UUD 1945 dan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), karena cenderung memposisikan masyakat dalam pihak yang ‘lemah’..

“Banyaknya regulasi-regulasi yang berpotensi menyingkirkan rakyat dari tanah-tanah mereka, maka diproyeksikan bahwa perampasan tanah dan kekerasan akibat konflik agraria di masa depan akan semakin meluas,” kata Sekretaris Jenderal  KPA, Idham Arsyad.

Tak heran bila Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan Anwar Sadat menilai kasus Ogan Ilir bermasalah sejak awal PTPN VII beroperasi di wilayah itu. Pengukuran tanah oleh PTPN VII dilakukan sepihak. Warga sama sekali tidak dilibatkan ketika BUMN itu menjalankan program penanaman tebu pada 1982. Akibatnya, tanah warga pun terampas dan menciptakan perlawanan. “Banyak protes dilakukan, banyak juga yang ditangkap dan dipenjara,” kata Anwar.

Dan pada akhirnya, warga masyarakat seperti Nita dan keluarganya yang menjadi korban.


Sumber : http://www.headline-lingkarberita.com/2012/08/nita-dan-potret-sengketa-agraria.html?spref=fb



Artikel Terkait:

0 komentar: