Tentu, kembali airmata ini harus menetes, menyaksi bocah
12 tahun itu terkapar, kepala sang bocah ditembus timah panas aparat
kepolisian, dua jam menjelang buka puasa, ketika adzan Asyar hendak
dikumandangkan. Tak jauh dari rumah allah, didekat mesjid Darussalam,
dipertengahan bulan suci ramhadan, pada hari jumat yang sakral, Angga
berpulang ke rahamtullah.
Aku hanya tertegun
mendengar itu, nafas terasa sesak, kopi yang dibuat untuk sejumlah tamu
hampir jatuh kelantai. Sembari menahan cangkir dinampan, berusaha
berjalan menuju meja diruang depan kuucap inalilahiwainailahi rojiun .
“ Brimob memang telah mengepung tempat itu, Desa Limbang Jaya”.
Begitu
cerita teman sesaat setelah mendapat kabar penembakan. Limbang Jaya,
salah satu desa dari 20 desa yang sedang berkonflik dengan PTPN VII
Cinta Manis, jaraknya sekitar 15 Km dari kota Indralaya-Ogan Ilir.
Masyarakat
setempat sudah tigapuluh tahun mendamba lahan untuk bercocok tanam.
Pasalnya, ketika tanah nenek moyang mereka dirampas ditahun 1982 oleh
PTPN VII Cinta Manis. Sebagian besar generasi ini hampir tak lagi
mengenal sistem pertanian, mereka yang kehilangan tanah, hampir menjadi
buruh tani jika saja seorang pandai besi asal Banten tidak mengajarkan
masyarakat setempat cara memgolah besi.
Akhirnya, setelah
mendapat mata pencaharian alternatif sebagai pandai besi, 70 persen
warga Desa Limbang Jaya beralih menjadi pandai besi. Rupanya, Desa ini
pun merupakan salah satu pemasok utama produksi alat pertanian seperti
cangkul, parang, pisau di Provinsi Sumatera Selatan. Selain Limbang
Jaya, Desa Tanjung laut dan Tanjung Pinang pun mayoritas warga bekerja
sebagai Pandai Besi.
“ Kami ingin bertani ! sangat
berat bekerja sebagai pandai besi, selain harus mengeluarkan banyak
tenaga, bahan baku dan pemasaran masih sulit kami jangkau”.
Kata
seorang Pandai Besi, yang sudah duapuluh tahun malang melintang jalani
profesi ini. Karena tak ada lahan untuk bercocok tanam, kaum laki-laki
seolah wajib menjadi pandai besi dan kaum perempuan wajib sebagai
penenun.
2.500 ha lahan pertanian Limbang Jaya telah
dirampas oleh PTPN VII, masyarakat praktis hanya mengelola lahan lebak
(lahan sungai yang mengalami pendangkalan) untuk tanaman padi kurang
lebih 120 ha, dan kebun karet luasnya mencapai 520 ha atau hanya 25 %
dari total luas wilayah Desa yakni 31.912.849 Meter Persegi. Lahan yang
tersisa harus dibagi dengan junlah penduduk mencapai kurang lebih 800
KK.
Lebih menyakitkan, Penduduk Desa ini dua kali dalam
setahun hanya menerima asap pembakaran tebu PTPN VII Cinta Manis. Selain
itu, lebak / sungai yang 30 tahun lalu airnya deras mengaliri areal
pertanian warga, pasca ditanami tebu, sungai itu kering dimusim kemarau
dan menimbulkan banjir ketika hujan. Karena, lahan tebu PTPN VII Cinta
Manis tidak menyisakan sedikitpun pohon disekitar sungai/ lebak yang
berfungi menjadi resapan air.
“ Kami rindu seperti
dulu, menanam padi, nanas, galam, dan jenis palawija lainnya dikebun.
Bukan tidak bersyukur, kalau sudah menjelang usia 50 tahun, kami tak
sanggup lagi menjadi pandai besi, tenaga kami sudah berkurang”.
Tentu,
sejak 30 tahun silam cita-cita sebagai petani mereka simpan dalam
khayalan. Bayangan pohon karet, buah nanas, besarnya ubi dan
menguningnya padi melekat dalam ingatan. Kemudian, dengan tekad bulat,
disertai keinginan kuat, penduduk desa ini bergabung dengan kaum tani di
desa lain bahu-membahu memperjuangkan lahan.
Pasti,
mereka bersedih karena Angga telah berpulang, rekan mereka 9 orang masih
mendekam dalam tahanan, saudara mereka masih terbaring luka akibat
peluru tajam. Tapi mereka adalah petani yang terpaksa menjadi pandai
besi. Besi pun mereka tempa...apalagi cuma daging yang hanya dilapisi
seragam coklat. Tentu.......! (walhi sumsel)
WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Minggu, Agustus 05, 2012
TENTU
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar