Saya keberatan pada kekerasan karena meskipun hasilnya tampak
baik, itu hanya sementara. Kehancuran yang disebabkannyalah yang akan
abadi.
– Mahatma Gandhi, pejuang anti-kekerasan dari India
Ucapan
Gandhi itu terjadi di Desa Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu,
Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan. Lingkaran konflik dan kekerasan
terkait konflik lahan PTPN VII Cinta Manis telah merenggut nyawa Angga
bin Darmawan (12) untuk selamanya.
Angga yang baru saja lulus
sekolah dasar itu tewas, diduga tertembak di kepala oleh aparat
kepolisian di Desa Limbang Jaya I dan II, Jumat (27/7) sore lalu.
Setidaknya empat warga lain terluka, yaitu Rusman bin Alimin (46),
Farida (30), Yarman (47), dan Jesica (16).
Padahal, Angga tak
pernah punya kepentingan dalam konflik lahan yang menjadi pangkal
penembakan oleh aparat kepolisian di Desa Limbang Jaya I dan II itu.
Begitu pula keluarganya. Mereka mengaku tak ikut dalam konflik lahan
yang tengah bergejolak di desa mereka itu.
Sengketa lahan itu
terjadi antara warga dari 22 desa yang tergabung dalam Gerakan Petani
Penesak Bersatu (GPPB) dan PTPN VII Cinta Manis. Pihak GPPB mengklaim
PTPN VII Cinta Manis telah mengambil alih lahan warga tanpa ganti rugi
yang sesuai pada masa Orde Baru dulu. Kini mereka menuntut agar lahan
itu dikembalikan.
Angga merupakan anak keempat dari enam
bersaudara. Ayahnya, Darmawan (45), seorang pandai besi yang tengah
merantau ke Jambi saat menerima kabar yang mematahkan hatinya itu.
Ibunya, Yuhana (42), seorang penenun songket yang bekerja di rumah
sambil mengurusi anak-anak.
Para tetangga menuturkan, sebelum
peristiwa, Angga tengah membantu ibu dan kakak lelakinya membersihkan
ikan yang ditangkap kakaknya di sungai dekat rumah mereka di Desa
Tanjung Pinang II. Ikan itu akan dibikin pempek dan kemplang untuk buka
puasa.
Di tengah kesibukan, iringan belasan kendaraan polisi masuk
jalan desa mereka. Terpancing keingintahuan, Angga berlari sembari
pamit kepada sang ibu akan melihat mobil-mobil polisi itu, dan kemudian
main PS (Playstation). Tak sampai satu jam kemudian, kabar duka itu
diterima keluarga.
Selama pemakaman, Sabtu (28/7) siang, Darmawan
dan Yuhana tak mampu banyak berkata. Mata mereka sembab oleh air mata.
Jenazah Angga terbaring dingin diselimuti kain batik di lantai dua di
rumah panggung mereka, dikelilingi kerabat yang berduka. ”Kami berharap
pelaku penembakan dihukum setimpal dengan perbuatannya,” kata paman
Angga, Abdul Hamid (56).
Teror di Limbang Jaya
Kejadian
itu ibarat teror bagi warga Desa Limbang Jaya I dan II. Ibu-ibu
bersembunyi di dalam rumah, sebagian menangis karena kehilangan anak
mereka. Kaum pria umumnya berada di luar rumah, sebagian berlindung,
sebagian berjongkok menghindari tembakan.
Tetua Desa Limbang Jaya
I, Sobri (59), yang juga terluka dalam peristiwa penembakan itu,
mengisahkan betapa mengerikannya peristiwa itu. Selama sekitar 30 menit,
di Desa Limbang Jaya I dan II seperti ada perang. ”Tak terhitung lagi
berapa kali saya dengar tembakan. Polisi pakai hitam-hitam keliling desa
sambil mengacungkan senapan panjang dan membentak semua orang,” katanya
dengan tangan gemetar mengenang teror itu.
Kepala Desa Limbang
Jaya I Mat Amin menuturkan, saat iring-iringan belasan kendaraan polisi
dari Kabupaten Ogan Ilir memasuki desa, warga menghadang. Awalnya, warga
hanya berniat bertanya maksud kedatangan polisi bersenjata lengkap yang
belakangan diketahui berjumlah 120 personel itu. ”Polisi masuk tanpa
ada informasi ke perangkat desa dulu. Jadi, warga kaget, kenapa seperti
ada penyerbuan,” ucapnya.
Entah bagaimana awalnya, ada lemparan
batu dari warga. Satuan Brimob Polres Ogan Ilir membalasnya dengan
tembakan. ”Sungguh tak adil, lemparan batu dibalas peluru,” kata warga
Limbang Jaya II, Baihaqi (35).
Kepala Desa Tanjung Pinang I Habibi
mengatakan, pascabentrok polisi dan massa di lahan Rayon III PTPN VII
Cinta Manis, situasi desa yang berjarak sekitar lima kilometer dari PTPN
VII Cinta Manis itu memanas. Warga terintimidasi oleh kehadiran aparat
bersenjata lengkap di desa-desa. Apalagi, polisi melakukan penangkapan,
razia, ataupun penggeledahan rumah warga. ”Rasa terintimidasi warga jadi
rasa jengkel dan akhirnya timbul peristiwa ini,” ucap Habibi yang
sempat menarik polisi keluar desa untuk meredam situasi.
Penjabat
Sementara Kepala Bidang Humas Polda Sumsel Ajun Komisaris Besar Djarod
Padakova mengatakan, penembakan oleh kepolisian merupakan bentuk bela
diri dari serangan warga. ”Waktu itu serangan warga cukup beringas, baik
dengan batu maupun senjata tajam,” katanya.
Sebanyak 120 personel
Polres Ogan Ilir dikirim ke Limbang Jaya untuk olah tempat kejadian
perkara terkait laporan hilangnya 127 ton pupuk milik PTPN VII Cinta
Manis. Mereka juga bermaksud melakukan patroli dialogis dengan warga.
Menurut
Djarod, belum ada tanda adanya peluru tajam sebab anggota kepolisian
hanya dibekali peluru karet. Selanjutnya, anggota yang melepaskan
tembakan akan diperiksa. Jika ditemukan kesalahan prosedur, anggota itu
dipastikan akan dikenai sanksi.
Saat ini, polisi dan tentara masih
menjaga PTPN VII Cinta Manis. Kehadiran aparat ini seiring
meningkatknya konflik di lahan tersebut. Pihak PTPN VII Cinta Manis juga
meminta polisi untuk mengamankan lahan yang merupakan aset negara
tersebut.
Luka lama Orba
Aksi
menuntut lahan oleh GPPB yang didampingi Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Sumsel berawal dari dendam warga pada zaman Orde Baru.
Menurut warga, sekitar tahun 1982, lahan warga di 22 desa diambil alih
oleh PTPN VII Cinta Manis. Pengambilalihan disertai paksaan, ancaman,
dan tanpa ganti rugi yang sesuai. ”Pengambilan lahan itu memang
semena-mena. Warga yang mau panen pun tak diberi waktu, tanaman langsung
dibuldoser,” kata warga Desa Ketiau, Mulholdi (63).
Selama tiga
bulan berlangsung, aksi menuntut lahan terus memanas. Warga berunjuk
rasa, mematok lahan, dan mendirikan gubuk-gubuk di lahan tebu PTPN VII
Cinta Manis. Puncaknya, terjadi pembakaran dan penjarahan aset PTPN VII
Cinta Manis serta bentrokan antara massa dan polisi yang melukai tiga
anggota polisi. Beberapa warga juga terluka dalam rangkaian konflik
tersebut. Sejauh ini, pihak GPPB menyangkal pembakaran, penjarahan,
ataupun bentrok yang melibatkan warga.
Menanggapi aksi warga yang
dinilai melanggar hukum, polisi bertindak represif dengan melakukan
penangkapan, razia, dan penggeledahan di rumah warga. Sebanyak 30 warga
ditetapkan sebagai tersangka. Gesekan dan isu provokatif turut
memanaskan gesekan antara warga dan aparat.
Sengketa lahan ini pun
menjadi lingkaran kekerasan. Tindakan warga yang tergabung dalam GPPB
yang dinilai melanggar hukum dibalas dengan tindakan represif yang kaku
dari kepolisian.
Bagaimanapun, keluarga Darmawan tak paham mengapa
tragedi ini harus menimpa keluarga mereka yang tak ada kepentingan
dengan konflik yang tengah berlangsung itu. Begitu pula dengan Sobri
yang juga menjadi korban meski tak lagi menuntut lahan keluarga yang
juga diambil paksa pada zaman Orba.
Entah siapa yang benar. Baik
warga dalam GPPB, PTPN VII Cinta Manis, maupun pihak kepolisian
mempunyai klaim kebenaran mereka masing-masing. Namun, jelas jalan
kekerasan telah merenggut satu nyawa yang tak bersalah. Masihkah akan
ditempuh?
0 komentar:
Posting Komentar