Wajah Darmawan dan Yuhana tampak letih ketika ikut
dalam demonstrasi beberapa Organisasi Non Pemerintah, memprotes kasus
kekerasan aparat kepolisian, di depan Istana Presiden Jakarta, Senin
(30/7).
Keduanya adalah orangtua Angga Prima (12 tahun)
korban tewas akibat tembakan yang diduga dilakukan aparat Brimob di Desa
Limbang Jaya, Kecamatan Tanjung Batu, Kabupaten Ogan Ilir Sumatera
Selatan.
“Kami hanya ingin menuntut keadilan bagi anak kami yang meninggal,” kata Darmawan.
Sejak pekan lalu, warga di sejumlah desa melakukan unjuk rasa memprotes penggunaan lahan mereka oleh PTPN VII Cinta Manis.
Aksi unjuk rasa itu berakhir dengan kekerasan yang menyebabkan sejumlah orang terluka dan satu tewas.
Wahli Sumsel menyebutkan peristiwa itu berawal
dari aksi penyisiran Brimob Polda Sumsel sejak Kamis (26/7) lalu, sehari
setelah mereka ditempatkan untuk menjaga tanah sengketa tersebut.
Direktur Walhi Sumsel Anwar Sadat mengatakan
pasukan Brimob melakukan penyisiran di Desa Tanjung Pinang dan Limbang
Jaya dengan menggunakan senjata api pada Jumat.
Satu korban tewas dan beberapa orang mengalami luka tembak dalam peristiwa itu.
“Dalam kurun waktu beberapa hari itu 30 orang
ditangkap, dan kemudian dilepaskan, tetapi masih sembilan orang ditahan
kepolisian atas tuduhan membawa senjata tajam, padahal itu alat bertani
mereka,” jelas Anwar, saat ditemui di depan Istana Presiden Jakarta.
Anwar juga mempertanyakan penjagaan yang dilakukan oleh Brimob di lahan sengketa tersebut.
Penyelidikan dan sanksi
Juru bicara Mabes Polri Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar membantah
polisi melakukan penyisiran warga di sekitar lokasi perekbunan.
"Tidak ada penyisiran atau apa namanya itu, yang ada pasukan berpatroli dan kemudian ada provokasi warga, " kata Boy.
Dia menambahkan Brimob diturunkan sesuai dengan prosedur karena kepolisian setempat kekurangan personil.
"Tim yang ada pada prinsipnya akan melakukan
investigasi seobyektif mungkin dan setransparan mungkin, karena pada
prinsipnya tidak ada yang ditutup-tutupi, kalau ditemukan kelalaian maka
akan diberikan sanksi," kata Boy.
Konflik lahan PTPN VII Cinta Manis meningkat
sejak pertengahan Juli lalu, karena tuntutan warga 21 desa atas lahan
seluas 15.000 hektar yang digunakan perusahaan diabaikan tanpa ganti
rugi sedikitpun.
Komnas HAM mengecam kekerasan yang menyusul aksi
unjuk rasa warga seraya menyatakan kepolisian seharusnya menangani
persoalan sengketa lahan itu melalui dialog.
Demi mencari kejelasan dari kasus ini maka Komnas HAM mengirimkan tim ke Sumatera Selatan.
"Selama disana akan melihat hal yang terkait
dengan peristiwa, soal konflik tanahnya, soal tuduhan kriminalitasnya,
dan yang ketiga soal penembakannya, kenapa nggak dilakukan
pendekatan dialog, karena konflik ini kan sudah berlangsung selama
seminggu," kata kata Wakil ketua Komnas HAM, Ridha Saleh.
Tim Sengketa Lahan
Kekerasan di Desa Limbang Jaya terjadi hanya dua hari setelah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menginstruksikan pembentukan tim
terpadu guna menyelesaikan konflik lahan antara warga dan PTPN VII Cinta
Manis di Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
Presiden mengatakan harus dicari solusi secara
komprehensif dalam penyelesaian sengketa lahan, tidak hanya melalui
pendekatan hukum, tetapi juga sosial dan budaya.
Keputusan itu disampaikan Presiden Yudhoyono setelah menggelar rapat kabinet di Kantor Kejaksaan Agung Jakarta.
Konsorsium Pembaruan Agraria menyebutkan sejak
Januari - Juli 2012 terjadi 115 kasus sengketa lahan, dan 40 persen di
antaranya melibatkan perusahaan milik negara atau BUMN.
Sekjen KPA Idham Arsyad menyatakan luas tanah
yang dijadikan sengketa mencapai 370 hektar dengan 25.000 keluarga
terkena dampak konflik lahan di berbagai daerah di Indonesia.
“Ada 25.000 rumah tangga terancam kehilangan
lahan, dan pemerintah dalam hal ini aparat keamanan masih saja melakukan
pendekatan yang represif seperti Orde Baru,” kata Idham.
Data KPA menyebutkan kasus sengketa lahan
cenderung meningkat dibandingkan tahun lalu yang berjumlah sekitar 160
kasus sepanjang tahun 2011.
0 komentar:
Posting Komentar