Kronologis Perlawanan Petani
Ogan Ilir
Konflik agraria diprovinsi Sumatera Selatan sudah
mencapai titik nadir. Lemahnya kemauan politik pengambil kebijakan menjadikan
sengketa agraria di bumi sriwijaya bertambah kronis. Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan
menyebutkan, ketimpangan penguasaan lahan ini merupakan faktor utama timbulnya konflik agraria yang
saat ini banyak bermunculan. Menurut catatan Walhi Sumsel, luas wilayah
adminitratif provinsi ini hanya 8,7 juta hektar (ha). Kini sebanyak 4,9 juta Ha
atau sekitar 56,32 persen lahan dikuasai perusahaan dengan rincian 1,2 juta ha
hutan tanaman industri (HTI), 1 juta ha perkebunan kelapa sawit, dan 2,7 juta
ha pertambangan batubara. Jika disandingkan dengan jumlah penduduk mencapai 7 juta jiwa, maka penguasaan lahan
setiap jiwa berkisar 0,5 Ha saja.
Jadi tidak heran jika selama tiga tahun terakhir
jumlah sengketa agraria yang diadukan masyarakat terus meningkat. Tahun 2009
terdapat 18 aduan sengketa agraria, tahun 2010 jumlahnya meningkat menjadi 27,
tahun 2011 terdapat 32 aduan.
Begitupun
dengan sengketa lahan antara masyarakat Ogan Ilir dengan PTPN VII unit Usaha
Cinta Manis, atau lebih tepatnya warga
20 desa dari 6 kecamatan di Ogan Ilir
yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu(GPPB), terdiri dari
desa Sribandung, Tj. Laut, Tj. Pinang, Tj. Atap,Tj. Baru Petai,
Sentul, Limbang Jaya (KecamatanTanjung Batu), Desa SriKembang, Rengas,
Lubuk Bandung (kecamatan Payarman), Desa Ketiau, Betung,
Payalingkung, Lubuk Keliat, (Kecamatan Lubuk Keliat), Desa Meranjat
1&2, Meranjat Ilir, (Kecamatan Indralaya Selatan) dan Desa Tj.
Gelam, Tj.Sejaroh, Tj.Agung Sejaro Sakti (Kecamatan Indralaya Induk) Kemudian
Desa Sri Ngilam Kecamatan Tanjung Raja.
Mereka adalah korban perampasan tanah yang dilakukan oleh PTPN
VII Cinta Manis sejak tahun 1982. Selama dua bulan terakhir, mereka
terus bergerak mendesak pemerintahan setempat untuk memenenuhi tuntutan warga
agar tanah mereka dikembalikan.
Secara umum proses perampasan tanah rakyat oleh PTPN VII tahun 1982
disetiap desa realtif sama. dijaman Orde Baru warga tidak memiliki pilihan
selain pasrah ketika kebun karet dan nanas mereka digusur oleh PTPN VII tanpa
ganti rugi yang layak. Proses ganti rugi
tahun 1982 diakui warga diwarnai
tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat keamanan.Ganti rugi itupun
sangat tidak adil, contohnya dari 5 ha
lahan, hanya 1 ha saja yang diganti, lebih parah hingga saat ini masih ada
tanah warga yang belum diganti rugi oleh
pihak PTPN VII.
Berbagai upaya dialog dan mediasi telah ditempuh warga, namun pihak PTPN
VII selalu mengulur waktu dan cenderung tidak memberi keputusan yang tegas.
Akhirnya, pada hari senin tanggal 21 Mei 2012, warga mmetuskan untuk memblokade
akses jalan menuju pabrik pengolahan gula PTPN VII, selain itu warga pun
mendirikan tenda dan mematok lahan seluas 3000 ha.
Aksi tersebut merupakan puncak kekecewaan warga terhadap keberadaan PTPN
VII yang dinilai tidak menguntungkan rakyat sekitar. Hal itu bisa dilihat, dari
jumlah tenaga kerja yang 70 % didatangkan dari luar. Kemudian, sungai yang
tadinya bisa dijadikan tempat mencari ikan, kini sudah tercemar dan ikan-ikan
sudah mulai punah akibat limbah. Selanjutnya, debu pembakaran tebu dari pabrik
gula PTPN VII masuk ke pemukiman warga dan menganggu aktivitas.
Hal lain, dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta Manis
hanya 6000 ha memilki HGU berlokasi di
daerah Burai kecamatan Rantau Alai. Untuk itu, warga yang tergabung dalam
Gerakan Petani Penesak Bersatu(GPPB) merasa memiliki hak diatas tanah mereka
sendiri.
Kemudian dari aksi blokade tersebut, Pemerintah Ogan
Ilir bersedia memfasilitasi warga untuk berdialog pada tanggal 23 mei 2012.
Berdasarkan hasil dialog, terjadi kesepakatan tertulis antara warga(Desa Sri
Bandung) dan Pihak PTPN VII di gedung DPRD Ogan Ilir pada tanggal 23 mei 2012
lalu, yang difasilitasi serta disaksikan oleh Kapolres, Dandim, Ketua dan wakil
ketua DPRD Ogan Ilir, bahwa pihak perusahaan tidak keberatan jika warga
melakukan pematokan lahan dan mendirikan tenda selama tidak mengganggu aktivitas
perusahaan hingga jenjang waktu negosiasi tanggal 31 Mei 2012.
Kemudian
pada tanggal 31 Mei, ribuan warga yang
tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB) melakukan aksi di DPRD
Ogan Ilir untuk mendorong proses negosiasi agar berpihak kepada rakyat.
Hasilnya, pihak PTPN VII bersama Wakil Bupati OI mempersilahkan warga untuk
mematok lahan tanpa melakukan perusakan sambil menunggu waktu untuk negosiasi
ulang tanggal 7 Juni.
Tanggal
7 juni pun, GPPB pun kembali melakukan aski besar-besaran untuk mendorong
proses negosiasi berpihak kepada warga. Hasilnya tidak jauh berbeda, negosiasi
tersebut melahirkan kesepakatan diantaranya memeprsilahakan warga mematok
lahan.
Namun
pasca negosiasi tersebut, kondisi sempat memanas, terkait dengan pemanggilan
dan pemeriksaan 14 warga dengan status tersangka, usaha kriminalisasi itu
berdasarkan atas laporan pihak PTPN VII melalui Ir Suefry Gunawan,
terkait pematokan lahan oleh warga.
Warga
dituduh telah melakukan tindak pindana menempati lahan tanpa izin sebagaimana
yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No 51/Prp/1960 tentang agraria.Massa
menilai bila Polres Ogan Ilir berlandaskan Undang-Undang No 51/1960 tentang
Agraria, tidak ada alasan untuk menetapkan 14 warga tersebut sebagai tersangka.
Menindaklanjuti
hal itu, tanggal 14 Juni 2012 ribuan warga mendatangi Polda Sumatera Selatan
menuntut Polda agar mengehentikan upaya kriminalisasi tersebut, karena soal
sengketa lahan masih dalam proses. Aksi berlanjut ke gedung DPRD provinsi
Sumsel hingga warga menginap di gedung rakyat tersebut.
Keesokan
harinya aksi berlanjut ke Badan Pertanahan Nasional(BPN) Sumsesl dan Kantor
Gubernur. Hasil dari aksi tersebut, pihak BPN menyatakan tidak akan memproses
perpanjangan GHU PTPN VII.
Secara
formal, instansi dari pihak kabupaten dan Provinsi sudah memberikan dukungan
politik berupa rekomendasi yang cukup berpihak kepada rakyat. Namun menjadi
persoalan, ketika status PTPN VII sebagai BUMN kewenangannya berada di
Kementrian BUMN. Sebagaimana diketahui, Dahlan Iskan selaku menteri BUMN tegas
tidak akan memberikan tanah itu kepada warga, karen PTPN VII merupakan aset
negara yang harus dilindungi. Hal itulah yang memicu warga pada tanggal 30 Juni
mendatang berangkat ke Jakarta, mendesak Menteri BUMN agar menyerhakan lahan
tak ber HGU kepada rakyat. (WALHI SUMSEL 2012)
0 komentar:
Posting Komentar