WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Juli 05, 2012

Kronologis Perjuangan Gerakan Petani Penesak Bersatu melawan PTPN VII


Kronologis Perlawanan Petani Ogan Ilir

Konflik agraria diprovinsi Sumatera Selatan sudah mencapai titik nadir. Lemahnya kemauan politik pengambil kebijakan menjadikan sengketa agraria di bumi sriwijaya bertambah kronis. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan  menyebutkan, ketimpangan penguasaan lahan ini merupakan  faktor utama timbulnya konflik agraria yang saat ini banyak bermunculan. Menurut catatan Walhi Sumsel, luas wilayah adminitratif provinsi ini hanya 8,7 juta hektar (ha). Kini sebanyak 4,9 juta Ha atau sekitar 56,32 persen lahan dikuasai perusahaan dengan rincian 1,2 juta ha hutan tanaman industri (HTI), 1 juta ha perkebunan kelapa sawit, dan 2,7 juta ha pertambangan batubara. Jika disandingkan dengan jumlah penduduk  mencapai 7 juta jiwa, maka penguasaan lahan setiap jiwa berkisar 0,5 Ha saja. 

Jadi tidak heran jika selama tiga tahun terakhir jumlah sengketa agraria yang diadukan masyarakat terus meningkat. Tahun 2009 terdapat 18 aduan sengketa agraria, tahun 2010 jumlahnya meningkat menjadi 27, tahun 2011 terdapat 32 aduan. 

Begitupun dengan sengketa lahan antara masyarakat Ogan Ilir dengan PTPN VII unit Usaha Cinta Manis, atau lebih tepatnya  warga  20 desa dari 6 kecamatan di Ogan Ilir  yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu(GPPB), terdiri dari desa Sribandung, Tj. Laut, Tj. Pinang, Tj. Atap,Tj. Baru Petai, Sentul, Limbang Jaya (KecamatanTanjung Batu), Desa SriKembang, Rengas, Lubuk Bandung (kecamatan Payarman), Desa Ketiau, Betung, Payalingkung, Lubuk Keliat, (Kecamatan Lubuk Keliat), Desa Meranjat 1&2, Meranjat Ilir, (Kecamatan Indralaya Selatan) dan Desa Tj. Gelam, Tj.Sejaroh, Tj.Agung Sejaro Sakti (Kecamatan Indralaya Induk) Kemudian Desa Sri Ngilam Kecamatan Tanjung Raja.
Mereka adalah korban perampasan tanah yang dilakukan oleh  PTPN  VII Cinta Manis sejak tahun 1982. Selama dua bulan terakhir, mereka terus bergerak mendesak pemerintahan setempat untuk memenenuhi tuntutan warga agar tanah mereka dikembalikan.

Secara umum proses perampasan tanah rakyat oleh PTPN VII tahun 1982 disetiap desa realtif sama. dijaman Orde Baru warga tidak memiliki pilihan selain pasrah ketika kebun karet dan nanas mereka digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi yang layak.  Proses ganti rugi tahun 1982  diakui warga diwarnai tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat keamanan.Ganti rugi itupun sangat  tidak adil, contohnya dari 5 ha lahan, hanya 1 ha saja yang diganti, lebih parah hingga saat ini masih ada tanah warga yang  belum diganti rugi oleh pihak PTPN VII.

Berbagai upaya dialog dan mediasi telah ditempuh warga, namun pihak PTPN VII selalu mengulur waktu dan cenderung tidak memberi keputusan yang tegas. Akhirnya, pada hari senin tanggal 21 Mei 2012, warga mmetuskan untuk memblokade akses jalan menuju pabrik pengolahan gula PTPN VII, selain itu warga pun mendirikan tenda dan mematok lahan seluas 3000 ha.

Aksi tersebut merupakan puncak kekecewaan warga terhadap keberadaan PTPN VII yang dinilai tidak menguntungkan rakyat sekitar. Hal itu bisa dilihat, dari jumlah tenaga kerja yang 70 % didatangkan dari luar. Kemudian, sungai yang tadinya bisa dijadikan tempat mencari ikan, kini sudah tercemar dan ikan-ikan sudah mulai punah akibat limbah. Selanjutnya, debu pembakaran tebu dari pabrik gula PTPN VII masuk ke pemukiman warga dan menganggu aktivitas.

Hal lain, dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta Manis hanya 6000 ha  memilki HGU berlokasi di daerah Burai kecamatan Rantau Alai. Untuk itu, warga yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu(GPPB) merasa memiliki hak diatas tanah mereka sendiri.

Kemudian dari aksi blokade tersebut, Pemerintah Ogan Ilir bersedia memfasilitasi warga untuk berdialog pada tanggal 23 mei 2012. Berdasarkan hasil dialog, terjadi kesepakatan tertulis antara warga(Desa Sri Bandung) dan Pihak PTPN VII di gedung DPRD Ogan Ilir pada tanggal 23 mei 2012 lalu, yang difasilitasi serta disaksikan oleh Kapolres, Dandim, Ketua dan wakil ketua DPRD Ogan Ilir, bahwa pihak perusahaan tidak keberatan jika warga melakukan pematokan lahan dan mendirikan tenda selama tidak mengganggu aktivitas perusahaan hingga jenjang waktu negosiasi tanggal 31 Mei 2012.
Kemudian pada tanggal 31 Mei, ribuan  warga yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB) melakukan aksi di DPRD Ogan Ilir untuk mendorong proses negosiasi agar berpihak kepada rakyat. Hasilnya, pihak PTPN VII bersama Wakil Bupati OI mempersilahkan warga untuk mematok lahan tanpa melakukan perusakan sambil menunggu waktu untuk negosiasi ulang tanggal 7 Juni.
Tanggal 7 juni pun, GPPB pun kembali melakukan aski besar-besaran untuk mendorong proses negosiasi berpihak kepada warga. Hasilnya tidak jauh berbeda, negosiasi tersebut melahirkan kesepakatan diantaranya memeprsilahakan warga mematok lahan.
Namun pasca negosiasi tersebut, kondisi sempat memanas, terkait dengan pemanggilan dan pemeriksaan 14 warga dengan status tersangka, usaha kriminalisasi itu berdasarkan atas laporan pihak PTPN VII melalui  Ir Suefry Gunawan, terkait pematokan lahan oleh warga.
Warga dituduh telah melakukan tindak pindana menempati lahan tanpa izin sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No 51/Prp/1960 tentang agraria.Massa menilai bila Polres Ogan Ilir berlandaskan Undang-Undang No 51/1960 tentang Agraria, tidak ada alasan untuk menetapkan 14 warga tersebut sebagai tersangka.

Menindaklanjuti hal itu, tanggal 14 Juni 2012 ribuan warga mendatangi Polda Sumatera Selatan menuntut Polda agar mengehentikan upaya kriminalisasi tersebut, karena soal sengketa lahan masih dalam proses. Aksi berlanjut ke gedung DPRD provinsi Sumsel hingga warga menginap di gedung rakyat tersebut.

Keesokan harinya aksi berlanjut ke Badan Pertanahan Nasional(BPN) Sumsesl dan Kantor Gubernur. Hasil dari aksi tersebut, pihak BPN menyatakan tidak akan memproses perpanjangan GHU PTPN VII.

Secara formal, instansi dari pihak kabupaten dan Provinsi sudah memberikan dukungan politik berupa rekomendasi yang cukup berpihak kepada rakyat. Namun menjadi persoalan, ketika status PTPN VII sebagai BUMN kewenangannya berada di Kementrian BUMN. Sebagaimana diketahui, Dahlan Iskan selaku menteri BUMN tegas tidak akan memberikan tanah itu kepada warga, karen PTPN VII merupakan aset negara yang harus dilindungi. Hal itulah yang memicu warga pada tanggal 30 Juni mendatang berangkat ke Jakarta, mendesak Menteri BUMN agar menyerhakan lahan tak ber HGU kepada rakyat. (WALHI SUMSEL 2012)



Artikel Terkait:

0 komentar: