Palembang - Sepanjang tahun 2012 tingkat gangguan keamanan yang
diakibatkan oleh konflik komunal atau sosial di Sumatera Selatan
(sumsel) masih tinggi. Dari catatan Kepolisian Daerah (polda) Sumsel,
untuk tahun ini mencapai 43 titik yang berpotensi konflik komunal.
Kapolda Sumsel, Irjen Pol Dikdik Maulana Arief Mansur, menagatakan hal
itu di Palembang, Rabu (27/6/2012). Menurutnya, polisi telah
mengindenfikasi potensi gangguan keamanan dan titik rawan di wilayah
Sumsel. ”Dari data tercatat ada 43 titik yang berpotensi konflik
komunal, salah satunya di kabupaten Ogan Komering Ilir,” ujar Dikdik.
Dikdik
mengatakan, dirinya telah memerintahkan seluruh anggota kepolisian,
mulai dari tingkat polsek, Polres maupun lingkungan polda agar
mengawasi semua permasalahan yang bisa memicuh konflik. ”Saya
perintahkan agar seluruh anggota polisi mengawasi konflik yang kecil,
karena itu bisa berpotensi besar terumata menyangkut sengketa lahan
perkebunan,” katanya.
Dijelaskannya, sejauh ini kepolisian sudah
melakukan berupaya melakukan pendekatan terhadap semua elemen
masyarakat, serta melakukan tindakan terhadap pihak yang melanggar.
”Untuk menciptakan kondisi aman dan tertib tidak mungkin hanya dilakukan
oleh Polri, tetapi juga harus dilakukan dengan pemberdayaan
masyarakat,” tegasnya.
Sementara itu, Asisten I bidang
Pemerintah Provinsi Sumsel, Mukti Sulaiman, mengatakan bahwa potensi
konflik terjadi di 10 kabupaten yang lebih disebabkan permasalahan
lahan. ”Dari tahun 2011 kita berhasil menyelesaikan 14 kasus sengketa
lahan, 13 sudah masuk proses hukum dan sekitar 25 kasus masih dalam
proses,” ujar Mukti.
Menurut Mukti, Pemerintah Provinsi Sumsel
telah melakukan upaya pencegahan konflik komunal dengan membuat surat
edaran gubernur no. 037/SE/I/2011 tertanggal 14 September 2011, agar
Bupati/Walikota lebih meningkatkan pengawasan terhadap tata ruang
wilayah.
Pengamat Hukum Universitas Sriwijaya (Unsri), Amzulian
Rivai mengatakan konflik komunal di Sumsel lebih disebabkan oleh
lemahnya penegakan hukum, sehingga menjadikan konflik yang
berkepanjangan. ”Sebenarnya persoalan utamanya karena lemahnya penegakan
hukum, dan juga pemberian izin usaha yang tanpa memperhatikan hak-hak
adat,” ujar Amzulian.
sumber : Gatra
Artikel Terkait:
- Kejahatan Trans National Corporations dalam kebakaran hutan dan lahan di Indonesia Dibawa ke Jenewa
- Jadi Desa Ekologis di Sumsel : Berkonflik Panjang, Nusantara Menjaga Padi dari Kepungan Sawit
- Hari Pangan Se-Dunia, Walhi dan masyarakat Sipil Deklarasikan Nusantara Menuju Desa Ekologis.
- Pidato Sambutan Direktur Walhi Sumsel dalam Peringatan Hari Pangan Se-Dunia dan Deklarasi Nusantara Menuju Desa Ekologis
- Bahaya Hutang Bank Dunia Dalam Proyek KOTAKU
- Melanggar HAM, PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
- Sinarmas Forestry company found guilty of unlawful conduct by High Court over peat fires
- Diduga Rugikan Negara Rp3,6 Triliun, Walhi Laporkan Perusahaan Sawit dan Tambang ke KPK
- Peringati Hari Bumi, Walhi secara Nasional Gelar Karnaval di Palembang
- Indonesia suffers setback in fight against haze after suit rejected
0 komentar:
Posting Komentar