Saat rezim orde baru di bawah Jendral Suharto berkuasa, pada tahun
1982 dengan alasan pembangunan tanah petani di 20 desa dari 6 kecamatan
di Ogan Ilir, Sumatera Selatan yang terdiri dari desa Sribandung, Tj.
Laut, Tj. Pinang, Tj. Atap,Tj. Baru Petai, Sentul, Limbang Jaya
(KecamatanTanjung Batu), Desa SriKembang, Rengas, Lubuk
Bandung(kecamatan Payarman), Desa Ketiau, Betung, Payalingkung, Lubuk
Keliat, (Kecamatan Lubuk Keliat), Desa Meranjat 1&2, Meranjat Ilir,
(Kecamatan Indralaya Selatan) dan Desa Tj. Gelam, Tj.Sejaroh, Tj.Agung
Sejaro Sakti (Kecamatan Indralaya Induk) Kemudian Desa Sri Ngilam
Kecamatan Tanjung Raja diambil paksa dan dirubah menjadi perkebunan tebu
perusahaan milik negara PTPN VII unit usaha Cinta Manis.
Secara umum proses perampasan tanah rakyat oleh PTPN VII tahun 1982
disetiap desa realtif sama. dijaman Orde Baru warga tidak memiliki
pilihan selain pasrah ketika kebun karet dan nanas mereka digusur oleh
PTPN VII tanpa ganti rugi yang layak. Proses ganti rugi tahun 1982
diakui warga diwarnai tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat
keamanan.Ganti rugi itupun sangat tidak adil, contohnya dari 5 ha lahan,
hanya 1 ha saja yang diganti, lebih parah hingga saat ini masih ada
tanah warga yang belum diganti rugi oleh pihak PTPN VII.
Sejak saat itu masyarakat di 20 desa tersebut berjuang untuk
mendapatkan kembali hak mereka atas lahan pertanian tersebut. Warga yang
tidak berdaya untuk menolak karena rezim orde baru menggunakan angkatan
bersenjata untuk menekan rakyat dimasa orde baru mencoba untuk meminta
kembali hak mereka atas tanah ketika rezim orde baru telah berhasil di
gulingkan. Namun sampai dengan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono
saat ini, upaya warga tersebut tidak membuahkan hasil. Rezim SBY
ternyata sama kejamnya dengan Rezim Orde Baru Jendral Suharto.
Berbagai upaya dialog dan mediasi telah ditempuh warga, namun pihak
PTPN VII selalu mengulur waktu dan cenderung tidak memberi keputusan
yang tegas. Dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta
Manis hanya 6000 ha memilki HGU berlokasi di daerah Burai kecamatan
Rantau Alai. Dengan demikian maka, hanya 6500 ha saja dari luasan
penguasaan PTPN VII yang tercatat sebagai aset negara dan dibayarkan
keuntungannya kepada negara, sedangkan sisanya seluas +/- 13.500 hektar
tidak diketahui digunakan atau diperuntukan untuk apa.
Upaya negosiasi dan usulan mediasi yang disampaikan oleh masyarakat
di tolak oleh PTPN VII dan juga Kementerian BUMN ketika terjadi
pertemuan di Kantor Kementerian BUMN pada hari Senin tanggal 16 Juli
2012 yang lalu. Pertemuan yang dihadiri oleh Sekretaris Menteri BUMN,
Deputy Menteri BUMN Bidang Industri Primer, Direktur Utama PTPN VII,
Direksi PTPN VII menolak usulan perwakilan warga yang disampaikan pada
pertemuan tersebut. Usulan Warga pada pertemuan tersebut adalah sebagai
berikut :
Dibuatnya team penyelesaian Konflik Agraria dengan tugasnya melakukan
pendataan ulang dan pengukuran ulang terhadap lahan PTPN VII secara
keseluruhan sesuai dengan HGU.
Membuka data dan dokumen bukti bukti lahan baik yang dimiliki warga maupun yang dimiliki PTPN VII.
Usulan yang sudah sangat solutif inipun masih saja ditolak oleh PTPN
VII dan Kementerian BUMN yang memperlihatkan tidak ada niat baik dari
mereka untuk duduk bersama menyelesaikan konflik berkepanjangan ini.
Hari Selasa, tanggal 17 Juli 2012, sekitar jam 08.30 WIB, Polisi dari
Kepolisian Sumatera Selatan mulai dikerahkan untuk datang ke wilayah
sengketa di lokasi pabrik gula PTPN VII, di Kabupaten Ogan Ilir. Sejak
saat itu Polisi melakukan penangkapan paksa terhadap warga desa, bahkan
seorang Ibu dan Bayinya umur 1,5 tahun ditangkap dan dibawa ke markas
polisi resort Ogan Ilir pada tanggal 22 Juli 2012 yang baru lalu.
Setiap saat warga desa di teror oleh pasukan Brimob Polda Sumsel, dan
dilakukan penangkapan-penangkapan warga desa. Sampai dengan tanggal 26
Juli 2012 sudah 30 warga desa yang ditangkap polisi secara paksa.
Tanggal 27 Juli 2012, sekitar jam 16.00 WIB, terjadi bentrok antara
warga dengan polisi karena polisi melakukan tindakan semena-mena di desa
Limbung Jaya, Polisi menembakan senjata mereka secara membabi buta
sehingga mengakibatkan 1 orang anak berumur 12 tahun (Angga Bin
Darmawan) tewas tertembak di kepala saat lari keluar dari game centre
karena mendengar keributan. Saat melihat Angga terjatuh, warga mencoba
menolong, tetapi dilarang oleh polisi. Tembakan serampangan polisi juga
mengakibatkan 2 orang perempuan (1 orang berumur 16 tahun bernama
Jesica, 1 orang ibu), 1 orang laki-laki bernama Rusman terluka parah.
Tindakan Kepolisian Polda Sumatera Selatan sangat tidak manusiawi,
demikian juga dengan PTPN VII dan Kementerian BUMN. Pembunuhan terhadap
warga negara tanpa alasan yang jelas dan penganiayaan yang dilakukan
terhadap warga telah diluar batas pri-kemanusiaan. Sebagai state own
company seharusnya PTPN VII bekerja untuk mensejahterakan warga bukan
menyengsarakan dan menindas warga. Pimpinan PTPN VII harus bertanggung
jawab atas gugurnya korban jiwa akibat kerakusan PTPN VII.
Kekerasan dan pembunuhan ini memperkuat kembali bukti bahwa
pendekatan keamanan dengan menggunakan aparat negara menjadi pendekatan
utama dalam konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia. Presiden
menginstruksi dalam rapat di kejaksanaan agung untuk pembentukan tim
terpadu konflik agraria ternyata tidak memberikan harapan apapun dengan
masa depan penyelesaian konflik agraria di Indonesia dan diperkuat
dengan bukti kekerasan pada hari ini. Presiden harus melakukan evaluasi
atas kepemimpinan dan kinerja POLRI dalam penanganan konflik serta
melalukan pemeriksaan menyeluruh terhadap PTPN VII. Tarik Brimob dari
lapangan. Bom waktu yang dikhawatirkan presiden, sedang diledakkan satu
persatu oleh pemerintah sendiri.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengambil tindakan tegas
Memerintahkan KAPOLRI untuk menarik seluruh aparat dari wilayah Ogan Ilir dan wilayah konflik lainnya
Segera mengevaluasi seluruh kinerja perusahaan negara yang berkonflik dengan rakyat.
Mengembalikan tanah rakyat yang dirampas PTPN VII;
Memecat Menteri BUMN dan jajarannya yang telah mengabaikan hak rakyat
dan menyebabkan terjadinya kekejaman di Kabupaten Ogan Ilir;
Memecat jajaran direksi PTPN VII dan;
Membebaskan warga yang ditangkap dan memberikan rehabilitasi atas
nama baik warga yang dikriminalisasi oleh kepolisian daerah sumatera
selatan.
WALHI juga menyerukan kepada seluruh komponen masyarakat untuk tidak
berhenti melakukan perlawanan terhadap perampasan hak-hak rakyat. WALHI
juga mengundang anda semua untuk turut serta memberikan dukungan
terhadap perjuangan warga 20 desa di Kabupaten Ogan Ilir, dengan
menggunakan kekuatan suara anda untuk menyampaikan berita duka dan
kekejaman Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, PTPN VII serta Kementerian
BUMN kepada kenalan, saudara dan siapa saja yang tergerak untuk
membantu saudara-saudara kita di Kabupaten Ogan Ilir, Propinsi Sumatera
Selatan, Indonesia.
Eksekutif nasional Walhi
Abetnego Tarigan
Direktur Eksekutif Nasional
Direktur Eksekutif Nasional
0 komentar:
Posting Komentar