WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Sabtu, Juli 28, 2012

“Bom Waktu itu telah diledakan Polri dan Pemerintah SBY”

Saat rezim orde baru di bawah Jendral Suharto berkuasa, pada tahun 1982 dengan alasan pembangunan tanah petani di 20 desa dari 6 kecamatan di Ogan Ilir, Sumatera Selatan yang terdiri dari desa Sribandung, Tj. Laut, Tj. Pinang, Tj. Atap,Tj. Baru Petai, Sentul, Limbang Jaya (KecamatanTanjung Batu), Desa SriKembang, Rengas, Lubuk Bandung(kecamatan Payarman), Desa Ketiau, Betung, Payalingkung, Lubuk Keliat, (Kecamatan Lubuk Keliat), Desa Meranjat 1&2, Meranjat Ilir, (Kecamatan Indralaya Selatan) dan Desa Tj. Gelam, Tj.Sejaroh, Tj.Agung Sejaro Sakti (Kecamatan Indralaya Induk) Kemudian Desa Sri Ngilam Kecamatan Tanjung Raja diambil paksa dan dirubah menjadi perkebunan tebu perusahaan milik negara PTPN VII unit usaha Cinta Manis.
Secara umum proses perampasan tanah rakyat oleh PTPN VII tahun 1982 disetiap desa realtif sama. dijaman Orde Baru warga tidak memiliki pilihan selain pasrah ketika kebun karet dan nanas mereka digusur oleh PTPN VII tanpa ganti rugi yang layak. Proses ganti rugi tahun 1982 diakui warga diwarnai tekanan, intimidasi dan sikap refresif aparat keamanan.Ganti rugi itupun sangat tidak adil, contohnya dari 5 ha lahan, hanya 1 ha saja yang diganti, lebih parah hingga saat ini masih ada tanah warga yang belum diganti rugi oleh pihak PTPN VII.
Sejak saat itu masyarakat di 20 desa tersebut berjuang untuk mendapatkan kembali hak mereka atas lahan pertanian tersebut. Warga yang tidak berdaya untuk menolak karena rezim orde baru menggunakan angkatan bersenjata untuk menekan rakyat dimasa orde baru mencoba untuk meminta kembali hak mereka atas tanah ketika rezim orde baru telah berhasil di gulingkan. Namun sampai dengan kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono saat ini, upaya warga tersebut tidak membuahkan hasil. Rezim SBY ternyata sama kejamnya dengan Rezim Orde Baru Jendral Suharto.
Berbagai upaya dialog dan mediasi telah ditempuh warga, namun pihak PTPN VII selalu mengulur waktu dan cenderung tidak memberi keputusan yang tegas. Dari luas lahan 20.000 ha yang diusahakan PTPN VII Cinta Manis hanya 6000 ha memilki HGU berlokasi di daerah Burai kecamatan Rantau Alai. Dengan demikian maka, hanya 6500 ha saja dari luasan penguasaan PTPN VII yang tercatat sebagai aset negara dan dibayarkan keuntungannya kepada negara, sedangkan sisanya seluas +/- 13.500 hektar tidak diketahui digunakan atau diperuntukan untuk apa.
Upaya negosiasi dan usulan mediasi yang disampaikan oleh masyarakat di tolak oleh PTPN VII dan juga Kementerian BUMN ketika terjadi pertemuan di Kantor Kementerian BUMN pada hari Senin tanggal 16 Juli 2012 yang lalu. Pertemuan yang dihadiri oleh Sekretaris Menteri BUMN, Deputy Menteri BUMN Bidang Industri Primer, Direktur Utama PTPN VII, Direksi PTPN VII menolak usulan perwakilan warga yang disampaikan pada pertemuan tersebut. Usulan Warga pada pertemuan tersebut adalah sebagai berikut :
Dibuatnya team penyelesaian Konflik Agraria dengan tugasnya melakukan pendataan ulang dan pengukuran ulang terhadap lahan PTPN VII secara keseluruhan sesuai dengan HGU.
Membuka data dan dokumen bukti bukti lahan baik yang dimiliki warga maupun yang dimiliki PTPN VII.
Usulan yang sudah sangat solutif inipun masih saja ditolak oleh PTPN VII dan Kementerian BUMN yang memperlihatkan tidak ada niat baik dari mereka untuk duduk bersama menyelesaikan konflik berkepanjangan ini.
Hari Selasa, tanggal 17 Juli 2012, sekitar jam 08.30 WIB, Polisi dari Kepolisian Sumatera Selatan mulai dikerahkan untuk datang ke wilayah sengketa di lokasi pabrik gula PTPN VII, di Kabupaten Ogan Ilir. Sejak saat itu Polisi melakukan penangkapan paksa terhadap warga desa, bahkan seorang Ibu dan Bayinya umur 1,5 tahun ditangkap dan dibawa ke markas polisi resort Ogan Ilir pada tanggal 22 Juli 2012 yang baru lalu.
Setiap saat warga desa di teror oleh pasukan Brimob Polda Sumsel, dan dilakukan penangkapan-penangkapan warga desa. Sampai dengan tanggal 26 Juli 2012 sudah 30 warga desa yang ditangkap polisi secara paksa.
Tanggal 27 Juli 2012, sekitar jam 16.00 WIB, terjadi bentrok antara warga dengan polisi karena polisi melakukan tindakan semena-mena di desa Limbung Jaya, Polisi menembakan senjata mereka secara membabi buta sehingga mengakibatkan 1 orang anak berumur 12 tahun (Angga Bin Darmawan) tewas tertembak di kepala saat lari keluar dari game centre karena mendengar keributan. Saat melihat Angga terjatuh, warga mencoba menolong, tetapi dilarang oleh polisi. Tembakan serampangan polisi juga mengakibatkan 2 orang perempuan (1 orang berumur 16 tahun bernama Jesica, 1 orang ibu), 1 orang laki-laki bernama Rusman terluka parah.
Tindakan Kepolisian Polda Sumatera Selatan sangat tidak manusiawi, demikian juga dengan PTPN VII dan Kementerian BUMN. Pembunuhan terhadap warga negara tanpa alasan yang jelas dan penganiayaan yang dilakukan terhadap warga telah diluar batas pri-kemanusiaan. Sebagai state own company seharusnya PTPN VII bekerja untuk mensejahterakan warga bukan menyengsarakan dan menindas warga. Pimpinan PTPN VII harus bertanggung jawab atas gugurnya korban jiwa akibat kerakusan PTPN VII.
Kekerasan dan pembunuhan ini memperkuat kembali bukti bahwa pendekatan keamanan dengan menggunakan aparat negara menjadi pendekatan utama dalam konflik agraria dan sumber daya alam di Indonesia. Presiden menginstruksi dalam rapat di kejaksanaan agung untuk pembentukan tim terpadu konflik agraria ternyata tidak memberikan harapan apapun dengan masa depan penyelesaian konflik agraria di Indonesia dan diperkuat dengan bukti kekerasan pada hari ini. Presiden harus melakukan evaluasi atas kepemimpinan dan kinerja POLRI dalam penanganan konflik serta melalukan pemeriksaan menyeluruh terhadap PTPN VII. Tarik Brimob dari lapangan. Bom waktu yang dikhawatirkan presiden, sedang diledakkan satu persatu oleh pemerintah sendiri.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera mengambil tindakan tegas
Memerintahkan KAPOLRI untuk menarik seluruh aparat dari wilayah Ogan Ilir dan wilayah konflik lainnya
Segera mengevaluasi seluruh kinerja perusahaan negara yang berkonflik dengan rakyat.
Mengembalikan tanah rakyat yang dirampas PTPN VII;
Memecat Menteri BUMN dan jajarannya yang telah mengabaikan hak rakyat dan menyebabkan terjadinya kekejaman di Kabupaten Ogan Ilir;
Memecat jajaran direksi PTPN VII dan;
Membebaskan warga yang ditangkap dan memberikan rehabilitasi atas nama baik warga yang dikriminalisasi oleh kepolisian daerah sumatera selatan.
WALHI juga menyerukan kepada seluruh komponen masyarakat untuk tidak berhenti melakukan perlawanan terhadap perampasan hak-hak rakyat. WALHI juga mengundang anda semua untuk turut serta memberikan dukungan terhadap perjuangan warga 20 desa di Kabupaten Ogan Ilir, dengan menggunakan kekuatan suara anda untuk menyampaikan berita duka dan kekejaman Kepolisian Daerah Sumatera Selatan, PTPN VII serta Kementerian BUMN kepada kenalan, saudara dan siapa saja yang tergerak untuk membantu saudara-saudara kita di Kabupaten Ogan Ilir, Propinsi Sumatera Selatan, Indonesia.

Eksekutif nasional Walhi 

Abetnego Tarigan
Direktur Eksekutif Nasional



Artikel Terkait:

0 komentar: