PERTEMUAN antara perwakilan
petani Ogan Ilir dengan manajemen PTPN VII unit Cinta Manis difasilitasi
Kementerian BUMN menemui jalan buntu alias tak ada kata sepakat. Warga
yang tergabung dalam Gabungan Petani Penesak Bersatu (GPPB) pun tetap akan
menduduki lahan sampai ada kejelasan.
Anwar Sadath, Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Selatan (Sumsel) sekaligus
koordinator lapangan kecewa dengan pertemuan yang digagas Kementerian BUMN ini.
Mereka mengharapkan, setidaknya ada upaya dari Kementerian BUMN membentuk
semacam tim verifikasi lahan.
“Sayang sekali. Kita sudah memberi peluang rasional, ada tim yang dibentuk
untuk verifikasi data di lapangan, tapi PTPN mau dibawa ke hukum saja. Ya
silakan. Kami sebagai pendamping lepas tangan. Serahkan semua ke petani,”
katanya, Senin(17/7/12) petang usai pertemuan di Kementerian BUMN.
Padahal, penyelesaian konflik lahan, tak selalu harus melalui poroses hukum,
bisa dengan mediasi yang menguntungkan para pihak. “Mereka melihat dengan
proses hukum bisa selesai. Silakan.”
Iwan Nurdin, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA),
mengatakan hal sama. Menurut dia,
konflik tak akan selesai hanya lewat proses hukum. “Kalau PTPN VII mau proses
hukum, ya silakan dengan proses hukum. Warga dengan jalan warga tetap duduki
lahan.”
Dalam pertemuan Iwan mengatakan,
di PTPN VII unit Cinta Manis ini, masalah lahan. Jika berbicara tentang kasus lahan, yang harus
dicari titik temu problem ini.
Mengenai pengusahaan lahan PTPN
itu soal lain. Dia balik bertanya mengapa tanah yang dikuasai PTPN VII sebagian
besar belum memiliki Hak Guna Usaha (HGU). Padahal, semua perusahaan perkebunan
harus memiliki HGU. “Wajib hukumnya punya HGU.”
“Mengapa sudah begitu lama
beroperasi tak punya HGU. Ini sedang bersengketa, jadi susah dapat HGU. Ini
akan berlarut-larut.”
Dalam pertemuan Iwan mengusulkan,
harus ada ruang yang bisa menemukan jawaban secara komprehensif hingga masalah
bisa selesai, PTPN VII pun dapat menyelesaikan proses HGU dengan lancar. “Kalau
soal hukum, dari dulu banyak keputusan pengadilan yang tak bisa dieksekusi. Karena
rakyat siap mati-matian.”
Abdul Muis, Ketua Gabungan Petani
Penesak Bersatu (GPPB) mengatakan, sejak tahun 1981, sama sekali tak merasakan
kesejahteraan atau dampak positif dengan kehadiran PTPN. Sei Bandung, tempat
dia tinggal itu berjarak sekitar 500 meter dari PTPN VII. “Kesejahteraan masyarakat sekitar jauh sekali.
Masyarakat perlu tanah!” “Karena tak ada hasil pertemuan, kami akan tetap
duduki lahan,” kata Muis.
Direktur Utama PTPN VII unit
Cinta Manis, Boyke Budiono dalam pertemuan mengatakan, hanya proses hukum yang
bisa membenarkan ini. “Kami akan membuktikan bukti-bukti kami. Mari kita duduk
bersama-sama, kita buktikan, dengan pembuktian terbalik.” Jika memang ada rekayasa, itu harus dibuktikan.
‘Ini negara hukum.”
Sebelum itu, Boyke mengajak untuk
membicarakan masa depan, melupakan masa lalu. Manajemen PTPN VII, kala
mendapatkan tanah itu dari panitia IX ada dasar-dasarnya. “Tidak seperti yang
dituduhkan, ambil lahan tanpa penggantian. Kami punya bukti. Dari itulah kami
lakukan usaha,” ucap Boyke. Mengenai HGU, sebagian sudah ada, sebagian masih
proses. “Menurut kami, walau tak dapat HGU itu tetap sah.
Mengenai usulan kepada Presiden
melalui Kementerian BUMN agar mengembalikan lahan ke warga, Boyke mengaku,
manajemen tak mempunyai dasar itu. “Kami sudah dapatkan tanah dengan sah lewat
panitia IX.”
Jika masyarakat merasakan PTPN
VII tak memberikan manfaat, dia menawarkan ke depan, ada pemberdayaan
masyarakat. “Yang baik teruskan usaha dengan berdayakan masyarakat sekitar.
Kita bisa duduk bersama, yang baik seperti apa. Ini proses. Kita lebih baik
duduk bersama dan bahas bersama.”
Warga yang sudah puluhan tahun
menjalani kasus ini merasa kesal. “Kok baru sekarang? Sudah 30 tahun kami
menderita. Ke mana selama ini. Apa hanya ABS (asal bapak senang-red)?. Lama
pak, 30 tahun. Bukan waktu yang singkat,” kata Rudi Hartono, petani Ogan Ilir.
Menurut Rudi, jika bicara bukti,
warga juga ada. “Apa yang dilakukan tim IX waktu itu jelas penuh rekayasa. Kami
banyak paunya surat-surat tidak ada tanda tangan. Kira-kira kalau surat tak ada
tanda tangan, sah atau tidak? Andai tak sah, apa itu yang jadi acuan?” Rudi
balik bertanya.
Dia mengatakan, jika hanya
memberikan harapan kepada warga, sudah terlambat. “Andai PTPN tak masuk, mungkin saya tak macam
sekarang ini. Mungkin saya sekolah. Jadi tolong bapak bijaksanalah. Kalau apa yang
kata bapak tadi itu terlambat. Pikirkan.”
Firmansyah, perwakilan petani
Ogan Ilir juga menambahkan, kalau ada niat dan itikat baik, soal menghapus masa
lalu dan melihat masa depan, dia setuju. “Tapi mengapa baru tergerak. Mengapa
minta tanah karena itu punya kami. Tim IX yang ganti rugi lokasi mana, kepada
siapa, lokasi mana, besaran berapa, itu tidak jelas!”
Wahyu dari Serikat Petani
Indonesia (SPI), mengatakan, jika ujung ke pengadilan sebenarnya buat
pendamping itu akan jadi kejadian berulang. Dia mencontohkan, ada kasus yang
sudah memang sampai Mahkamah Agung (MA), tapi konflik di lapangan tetap
berjalan.
Menurut dia, saat ini sebenarnya momentum baik karena mempertemukan banyak
pihak. “Yang terlibat pun banyak desa. Ini sudah ada wadah, ada organisasi.
Sebab jika tak selesai akan menjadi bom waktu.”
M Zamkhani, selaku Deputi Industri Usaha Primer, Kementerian BUMN meminta
agar PTPN VII dan petani saling memahami. “Mana yang bisa diterima PTPN VII dan
mana yang kira-kira bisa diterima wakil masyarakat,” ujar dia.
“Tadi saya membayangkan karena ini masalah lahan, cost terlalu banyak untuk
soal-soal seperti ini. Panggil polisi, preman, petani akan lawan terus,” kata
Iwan.
Anwar berharap, bisa dibentuk tim dari Kementerian BUMN untuk verifikasi
data lahan. Hingga upaya warga
berjuang mempertanyakan lahan mereka ada titik terang.
Namun, Kementerian BUMN tak bisa
mengakomodir itu. Wahyu Hidayat, Sekretaris Menteri BUMN mengaku, masalah ini
sangat rumait. “Saya juga capek. Kejadian ini bukan satu dua kali. Kami juga
pegawai.” “Kami di kementerian merasakan itu. Direksi silih berganti.”
Direksi, pada dasarnya logika
mereka mengurus perusahaan. Mereka tak berani memutuskan sesatu. Berbeda jika
perusahaan swasta. “Kalau direksi ambil keputusan, malah nanti kena.”
Akhirnya, pertemuan ini tak
membuahkan kata sepakat.
Perjuangan warga petani di
Kabupaten Ogan Ilir, Sumsel ini sudah begitu panjang. Sejak PTPN VII beroperasi
pada 1981, penolakan-penolakan sudah terjadi. Tahun ini, gerakan petani kembali
bergolak. Demonstrasi besar-besaran di kabupaten sampai provinsi.
Perjuangan mereka cukup
membuahkan hasil. Surat BPN
Sumatera Selatan (Sumsel) membenarkan jika hanya 6.500 ha lahan yang ber-HGU. BPN
Sumsel tak mau mengeluarkan HGU sampai konflik dengan masyarakat selesai.
Surat dari
Gubernur Sumsel yang ditujukan ke Kementerian BUMN juga mendukung keinginan
warga. Rekomendasi gubernur meminta lahan PTPN VII unit Cinta Manis yang sudah
ada HGU dievaluasi. Lalu, lahan yang belum terbit HGU diminta dikembalikan
kepada masyarakat.
Sumber: mongabay.com
Sumber: mongabay.com
0 komentar:
Posting Komentar