WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Kamis, Juli 26, 2012

Presiden Diminta Turun Tangan Selesaikan Konflik Agraria

DALAM dua bulan terakhir, konflik agraria,  antara perusahaan dan warga, sering berbuntut kekerasan.  Aparat kepolisian cenderung membela perusahaan hingga warga menjadi korban kriminalisasi. Kondisi ini, mengkhawatirkan karena bisa memicu amuk massa.  Untuk itu, Sekretariat Bersama Pemulihan Hak Rakyat, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) turun langsung menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi.
Khallisah Khalid dari Walhi Nasional mengatakan, penyelesaian konflik agraria tak bisa berharap dari kepolisian.
Penyelesaian konflik agraria ini, harus diambil alih oleh Presiden. SBY, katanya,  telah mengagendakan reformasi agraria. Namun, di lapangan tak serius ditangani dan peristiwa kekerasan terus terjadi. “Jadi jangan hanya retorika dan pencitraan saja,” katanya dalam jumpa pers Sekber Pemulihan Hak Rakyat di Jakarta, Rabu(25/7/12).
Khallisah menceritakan, minggu lalu Sekber bertemu Mabes Polri membahas kasus kekerasan yang dilakukan kepolisian. Saat itu, mereka berjanji akan mengirimkan memo ke seluruh Kapolda dan Kapolres agar polisi bersikap netral terhadap kasus-kasus agraria. “Eh, tak lama muncul bentrok petani Ogan Ilir dengan polisi.
Irhash Ahmady dari Walhi berpandangan sama. Presiden harus segera turun tangan menyelesaikan konflik-konflik agraria. Jika tak segera dilakukan kekerasan akan berlanjut. “Ini yang harus diminimalisasi. Dia mengatakan, penolakan-penolakan rakyat sebenarnya menunjukkan kesadaran warga akan hak-hak mereka.
“Sudah sepantasnya mereka mengambil hak, harusnya dilindungi UU.” Untuk itu, Sekber akan mengagendakan untuk bertemu langsung Presiden guna membicarakan konflik agraria ini. “Karena hanya Presiden yang bisa selesaikan ini.”
Rahmat, Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengatakan,  dalam dua bulan kekerasan mencuat di berbagai tempat. “Tindakan brutal polisi, sebagai kaki tangan negara yang bela para penguasa modal,” katanya.
Dia mencontohkan,  konflik lahan petani Ogan Ilir, Sumatera Selatan dengan PTPN VII unit Cinta Manis. Tuntutan warga jelas meminta pengembalian lahan mereka yang dulu diambil paksa. Sedang, PTPN VII selama ini beroperasi di atas lahan seluas sekitar 20 ribu hektare. Namun, yang sudah memiliki hak guna usaha (HGU), hanya 6.500 hektare.
Kekerasan polisi terjadi lagi dalam waktu tak jauh beda dari Ogan Ilir, di Donggala, Sulawesi Tengah. Lima warga penolak tambang emas ditembak, satu meninggal. “Jadi, saya tak terima jika dibilang rakyat anarkis dan melawan hukum.  Yang anarkis dan melawan hukum  itu polisi atau negara.”
Aturan yang dibuat juga tak berpihak pada rakyat, seperti UU Penanganan Konflik Sosial.  “Dalam UU ini memperbolehkan polisi atau tentara langsung terlibat dalam penanganan konflik.”
Andrie S Wijaya, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, mengatakan, Jatam mencatat dalam tiga bulan terakhir kasus pertambangan emas paling tinggi.  Dari Juni sampai Juli tahun ini, ada lima kasus yang berakhir dengan kekerasan dan kriminalisasi warga.
Menurut dia, dari lima kasus, di Donggala dan Sumba, sampai  terjadi konflik horizontal antara warga pro dan kontra tambang. “Warga pro dan kontra saling baku hamtam dan kepolisian berada di belakang yang pro.” Dia melihat, semua pola kekerasan itu berulang.  Pada 2011, pernah kejadian sama. “Sekarang terulang hanya pindah desa.”
Kondisi ini, menunjukkan tidak adanya perhatian negara terhadap masalah ini. “Yang dikorbankan tatanan sosial masyarakat. Dulu rukun, sekarang ada bibit pecah ke arah konflik horizontal.”
Haris Azhar, koordinator KontraS mengatakan, dalam catatan KontraS, tahun ini sengketa sudah ada 36 peristiwa. “Ada penganiayaan, perusakan, bentrokan, kriminalisasi, intimidasi kepada masyarakat yang mengekspresikan penolakan terhadap praktik bisnis baik sawit atau tambang.”
Haris khawatir . Sebab, dalam banyak kasus polisi nyata-nyata menjadi kaki tangan perusahaan dalam menghadapi masyarakat. “Polisi punya satu metode tunjukkan obyektivitas dalam bentuk mengkriminalisasi warga.”
Dia melihat, ada temuan pola meluas dan cukup menginspirasi. Pola pengamanan ini seakan didesain dan dijadikan pakem bagi kepolisian. Dia tak yakin metode kepolisian ini sebagai suatu kesalahan karena terus terulang.  “Karena kalau salah dievaluasi, tetapi ini semacam pola yang dibangun dan dipelihara serta disetujui Polri.”
Polisi, seakan menjadi penjaga perusahaan. “Warga jadi kriminal, ungkapan perusahaan jadi referensi polisi,” ujar dia. Kondisi tambah parah dengan aturan yang tak membela rakyat. “Kebijakan buruk, praktik di lapangan buruk hingga kondisi makin memprihatinkan.”
Wahyu Agung dari Serikat Tani Indonesia (SPI) mengatakan, teriakan protes terhadap kepolisian yang melakukan kekerasan tetap tak menyurutkan tindakan polisi.
Aparat, menjadi tidak obyektif jika berhadapan dengan rakyat dan warga selalu dianggap salah serta dikriminalkan. Dia mencontohkan, lima petani Ogan Ilir, ditahan karena melintas di lahan kebun PTPN VII. Empat dilepas, satu tetap ditahan karena dituduh membawa senjata tajam. “Petani baru pulang dari kebun, ya wajar bawa sajam.” Di satu sisi, sampai Selasa(24/7/12), masih terjadi pembakaran terhadap pondok-pondok petani. “Ini secara legal salah tapi tak apa-apa dilakukan.”
Jika kondisi seperti ini dibiarkan berlanjut, Wahyu khawatir amuk massa akan meningkat. Dia mencontohkan, kasus penembakan oleh warga kepada pihak perusahaan di Riau. Perusahaan sudah dinyatakan ilegal oleh berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, tetapi di lapangan tetap beroperasi. Terjadilah aksi kekerasan warga. “Ini menunjukkan kekecewaan warga yang begitu tinggi karena cara-cara wajar tak lagi berjalan.”
Untuk itu, dia mendesak, penggunaan metode kekerasan pada rakyat harus dihentikan. “Saatnya berhenti berikan kebijakan yang layani masyarakat pemodal.”
Moratorium Tambang di Sulteng
Di Sulawesi  Tengah (Sulteng), Jatam wilayah itu melakukan aksi solidaritas terhadap korban kekerasan  Balaesang Tanjung pada Rabu(25/7/12).  Jatam meminta pemerintah segera memoratorium perizinan tambang di Sulteng.
Direktur Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal Douw, mengatakan, laju investasi tambang turut menyumbang ketidakwajaran yang meluas. Hingga saat ini,  ada 365 perusahaan tambang memiliki izin usaha pertambangan di daerah itu. Lalu, satu maha proyek Migas Donggi Senoro LNG dinahkodai investor Jepang lewat Mitsubihsi dan Korea Gas sebagai pemilik saham mayoritas.
Kabupaten Morowali,  berada di tempat pertama dengan produksi izin usaha pertambangan (IUP)  mencapai 149.  Jika seluruh areal pertambangan di Morowali, dikuantitaskan akan lebih besar daripada luas kabupaten itu sendiri. Ironisnya, seluruh perusahaan itu beroperasi sebelum ada penetapan wilayah pertambangan, dan wilayah izin usaha pertambangan.
“Hingga, perusahaan-perusahaan, tak ubahnya penjual tanah mentah yang bersengketa dengan petani untuk kepentingan industri negara-negara maju, terutama China dan Jepang.”
Volume peningkatan investasi itu,  diikuti kerusakan lingkungan per satuan konsesi pertambangan. Bahkan kawasan hutan lindung pun dirambah seperti kasus Cagar Alam Morowali. “Ini disertai kriminalisasi rakyat dalam berbagai macam bentuk. Sepertinya sudah menjadi konsensus umum kepolisian,  siapa saja yang menolak pertambangan akan direpresif,” ujar dia.  Walhasil, sederet kasus penembakan pun terjadi setiap tahun.
Tercatat dua kasus kekerasan. Pertama, kasus penembakan nelayan Kolo Bawah yang aksi menuntut tanggung jawab JOB-PMTS atas kerusakan lingkungan yang menyebabkan kemiskinan di desa itu. Dua warga tewas berondongan senjata, dan tujuh orang terluka parah, serta 23 orang dipenjara.
 Kedua, kekerasan serupa berulang di Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala. Lima warga penolak tambang emas PT. Cahaya Manunggal Abadi (PT CMA) ditembak. Satu korban meninggal dunia, empat luka tembak, 13 ditangkap dan beberapa orang dipukul polisi dari satuan Polres Donggala.
Untuk itu, Jatam Sulteng mengeluarkan  pernyataan sikap. Pertama, mendesak Gubernur Sulteng segera mengeluarkan keputusan politik moratorium pertambangan di  Sulteng. Kedua, mendesak pembentukan tim independen penyelesaian masalah agraria dan kajian kelayakan pertambangan di Sulteng.
Ketiga, bebaskan petani Balaesang Tanjung dan usut tuntas pelaku pelanggaran HAM.  Keempat, seret Bupati Donggala untuk bertanggung jawab atas kekerasan di Balaesang Tanjung. Kelima,  copot Kapolda Sulteng.
Presiden Bahas Konflik Agraria
Sementara itu, Presiden SBY membahas masalah ini dalam Sidang Kabinet Terbatas di Kejaksaan Agung, Rabu(25/7/12). Dikutip dari Beritasatu.com, SBY mengatakan, mendapatkan banyak aduan terkait persoalan pertanahan di tanah air. Aduan konflik lahan seperti tumpang tindih lahan datang hampir setiap minggu melalui surat atau pesan singkat.
“Sengketa hukum atas lahan tanah sering terjadi benturan di lapangan. Agar tugas polisi tidak berlipat ganda, dari hulu harus diluruskan dengan segala upaya. Konsultasi, koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional,” katanya.
Penanganan konflik lahan tidak semata-mata tugas kepolisian. Koordinasi dan sinergitas dengan BPN harus berlangsung baik. Selain itu, perangkat daerah seperti bupati atau camat dan semua jajaran harus bisa berkoordinasi untuk mencegah konflik.
”Apabila kabupaten X sudah ada tanda-tanda ketegangan di antara komunitas beda agama, etnis, maka tentu semua pihak segera lakukan pencegahan untuk terjadi kekerasan dan bentrokan. Akan lebih banyak lagi yang bisa dicegah.”
Dia menyoroti seringkali pada kasus tertentu saat terjadi kekerasan horizontal di lapangan, kepolisian tidak mengambil tindakan cepat dan tuntas. “Akibatnya kepolisian dituduh melakukan pembiaran. Saya tegaskan berkali-kali, jawablah dengan baik. Jika ada kejadian, tindak dan selesaikan secara baik.”





Artikel Terkait:

0 komentar: