DALAM dua bulan terakhir, konflik agraria, antara perusahaan dan
warga, sering berbuntut kekerasan. Aparat kepolisian cenderung membela
perusahaan hingga warga menjadi korban kriminalisasi. Kondisi ini,
mengkhawatirkan karena bisa memicu amuk massa. Untuk itu, Sekretariat
Bersama Pemulihan Hak Rakyat, meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY) turun langsung menyelesaikan konflik-konflik agraria yang terjadi.
Khallisah Khalid dari Walhi Nasional mengatakan, penyelesaian konflik agraria tak bisa berharap dari kepolisian.
Penyelesaian
konflik agraria ini, harus diambil alih oleh Presiden. SBY, katanya,
telah mengagendakan reformasi agraria. Namun, di lapangan tak serius
ditangani dan peristiwa kekerasan terus terjadi. “Jadi jangan hanya
retorika dan pencitraan saja,” katanya dalam jumpa pers Sekber Pemulihan
Hak Rakyat di Jakarta, Rabu(25/7/12).
Khallisah menceritakan, minggu lalu Sekber bertemu Mabes Polri
membahas kasus kekerasan yang dilakukan kepolisian. Saat itu, mereka
berjanji akan mengirimkan memo ke seluruh Kapolda dan Kapolres agar
polisi bersikap netral terhadap kasus-kasus agraria. “Eh, tak lama
muncul bentrok petani Ogan Ilir dengan polisi.”
Irhash
Ahmady dari Walhi berpandangan sama. Presiden harus segera turun tangan
menyelesaikan konflik-konflik agraria. Jika tak segera dilakukan
kekerasan akan berlanjut. “Ini yang harus diminimalisasi. Dia
mengatakan, penolakan-penolakan rakyat sebenarnya menunjukkan kesadaran
warga akan hak-hak mereka.
“Sudah sepantasnya mereka mengambil
hak, harusnya dilindungi UU.” Untuk itu, Sekber akan mengagendakan untuk
bertemu langsung Presiden guna membicarakan konflik agraria ini.
“Karena hanya Presiden yang bisa selesaikan ini.”
Rahmat,
Sekretaris Jenderal Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) mengatakan,
dalam dua bulan kekerasan mencuat di berbagai tempat. “Tindakan brutal
polisi, sebagai kaki tangan negara yang bela para penguasa modal,”
katanya.
Dia mencontohkan, konflik lahan petani Ogan Ilir, Sumatera Selatan dengan PTPN VII unit Cinta Manis.
Tuntutan warga jelas meminta pengembalian lahan mereka yang dulu
diambil paksa. Sedang, PTPN VII selama ini beroperasi di atas lahan
seluas sekitar 20 ribu hektare. Namun, yang sudah memiliki hak guna
usaha (HGU), hanya 6.500 hektare.
Kekerasan polisi terjadi lagi
dalam waktu tak jauh beda dari Ogan Ilir, di Donggala, Sulawesi Tengah.
Lima warga penolak tambang emas ditembak, satu meninggal. “Jadi, saya
tak terima jika dibilang rakyat anarkis dan melawan hukum. Yang anarkis
dan melawan hukum itu polisi atau negara.”
Aturan yang dibuat
juga tak berpihak pada rakyat, seperti UU Penanganan Konflik Sosial.
“Dalam UU ini memperbolehkan polisi atau tentara langsung terlibat dalam
penanganan konflik.”
Andrie S Wijaya, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam)
Nasional, mengatakan, Jatam mencatat dalam tiga bulan terakhir kasus
pertambangan emas paling tinggi. Dari Juni sampai Juli tahun ini, ada
lima kasus yang berakhir dengan kekerasan dan kriminalisasi warga.
Menurut
dia, dari lima kasus, di Donggala dan Sumba, sampai terjadi konflik
horizontal antara warga pro dan kontra tambang. “Warga pro dan kontra
saling baku hamtam dan kepolisian berada di belakang yang pro.” Dia
melihat, semua pola kekerasan itu berulang. Pada 2011, pernah kejadian
sama. “Sekarang terulang hanya pindah desa.”
Kondisi ini,
menunjukkan tidak adanya perhatian negara terhadap masalah ini. “Yang
dikorbankan tatanan sosial masyarakat. Dulu rukun, sekarang ada bibit
pecah ke arah konflik horizontal.”
Haris Azhar, koordinator
KontraS mengatakan, dalam catatan KontraS, tahun ini sengketa sudah ada
36 peristiwa. “Ada penganiayaan, perusakan, bentrokan, kriminalisasi,
intimidasi kepada masyarakat yang mengekspresikan penolakan terhadap
praktik bisnis baik sawit atau tambang.”
Haris khawatir . Sebab,
dalam banyak kasus polisi nyata-nyata menjadi kaki tangan perusahaan
dalam menghadapi masyarakat. “Polisi punya satu metode tunjukkan
obyektivitas dalam bentuk mengkriminalisasi warga.”
Dia melihat,
ada temuan pola meluas dan cukup menginspirasi. Pola pengamanan ini
seakan didesain dan dijadikan pakem bagi kepolisian. Dia tak yakin
metode kepolisian ini sebagai suatu kesalahan karena terus terulang.
“Karena kalau salah dievaluasi, tetapi ini semacam pola yang dibangun
dan dipelihara serta disetujui Polri.”
Polisi, seakan menjadi
penjaga perusahaan. “Warga jadi kriminal, ungkapan perusahaan jadi
referensi polisi,” ujar dia. Kondisi tambah parah dengan aturan yang tak
membela rakyat. “Kebijakan buruk, praktik di lapangan buruk hingga
kondisi makin memprihatinkan.”
Wahyu Agung dari Serikat Tani
Indonesia (SPI) mengatakan, teriakan protes terhadap kepolisian yang
melakukan kekerasan tetap tak menyurutkan tindakan polisi.
Aparat,
menjadi tidak obyektif jika berhadapan dengan rakyat dan warga selalu
dianggap salah serta dikriminalkan. Dia mencontohkan, lima petani Ogan Ilir, ditahan karena melintas di lahan kebun PTPN VII.
Empat dilepas, satu tetap ditahan karena dituduh membawa senjata tajam.
“Petani baru pulang dari kebun, ya wajar bawa sajam.” Di satu sisi,
sampai Selasa(24/7/12), masih terjadi pembakaran terhadap pondok-pondok
petani. “Ini secara legal salah tapi tak apa-apa dilakukan.”
Jika
kondisi seperti ini dibiarkan berlanjut, Wahyu khawatir amuk massa akan
meningkat. Dia mencontohkan, kasus penembakan oleh warga kepada pihak
perusahaan di Riau. Perusahaan sudah dinyatakan ilegal oleh berbagai
pihak, termasuk pemerintah daerah, tetapi di lapangan tetap beroperasi.
Terjadilah aksi kekerasan warga. “Ini menunjukkan kekecewaan warga yang
begitu tinggi karena cara-cara wajar tak lagi berjalan.”
Untuk
itu, dia mendesak, penggunaan metode kekerasan pada rakyat harus
dihentikan. “Saatnya berhenti berikan kebijakan yang layani masyarakat
pemodal.”
Moratorium Tambang di Sulteng
Di Sulawesi Tengah (Sulteng), Jatam wilayah itu melakukan aksi solidaritas terhadap korban kekerasan Balaesang Tanjung pada Rabu(25/7/12). Jatam meminta pemerintah segera memoratorium perizinan tambang di Sulteng.
Direktur
Jatam Sulteng, Syahrudin Ariestal Douw, mengatakan, laju investasi
tambang turut menyumbang ketidakwajaran yang meluas. Hingga saat ini,
ada 365 perusahaan tambang memiliki izin usaha pertambangan di daerah
itu. Lalu, satu maha proyek Migas Donggi Senoro LNG dinahkodai investor
Jepang lewat Mitsubihsi dan Korea Gas sebagai pemilik saham mayoritas.
Kabupaten
Morowali, berada di tempat pertama dengan produksi izin usaha
pertambangan (IUP) mencapai 149. Jika seluruh areal pertambangan di
Morowali, dikuantitaskan akan lebih besar daripada luas kabupaten itu
sendiri. Ironisnya, seluruh perusahaan itu beroperasi sebelum ada
penetapan wilayah pertambangan, dan wilayah izin usaha pertambangan.
“Hingga,
perusahaan-perusahaan, tak ubahnya penjual tanah mentah yang
bersengketa dengan petani untuk kepentingan industri negara-negara maju,
terutama China dan Jepang.”
Volume peningkatan investasi itu,
diikuti kerusakan lingkungan per satuan konsesi pertambangan. Bahkan
kawasan hutan lindung pun dirambah seperti kasus Cagar Alam Morowali.
“Ini disertai kriminalisasi rakyat dalam berbagai macam bentuk.
Sepertinya sudah menjadi konsensus umum kepolisian, siapa saja yang
menolak pertambangan akan direpresif,” ujar dia. Walhasil, sederet
kasus penembakan pun terjadi setiap tahun.
Tercatat dua kasus kekerasan. Pertama,
kasus penembakan nelayan Kolo Bawah yang aksi menuntut tanggung jawab
JOB-PMTS atas kerusakan lingkungan yang menyebabkan kemiskinan di desa
itu. Dua warga tewas berondongan senjata, dan tujuh orang terluka parah,
serta 23 orang dipenjara.
Kedua, kekerasan serupa
berulang di Balaesang Tanjung Kabupaten Donggala. Lima warga penolak
tambang emas PT. Cahaya Manunggal Abadi (PT CMA) ditembak. Satu korban
meninggal dunia, empat luka tembak, 13 ditangkap dan beberapa orang
dipukul polisi dari satuan Polres Donggala.
Untuk itu, Jatam Sulteng mengeluarkan pernyataan sikap. Pertama, mendesak Gubernur Sulteng segera mengeluarkan keputusan politik moratorium pertambangan di Sulteng. Kedua, mendesak pembentukan tim independen penyelesaian masalah agraria dan kajian kelayakan pertambangan di Sulteng.
Ketiga, bebaskan petani Balaesang Tanjung dan usut tuntas pelaku pelanggaran HAM. Keempat, seret Bupati Donggala untuk bertanggung jawab atas kekerasan di Balaesang Tanjung. Kelima, copot Kapolda Sulteng.
Presiden Bahas Konflik Agraria
Sementara itu, Presiden SBY membahas masalah ini dalam Sidang Kabinet Terbatas di Kejaksaan Agung, Rabu(25/7/12). Dikutip dari Beritasatu.com, SBY
mengatakan, mendapatkan banyak aduan terkait persoalan pertanahan di
tanah air. Aduan konflik lahan seperti tumpang tindih lahan datang
hampir setiap minggu melalui surat atau pesan singkat.
“Sengketa
hukum atas lahan tanah sering terjadi benturan di lapangan. Agar tugas
polisi tidak berlipat ganda, dari hulu harus diluruskan dengan segala
upaya. Konsultasi, koordinasi dengan Badan Pertanahan Nasional,”
katanya.
Penanganan konflik lahan tidak semata-mata tugas
kepolisian. Koordinasi dan sinergitas dengan BPN harus berlangsung baik.
Selain itu, perangkat daerah seperti bupati atau camat dan semua
jajaran harus bisa berkoordinasi untuk mencegah konflik.
”Apabila
kabupaten X sudah ada tanda-tanda ketegangan di antara komunitas beda
agama, etnis, maka tentu semua pihak segera lakukan pencegahan untuk
terjadi kekerasan dan bentrokan. Akan lebih banyak lagi yang bisa
dicegah.”
Dia menyoroti seringkali pada kasus tertentu saat
terjadi kekerasan horizontal di lapangan, kepolisian tidak mengambil
tindakan cepat dan tuntas. “Akibatnya kepolisian dituduh melakukan
pembiaran. Saya tegaskan berkali-kali, jawablah dengan baik. Jika ada
kejadian, tindak dan selesaikan secara baik.”
WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Kamis, Juli 26, 2012
Presiden Diminta Turun Tangan Selesaikan Konflik Agraria
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar