Berarti sama saja dengan membarakan konflik di tengah masyarakat
Penembakan Brimob Polda Sumsel di Cinta Manis, Sumatera Selatan, adalah
praktek pelanggaran hak asasi manusia (HAM), dalam konflik agraria
sehingga harus diselidiki oleh berbagai lapisan penyidik.
Ketua Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS),
Gunawan, menyatakan, hal yang ironis adalah melihat kekerasan terhadap
petani, terjadi ketika Indonesia dalam situasi rawan pangan.
Dalam situasi demikian, katanya, seharusnya negara melindungi dan
memenuhi hak-hak petani, agar bisa diwujudkan kedaulatan pangan.
Dia menilai kekerasan di Cinta Manis adalah tamparan bagi Pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), karena terjadi pada periode kedua
pemerintahannya.
Ini berarti ada bukti bahwa meski sudah dua periode, Presiden SBY tetap
gagal merealisasikan janjinya, untuk laksanakan pembaruan agraria, yang
intinya berisi redistribusi tanah untuk petani.
"Serta pemerintahannya gagal melaksanakan penyelesaian konflik agraria,
di mana petani menjadi korban perampasan tanah, pembunuhan,
penganiayaan, kriminalisasi," kata Gunawan, di Jakarta, Minggu (29/7).
Anehnya, kata Gunawan, justru kini kepolisian mempraktekan militerisme
sehingga mengedapankan cara-cara kekerasan terhadap petani dalam konflik
agraria.
Di sisi lain, PTPN gagal mewujudkan BUMN sebagai bagian negara dan
rakyat, untuk mengelola kekayaan alam guna sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
Secara terpisah, Koordinator Kontras Haris Azhar menyatakan, aksi
kekerasan terhadap masyarakat yang berkonflik dengan PTPN VII itu adalah
rangkaian sejak 17 Juli 2012 lalu.
Puluhan warga menjadi korban kriminalisasi, dimana tercatat hingga kini
sembilan orang warga ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan di Mapolda
Sumatera Selatan.
"Kami menyayangkan peristiwa ini terjadi hanya dua hari setelah Presiden
SBY menyatakan akan membentuk tim penyelesaian sengketa agraria. Hal
ini menunjukan bahwa pernyataan Presiden SBY diabaikan oleh Polisi yang
berhadapan dengan masyarakat di Ogan Ilir," tegas Haris.
Dia melanjutkan pihaknya menilai penyelesaian masalah itu tidak bisa
hanya diserahkan ke aparat kepolisian, yang berarti sama saja dengan
membarakan konflik di tengah masyarakat.
"Kami meminta Pemerintah segera menghentikan penggunaan kekuatan senjata
dan cara kriminalisasi dalam menghadapi masyarakat disengketa sumber
daya alam. Kami juga mendesak Komnas HAM dan Ombudsman RI untuk segera
melakukan investigasi atas rangkaian tindak kekerasan di Ogan Ilir,"
tandas dia.
Bentrok antara warga desa setempat dan aparat kepolisian, berawal dari
laporan perusahaan perkebunan tebu Cinta Manis PTPN VII, yang kehilangan
pupuk sebanyak 127 ton di Rayon tiga pada 17 Juli 2012.
Saat personel Polda Sumsel dan Polres Ogan Ilir, mengadakan olah TKP dan
patroli serta dialog dengan warga, situasi cukup kondusif.
Namun, saat iring-iringan anggota dari Polres yang terdiri atas
penyidik, intel, sabhara, dan Brimob itu kemudian terlibat bentrok
dengan warga.
Akibat bentrokan tersebut, seorang anak bernama Angga Bin Darmawan, 12,
tewas di tempat kejadian akibat tertembak di bagian kepala.
Sementara, empat orang lainnya mengalami luka tembak di bagian bahu dan
tangan kiri yakni, Rusman, 36, Yarman, 50, Farida, 46, tertembak di
bagian tangan kanan dan Man, 30, di bagian telinga kiri.
WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Minggu, Juli 29, 2012
SBY Dinilai Masih Belum Sanggup Selesaikan Konflik Agraria
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar