Kunjungi Alamat Baru Kami
Ivan A Hadar ; Direktur Eksekutif IDe;
Penerima Beasiswa dari Heinrich Boell Stiftung, Lembaga Politik Partai Hijau Jerman
Sumber : KOMPAS, 18 Juni 2012
Bertepatan dengan Hari Lingkungan Hidup, 5 Juni, Wahana Lingkungan
Hidup Indonesia mendirikan Partai Hijau. Agenda utamanya adalah advokasi
lingkungan dan keadilan ekologi. Meski dipastikan belum bisa mengikuti
Pemilu 2014, meningkatnya laju kerusakan lingkungan di Indonesia akibat
buruknya kebijakan mendorong para aktivis lingkungan ini untuk ”masuk
dan mengubah sistem politik dari dalam” dengan berjuang dalam politik
praktis.
Selama ini banyak aktivis LSM cenderung alergi
terhadap politik praktis. Boleh jadi akibat trauma depolitisasi 32 tahun
di bawah rezim Soeharto. Namun, beberapa tahun terakhir beberapa
lembaga penelitian menganjurkan para aktivis LSM berpolitik agar
demokrasi lebih bermakna. Caranya, masuk ke partai atau membuat partai
baru (Demos, 2005). Setidaknya ada dua LSM besar, yaitu Bina Desa dan
Walhi, yang berencana dan kemudian mendirikan partai politik.
Salah satunya adalah Partai Perserikatan Rakyat (PPR) yang meski
dibantah berasal dari Bina Desa, beberapa pendirinya pernah berkiprah di
LSM besar ini. Sayang, PPR tidak berhasil memenuhi persyaratan untuk
mengikuti Pemilu 2009.
Baik PPR maupun Partai Hijau memiliki
asas yang cukup jelas, yaitu sosial-demokrasi, keadilan (ekologi), dan
kerakyatan. Tentu saja harus diperjelas perbedaannya dengan asas ekonomi
kerakyatan yang juga dianut hampir semua partai politik di Indonesia,
termasuk di antaranya Golkar. Pilar utama perekonomian yang menjadi
program partai ini adalah usaha kecil, menengah, dan koperasi.
Dengan menyandang visi antitesis ekonomi konglomerasi ini, Golkar
seharusnya dikategorikan sebagai partai kiri. Namun, sebagai pendukung
pemerintahan SBY-Boediono yang saat ini mengambil kebijakan kanan,
Golkar kenyataannya adalah partai kanan, berseberangan dengan visinya
sendiri.
Hal ini, selain akibat proses deideologisasi Orde
Baru, boleh jadi juga diperkuat dengan berakhirnya konflik Barat-Timur
awal 1990-an ketika dua teori utama pembangunan, yaitu modernisasi dan
dependensia seakan dicampakkan ke tong sampah sejarah ideologi. Khawatir
teori ini mengandung bahaya, semua yang berbau ideologi ditinggalkan
sehingga tanpa sadar kita tidak punya pegangan.
Pelobi LSM
Di Indonesia, jumlah LSM 4.000 hingga 7.000-an, belum termasuk yang
dadakan karena ada proyek. Sekitar 1.800 LSM mancanegara, termasuk forum
LSM yang bergiat dalam penghapusan utang Indonesia tadi, telah
memperoleh akreditasi PBB. Mereka berhak ikut sidang umum, juga
memberikan statement singkat dan tuntutan kepada anggota.
Apa
pun yang dilakukan penguasa dipantau LSM. Bagi LSM berlaku motto yang
konon sudah ada sejak abad ke-12: ”Kami adalah raksasa sehingga bisa
melihat lebih jauh dan luas ketimbang sang raksasa itu sendiri”.
Kelahiran LSM terbesar terjadi seusai KTT Lingkungan Hidup di Rio de
Janeiro, 1992. Setelah itu, PBB melonggarkan keikutsertaan LSM dalam
berbagai KTT serta sidang-sidang komite di kantor pusatnya. Berbagai
pengaduan, permohonan, protes, pernyataan, dan manifesto mewarnai
aktivis LSM sebagai pelobi kepentingan masyarakat akar rumput dan
kelanggengan hidup bumi manusia.
Namun, LSM tidak bisa berharap
banyak mengikuti walau mengikuti berbagai KTT dan forum internasional.
”Kebijakan yang sebenarnya bukan diputuskan di sana,” ungkap Paul
Hohnen, mantan diplomat Australia, yang mengoordinasi 12 pelobi top dari
Greenpeace International. Perubahan kebijakan dilakukan berbagai
subdivisi PBB dan ”Prep-Coms”, komite persiapan.
Pengetahuan
inilah yang diketahui dan kini justru dimanfaatkan berbagai LSM
internasional, seperti Greenpeace, Amnesty International, Oxfam, Prison
Watch, juga organisasi pencari suaka, kelompok perlucutan senjata, serta
LSM pendukung hak asasi anak dan perempuan. Berbagai perubahan
substansial dalam kebijakan lingkungan, jender, dan sosial memang
berhasil dicapai para pelobi dari LSM.
Para bekas diplomat,
seperti Paul Hohnen, bukan lagi barang langka dalam jalinan PBB-LSM. Ada
aktivis LSM yang terlibat dalam perumusan berbagai dokumen PBB.
Pemihakan
Hambatan, nyaris hanya ditemui aktivis LSM di Bank Dunia. Setiap tahun,
Bank Dunia membagi-bagi puluhan miliar dollar AS bantuan pembangunan
kepada penguasa korup, proyek besar yang merusak lingkungan, dan
memperlebar kesenjangan sosial. Itulah sinyalemen banyak LSM Utara yang
menganggap Bank Dunia sebagai musuh nomor satu. Sebaliknya, banyak LSM
Selatan menilai Bank Dunia sebagai sumber dana dan mitra pembangunan.
LSM yang moderat coba melakukan perubahan dari dalam lembaga Bretton
Wood tersebut dan meneruskan informasi tentang proyek yang dianggap
membahayakan negara miskin atau masyarakat luas. Satu hal yang
disepakati mayoritas LSM di mana pun adalah strategi people centered
development yang mengacu pada visi terciptanya masyarakat adil, bebas
penindasan, hak asasinya dihargai, dan dapat menjalani kehidupan secara
layak.
Pemihakan ini harus dilakukan pada dua aras. Pertama,
penguatan di tingkat akar rumput agar rakyat mampu mempertahankan
hak-haknya atas sumber daya yang dimiliki. Kedua, bagaimana mengajar
lewat kegiatan advokasi yang meliputi kampanye, lobi, pertukaran
informasi, pembentukan aliansi, agar para birokrat dan anggota
legislatif peka terhadap berbagai dampak negatif proyek pembangunan.
Peran LSM sangat penting di era globalisasi karena rakyat kecil dan
lemah pasti akan terlempar dari persaingan pasar global. Sinergi
kegiatan LSM di tingkat nasional dan internasional diharapkan bisa
memengaruhi pemerintah dan berbagai lembaga internasional untuk ikut
mengusahakan perlindungan bagi masyarakat yang miskin dan rentan.
Sikap ini harus menjadi landasan ideologi LSM dalam mendirikan parpol demi menjadikan demokrasi lebih bermakna.
Artikel Terkait:
0 komentar:
Posting Komentar