WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Juni 04, 2012

WALHI : ada upaya ciptakan Bentrok Masyarakat vs Polisi di Ogan Ilir


Menyikapi isu yang berkembang atas konflik yang terjadi antara Warga 8 desa yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB) melawan PTPN VII, hari ini sabtu (2/6), di Sekretariat Walhi Sumsel digelar Konferensi Pers yang di Pimpin oleh Direktur Walhi Sumsel anwar sadat, didampingi oleh Stafnya Hadi Jatmiko Kadiv PPER serta 20 orang Perwakilan dari 8 Desa.

Dalam konferensi pers tersebut di jelaskan oleh abdul muis perwakian dari GPPB bahwa persoalan konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PTPN VII tersebut, telah berlangsung bertahun tahun lamanya, tepatnya tahun 1982.

Saat itu PTPN VII yang merupakan salah satu perusahaan milik Negara,melakukan aktifitas pembersihan lahan dilahan warga tanpa terlebih dahulu melakukan pembebsan terhadap lahan dan kebun karet produktif milik masyarakat.

Jikapun ada yang diganti rugi, itu hanya untuk tanam tumbuh dan tidak semuanya, Misalnya warga punya lahan 7 Hektar yang diganti Cuma 1 hektar saja yang lainnya diambil secara paksa.

“ Saat itu pak harto masih bekuasa pak, jadi kami nih takut nian kalo melawan, gek di tuduh PKI, dan tibo tibo tinggal batu nisan” ungkap pak Muis. Yang dibenarkan oleh warga yang lain.

“Sekarang kami Cuma minta samo pemerintah dan Perusahaan untuk segera kembalikan tanah kami, kami nak jadi tuan ditanah kami sendiri” tambah Muis.

Dijelaskan juga dalam konferensi pers ini, laporan PTPN VII kepada pihak POLDA sumsel serta informasi dari pihak perusahan yang ditulis dibanyak media massa beberapa hari lalu, tentang adanya lahan perusahaan seluas 310 hektar yang terbakar, akibat aksi anarkis yang dilakukan masyarakat, itu tidaklah benar. Faktanya tidak ada lahan yang terbakar dan itu sudah dipantau sendiri oleh Bapak Kapolsek dilapangan.

Ketika ditanya soal Foto foto lahan yang terbakar dan sempat ada di media massa beberapa hari lalu,. Hal itu langsung dibantah secara bersama sama oleh masyarakat

” Foto itu bukan dilahan tebu produktif. Tapi ditempat pembuangan daun bekas hasil panen tebu perusahaan” kata Warga. Selain itu praktek pembakaran masih sering dilakukan oleh Perusahaan ketika masa panen tiba, “ Perusahaan tidak menerapkan ZeroBurning dilahan tebu, padahal menurut sepengetahuan kami hal itu mandat Undang undang” Tambah warga

Ketimpangan Pemilikan Lahan

Dalam kesempatan ini Anwar sadat Direktur Walhi Sumsel mengungkapkan, bahwa ketimpangan atas penguasaan dan kepemilikan lahan yang ada di sumatera selatan khususnya Kabupaten ogan Ilir membuahkan konflik agrarian yang tidak berkesudahan.

Apalagi dalam sejarahnya pengambilan hak atas tanah rakyat yang dilakukan dari orde baru sampai dengan saat ini, masih menggunakan cara cara illegal, intimidatif, penipuan dan tak jarang diikuti dengan pemaksaan.

Aksi pendudukan (reclaiming) yang dilakukan masyarakat dilahan yang dirampas Perusahaan adalah bentuk kekecawaan yang mendalam dirasakan masyarakat, setelah semua upaya diplomasi yang dilakukan rakyat agar perusahaan segera mengembalikan tanah mereka tidak juga pernah diselesaikan.

Dan malah Perusahaan memberitakan informasi bohong kepada Publik misalnya perusahaan mengalami kerugian milayaran rupiah akibat tidak berproduksinya pabrik mereka, karena di blockade dan dibakar oleh masyarakat sehingga menyebabkan kelangkaan Gula.

“ Kenyataan dilapangan aktifitas perusahaan tidak pernah diganggu oleh warga, dan menurut keterangan Kapolda melalui Humasnya beberapa waktu lalu bahwa Penghentian operasional Produksi gula di pabriknya itu dilakukan sendiri oleh Perusahaan” tandas sadat

Hampir Bentrok

Walhi menduga ada scenario yang coba dibuat perusahaan untuk membalikan opini dan juga mengadu domba Pihak Kepolisian dengan Masyarakat, Tujuannya agar terjadi bentrok dilapangan seperti yang pernah terjadi pada tahun 2009 lalu, sebanyak 20 Orang Petani Desa Rengas mengalami luka tembak oleh aparat brimob.

“Bentrok antara Polisi dan Masyarakat seperti itu yang diinginkan oleh Mereka” kata sadat .

Kejadian lainnya yang baru terjadi dilapangan pada kamis (31/6) malam di desa tanjung laut, disaat semua warga sedang melakukan rapat di Posko yang terletak di Pinggir jalan, tiba tiba muncul mobil patroli Polisi menghampiri. 5 menit setelah kedatangan polisi tersebut dari lahan yang dilewatin mobil patroli tadi tiba tiba keluar api.

Kejadian tersebut sempat menimbulkan ketegangan antara warga dengan pihak polisi karena warga menuduh polisi melakukan pembakaran sedang pihak kepolisian mengaku tidak tahu menahu soal itu. Namun hal itu cepat redam setelah kedua pihak sepakat untuk segera memadamkan api tersebut.

“Polisi jangan buru buru mengambil tindakan yang nantinya akan merugikan citra Polisi yang sudah terpuruk dimata publik.” Kata Hadi Jatmiko kadiv PPER Walhi Sumsel  yang mendampingi Anwar sadat
Selain itu ditambahkan oleh warga yang di wakilkan oleh Abdul Muis sebagai Korcam GPPB. “ Kami minta Kapolda jangan mau diadu domba oleh perusahaan dengan masyarakat kecil seperti kami, Kami nih cuma pengen hidup, dan bukan pelaku criminal, aksi kami nih aksi damai” kata Abdul muis (60 thn).


Operasi tanpa HGU

Aparat kepolisian dan pihak pemerintah daerah harus bertindak objektif dalam melihat persoalan yang terjadi antara PTPN VII unit cinta manis dengan masyarakat.

Perusahaan selama melakukan aktifitas di kabupaten Ogan ilir tidaklah memiliki alas hak yang sah sesuai undang undang yang berlaku. Dimana sampai dengan saat ini PTPN tidak memiliki HGU. Jikapun ada, itu hanya 6000 hektar yang berada di desa Burau kecamatan rantau alai. Sehingga sisanya yang berada di lahan 8 desa adalah ilegal.

” HGU perusahaan hanya 6000 Hektar tapi dalam praktek di lapangan, mereka menguasai dan menanami tebu diatas lahan dengan luas lebih dari 20 ribu hektar” jelas sadat.

Untuk itu agar pemerintah dan rakyat ogan ilir tidak dirugikan maka pemerintah harus menuntut Perusahaan BUMN ini, segera mengembalikan lahan warga 8 desa yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB) dengan luas kurang lebih sekitar 15 ribu hektar.(wppr)



Artikel Terkait:

0 komentar: