Menyikapi
isu yang berkembang atas konflik yang terjadi antara Warga 8 desa yang
tergabung dalam Gerakan Petani Penesak Bersatu (GPPB) melawan PTPN VII, hari
ini sabtu (2/6), di Sekretariat Walhi Sumsel digelar Konferensi Pers yang di
Pimpin oleh Direktur Walhi Sumsel anwar sadat, didampingi oleh Stafnya Hadi Jatmiko Kadiv PPER serta 20 orang Perwakilan dari 8 Desa.
Dalam
konferensi pers tersebut di jelaskan oleh abdul muis perwakian dari GPPB bahwa
persoalan konflik yang terjadi antara masyarakat dengan PTPN VII tersebut,
telah berlangsung bertahun tahun lamanya, tepatnya tahun 1982.
Saat
itu PTPN VII yang merupakan salah satu perusahaan milik Negara,melakukan
aktifitas pembersihan lahan dilahan warga tanpa terlebih dahulu melakukan
pembebsan terhadap lahan dan kebun karet produktif milik masyarakat.
Jikapun
ada yang diganti rugi, itu hanya untuk tanam tumbuh dan tidak semuanya,
Misalnya warga punya lahan 7 Hektar yang diganti Cuma 1 hektar saja yang
lainnya diambil secara paksa.
“
Saat itu pak harto masih bekuasa pak, jadi kami nih takut nian kalo melawan, gek
di tuduh PKI, dan tibo tibo tinggal batu nisan” ungkap pak Muis. Yang
dibenarkan oleh warga yang lain.
“Sekarang
kami Cuma minta samo pemerintah dan Perusahaan untuk segera kembalikan tanah
kami, kami nak jadi tuan ditanah kami sendiri” tambah Muis.
Dijelaskan
juga dalam konferensi pers ini, laporan PTPN VII kepada pihak POLDA sumsel
serta informasi dari pihak perusahan yang ditulis dibanyak media massa beberapa
hari lalu, tentang adanya lahan perusahaan seluas 310 hektar yang terbakar,
akibat aksi anarkis yang dilakukan masyarakat, itu tidaklah benar. Faktanya tidak
ada lahan yang terbakar dan itu sudah dipantau sendiri oleh Bapak Kapolsek
dilapangan.
Ketika
ditanya soal Foto foto lahan yang terbakar dan sempat ada di media massa beberapa hari lalu,.
Hal itu langsung dibantah secara bersama sama oleh masyarakat
” Foto itu bukan dilahan tebu produktif. Tapi
ditempat pembuangan daun bekas hasil panen tebu perusahaan” kata Warga. Selain
itu praktek pembakaran masih sering dilakukan oleh Perusahaan ketika masa panen
tiba, “ Perusahaan tidak menerapkan ZeroBurning dilahan tebu, padahal menurut
sepengetahuan kami hal itu mandat Undang undang” Tambah warga
Ketimpangan Pemilikan Lahan
Dalam kesempatan ini Anwar sadat Direktur
Walhi Sumsel mengungkapkan, bahwa ketimpangan atas penguasaan dan kepemilikan
lahan yang ada di sumatera selatan khususnya Kabupaten ogan Ilir membuahkan
konflik agrarian yang tidak berkesudahan.
Apalagi dalam sejarahnya pengambilan hak atas
tanah rakyat yang dilakukan dari orde baru sampai dengan saat ini, masih
menggunakan cara cara illegal, intimidatif, penipuan dan tak jarang diikuti
dengan pemaksaan.
Aksi pendudukan (reclaiming) yang
dilakukan masyarakat dilahan yang dirampas Perusahaan adalah bentuk kekecawaan
yang mendalam dirasakan masyarakat, setelah semua upaya diplomasi yang
dilakukan rakyat agar perusahaan segera mengembalikan tanah mereka tidak juga pernah
diselesaikan.
Dan
malah Perusahaan memberitakan informasi bohong kepada Publik misalnya
perusahaan mengalami kerugian milayaran rupiah akibat tidak berproduksinya
pabrik mereka, karena di blockade dan dibakar oleh masyarakat sehingga
menyebabkan kelangkaan Gula.
“ Kenyataan
dilapangan aktifitas perusahaan tidak pernah diganggu oleh warga, dan menurut
keterangan Kapolda melalui Humasnya beberapa waktu lalu bahwa Penghentian
operasional Produksi gula di pabriknya itu dilakukan sendiri oleh Perusahaan”
tandas sadat
Hampir Bentrok
Walhi
menduga ada scenario yang coba dibuat perusahaan untuk membalikan opini dan
juga mengadu domba Pihak Kepolisian dengan Masyarakat, Tujuannya agar terjadi
bentrok dilapangan seperti yang pernah terjadi pada tahun 2009 lalu, sebanyak
20 Orang Petani Desa Rengas mengalami luka tembak oleh aparat brimob.
“Bentrok antara Polisi dan Masyarakat seperti
itu yang diinginkan oleh Mereka” kata sadat .
Kejadian lainnya yang baru terjadi
dilapangan pada kamis (31/6) malam di desa tanjung laut, disaat semua warga
sedang melakukan rapat di Posko yang terletak di Pinggir jalan, tiba tiba
muncul mobil patroli Polisi menghampiri. 5 menit setelah kedatangan polisi tersebut dari lahan yang dilewatin mobil
patroli tadi tiba tiba keluar api.
Kejadian tersebut sempat menimbulkan
ketegangan antara warga dengan pihak polisi karena warga menuduh polisi
melakukan pembakaran sedang pihak kepolisian mengaku tidak tahu menahu soal itu.
Namun hal itu cepat redam setelah kedua pihak sepakat untuk segera
memadamkan api tersebut.
“Polisi
jangan buru buru mengambil tindakan yang nantinya akan merugikan citra Polisi
yang sudah terpuruk dimata publik.” Kata Hadi Jatmiko kadiv PPER Walhi
Sumsel yang mendampingi Anwar sadat
Selain
itu ditambahkan oleh warga yang di wakilkan oleh Abdul Muis sebagai Korcam
GPPB. “ Kami minta Kapolda jangan mau diadu domba oleh perusahaan dengan
masyarakat kecil seperti kami, Kami nih cuma pengen hidup, dan bukan pelaku
criminal, aksi kami nih aksi damai” kata Abdul muis (60 thn).
Operasi tanpa HGU
Aparat
kepolisian dan pihak pemerintah daerah harus bertindak objektif dalam melihat
persoalan yang terjadi antara PTPN VII unit cinta manis dengan masyarakat.
Perusahaan selama melakukan aktifitas di
kabupaten Ogan ilir tidaklah memiliki alas hak yang sah sesuai undang undang
yang berlaku. Dimana sampai dengan saat ini PTPN tidak memiliki HGU. Jikapun
ada, itu hanya 6000 hektar yang berada di desa Burau kecamatan rantau alai.
Sehingga sisanya yang berada di lahan 8 desa adalah ilegal.
” HGU perusahaan hanya 6000 Hektar tapi
dalam praktek di lapangan, mereka menguasai dan menanami tebu diatas lahan
dengan luas lebih dari 20 ribu hektar” jelas sadat.
Untuk itu agar pemerintah dan rakyat ogan
ilir tidak dirugikan maka pemerintah harus menuntut Perusahaan BUMN ini, segera
mengembalikan lahan warga 8 desa yang tergabung dalam Gerakan Petani Penesak
Bersatu (GPPB) dengan luas kurang lebih sekitar 15 ribu hektar.(wppr)
0 komentar:
Posting Komentar