Belum tuntas kasus bentrok di Pematang Panggang, Mesuji, Kabupaten OKI;
dan Desa Cahaya Negeri, Kecamatan Sindang Kelingi Kabupaten Rejang
Lebong, Provinsi Bengkulu, kemarin terjadi lagi bentrok antara warga 5
RT,Kelurahan Sukodadi,Kecamatan Sukarame, Palembang dengan aparat TNI
AU.
Salah seorang warga sekaligus saksi mata kejadian, Lembang, 55,menuturkan, peristiwa yang dipicu konflik perebutan lahan itu terjadi sangat cepat. Saat itu, sekitar pukul 08.00 WIB usai apel, puluhan aparat TNI AU mendatangi kebun warga yang berada persis di sebelah Pangkalan TNI AU Lanud Palembang. ”Mereka membabat hampir seluruh tanaman, ubi kayu,kacang tanah,dan pisang di kebun seluas sekitar 2 hektare tersebut tanpa alasan yang jelas,”tuturnya.
Akhirnya perwakilan warga bertemu dangan TNI AU. Berdasarkan pertemuan kedua belah pihak,lahan sengketa dinyatakan status quo sampai batas waktu yang belum ditentukan. Namun,masalah perusakan ini dibantah keras Komandan Lanud Palembang Letkol Pnb Adam Suharto. Menurutnya, pihaknya hanya mencabut tanaman untuk menata kembali lahan milik TNI AU yang selama ini dipakai warga.
”Dulu tidak ada lahan warga di situ. Karena banyak yang sakit hati makanya kita izinkan warga menanam Oktober kemarin, asalkan ada izin. Tapi sampai kemarin warga hanya menanam begitu saja tidak ada izin. Sudah kita peringatkan tidak diindahkan,malah mereka bilang cabut saja makanya tadi (kemarin) kita cabut,” jelas Adam. Ketika aparat melakukan pencabutan itu,warga emosi dan merusak kebun mangga milik TNI AU, hasil kerjasama penghijauan dengan Pemkot Palembang.
Seorang warga terpaksadiamankanuntukdinterogasi. ”Lahan itu punya TNI AU, kita punya bukti bahwa lahan itu milik negara yang dipercayakan pada TNI AU. Karena mereka diberi kesempatan menanam, akhirnya merekaklaimtanahitu punya mereka padahal itu tidak boleh,”jelasnya. Di Banyuasin, polisi kemarian berhasil mengakhiri aksi pemortalan lahan PTPN VII Krawo yang dilakukan 29 warga Desa Bukit dan Betung, setelah mengamankan, Ahmad, 38,salah seorang warga. Aksi ke-29 warga desa yang berasal dari desa Bukit dan Betung telah dilakukan selama lima hari lalu.
Mereka memportal lokasi masuk kebun PTPN VII Betung Krawo dikarenakan merasa tidak pernah mendapatkan proses ganti rugi yang dilakukan pihak perusahaan. “Manajemen melapor kemarin, karena atas aksi masyarakat dua desa itu, kegiatan PTPN menjadi terganggu.Hari ini, (kemarin,red) kita persuasifkan dengan mengajak masyarakat menempuh penyelesaian masalah yang lebih baik,” kata Kapolres Banyuasin AKBP Agus Setyawan. Dihubungi terpisah,Humas PTPN VII Unit Krawo Betung Ali Sufi Sastra Lama mengatakan, lahan yang diklaim warga dua desa itu sudah dilakukan proses ganti rugi kepada perwakilan warga desa, bernama Cek Ola.
Sehingga,sekitar 2011 lahan tersebut sudah di-HGUkan oleh PTPN VII sebagai lahan kebun. Namun, dalam perkembangannya, ternyata masih terdapat 29 warga yang mengklaim lahan pada lokasi yang sama. Sementara salah seorang warga Desa Betung,Ahmad menegaskan, hingga saat ini kelompok tani yang berisikan 29 warga dari dua desa tidak pernah mendapatkan ganti rugi dari PTPN VII.Pada 2001-2002, kata dia, para kelompok tani sempat menjalin kerjasama dengan membagi hasil produksi lahan kebun
.Namun, sejak saat itu pula warga dua desa sudah tidak mampu mengelola lahan karena diusahakan oleh PTPN VII. “Kami tidak pernah mendapat ganti rugi, baik dari PTPN VII dan Cek Ola. Kami minta lahan kami dikembalikan PTPN,karena itu lahan warisan keluarga saya,”tukas dia.
Bentuk Kecewa dengan Negara
Maraknya kerusuhan, bentrokan, dan konflik sosial disebabkan karena ketidakpuasan rakyat terhadap negara. Rakyat merasakan ketidakadilan sosial.Akibatnya,ada rasa frustasi yang terbentuk di kalangan masyarakat kelas bawah. Sosiolog dari Universitas Pasundan (Unpas) Bandung Didi Turmudzi mengatakan, rasa frustasi sosial itu berubah menjadi amarah dan nafsu untuk saling menyakiti.
”Mereka turun ke jalan dengan penuh emosi.Mereka saling membunuh satu sama lain, ini karena ketidakhadiran negara,” ujarnya kepada SINDO saat dihubungi,kemarin. Menurutnya, negara membiarkan masyarakat terbelenggu rasa ketidakpuasan dan ketidakdilan. Rakyat mengalami tekanan hidup luar biasa. Mereka tak bisa lagi mengandalkan negara.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bermain dan memiliki kepentingan.Hal itu berujung pada berbagai kerusuhan dan tindak kekerasan yang hampir masif dilakukan
Salah seorang warga sekaligus saksi mata kejadian, Lembang, 55,menuturkan, peristiwa yang dipicu konflik perebutan lahan itu terjadi sangat cepat. Saat itu, sekitar pukul 08.00 WIB usai apel, puluhan aparat TNI AU mendatangi kebun warga yang berada persis di sebelah Pangkalan TNI AU Lanud Palembang. ”Mereka membabat hampir seluruh tanaman, ubi kayu,kacang tanah,dan pisang di kebun seluas sekitar 2 hektare tersebut tanpa alasan yang jelas,”tuturnya.
Akhirnya perwakilan warga bertemu dangan TNI AU. Berdasarkan pertemuan kedua belah pihak,lahan sengketa dinyatakan status quo sampai batas waktu yang belum ditentukan. Namun,masalah perusakan ini dibantah keras Komandan Lanud Palembang Letkol Pnb Adam Suharto. Menurutnya, pihaknya hanya mencabut tanaman untuk menata kembali lahan milik TNI AU yang selama ini dipakai warga.
”Dulu tidak ada lahan warga di situ. Karena banyak yang sakit hati makanya kita izinkan warga menanam Oktober kemarin, asalkan ada izin. Tapi sampai kemarin warga hanya menanam begitu saja tidak ada izin. Sudah kita peringatkan tidak diindahkan,malah mereka bilang cabut saja makanya tadi (kemarin) kita cabut,” jelas Adam. Ketika aparat melakukan pencabutan itu,warga emosi dan merusak kebun mangga milik TNI AU, hasil kerjasama penghijauan dengan Pemkot Palembang.
Seorang warga terpaksadiamankanuntukdinterogasi. ”Lahan itu punya TNI AU, kita punya bukti bahwa lahan itu milik negara yang dipercayakan pada TNI AU. Karena mereka diberi kesempatan menanam, akhirnya merekaklaimtanahitu punya mereka padahal itu tidak boleh,”jelasnya. Di Banyuasin, polisi kemarian berhasil mengakhiri aksi pemortalan lahan PTPN VII Krawo yang dilakukan 29 warga Desa Bukit dan Betung, setelah mengamankan, Ahmad, 38,salah seorang warga. Aksi ke-29 warga desa yang berasal dari desa Bukit dan Betung telah dilakukan selama lima hari lalu.
Mereka memportal lokasi masuk kebun PTPN VII Betung Krawo dikarenakan merasa tidak pernah mendapatkan proses ganti rugi yang dilakukan pihak perusahaan. “Manajemen melapor kemarin, karena atas aksi masyarakat dua desa itu, kegiatan PTPN menjadi terganggu.Hari ini, (kemarin,red) kita persuasifkan dengan mengajak masyarakat menempuh penyelesaian masalah yang lebih baik,” kata Kapolres Banyuasin AKBP Agus Setyawan. Dihubungi terpisah,Humas PTPN VII Unit Krawo Betung Ali Sufi Sastra Lama mengatakan, lahan yang diklaim warga dua desa itu sudah dilakukan proses ganti rugi kepada perwakilan warga desa, bernama Cek Ola.
Sehingga,sekitar 2011 lahan tersebut sudah di-HGUkan oleh PTPN VII sebagai lahan kebun. Namun, dalam perkembangannya, ternyata masih terdapat 29 warga yang mengklaim lahan pada lokasi yang sama. Sementara salah seorang warga Desa Betung,Ahmad menegaskan, hingga saat ini kelompok tani yang berisikan 29 warga dari dua desa tidak pernah mendapatkan ganti rugi dari PTPN VII.Pada 2001-2002, kata dia, para kelompok tani sempat menjalin kerjasama dengan membagi hasil produksi lahan kebun
.Namun, sejak saat itu pula warga dua desa sudah tidak mampu mengelola lahan karena diusahakan oleh PTPN VII. “Kami tidak pernah mendapat ganti rugi, baik dari PTPN VII dan Cek Ola. Kami minta lahan kami dikembalikan PTPN,karena itu lahan warisan keluarga saya,”tukas dia.
Bentuk Kecewa dengan Negara
Maraknya kerusuhan, bentrokan, dan konflik sosial disebabkan karena ketidakpuasan rakyat terhadap negara. Rakyat merasakan ketidakadilan sosial.Akibatnya,ada rasa frustasi yang terbentuk di kalangan masyarakat kelas bawah. Sosiolog dari Universitas Pasundan (Unpas) Bandung Didi Turmudzi mengatakan, rasa frustasi sosial itu berubah menjadi amarah dan nafsu untuk saling menyakiti.
”Mereka turun ke jalan dengan penuh emosi.Mereka saling membunuh satu sama lain, ini karena ketidakhadiran negara,” ujarnya kepada SINDO saat dihubungi,kemarin. Menurutnya, negara membiarkan masyarakat terbelenggu rasa ketidakpuasan dan ketidakdilan. Rakyat mengalami tekanan hidup luar biasa. Mereka tak bisa lagi mengandalkan negara.
Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang bermain dan memiliki kepentingan.Hal itu berujung pada berbagai kerusuhan dan tindak kekerasan yang hampir masif dilakukan
Sumber : Seputar-indonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar