Hanya
menunda kenaikan ! itulah hasil akhir pertandingan terbuka antara kubu oposisi
dan koalisi di senayan 30 maret lalu. Partai koalisi menang dengan skor telak !
setelah Partai Banteng dan Partai Jendral Purnawirawan keluar ruangan. Perang
itu bak sebuah isyarat, satu jenderal aktif, lebih sakti dibanding seribu
jenderal veteran.
Ketidakpastian
harga BBM adalah cermin negara yang tidak berdaulat atas Sumber Daya Alam
khususnya sektor energi. Dan kali ini, tuntutan semestinya selangkah
lebih maju, agar rakyat tetap mempunyai alasan untuk terus bergerak.
Persoalan
turun- naik, energi terbarukan adalah salah satu cara untuk atasi persoalan
energi. Namun, hal tersebut hanyalah pucuk yang belum menyentuh “akar”
persoalan. Karena akar masalah itu segalanya bermuara kepada negara yang masih
dijajah.
Hari
ini, bisa saja BBM naik tapi lusa kembali turun. Kemudian timbul pertanyaan,
jika BBM turun apakah perosalan energi selesai ? saya berani menjawab “belum
selesai”. Karena bukan persoalan mahal atau tidaknya, namun mengenai
siapa pihak yang paling diuntungkan atas SDA Indonesia. Tentu, hal
itu diukur bukan dari mahal atau murah harga sumber daya. Namun siapa
sesungguhnya yang berkuasa atas segala kekayaan Nusantara.
Kedaulatan
! itulah yang menjadi akar. Dan siapa sesungguhnya yang berdaulat di negeri
ini, itu yang mesti diperbincangkan. Karena, jika kita hanya mempersoalkan
mahal atau murahnya harga, soal gas dan fosil yang dipakai, soal beberapa kasus
dan Undang-Undang yang perlu di advokasi, soal presiden yang harus diganti. Tetap
saja, akan menjadi kegiatan rutin menyulam kain lapuk, hari ini bolong besok
tambal lagi. Begitulah seterusnya, sibuk menambal kain lapuk, padahal yang
perlu dilakukan adalah mengganti kain lama dengan yang baru.
Kain
lapuk itu adalah sistem negara kita yang tidak berdaulat, sistem yang
diljalankan sejak tiga abad silam, dimana kapitalisme dan feodalisme mengalami
masa kejayaannya. Hingga hari hari ini, sistem jajahan dan feodal itu tetap
mengakar di negeri agraris yang tidak pernah berpihak kepada pelaku agraris.
Padahal
sebagai negara agraris, bahkan tidak agraris sekalipun, menuju
Indonesia yang berdaulat, harus diawali dengan perombakan struktur
agraria. Pengertian agraria disini bukan sebatas lahan pertanian ( kulit Bumi )
dan petani, namun persoalan agraria adalah persoalan laut, udara, gunung,
sungai danau dan berbagai kekayaan alam yang terkandung didalam dan luar perut
bumi.
Sungguh
sesat pikir dan disayangkan sebagian besar orang beranggapan, bahwa perjuangan
agraria adalah perjuangan milik petani semata, perjuangan demi mendapat
sertifikat tanah . Karena agraria menurut Gunawan Wiradi, berasal
dari bahasa latin “ager”, sama artinya dengan “pedusunan/ wilayah”. Didalam
wilayah dusun, tidak hanya terdapat lahan pertanian dan petani, pedusunan itu
meliputi gunung, laut, tambang, sungai dan bahan mineral lain yang dikelola
oleh masing-masing pelaku.
Selain
itu ,dalam konstitusi negara kita, ayat 1-5 pasal satu UUPA 1960, bahwa agraria
meliputi permukaan bumi, dibawah tubuh bumi, air dan yang berada dibawah air,
serta ruang angkasa.
Artinya,
istilah sumber daya alam, lingkungan hidup, tata ruang, energi, hutan, tambang,
BBM dll, adalah istilah baru untuk unsur-unsur lama yang tercantum dalam UUPA
1960. Untuk itu, Undang-Undang sektoral harus tunduk terhadap Undang-Undang
Pokok, yakni Undang-Undang Pokok Agararia( Noer Fauzi ).
Jadi
sekali lagi, persoalan agraria bukan hanya persoalan petani dan pertanian,
melainkan persoalan semua pihak yang berkepentingan terhadap bumi, air dan
segenap kekayaan yang terkandung didalamnya. Dan pihak yang berkepentingan
tersebut wajib bekerja, berfikir, bertindak untuk melakukan perombakan struktur
agraria atau dikenal dengan istilah gerakan reforma agraria.
Langkah
melakukan perombakan struktur, pekerjaan utamanya bukanlah menambal
sulam kebijakan Undang-Undang sektoral melalui advokasi kasus. Tapi
bagaimana cara mencari jalan terang untuk memperkuat dan mengembalikan
fungsi Undang-Undang Pokok yang menaungi UU sektoral tadi. Hal itu
merupakan agenda khsusus yang harus dilakukan dengan khusuk dalam langkah
advokasi.
Bahkan,
strategi itu tak perlu lagi dibuat kotak, bahwa saya ahli disektor Tambang, si
B ahli disektor Lingkungan Hidup, si C ahli pertanian. Kotak itu akan menjadi
bulat, jika semua aktor memahami kondisi agraria secara utuh.
Kemudian
dalam kondisi sekarang ini, kita tidak bisa menunggu penguasa bermurah hati
melakukan perombakan struktur agraria dalam bentuk seperangkat peraturan
apalagi MoU melaui advokasi kasus sektoral. Gerakan masyarakat sipil yang luas
dan masif tetap menjadi cara paling efektif memaksa penguasa
agar berpihak, bila perlu merebut kuasa mengganti sistem.
Yang
dimaksud gerakan sipil masif itu gerakan mendongkrak. Yakni merubah
sistem dari level terendah. Memajukan, membantu, mengapresiasi kerja-kerja akar
rumput dengan cara menurunkan gagasan langit itu agar dimengerti bumi.
Cara
menurunkan gagasan dari langit ke bumi itu bukan mencetak seribu poster, menggalang
seminar, atau memperbanyak jaringan milis. Namun gagasan itu akan dicerna
dengan upaya melakukan pendidikan dikampung-kampung, membantu rakyat
terlibat dalam demokratisasi desa, memperkuat organisasi rakyat juga
membantu merebut kepemimpinan.
Karenanya,
perjuangan sejati tidak sebatas BBM naik SBY turun. Namun berbagai pihak pun
harus turun kebumi, mempraktekan gagasan langit mereka ke desa-desa,
kabupaten-kabupaten dan wilayah. Karena akar rumput masih berjuang sendiri,
akibat tangan mereka tak pernah mencapai langit dan keengganan kita menyentuh
bumi.Jjika kita mau dan mampu, tak perlu lagi memikirkan berapa skor hasil
pertandingan di senayan. Kita tetap bergerak tanpa menunggu pertandingan para
politisi dan kaum veteran.
Oleh : April Perlindungan (sarekat Hijau indonesia)
0 komentar:
Posting Komentar