PALEMBANG, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup
Indonesia (Walhi) Sumatera Selatan (Sumsel) menilai, penguasaan lahan
oleh perusahaan saat ini terlalu besar, sementara bagian untuk
masyarakat tak memadai. Ketimpangan penguasaan lahan ini merupakan
salah satu akar konflik agraria yang saat ini banyak bermunculan.
Kepala
Divisi Pengembangan Organisasi dan Pengorganisasian Walhi Sumsel,
Hadi, mengatakan, luas lahan di Sumsel mencapai 8,7 juta hektar (ha).
Sebanyak 4,9 juta Ha atau sekitar 56,32 persen lahan dikuasai
perusahaan dengan rincian 1,2 juta ha hutan tanaman industri (HTI), 1
juta ha perkebunan kelapa sawit, dan 2,7 juta ha pertambangan batubara.
"Sedangkan masyarakat Sumsel jumlahnya mencapai sekitar 7 juta jiwa," katanya di Palembang, Sumsel, Jumat (6/4/2012).
Artinya,
jika dipukul rata jatah lahan untuk satu warga Sumsel berkisar 0,5 Ha
saja. Minimnya jatah lahan untuk masyarakat merupakan salah satu
penyebab munculnya tuntutan kepemilikan lahan oleh masyarakat.
Selama
tiga tahun terakhir jumlah sengketa agraria yang diadukan masyarakat
ke Walhi Sumsel terus meningkat. Tahun 2009 terdapat 18 aduan sengketa
agraria, tahun 2010 jumlahnya meningkat menjadi 27, tahun 2011 terdapat
32 aduan. "Tahun 2012 ini jumlahnya bisa lebih meningkat lagi karena
sampai Bulan April ini saja sudah belasan aduan yang masuk," kata Hadi
menambahkan.
Salah satu solusi, kata Hadi, adalah membagi lahan terlantar yang dikuasai perusahaan untuk dikelola masyarakat.
Menurut
data Walhi Sumsel yang dikutip dari Badan Pertanahan Nasional Sumsel,
jumlah lahan terlantar di Sumsel mencapai lebih kurang 143 Ha di 60
lokasi. Lahan-lahan terlantar ini dapat diserahkan untuk dikelola
masyarakat sehingga mengurangi potensi munculnya sengketa agraria.
0 komentar:
Posting Komentar