Earth Hour atau biasa kita kenal sebagai
kampanye matikan listrik selama satu jam dinilai tidak cukup signifikan
membantu mengatasi pemanasan global dan karena itu perlu ditinjau ulang.
Earth Hour dilakukan setiap tanggal 31 Maret, dengan mematikan listrik selama satu jam mulai pukul 20.30 waktu setempat.
Aktivis Lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting mengatakan kampanye earth hour ibarat, seorang yang berkolesterol tinggi lalu dengan bangga mengatakan mengurangi kolesterol dengan tidak makan lemak satu hari. "Artinya, ini ada soal besar kita yang tidak bisa dilakukan hanya dengan sejam mematikan lampu. ??Mengentikan penggunaan listik berbahan fosil satu jam tidak akan pernah atasi soal efek rumah kaca, atau penghematan penggunaan bahan bakar fosil," tandas Pius di Jakarta, Sabtu (31/3).
Ia menjelaskan, perkembangan energi terbarukan di Indonesia berjalan sangat lambat karena dananya banyak dikorupsi oleh orang kementerian. "Kasus Dirjen ESDM yang sedang ditangani KPK, juga korupsi pembangkit listrik tenaga surya di papua oleh kementerian tenaga kerja, hanya beberapa contoh saja. Dana korupsi energi terbarukan oleh kementerian itu kemungkinan lebih besar dari biaya penghematan energi dari program earth hour," bebernya.
Dalam arti tertentu, kata dia, mematikan lampu selama satu jam membuat kita senang dan bangga. "Tapi tak ada yang berubah setelah itu. Karena mau berubah pun belum ada pilihan tersedia. Sebab listrik kita semua sebagian besar gunakan batu bara dan minyak," gugatnya.
Maka itu menurut dia, kesadaran akan dampak penggunaan energi fosil lebih berhasil bila dalam satu jam semua rakyat diberikan tayangan dampak pencemaran PLTU batu bara seperti di Cilacap dan Jepara, serta tayangan tentang anak-anak yang meninggal akibat tercebur lubang tambang di Samarinda atau tergusur karena tambang batu bara, sakit ISPA karena jalanan pemukiman dilalui ratusan truk tambang batu bara.
"Itu lebih menyadarkan kita tentang dampak penggunaan energi fosil," tegas Pius yang berposisi sebagai Manajer Kampanye Tambang Walhi itu.
Ditambah lagi kata dia, kampanye ini hanya akan mengaburkan masyarakat akan kenyataan bahwa banyak negara maju yang faktanya belum mau mengurangi emisi mereka sesuai kesepakatan Protocol Kyoto.
Earth Hour dilakukan setiap tanggal 31 Maret, dengan mematikan listrik selama satu jam mulai pukul 20.30 waktu setempat.
Aktivis Lingkungan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Pius Ginting mengatakan kampanye earth hour ibarat, seorang yang berkolesterol tinggi lalu dengan bangga mengatakan mengurangi kolesterol dengan tidak makan lemak satu hari. "Artinya, ini ada soal besar kita yang tidak bisa dilakukan hanya dengan sejam mematikan lampu. ??Mengentikan penggunaan listik berbahan fosil satu jam tidak akan pernah atasi soal efek rumah kaca, atau penghematan penggunaan bahan bakar fosil," tandas Pius di Jakarta, Sabtu (31/3).
Ia menjelaskan, perkembangan energi terbarukan di Indonesia berjalan sangat lambat karena dananya banyak dikorupsi oleh orang kementerian. "Kasus Dirjen ESDM yang sedang ditangani KPK, juga korupsi pembangkit listrik tenaga surya di papua oleh kementerian tenaga kerja, hanya beberapa contoh saja. Dana korupsi energi terbarukan oleh kementerian itu kemungkinan lebih besar dari biaya penghematan energi dari program earth hour," bebernya.
Dalam arti tertentu, kata dia, mematikan lampu selama satu jam membuat kita senang dan bangga. "Tapi tak ada yang berubah setelah itu. Karena mau berubah pun belum ada pilihan tersedia. Sebab listrik kita semua sebagian besar gunakan batu bara dan minyak," gugatnya.
Maka itu menurut dia, kesadaran akan dampak penggunaan energi fosil lebih berhasil bila dalam satu jam semua rakyat diberikan tayangan dampak pencemaran PLTU batu bara seperti di Cilacap dan Jepara, serta tayangan tentang anak-anak yang meninggal akibat tercebur lubang tambang di Samarinda atau tergusur karena tambang batu bara, sakit ISPA karena jalanan pemukiman dilalui ratusan truk tambang batu bara.
"Itu lebih menyadarkan kita tentang dampak penggunaan energi fosil," tegas Pius yang berposisi sebagai Manajer Kampanye Tambang Walhi itu.
Ditambah lagi kata dia, kampanye ini hanya akan mengaburkan masyarakat akan kenyataan bahwa banyak negara maju yang faktanya belum mau mengurangi emisi mereka sesuai kesepakatan Protocol Kyoto.
Sumber : media Indonesia.com
0 komentar:
Posting Komentar