Jakarta, 1 September 2015. Kebakaran hutan dan lahan
(Karhutla) yang terus terjadi dalam 1 dekade ini merupakan gambaran nyata
bahwa kerusakan alam telah sangat parah dan sistematis. Setidaknya 66 kabupaten
yang ada di 5 Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat,
dan Kalimantan Tengah, langganan kebakaran dan "berasap" dalam 5
tahun terakhir. Pada tahun 2011, ditemukan sebanyak 18.789 titik api dan
pada tahun 2014 naik menjadi 20.253 titik api.
Peningkatan kebakaran
bukan saja mengalami peningkatan dalam jumlah titik api, tetapi juga
terhadap intensitas kejadian kebakaran setiap tahunnya. Bila peningkatan titik
api mulai terjadi di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, maka Sumatera
mengalami peningkatan intensitas kejadian kebakaran hingga dua kali kejadian kebakaran
dalam satu tahun.
Tahun 2014, ditemukan
indikasi titik api terdapat pada kawasan hutan yang dibebani hak Hutan Tanaman
(IUPHHK-HT) sebanyak 4.084 titik api di 150 konsesi, dan 603 titik api di 85
konsesi perusahaan (IUPHHK-HA). Selanjutnya, selain pada kawasan
hutan yang dibebani izin, kebakaran hutan dan lahan diduga marak juga
terjadi di dalam dan di sekitar kawasan konsesi perkebunan kelapa
sawit di kawasan APL dan kawasan hutan.
Abetnego Tarigan,
Direktur Eksekutif Nasional WALHI, dalam keterangan persnya menerangkan, "di tahun 2014, Presiden Jokowi telah
berkomitmen Indonesia bebas asap 2015. Namun, kebakaran dan asap tahun ini
menjadi bukti bahwa komitmen ini masih sangat jauh dari harapan. Ada 5 langkah
strategis dan mendesak yang mesti dilakukan Presiden; 1. Menginstruksikan
Kepala Daerah (Gubernur dan Bupati) untuk melakukan gerakan
serentak penyekatan kanal dan menerapkan proses sanksi terhadap pemegang konsesi
sawit, sebagai tindakan mendesak yang harus segera dilakukan oleh Kepala
Daerah, 2. Melakukan upaya penegakan hukum terhadap perusahaan yang
ditemukan adanya titik api di wilayah konsesinya, 3. Melakukan review
perizinan terhadap konsesi yang mengalami
kebakaran dan/atau mengalami konflik dengan masyarakat.
4. Menghentikan penerbitan izin baru sebagai kesempatan untuk
melakukan evaluasi terhadap izin yang telah diberikan dan termasuk evaluasi
terhadap pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap izin yang
dikeluarkan, 5. Memulihkan kawasan hutan kritis dan memberi
kesempatan pengolahan dan perlindungan hutan kepada masyarakat di sekitar
hutan.”
Musri Nauli ,
Direktur Eksekutif WALHI
Jambi menjelaskan
“titik api
terbanyak berasal dari gambut. Kawasan genting, unik dan penting sudah rusak. Kawasan yang
selama ini mampu memberikan perlindungan dan sebagai tempat tangkapan air (catchment water area) dirusak oleh
HTI, sawit dan berbagai aktivitas manusia lainnya kemudian menjadikan kubangan
yang mudah terbakar. Pola ini berulang terus menerus dengan modus yang canggih, rapi dan
pola tempat terbakar yang sama setiap tahun. Pemegang izin tidak mampu lagi
menjaga lokasi
izinnya. Selain para pelaku dijerat dengan berbagai UU seperti UU Kehutanan, UU
Perkebunan, UU LH yang “tegas” adanya kebakaran di areal izinnya, para pemegang
izin dapat diminta pertanggungjawabannya (absolute liability).”
Tidak
jauh berbeda, kebakaran tahun ini juga kembali terjadi di Kalimantan Tengah. Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah meyampaikan, “apresiasi terhadap penyegelan lokasi kebakaran di beberapa perusahan
perkebunan di Kalimantan tengah, namun langkah ini belumlah
cukup menyelesaikan masalah, jika tidak disertai dengan upaya rehabilitasi
lahan gambut dan menghentikan perizinan perusahaan
yang mengakibatkan konversi lahan gambut kepada
investasi skala luas yang berbasis lahan di
Kalimantan Tengah."
sebaran hotspot 2014 - 2015 |
Terkait penegakan hukum atas kebakaran hutan dan lahan, sebagai contoh di Sumatera Selatan. “Kami menilai pemerintah tidak serius melakukanya dan terlihat hanya formalitas saja. Gugatan pemerintah
terhadap PT. Bumi Mekar Hijau (APP Group) yang merugikan negara Rp. 7,9 triliun tahun 2014
lalu, sampai saat ini tidak
terdengar gaungnya. Jangan sampai ini hanya
upaya untuk mencuci kejahatan perusahaan dengan mengunakan tangan pemerintah dan pengadilan. Ketidakseriusan ini menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan berakibat bencana asap terus
berulang tahun.” terang
Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif WALHI Sumatera Selatan.
Masih terkait upaya
penegakan hukum dalam penanganan kebakaran hutan, di Kalimantan Barat, Anton
Wijaya, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Barat menegasakan, “Kepolisian Daerah Kalimantan Barat harus
segera mencabut Maklumat terkait kebakaran hutan, karena di lapangan hanya
menimbulkan kemarahan dan resistensi dari masyarakat lokal dan justru tidak
menjawab persoalan pokok terkait penyebab kebakaran. Kepolisian harusnya
melakukan penegakan hukum seadil-adilnya kepada para penjahat lingkungan yang
jelas-jelas adalah korporasi yang melakukan pembakaran dalam proses pembersihan
lahan-lahan konsesi mereka. Penegakan hukum juga harus dilakukan kepada
stakeholder lain selain private sector yang memiliki mandat dan wewenang
melakukan perbaikan tata kelola sumber daya alam, memastikan praktek kebun
tanpa membakar tetapi tidak menjalankan tugas dan tanggungjawabnya.”
Fakta-fakta temuan WALHI di
berbagai daerah menunjukkan bahwa akar masalah terbesar kebakaran dan asap di
Indonesia sangat nyata dan sebenarnya sangat dipahami oleh pemerintah. “Mestinya
pemerintah “memadamkan api dengan Pena”, bukan dengan modifikasi cuaca, karena
sumber masalahnya dari penerbitan konsesi” tutup Abetnego Tarigan.
Contact person:
Zenzi Suhadi 081384502601
Musri Nauli 08127807513
Arie Rompas 08115200822
Hadi Jatmiko 08127312042
Anton P. Wijaya 0811574476
Selengkapnya...