PALEMBANG - Usaha pemerintah menyelamatkan hutan di wilayah barat Sumsel
dengan penetapan fungsi hutan lindung dan lainnya, dinilai oleh aktivis
lingkungan stempel semata. Karena yang terjadi di lapangan
sesungguhnya, izin perkebunan atau pertambangan di kawasan hutan terus
dikeluarkan.
Menurut Direktur Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan (Walhi Sumsel), Hadi Jatmiko, banyak sumber air
yang berada di hulu sungai mulai rusak. Sementara bagian hilir sungai
yang menjadi daerah resapan terganggu. 2,7 juta Ha dari sekitar 3,7 Ha
hutan yang menjadi daerah resapan air terganggu.
"Makanya muncul banyak bencana. Hutan wilayah barat Sumsel yang berada di Bukit Barisan menjadi sumber mata air. Kalau Bukit Barisan sudah rusak, sumber airnya juga terancam. Tersisa hanya sekitar 800 ribu Ha Daerah Aliran Sungai yang masih baik, sisanya
kritis," kata Hadi, Kamis (9/1).
kritis," kata Hadi, Kamis (9/1).
Sebagai tulang punggung Sumatera, Bukit Barisan berperan penting menjadi sumber air dari semua sungai besar di pulau ini. Sungai-sungai
yang bermuara di pantai barat (Samudra Hindia), seperti Alas dan
Batangtoru, ataupun yang bermuara di pantai timur (Selat Malaka),
seperti Indragiri, Batanghari dan Musi, berhulu di Bukit Barisan.
Di Sumsel sendiri banyak mengalir beberapa sungai besar lintas kabupaten dan bermuara di Sungai Musi. Beberapa sungai tersebut adalah Sungai Komering, Sungai Lematang dan Sungai
Ogan. Peningkatan fungsi hutan menjadi taman nasional menurut Hadi,
dapat saja dilakukan untuk penyelamatan sumber mata air. Hanya saja, itu
tidak dapat terjadi dengan serta merta. Hadi menilai tidak hanya sumber
mata air saja yang terancam, melainkan fauna yang hidup di sepanjang
Bukit Barisan turut terancam populasinya. Ketika fauna mencari tempat
baru karena habitat aslinya "diserobot" manusia, ketika itu pula mereka
diburu.
"Rumah mereka dirusak. Saat mereka mencoba bertahan hidup,
berkeliling mencari tempat dan sumber makanan baru, tapi mereka diancam
lagi dengan perburuan. Pemerintah tidak melaukan perlindungan apa-apa.
Yang terakhir terjadi penembakkan Harimau Sumatera di Lahat, entah
sekarang bagaimana perkembangannya tidak jelas," kata Hadi.
Yang paling penting menurut Hadi adalah penyadaran masyarakat yang
tinggal di sekiar lokasi hutan. Mereka harus disosialisasikan tentang
pentingnya hutan terhadap kehidupan. Minimnya anggaran pemerintah
terhadap pengawasan akan teratasi dengan keterlibatan masyarakat.
"Pendekatan awal ini secara humanis. Pemerintah selama ini mengatakan
bahwa mereka tidak ada anggaran untuk pengawasan hutan. Nah dengan
peran aktif masyarakat nantinya bisa teratasi. Tapi sebelum peningkatan
fungsi, harus diselesaikan dulu hak masyarakat," terangnya.
Hadi mengatakan, hak pengelolaan hutan oleh masyarakat ditentukan
secara sepihak oleh masyarakat. Batas-batas hutan diinvetaris tanpa
melibatkan masyarakat yang lebih dulu menggarap lahan di sebuah kawasan.
Ketika pemerintah mendorong kawasan hutan wilayah barat Sumsel menjadi taman nasional, Hadi berharap tak ada masyarakat yang diusir.
"Ada masyarakat yang lebih dulu menggarap lahan tersebut. Bisa jadikan enclave oleh pemerintah," ujarnya.
Dalam Keputusan Menteri Kehutanan nomor 822/Menhut-RI-II/2013, terjadi perubahan peruntukkan kawasan hutan di Sumsel.
Secara umum, seluas 210.559 Ha hutan telah menjadi kawasan non hutan
dan 44,299 Ha hutan berubah fungsinya. Sementara kawasan yang menjadi
hutan hanya mencapai luas 41.191 Ha. Lebih jauh dia mengatakan,
perubahan tersebut terjadi karena beberapa hal seperti program
transmigrasi yang mengharuskan pemerintah membuka lahan garapan baru.
Selain itu, beberapa daerah mengusulkan perubahan fungsi menjadi pinjam
pakai untuk pertambangan.
"Sepanjang tahun 2012 saja, sekitar 10 ribu Ha lahan dikeluarkan dari
kawasan hutan. Kementerian Kehutanan tidak konsisten. Selama ini
mengatakan hutan harus dilindungi, tapi di sisi lain hutan dibuka untuk
tambang atau perkebun," tegasnya.
Sumber : http://palembang.tribunnews.com/2014/01/12/hulu-sungai-kini-mengalami-gangguan
0 komentar:
Posting Komentar