WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Sabtu, Januari 26, 2008

PERNYATAAN SIKAP
ALIANSI PEDULI BUMI ( A P B )
(Walhi Sumsel, Green Student Movement SS, Restoe Bumi, Sanggar Belajar Mahasiswa Palembang)

Atas kondisi bumi yang semakin hancur
“Bumi bisa mencukupi kebutuhan setiap orang (semua orang di muka bumi), tapi tak bisa mencukupi orang-orang (sebagian orang) yang rakus.”….. (Mahatma Gandhi)
Climate change atau perubahan iklim saat ini telah menjadi wacana banyak pihak. Banyak orang merasa gelisah terhadap kemuculan fenomena alam yang terjadi saat ini. Di samping tidak menentunya kondisi alam raya, berbagai bencana lingkungan saat ini telah melanda masyarakat dunia, tak terkecuali bagi Indonesia.

Tidak diragukan lagi, bahwa perubahan cuaca bagi masyarakat Indonesia telah berdampak kepada kerugian yang cukup berarti terhadap pola kehidupan sehari-hari. Temperature udara yang semakin panas, merupakan fenomena alam yang tidak dapat dihindari oleh kita saat ini. Berbagai macam bencana, seperti; kekeringan, banjir, longsor, juga tidak lepas dari pengaruh global warming atau pemanasan global tersebut.
Kenapa hal itu dapat terjadi? Perubahan iklim dapat terjadi karena disebabkan naiknya gas rumah kaca (GRK) yang terdiri dari karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan dinitroksida (N20). Pola konsumsi bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) yang berlebihan dan tidak efisien menjadi penyebab utama meningkatnya GRK di atmosfir. Hilangnya kawasan hutan tropis yang berfungsi sebagai penyerap GRK, juga sebagai pemicu terjadinya perubahan iklim. Selain itu pengalihan lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit, juga berpotensi menyebabkan terurainya gas karbon (C02) ke atmosfir.
Dengan kondisi demikian, siapakah yang harus peduli dan bertanggung jawab? Secara konstitusional, seharusnya pemerintah yang berkewajiban. Namun sangat tampak bahwa perhatian pemerintah terhadap bencana atau potensi bencana yang diakibatkan oleh perubahan global tersebut, hanyalah sebatas dengan berbagai skenario yang dapat mendatangkan bala bantuan internasional.
Pertemuan COP 13 UNFCCC (Conference of Parties of the United Nations Framework Convention on Climate Change), yang akan diselenggarakan pada tanggal 3 – 14 Desember 2007, di Bali – dikhawatirkan bagi pemerintah Indonesia sendiri selaku tuan rumah, tidak digunakannya momentum tersebut untuk menanggulangi berbagai persoalan yang terjadi akibat perubahan iklim secara lebih nyata. Namun hanya sekedar diperolehnya berbagai program/proyek yang sesungguhnya tidak menyentuh langsung pada kepentingan masyarakat banyak, khususnya rakyat miskin yang paling merasakan secara langsung dampak terjadinya clamite change.
Beberapa program yang diperkirakan akan menjadi konsensus dalam pertemuan tersebut, diantaranya; Mitigasi, Clean Development Mekanism (CDM), dan Carbon Trade (penjualan karbon). Jika ditelaah lebih jauh, pelaksanaannya hanya merupakan bentuk penjalanan proyek, yang akan dikeruk manfaatnya oleh kelompok-kelompok modal tertentu di Negara ini, yang selanjutnya akan menjadi beban baru bagi rakyat. Pengalaman telah menunjukan, bagaimana program/proyek seperti gerakan rehabilitasi dan lahan (GERHAN), tidaklah mampu berjalan efektif dalam mengatasi kritisnya hutan Indonesia.
Dengan memperhatikan, bahwa pemanasan global diakibatkan oleh pola konsumsi bahan bakar fosil (minyak, gas dan batu bara) yang berlebihan oleh masyarakat diberbagai dunia, khususnya masyarakat negara-negara kaya. Maka peran strategis yang harus dilakukan oleh Pemerintah dalam pertemuan COP 13 Bali, adalah mendorong negara-negara kaya tersebut, agar menyetujui untuk melakukan efesiensi dalam menggunakan bahan bakar fosil. Selain itu Indonesiapun harus memperbaharui model politik pengelolaan sumber daya alam (PSDA), yang selama ini dikenal sangat eksploitatif, dengan menegasikan nilai-nilai lingkungan dan kemanusiaan.


Bagaimana dengan Sumatera Selatan!?
Pemanasan global saat ini telah pula dirasakan oleh penduduk lokal, khususnya kaum tani (pertanian lebak, istilah yang digunakan bagi petani non-irigasi/tadah hujan dan biasanya sangat tergantung dengan musim). Musim yang tidak dapat diprediksi, membuat petani Sumsel kesulitan dalam menentukan musim tanam. Dengan semakin naiknya suhu sungai Musi dibandingakan tahun 1960–1993 (kenaikan suhu mencapai 3’ celcius;Bapedalda Sumsel), telah menyebabkan bencana kekeringan di beberapa daerah pertanian di Sumatera Selatan, seperti yang terjadi di Kabupaten Ogan Komering Ulu.
Bencana banjirpun terus melanda Sumatera Selatan sejak tahun 2000. Kondisi yang cukup parah terjadi pada tahun 2003, yang secara merata hampir terjadi di semua kabupaten/kota di Sumsel. Setidaknya saat ini terdapat empat kabupaten di Provinsi Sumatera Selatan, yang dinyatakan sebagai daerah rawan banjir pada musim penghujan, yakni Kabupaten Ogan Ilir, Ogan Komering Ilir, Muara Enim, dan Ogan Komering Ulu Timur.
Jika kita nilai, bencana lingkungan tersebut dapat terjadi tentunya tidaklah berdiri sendiri. Politik PSDA yang diterapkan oleh Pemerintah, dengan cara mengeksploitasi secara besar-besaran sektor energi fosil dan hutan, telah menjadikan Sumsel rawan akan bencana. Hutan Sumsel misalnya, telah mengalami degradasi yang sangat parah, dimana dari luasan semula yang mencapai 3,7 juta hektar, 62% diantaranya telah kritis. Belum lagi konversi lahan gambut menjadi perkebunan kelapa sawit, semakin memperparah wajah kerusakan lingkungan Sumsel.

Berdasarkan hal tersebut, dengan memperhatikan bahwa kehancuran bumi telah ada dihadapan kita. Kami Aliansi Peduli Bumi, yang terdiri dari Walhi Sumsel, Green Student Movement SS, Restoe Bumi, dan Sanggar Belajar Mahasiswa Palembang – melalui aksi kali ini menyatakan:
1. Menolak konsensus pertemuan COP 13 Bali, jika ditujukan hanya sebagai penjalanan proyek/program semata. Menurut kami, hal itu hanya akan menjadi ladang keuntungan bagi perusahaan-perusahaan besar di negara ini, yang memunculkan celah korupsi dan pemiskinan terhadap rakyat, melalui hutang tambahan yang dibebankan kepada Negara. Adalah seyogyanya, di dalam pertemuan tersebut Pemerintah Indonesia harus mampu mendesak negara-negara kaya (Utara), agar mengefesiensi konsumsi/penggunaan energi, khususnya bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara).
2. Mendesak pemerintah (Nasional dan Daerah), untuk menjalankan politik SDA yang berfersfektif lingkungan dan berkerakyatan.


Palembang, 27 November 2007
Koordinator Aksi,



Dede Chaniago





Artikel Terkait:

0 komentar: