SENGKETA AGRARIA; PERSOALAN YANG TAK BERKESUDAHAN
Oleh; Anwar Sadat : Kepala Divisi Hutan Dan Perkebunan WALHI SUM-SEL,Ketua DPD Sarekat Hijau Indonesia( SHI ) Kota Palembang
"Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, apalagi penghisapan dari modal-asing terhadap Rakyat Indonesia”
(Bung Karno)
(Bung Karno)
Sengketa agraria merupakan persoalan yang tidak lepas dari bingkai sejarah republik Indonesia. Bahkan kondisi tersebut terjadi jauh sebelum pra-kemerdekaan dan pra-kolonial, yaitu dimana ketika sumber-sumber agraria dikuasai oleh para raja dan keluarganya. Di jaman itu, telah banyak sengketa agraria yang bermunculan, yang disebabkan oleh ketidakpuasan rakyat terhadap situasi penindasan yang mereka alami. Dalam buku sejarah dapat kita lihat, bagaimana tata agraria yang diterapkan di jaman itu. Raja sebagai penguasa tunggal, tidak hanya berhak memiliki sumber-sumber kekayaan dalam wilayah kekuasaannya, namun raja berhak pula untuk menentukan kehidupan dan kematian atas rakyatnya.
Kemudian pada saat Belanda berkuasa di Indonesia, sistem agraria dikembangkan guna terpenuhinya kebutuhan negara induk Belanda. Prakteknya, Belanda menerapkan berbagai peraturan – diantaranya; mengharuskan seperlima dari tanah petani ditanami tanaman yang ditentukan oleh Belanda (sistem tanam paksa), menjamin kepastian berusaha bagi modal swasta melalui penerbitan Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) dan Suiker Wet (Undang-undang Gula) tahun 1870. Untuk memuluskan penindasan dan eksploitasinya, penguasa kolonial menggunakan siasat membangun sekutu bersama kekuasaan feodal (kerajaan). Belanda tidaklah dengan serta merta merombak struktur agraria dan struktur politik yang sebelumnya dikuasai oleh para raja. Pengaruh kerajaan tetap digunakan, dengan prinsip bahwa kerajaan tersebut harus berada di bawah kontrol dan kendali Belanda. Akibatnya, petani berada dalam tekanan ganda, pada satu sisi ditekan oleh kekuasaan feodal, dan di sisi lain oleh kekuasaan kolonial.
Kemudian pada saat Belanda berkuasa di Indonesia, sistem agraria dikembangkan guna terpenuhinya kebutuhan negara induk Belanda. Prakteknya, Belanda menerapkan berbagai peraturan – diantaranya; mengharuskan seperlima dari tanah petani ditanami tanaman yang ditentukan oleh Belanda (sistem tanam paksa), menjamin kepastian berusaha bagi modal swasta melalui penerbitan Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) dan Suiker Wet (Undang-undang Gula) tahun 1870. Untuk memuluskan penindasan dan eksploitasinya, penguasa kolonial menggunakan siasat membangun sekutu bersama kekuasaan feodal (kerajaan). Belanda tidaklah dengan serta merta merombak struktur agraria dan struktur politik yang sebelumnya dikuasai oleh para raja. Pengaruh kerajaan tetap digunakan, dengan prinsip bahwa kerajaan tersebut harus berada di bawah kontrol dan kendali Belanda. Akibatnya, petani berada dalam tekanan ganda, pada satu sisi ditekan oleh kekuasaan feodal, dan di sisi lain oleh kekuasaan kolonial.
Ketika Indonesia merdeka, adalah merupakan tonggak sejarah dalam pengalihan secara radikal (menyeluruh) politik agraria kolonial yang bercorak menindas kepada tata agraria nasional yang berkeadilan. Prinsip politik agraria ditujukan untuk manata dan membangun tatanan nasional yang mandiri serta memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada rakyat. Visi dasar dari politik agraria nasional adalah menyelenggarakan suatu tata agraria yang memberikan jaminan bahwa seluruh sumber-sumber agraria diarahkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
Presiden Soekarno sendiri merupakan pemimpin yang begitu concern terhadap nasib kehidupan kaum tani. Banyak pidato-pidato beliau yang menekankan, bahwa jika Indonesia ingin menjadi bangsa yang kuat dan mandiri, utama harus dilakukan adalah negara mesti membangun tatanan masyarakat yang adil dan makmur melalui arah politik agraria yang berfihak kepada rakyat tani. Namun sebagaimana diketahui bahwa program tersebut tidak sepenuhnya berhasil diselesaikan dengan tuntas. Hanya sebagian kecil dari tanah-tanah yang hendak dibagikan kepada petani gurem (tak bertanah), berhasil dilakukan. Kebijakan land reform ketika itu tidak didukung sepenuhnya oleh kekuatan banyak kelompok yang kontra terhadap jalannya revolusi.
Situasi politik agraria saat ini
Sejak masa pembangunan yang dicanangkan orde baru, berbagai persoalan seperti ; penggusuran, penyerobotan lahan, perampasan hak milik petani, marak bermunculan. Pembangunan yang lebih berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan ekonomi ketimbang perbaikan nyata struktur agraria, telah membawa akibat yang besar kepada perbaikan taraf hidup rakyat, khususnya petani di pedesaaan. Penetrasi modal yang dikembangkan hingga ke desa, telah memacu alih fungsi, dan berakibat semakin sempitnya lahan yang dikuasai petani.
Berdasarkan analisa data statistik penguasaan tanah di Indonesia, ditemukan hingga saat ini rata-rata penguasaan oleh petani di pedesaaan tidak lebih dari 0,8 hektar per rumah tangga petani, yang secara keseluruhan hanya menguasai sekitar 17 juta hektar lahan pertanian. Bahkan ada sekitar 12,5 juta rumah tangga petani yang dapat dikategorikan sebagai petani gurem, dan di dalamnya ada sekitar 9,9 juta rumah tangga petani yang tidak bertanah (landless peasants) atau sekitar 32,6% dari jumlah keseluruhan rumah tangga petani di Indonesia (Bachriadi dan Wiradi, 2003).
Pengembangan investasi, yang tidak diimbangi dengan proteksi terhadap rumah tinggal dan lahan penghidupan rakyat, telah memunculkan banyak konflik tanah. Menurut data base Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA), dalam kurun waktu 30 tahun lebih, sejak 1970 hingga 2001, setidaknya terdapat 1.753 kasus sengketa tanah yang terekam dan dikategorikan sebagai sengketa tanah struktural. Meski pemerintahan SBY telah mengagendakan program land reform, yang akan mendistribusikan sekitar 8,15 juta hektar lahan terhadap rakyat tak bertanah. Namun, program tersebut hingga hari ini tidak terlihat progresifitasnya. Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang telah menjadi keputusan politik pemerintahan nasional, yang sedari awal memang tidak jelas visi ideologinya, telah hilang ditelan perjalanan waktu. Kepala BPN, Joyo Winoto, PhD, dalam kunjungan kerjanya di beberapa daerah, menyatakan bahwa salah satu agenda utama PPAN adalah penyelesaian konflik-konflik pertanahan, baik yang merupakan warisan masa lalu maupun yang sedang terjadi. Senyatanya kita menyaksikan, konflik-konflik agraria terus saja bermunculan di negeri ini. Di tahun 2007 saja, setidaknya secara nasional terekam 80 kasus kekerasan terhadap komunitas petani (data base KPA;2007).
Sengketa Agraria Di Sumatera Selatan
Persoalan agraria secara nasional tentunya tidak terlepas pula dari kebijakan pemerintah di tingkat lokal. Komitmen politik pemerintah daerah sangat berpengaruh terhadap nasib tata agraria masyarakat di daerah, khususnya yang menyangkut persoalan tanah. Dalam Keputusan Presiden, Nomor 34 Tahun 2003, tentang ‘Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan’, memberikan sebagian kewenangan kepada pemerintah daerah, dalam hal; (1) pemberian ijin lokasi; (2) penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan; (3) penyelesaian sengketa tanah garapan; (4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan; (5) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan maksimum dan tanah absentee; (6) penetapan dan penyelesaian tanah ulayat; (7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong; (8) pemberian izin membuka tanah; dan (9) perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.
Dengan wewenang yang cukup luas tersebut, tentunya Bupati/Walikota, dan Gubernur harus turut mengemban tanggung jawab atas berbagai persoalan pertanahan di daerah. Berdasarkan catatan Walhi Sumsel, dalam kurun waktu 18 tahun sejak 1989 hingga tahun 2007, setidaknya di Sumatera Selatan terdapat 220 kasus sengketa tanah yang terekam, yang merupakan kategori kasus tanah struktural. Sengketa tersebut banyak dipicu akibat perijinan lokasi dan hak pengelolaan yang diberikan pemerintah daerah terhadap pengusaha perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Tidak jarang dari sengketa tanah tersebut, beragam persoalanpun banyak menyertainya (tentunya terhadap masyarakat), seperti; mendekam dalam kurungan penjara, predikat sebagai daftar pencarian orang (DPO), konflik horizontal, dan keterbelakangan mental. Bahkan diantaranya ada yang hingga menemui ajal, hanya karena hendak mempertahankan sejengkal tanah penghidupannya.
Masyarakat umum mengetahui bahwa Gubernur Ir. H. Syahrial Oesman, MM, sejak awal kepemimpinannya telah mencanangkan program Sumsel sebagai lumbung pangan dan energi. Di dalam makala mengenai ‘Peluang Investasi Pembangunan Sumatera Selatan’, secara spesifik beliau memaparkan, realisasi dalam mewujudkan Sumsel sebagai lumbung pangan, yakni dengan melakukan perluasan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Selanjutnya pemerintah Sumsel menjanjikan kemudahan bagi kalangan pengusaha dalam mengurus dan memperoleh perijinan. Hal inilah yang pada tingkatan lebih lanjut, di lapangan banyak memicu persoalan sengketa tanah, antara pemilik modal dengan masyarakat lokal. Banyak masyarakat yang terancam alat produksinya, akibat justifikasi para pemilik modal, bahwa mereka telah memiliki ijin usaha, dan berhak untuk menguasai dan mengelola tanah masyarakat.
Realitas menunjukkan, petani selalu berada pada pihak yang dimarjinalkan kepentingannya jika modal telah mulai bekerja. Penggusuran lahan pertanian atau perkebunan selalu menyertai setiap berjalannya program investasi. Keadilan bukan merupakan hal yang mudah petani dapatkan, karena terjadi di banyak tempat, rakyat harus mengalami nasib, alat produksi beralih kepemilikan kepada fihak lain. Tidak hanya sebatas itu, teror, intimidasi, dan pengkriminalan, merupakan hal yang selalu diterima. Alih-alih demi investasi, selalu menjadi senjata pemerintah dalam memaksakan kehendak terhadap rakyatnya.
Memperhatikan persoalan agraria di Sumatera Selatan saat ini tengah berada pada situasi yang sangat memprihatinkan, sudah selayaknya bagi Bupati/Walikota, dan Gubernur Sumsel menjadikan penyelesaian sengketa pertanahan sebagai salah satu program utama. Hal tersebut penting untuk dilakukan, karena persoalan hilangnya hak atas tanah, secara nyata dapat berakibat kepada merebaknya kekacauan, baik secara etnik maupun kriminalitas, yang pada gilirannya dapat mendorong disintegrasi sosial bangsa.
Pemerintah juga harus meninggalkan tradisi klasik, melalui penggunaan cara-cara kekerasan (baik fisik maupun fsikis). Hal tersebut, selain tidaklah tepat lagi untuk diterapkan dalam situasi demokrasi politik saat ini, juga hanya akan memperkental kefrustasian masyarakat. Sejarah dan realitas telah mengguratkan bahwa di bawah sebuah kekuasaan yang menindas, rakyat senantiasa berada dalam gemilang penderitaan dan kekerasan. Hal itu pula yang membuat rakyat selalu gagal untuk mewujudkan dan mengembangkan seluruh potensi yang dimilikinya, baik potensi alam atau tanahnya, dan juga potensi dirinya.
Pada akhirnya, selama tanah, sebagai sarana produksi terpokok dalam pertanian tidak dimiliki oleh petani-petani kita, produksi agraria senantiasa akan mengalami kemacetan. Program lumbung pangan hanya akan menjadi wacana dan retorika semata, yang akan jauh dari kenyataan, jika rakyat Sumsel semakin dimarjinalkan dari alat pokok produksinya. Melalui penghormatan terhadap hak rakyat, struktur agraria lokal akan tercipta, dan visi populisme (semangat yang terkandung di dalam UUPA) dapat terwujud, yang pada tingkatan lebih lanjut akan mampu melahirkan pondasi yang kokoh terhadap kwalitas bangunan sosial masyarakat kita.
0 komentar:
Posting Komentar