Oleh
M Riza Damanik
Adalah Aliman seorang nelayan Banten yang tewas diempas gelombang Laut Jawa, di awal Januari 2008 lalu. Entah karena tidak sempat mendengar peringatan Badan Meteorologi dan Geofisika akan bahaya gelombang tinggi yang menerpa Selat Sunda dan Perairan Jawa—atau justru sudah mendengar—namun tiga minggu tidak melaut akibat gelombang tinggi menjadi alasan yang tidak relevan di tengah keterdesakan kebutuhan hidup keluarga. Aliman dan keluarganya adalah satu dari ribuan bahkan jutaan nelayan Indonesia yang kurang beruntung tersebut.
Sejumlah peristiwa; perubahan iklim, gelombang pasang, tsunami, banjir, kenaikan harga BBM dan langkanya minyak tanah dan solar, telah berhasil menghentikan hampir seluruh kegiatan perikanan nelayan tradisional dan tanpa adanya dukungan nyata dari negara untuk membenahinya dan meminimalisasi dampak yang disebabkannya; dan bahkan di banyak kasus seolah diabaikan (by omission).
Dalam catatan sejarah pergerakan Indonesia, perjuangan nelayan tidak terekam jejaknya dengan jelas. Namun terlepas dari samarnya rekam jejak perjuangan nelayan dalam catatan sejarah, faktanya perjuangan nelayan terus menggelinding menuju satu tujuan yakni terbebasnya dari kemiskinan.
Konon, jauh sebelum negeri ini merdeka, nelayan dengan kelompok-kelompok komunitasnya menjadi simbol kuatnya negeri bahari—Nusantara. Dengan berbekal kebersamaan, terbentuk unit-unit usaha yang berada tepat pada pelabuhan-pelabuhan strategis, yang menjadi pusat perdagangan, bahkan tempat bongkar-muat dan transaksi perdagangan komoditas lokal (seperti rempah-rempah) yang dihasilkan petani dan nelayan Indonesia.
Paradigma Darat
Namun kini, cerita ini bak cerita usang. Bahkan tidak ada dalam mozaik sejarah kebangkitan bangsa kini. Kemunduran ekonomi pun terjadi, sejalan dengan perhatian para penguasa negeri yang berpindah ke wilayah daratan dan semakin masuk ke wilayah pedalaman—era Mataram melanjutkannya—hingga kemampuan dan teknologi kelautan yang telah dikuasai ratusan tahun sebelumnya ditinggalkan secara perlahan-lahan.
Armada nelayan, armada perang, dan armada dagang tidak lagi menjadi fokus. Kultur pedalaman inilah yang selanjutnya diwariskan dan dan dikokohkan oleh Orde Baru (Orba). Paradigma pembangungan kelautan telah bergeser menjadi “paradigma pedalaman”.
Mulai dari kebijakan politik ekologis konservasi laut yang anti nelayan, kebijakan industeri yang menempatkan perairan pesisir sebagai kantung-kantung pembuangan limbah, kebijakan moderenisasi alat tangkap—hingga penggunaan alat tangkap trawl di wilayah tangkap tradisional—yang semua menjadi bagian kelam kebijakan negara yang merugikan nelayan tradisional Indonesia.
Keterpurukan ini diikuti pula dengan sistem pendidikan dan doktrinasi sosio-kultural yang tidak menempatkan arah pembangunan negeri kepulauan sebagai landas pikir dan tindak. Akibatnya, nelayan pun jauh dari kebutuhan akan pendidikan, dan tertinggal dalam aktivitas politik.
Ditambah lagi, politik orientasi pertahanan keamanan yang juga mengandalkan “paradigma darat” dengan indikasi kekuatan di darat lebih dominan ketimbang kekuatan di laut. Akibatnya, ruang laut justeru dikuasai oleh kapal-kapal asing yang setiap saat mengeruk sumber daya perikanan kita, padahal dalam sebuah kesempatan seorang pemikir kebangsaan pernah mengatakan, melalui daratan Indonesia hanya mampu menemukan provinsi, atau bahkan tidak lebih dari 3 negara yang bersandingan langsung dengannya. Berbeda melalui laut, Indonesia bisa menemukan banyak negara, dan bahkan sejumlah benua lain di muka bumi.
Salah satu sektor sumber daya yang diutamakan dalam liberalisasi perdagangan adalah sektor perikanan, yang justru paling rentan. Lembaga Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa 70 persen stok ikan komersial telah mengalami over-exploitation.
Mengapa tidak, lebih dari 2,6 miliar masyarakat dunia atau 20 persen protein hewani masyarakat dunia berasal dari ikan. Sektor ini merupakan sumber utama lapangan pekerjaan, pangan dan pendapatan.
Bisa dibayangkan, antara tahun 1994-2004, ekspor bersih negara berkembang tumbuh dari 4,6 miliar dolar AS menjadi 20,4 miliar dolar AS. Namun di sisi yang lain, FAO juga memperkirakan jutaan masyarakat dunia yang berpendapatan kurang dari 1 dolar per hari adalah mereka yang hidup dari kegiatan perikanan. Lalu kemana sesunguhnya sumberdaya perikanan tersebut termanfaatkan?
Organisasi Nelayan Nasional
Agenda liberalisasi sektor perikanan telah memaksa Indonesia untuk menambah produksi perikanannya hingga 12,73 juta ton pada tahun 2009, yang merupakan rentetan target ekspor perikanan sebesar 2,8 miliar dolar AS di tahun yang sama.
Apa yang salah dari hal tersebut? Penetapan target kuota perikanan yang ambisius, telah memberikan keleluasaan sektor industi untuk menguasai kegiatan perikanan Indonesia. Sejumlah regulasi dalam “mematangkan” agenda privatisasi sudah disiapkan.
Sebut saja UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang memandatkan pengusahaan perairan pesisir pada sektor swasta (termasuk asing) hingga lebih dari 20 tahun.
Juga lahirnya keputusan menteri yang mengisyaratkan pemberian izin beroperasinya trawl di perairan Indonesia. Hal ini tidak hanya telah mengancam kebutuhan ikan dalam negeri, juga turut mengkebiri fitrah nelayan dan petambak tradisional Indonesia.
Menjelang 63 tahun kemerdekaan Republik Indonesia (1945-2008), tepatlah kiranya mengambil pelajaran dari gerakan nelayan selama ini, utamanya dalam upaya mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya. Mempercayakan agenda tersebut kepada penyelenggara negara dalam waktu yang cukup panjang, telah menghantarkan agenda kesejahteraan nelayan pada nomor akhir dari prioritas negara, bahkan tidak banyak pemimpin negeri yang berani lantang menyuarakan pentingnya perubahan yang fundamental.
Hadirnya Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI) yang digagas oleh lebih dari 17 organisasi nelayan kepulaun diawal tahun 2008 lalu, dapat dipandang sebagai jawaban dari kegelisahan yang telah mengkristal di seluruh penjuru negeri. Terapi yang ditawarkan adalah hadirnya semangat solidaritas dan kemandirian gerakan nelayan nusantara; serta pentingnya mengawali pendidikan masif bagi seluruh nelayan Indonesia. Pilihan akhirnya, hanya dengan organisasi nelayan yang solid, cerdas dan mandiri, keluarga nelayan Indonesia bisa bangkit dari keterpurukannya.
Chalid Muhammad, seorang tokoh muda Indonesia pernah mengatakan bahwa karakter nelayan adalah mereka yang pantang mundur dan tunduk kepada segala bentuk ketidak-adilan. Dengan begitu, sebagai pahlawan dalam pemenuhan protein utama anak-anak bangsa kedepan, nelayan sepatutnya mendapat tempat yang sejajar dengan profesi-profesi lainnya di negeri bahari Indonesia.
Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sekaligus Anggota Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI).
M Riza Damanik
Adalah Aliman seorang nelayan Banten yang tewas diempas gelombang Laut Jawa, di awal Januari 2008 lalu. Entah karena tidak sempat mendengar peringatan Badan Meteorologi dan Geofisika akan bahaya gelombang tinggi yang menerpa Selat Sunda dan Perairan Jawa—atau justru sudah mendengar—namun tiga minggu tidak melaut akibat gelombang tinggi menjadi alasan yang tidak relevan di tengah keterdesakan kebutuhan hidup keluarga. Aliman dan keluarganya adalah satu dari ribuan bahkan jutaan nelayan Indonesia yang kurang beruntung tersebut.
Sejumlah peristiwa; perubahan iklim, gelombang pasang, tsunami, banjir, kenaikan harga BBM dan langkanya minyak tanah dan solar, telah berhasil menghentikan hampir seluruh kegiatan perikanan nelayan tradisional dan tanpa adanya dukungan nyata dari negara untuk membenahinya dan meminimalisasi dampak yang disebabkannya; dan bahkan di banyak kasus seolah diabaikan (by omission).
Dalam catatan sejarah pergerakan Indonesia, perjuangan nelayan tidak terekam jejaknya dengan jelas. Namun terlepas dari samarnya rekam jejak perjuangan nelayan dalam catatan sejarah, faktanya perjuangan nelayan terus menggelinding menuju satu tujuan yakni terbebasnya dari kemiskinan.
Konon, jauh sebelum negeri ini merdeka, nelayan dengan kelompok-kelompok komunitasnya menjadi simbol kuatnya negeri bahari—Nusantara. Dengan berbekal kebersamaan, terbentuk unit-unit usaha yang berada tepat pada pelabuhan-pelabuhan strategis, yang menjadi pusat perdagangan, bahkan tempat bongkar-muat dan transaksi perdagangan komoditas lokal (seperti rempah-rempah) yang dihasilkan petani dan nelayan Indonesia.
Paradigma Darat
Namun kini, cerita ini bak cerita usang. Bahkan tidak ada dalam mozaik sejarah kebangkitan bangsa kini. Kemunduran ekonomi pun terjadi, sejalan dengan perhatian para penguasa negeri yang berpindah ke wilayah daratan dan semakin masuk ke wilayah pedalaman—era Mataram melanjutkannya—hingga kemampuan dan teknologi kelautan yang telah dikuasai ratusan tahun sebelumnya ditinggalkan secara perlahan-lahan.
Armada nelayan, armada perang, dan armada dagang tidak lagi menjadi fokus. Kultur pedalaman inilah yang selanjutnya diwariskan dan dan dikokohkan oleh Orde Baru (Orba). Paradigma pembangungan kelautan telah bergeser menjadi “paradigma pedalaman”.
Mulai dari kebijakan politik ekologis konservasi laut yang anti nelayan, kebijakan industeri yang menempatkan perairan pesisir sebagai kantung-kantung pembuangan limbah, kebijakan moderenisasi alat tangkap—hingga penggunaan alat tangkap trawl di wilayah tangkap tradisional—yang semua menjadi bagian kelam kebijakan negara yang merugikan nelayan tradisional Indonesia.
Keterpurukan ini diikuti pula dengan sistem pendidikan dan doktrinasi sosio-kultural yang tidak menempatkan arah pembangunan negeri kepulauan sebagai landas pikir dan tindak. Akibatnya, nelayan pun jauh dari kebutuhan akan pendidikan, dan tertinggal dalam aktivitas politik.
Ditambah lagi, politik orientasi pertahanan keamanan yang juga mengandalkan “paradigma darat” dengan indikasi kekuatan di darat lebih dominan ketimbang kekuatan di laut. Akibatnya, ruang laut justeru dikuasai oleh kapal-kapal asing yang setiap saat mengeruk sumber daya perikanan kita, padahal dalam sebuah kesempatan seorang pemikir kebangsaan pernah mengatakan, melalui daratan Indonesia hanya mampu menemukan provinsi, atau bahkan tidak lebih dari 3 negara yang bersandingan langsung dengannya. Berbeda melalui laut, Indonesia bisa menemukan banyak negara, dan bahkan sejumlah benua lain di muka bumi.
Salah satu sektor sumber daya yang diutamakan dalam liberalisasi perdagangan adalah sektor perikanan, yang justru paling rentan. Lembaga Pangan Dunia (FAO) melaporkan bahwa 70 persen stok ikan komersial telah mengalami over-exploitation.
Mengapa tidak, lebih dari 2,6 miliar masyarakat dunia atau 20 persen protein hewani masyarakat dunia berasal dari ikan. Sektor ini merupakan sumber utama lapangan pekerjaan, pangan dan pendapatan.
Bisa dibayangkan, antara tahun 1994-2004, ekspor bersih negara berkembang tumbuh dari 4,6 miliar dolar AS menjadi 20,4 miliar dolar AS. Namun di sisi yang lain, FAO juga memperkirakan jutaan masyarakat dunia yang berpendapatan kurang dari 1 dolar per hari adalah mereka yang hidup dari kegiatan perikanan. Lalu kemana sesunguhnya sumberdaya perikanan tersebut termanfaatkan?
Organisasi Nelayan Nasional
Agenda liberalisasi sektor perikanan telah memaksa Indonesia untuk menambah produksi perikanannya hingga 12,73 juta ton pada tahun 2009, yang merupakan rentetan target ekspor perikanan sebesar 2,8 miliar dolar AS di tahun yang sama.
Apa yang salah dari hal tersebut? Penetapan target kuota perikanan yang ambisius, telah memberikan keleluasaan sektor industi untuk menguasai kegiatan perikanan Indonesia. Sejumlah regulasi dalam “mematangkan” agenda privatisasi sudah disiapkan.
Sebut saja UU No 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang memandatkan pengusahaan perairan pesisir pada sektor swasta (termasuk asing) hingga lebih dari 20 tahun.
Juga lahirnya keputusan menteri yang mengisyaratkan pemberian izin beroperasinya trawl di perairan Indonesia. Hal ini tidak hanya telah mengancam kebutuhan ikan dalam negeri, juga turut mengkebiri fitrah nelayan dan petambak tradisional Indonesia.
Menjelang 63 tahun kemerdekaan Republik Indonesia (1945-2008), tepatlah kiranya mengambil pelajaran dari gerakan nelayan selama ini, utamanya dalam upaya mewujudkan kesejahteraan yang sesungguhnya. Mempercayakan agenda tersebut kepada penyelenggara negara dalam waktu yang cukup panjang, telah menghantarkan agenda kesejahteraan nelayan pada nomor akhir dari prioritas negara, bahkan tidak banyak pemimpin negeri yang berani lantang menyuarakan pentingnya perubahan yang fundamental.
Hadirnya Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI) yang digagas oleh lebih dari 17 organisasi nelayan kepulaun diawal tahun 2008 lalu, dapat dipandang sebagai jawaban dari kegelisahan yang telah mengkristal di seluruh penjuru negeri. Terapi yang ditawarkan adalah hadirnya semangat solidaritas dan kemandirian gerakan nelayan nusantara; serta pentingnya mengawali pendidikan masif bagi seluruh nelayan Indonesia. Pilihan akhirnya, hanya dengan organisasi nelayan yang solid, cerdas dan mandiri, keluarga nelayan Indonesia bisa bangkit dari keterpurukannya.
Chalid Muhammad, seorang tokoh muda Indonesia pernah mengatakan bahwa karakter nelayan adalah mereka yang pantang mundur dan tunduk kepada segala bentuk ketidak-adilan. Dengan begitu, sebagai pahlawan dalam pemenuhan protein utama anak-anak bangsa kedepan, nelayan sepatutnya mendapat tempat yang sejajar dengan profesi-profesi lainnya di negeri bahari Indonesia.
Penulis adalah Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) sekaligus Anggota Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI).
0 komentar:
Posting Komentar