SAAT ini persoalan pertanahan di Sumatra Selatan terus terancam. Khususnya pertanahan yang dimiliki para petani. Di tengah persoalan tanah yang belum selesai, dan keinginan melakukan reforma agraria ada ancaman baru terhadap tanah milik petani tersebut.
“Ada ancaman baru bagi pelaksanaan reforma agraria dan kepada petani secara khusus dengan hadirnya proyek Reducing Emission from Deporestation and Degradation (REDD). Pelaku proyek REDD terdiri dari NGO Internasinal, Korporasi. Oleh karena itu, reforma agrarian harusnya memperhatikan tata niaga seperti kelola, produksi, konsumsi, dan niaga,” kata Julian Junaidi atau JJ.Polong dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatra Selatan, pada diskusi terbuka yang digelar Walhi Sumsel di Hotel Bumi Asih, Jalan Kapten A. Rivai, Palembang, Senin (16/11/2009).
Diskusi ini dengan Tema “Kepastian, Perlindungan Hak Atas Tanah dan Penyelesaian Konflik Untuk Pembaharuan Agraria”. Diskusi terbuka ini di pandu oleh Mukri Prayitna (Manager Region Sumatera dari WALHI Eksekutif Nasional).
Sementara Mulyadin Roham dari Biro Pemerintahan Sumsel mengatakan, “Konflik tanah yang terjadi di Sumsel meliputi tata batas, surat ganda, tumpang tindih pengelolaan, tumpang tindih peruntukan. Sebagian kewenangan penggurusan tanah tersebut, diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota.”
Narasumber yang lain, Kiswanto Kanwil BPN Sumsel mengatakan reforma agraria belum berjalan sebagaimana diharapkan, karena masih ada kendala. Meski demikian proses menuju ke arah tersebut masih terus dikerjaan dalam bentuk pelaksanaan proyek frona meskipun dalam kapasitas yang kecil.
Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaharuan Agraria Jakarta, terhambatnya persoalan reforma agrarian di Indonesia lantaran lembaga keuangan international ikut campur dalam penangan tanah di Indonesia.
“Selain itu saat ini tidak ada peta penggunaan tanah, terjadinya konflik penggunaan Ruang (zonasi wilayah), kemudian UU Pengelolaan Pesisir Pulau-Pulau Kecil (HP3), serta fakta utama para petani tidak memiliki lahan. Jadi, pembahruan agraria adalah land reform dan akses Reform,” katanya.
Sedangkan narasumber Dhaby K Gumayra dari akademisi mengatakan muara pembaruan agraria adalah terjadinya perimbangan penguasaan tanah, agar tidak terjadi penguasaan maksimum. Paket UU Pokok Agraria belum pernah dilaksanakan. Konflik agraria tidak akan pernah selesai tanpa adanya penempatan UUPA sebagai UU payung.
Sementara Walhi Sumsel, sebagai penyelenggara diskusi, menginginkan agar reforma agraria secara sejati dapat dijalankan di Sumsel dalam bentuk: Penyelesaian konflik-konflik agraria yang ada, dan emastikan objek reform dan akses reform bagi rakyat miskin.
“Ada ancaman baru bagi pelaksanaan reforma agraria dan kepada petani secara khusus dengan hadirnya proyek Reducing Emission from Deporestation and Degradation (REDD). Pelaku proyek REDD terdiri dari NGO Internasinal, Korporasi. Oleh karena itu, reforma agrarian harusnya memperhatikan tata niaga seperti kelola, produksi, konsumsi, dan niaga,” kata Julian Junaidi atau JJ.Polong dari Serikat Petani Indonesia (SPI) Sumatra Selatan, pada diskusi terbuka yang digelar Walhi Sumsel di Hotel Bumi Asih, Jalan Kapten A. Rivai, Palembang, Senin (16/11/2009).
Diskusi ini dengan Tema “Kepastian, Perlindungan Hak Atas Tanah dan Penyelesaian Konflik Untuk Pembaharuan Agraria”. Diskusi terbuka ini di pandu oleh Mukri Prayitna (Manager Region Sumatera dari WALHI Eksekutif Nasional).
Sementara Mulyadin Roham dari Biro Pemerintahan Sumsel mengatakan, “Konflik tanah yang terjadi di Sumsel meliputi tata batas, surat ganda, tumpang tindih pengelolaan, tumpang tindih peruntukan. Sebagian kewenangan penggurusan tanah tersebut, diserahkan kepada pemerintah kabupaten dan kota.”
Narasumber yang lain, Kiswanto Kanwil BPN Sumsel mengatakan reforma agraria belum berjalan sebagaimana diharapkan, karena masih ada kendala. Meski demikian proses menuju ke arah tersebut masih terus dikerjaan dalam bentuk pelaksanaan proyek frona meskipun dalam kapasitas yang kecil.
Iwan Nurdin dari Konsorsium Pembaharuan Agraria Jakarta, terhambatnya persoalan reforma agrarian di Indonesia lantaran lembaga keuangan international ikut campur dalam penangan tanah di Indonesia.
“Selain itu saat ini tidak ada peta penggunaan tanah, terjadinya konflik penggunaan Ruang (zonasi wilayah), kemudian UU Pengelolaan Pesisir Pulau-Pulau Kecil (HP3), serta fakta utama para petani tidak memiliki lahan. Jadi, pembahruan agraria adalah land reform dan akses Reform,” katanya.
Sedangkan narasumber Dhaby K Gumayra dari akademisi mengatakan muara pembaruan agraria adalah terjadinya perimbangan penguasaan tanah, agar tidak terjadi penguasaan maksimum. Paket UU Pokok Agraria belum pernah dilaksanakan. Konflik agraria tidak akan pernah selesai tanpa adanya penempatan UUPA sebagai UU payung.
Sementara Walhi Sumsel, sebagai penyelenggara diskusi, menginginkan agar reforma agraria secara sejati dapat dijalankan di Sumsel dalam bentuk: Penyelesaian konflik-konflik agraria yang ada, dan emastikan objek reform dan akses reform bagi rakyat miskin.