PALEMBANG– Dampak pembangunan yang semakin menggeliat di Kota Palembang,
terutama di kawasan resapan air, mengantarkan kota ini menuju bencana
ekologi terdahsyat.
“Palembang kini tidak lagi
terancam banjir besar, tapi sudah menuju musibah ekologi terdahsyat.
Sebab, saat ini bencana banjir sudah dirasakan di berbagai wilayah,
mulai Ulu hingga Ilir Kota Palembang,” ungkap Direktur Eksekutif Daerah
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel Anwar Sadat kemarin.
Musibah
ekologi disebabkan tidak adanya keseriusan pemerintah daerah dalam
memperhatikan lingkungan, terutama dalam proses perencanaan pembangunan.
Kondisi ini semakin diperparah dengan penimbunan daerah resapan air
utama di Palembang, yaitu wilayah Jakabaring.“ Terus saja membangun,
tapi tidak memperhatikan lingkungan.Akibatnya, banjir juga akan terus
terjadi,” tukasnya.
Anwar mengatakan,sejauh ini Perda No 5/2008
tentang Pemanfaatan Rawa dinilai belum berjalan maksimal. Begitu juga
dengan Undang-undang (UU) No 32/2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, tidak ada keseriusan pemerintah daerah
untuk menegakkan aturan tersebut. “Dari pantauan kami, pembangunan yang
ada saat ini tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Artinya,
pemerintah tidak serius dalam menegakkan aturan,” tuding Anwar.
Untuk
menekan dampak kerusakan ekologi ini, pihaknya berharap ada aturan yang
jelas mengenai wilayah resapan air, yang tidak boleh ditimbun untuk
pembangunan. “Saat ini tidak jelas yang mana kawasan rawa konservasi dan
mana rawa yang harus dilindungi. Seharusnya kejelasan itu
ada,”tandasnya. Sementara iut, Ketua Komisi III Bidang Pembangunan DPRD
Kota Palembang M Hidayat mengatakan, pengawasan yang dilakukan
pemerintah kota terhadap pendirian bangunan di Palembang memang masih
lemah.
Pihaknya mencatat, lahan rawa yang banyak disalahgunakan
terdapat di kawasan pinggiran, seperti Jakabaring, Kenten, Kalidoni,
Tegal Binangun. “Penyalahgunaan rawa ini banyak dilakukan developer.
Padahal, dalam perda sudah disebutkan bahwa beberapa persen dari lahan
harus dimanfaatkan untuk rawa. Namun, selama ini pengembang perumahan
tidak menyediakannya, dan pengawasan dari pihak eksekutif untuk hal ini
juga kurang,”kata Hidayat.
Dia menilai makin maraknya penimbunan
lahan resapan air ini, lantaran permohonan izin penimbunan dan izin
mendirikan bangunan (IMB) yang diberikan developer kepada Dinas
TataKotadijadikansatudari seharusnya dibuat berbeda. “Kalau sudah proses
finishing untuk pembangunannya, pihak Pemkot tidak lagi
memperhatikannya. Padahal, mereka juga harus melihat spek drainase,
ketinggian bangunan, dan lahan resapan air yang dibangun developer.Untuk
itu, pemerintah kota harus lebih aktif,”jelasnya. Sebelumnya,Wali Kota
Palembang Eddy Santana Putra mengklaim, izin penimbunan rawa dan
pendirian bangunan saat ini sudah diperketat.
Dengan adanya
pengetatan izin dan pemanfaatan rawa secara optimal, diharapkan dapat
memperbaiki kondisi lingkungan agar tidak semakin rusak. Sebab, banjir
yang terjadi di Palembang akibat banyaknya aktivitas penimbunan rawa,
yang berdampak pada menurunnya daerah resapan air. Khusus mencegah
banjir di pemukiman warga,kawasan pil banjir akan diperluas agar sebelum
membangun rumah warga mengetahui kondisi lahan yang akan ditempatinya.
Selain
wilayah Mataram, Kecamatan Seberang Ulu 1,pemasangan pil banjir akan
dikembangkan ke kawasan yang masuk tipologi daerah dataran rendah dan
rawa, seperti di Gandus,Kertapati, Plaju.“Pil banjir ini seperti batasan
dalam membangun rumah. Jadi, kalau bangun di daerah rendah,minimal
ketinggian rumah itu diatur pada pil banjir ini,”ungkap Eddy.
WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.
Kunjungi Alamat Baru Kami
Senin, Februari 13, 2012
Bencana Besar Mengancam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar