WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Senin, Desember 22, 2014

Pers Release : WASPADA! LEGALISASI KORUPSI MELALUI REGULASI

~Sejumlah Regulasi dan Peraturan Daerah Sektor SDA berpotensi membuka peluang Korupsi~
Sektor Sumber Daya Alam selalu menjadi lahan basah praktik korupsi. Bukan hanya sumbernya yang melimpah melainkan juga karena rentang kendali pengawasan yang terlalu jauh dan lemah. Plus luasnya diskresi yang dimiliki Menteri dan atau Kepala Daerah terkait dalam mengelola SDA, termasuk penerbitan izin, di daerahnya juga ikut menumbuhsuburkan praktik korupsi di Sektor SDA tersebut.

Kondisi tersebut “diamini” oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK pada tahun 2014 pernah melakukan Studi Kerentanan Korupsi Dalam Perizinan di Sektor Sumber Daya Alam. Kajian ini menegaskan terjadinya korupsi dalam pengelolaan SDA dengan menemukan celah korupsi dan biaya transaksi tinggi atau informal pada hampir seluruh bisnis proses pengelolaan SDA. Transaksi yang dilakukan bisa mencapai belasan juta hingga bahkan miliaran rupiah. Hal ini sebagian besar diakibatkan karena banyaknya kebijakan atau regulasi disektor SDA yang membuka peluang terjadinya korupsi.

Sebagai gambaran, Kajian Corruption Impact Assesment yang dilakukan KPK (2014) terhadap regulasi perizinan kehutanan mengungkap serangkaian potensi korupsi dalam tatakelola pengusahaan kehutanan. Celah korupsi terdapat pada semua titik proses, dari hulu hingga hilir, mulai dari proses perizinan, penyiapan kawasan hingga proses pengawasan dan evaluasinya.

Selain itu, dalam kajian KPK potensi korupsi juga terjadi karena regulasi yang mengatur membuka kesempatan tersebut. Banyak Regulasi tingkat nasional khususnya sektor Kehutanan yangberpotensi membuka celah korupsi dikarenakan biaya transaksi yang tinggi (Lihat: Tabel Biaya Transaksi Pengelolaan Hutan terlampir). Bahkan, KPK merekomendasikan agar dilakukan revisi terhadap setidaknya 13 regulasi di lingkup Kementerian Kehutanan dan Kementerian Perdagangan.

Fenomena serupa juga terjadi pada regulasi tingkat daerah. Potensi terjadinya korupsi melalui proses legislasi regulasi tingkat daerah sangat mungkin terjadi mengingat proses pengawasan dan evaluasi yang sulit dilakukan. Jumlah regulasi tingkat daerah / Peraturan Daerah sangat banyak jumlahnya, tak sebanding dengan SDM Kementerian Dalam Negeri yang melakukan evaluasi peraturan daerah. Alhasil banyak perda “bermasalah” luput dari perhatian dan terus berlaku di daerah masing-masing.

Regulasi daerah membawa Korupsi
Indonesia Corruption Watch bersama Jaringan Advokasi Tambang Kaltim (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) melakukan eksaminasi regulasi / uji publik terhadap 5 (lima) perda di sektor kehutanan dan pertambangan yang terindikasi berpotensi membuka celah korupsi. Perda tersebut diantaranya:

  1. Qanun Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Kehutanan Provinsi Nagroe Aceh Darussalam.
  2. Qanun Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Perizinan Kehutanan Provinsi nangroe Aceh Darussalam.
  3. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Provinsi Sumatera Selatan.
  4. Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 TentangPelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara  Kabupaten Musi Rawas.
  5. Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Kota Samarinda.
Dari kelima Peraturan daerah yang dieksaminasi secara keseluruhan memiliki potensi korupsi yang cukup besar. Selain karena diskresi atau luasnya kebijakan Kepala Daerah dalam mengelola kekayaan daerah, faktor lemahnya regulasi yang juga menjadi katalisator praktik korupsi SDA.
Keberadaan Perda bermasalah faktanya sudah sedemikian masifnya. Sejumlah kementrian juga melakukan kajian atau evakuasi terhadap produk hukum yang telah dihasilkan.  Berdasarkan temuan Kementerian Keuangan pada 2009, dari 14 ribu Perda yang ada, terdapat lebih dari 4 ribu Perda bermasalah dan harus dicabut. Namun, Kemendagri hanya mencabut seribu delapan ratus Perda dari jumlah yang seharusnya direkomendasikan oleh Kemenkeu.[1]
Kementrian  PPN/Bappenas pada tahun 2010 lalu bahkan mengidentifikasikan sebanyak 3.091 Peraturan Daerah (Perda) yang dihasilkan sepanjang periode 2001-2009 ditemukan bermasalah. Perda tersebut diusulkan untuk dibatalkan atau direvisi karena dinilai menghambat ekonomi daerah.[2]
Pada tahun 2010, evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terhadap Perda yang lahir sepanjang 2002-2009 menyebutkan dari 2.285 Perda sebanyak 407 perda se-Indonesia dinilai bermasalah.Perda tersebut nantinya akan dibatalkan oleh Kemendagri melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri. Lima besar provinsi yang paling banyak perda-nya dibatalkan yaitu Sumatera Utara 180 perda, Jawa Timur 138 perda, Jawa Barat 115 perda, Sulawesi Selatan 97 perda, dan Jambi 94 perda. Selanjutnya, Jawa Tengah 86 perda, Kalimantan Timur 81 perda, Riau 80 perda, Kalimantan Tengah 75 perda, dan Sulawesi Tengah 68 perda. [3]
Komnas Hak Asasi Manusia pada tahun 2010 mencatat sebanyak 3.200 Perda dinilai bermasalah dan melanggar Hak Asasi Manusia. Perda yang umumnya bermasalah umumnya mengatur mengenai ketertiban umum dan agama.[4]
Regulasi yang menyimpang juga ditemukan pada isu sektoral seperti alih fungsi lahan dan hutan. Sejumlah produk Peraturan Perundangan baik ditingkat nasional maupun lokal dibidang alih fungsi lahan dan hutan yang dinilai kontroversial dan mendorong lajunya deforestasi di Indonesia.

Laporan Komisi Kehutanan DPR pada tahun 2008 lalu menyebutkan, 53 persen Peraturan Daerah Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (Perda RTRW) dinilai bermasalah karena menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Perda yang mengacu pada UU No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (kini UU No. 26 Tahun 2007)  itu bertentangan dengan UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Ancaman melalui UU P3H
Selain aturan-aturan di atas, kini lahir pula sebuah aturan yang cenderung menjadi celah bagi pelaku korupsi khususnya yang terkait dengan sektor kehutanan untuk menghindari proses hukum yang seharusnya dilakukan oleh KPK, yakni UU No. 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Dalam Pasal 54 ayat (1) UU P3H, disebutkan bahwa: “Dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan.”

Lembega yang dimaksud Pasal 54 ayat (1) UU P3H tersebut, sebagaimana disebut Pasal 56 ayat (1) huruf a UU P3H, memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana perusakan hutan. Tugas dari lembaga baru ini sangat mungkin menutup langkah KPK dalam upaya pemberantasan korupsi di wilayah kehutanan karena alasan bahwa isu kehutanan lebih khusus (lex spesialis) daripada isu korupsi. Dari kewenangan ini pula, para pelaku korupsi memiliki dalih agar perkaranya tak lagi ditangan KPK.

Hal lainnya, UU P3H seolah memberi kesan bahwasanya Pemerintah akan serius menangani tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara massif, sehingga UUP3H lahir untuk menyasar korporasi. Padahal meski dalam ketentuan pidana UU P3H, misalnya pasal 82 ayat (3), sampai dengan Pasal 103 menyebutkan pidana penjara bagi korporasi jika melakukan hal-hal yang dilarang dalam UU P3H ini, namun sebaliknya jika merujuk ketentuan Pasal 109 ayat (5), disebutkan bahwa pidana pokok yang dapat dijatuhkan etrhadap korporasi hanyalah pidana denda. Ketentuan ini dengan telanjang memperlihatkan kelemahan yang disengaja, sehingga penghukuman terhadap korporasi menjadi tidak efektif. Dengan tidak mungkinnya korporasi dipidana penjara dalam UU P3H ini, alhasil, objek atau sasaran dari UU P3H ini adalah masyarakat lokal atau masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari sumber daya hutan.

Pada tahun 2012, diterbitkan 2 peraturan pemerintah yang memutihkan kesalahan-kesalahan pemberian izin perkebunan dan pertambangan di dalam kawasan hutan. Kedua PP tersebut adalah PP 60/2012 dan PP 61/2012 yang keduanya memberi ruang legalisasi terhadap izin-izin perkebunan dan pertambangan yang diterbitkan secara melanggar hukum kehutanan oleh bupati dan atau gubernur. Ruang diberikan hanya 6 bulan atau hingga Desember 2012. Terhadap perusahaan yang tidak memanfaatkan ruang pemutihan tersebut disebutkan akan dikenai tindakan hukum. Akan tetapi, selain telah melegalkan banyak perusahaan yang mengajukan pemutihan, hingga detik ini tidak ada satu pun tindakan hukum terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan sama sekali PP 60/2012 atau PP 61/2011.

Terakhir, diterbitkan UU 23/2014 tentang pemerintahan daerah yang sebagian isinya menarik kewenangan pemberian izin sumberdaya alam dari bupati ke gubernur. Selain tidak menjelaskan penertiban terhadap kesalahan pemberian izin oleh bupati sebelumnya, UU ini berpotensi memberikan ruang kosong perizinan karena ketiadaan peraturan pelaksana dan tanpa kejelasan mekanisme transisinya sehingga membuka ruang baru korupsi perizinan.

Berbagai fenomena di atas adalah sebagian contoh betapa korupsi telah memasuki babak dan modus baru: corruption by design. Modus ini berupa celah korupsi yang secara sengaja dibangun melalui regulasi. Dengan cara ini, tindakan-tindakan koruptif yang merusak sumberdaya alam menjadi tidak bisa ditindak karena tindakan tersebut telah dilegalkan oleh regulasi. Oleh karena itu, waspadai dan tolak legalisasi tindakan korupsi oleh regulasi!

Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan di atas, dengan mempertimbangkan adanya potensi hilangnya kewenangan KPK dalam menindak kasus-kasus korupsi kehutanan. Maka Koalisi Anti Mafia Hutan juga mendesak:

  1. Mahkamah Konstitusi untuk mencabut pasal-pasal yang berpotensi mereduksi upaya pemberantasan korupsi di sektor kehutanan tersebut, sebagaimana Permohonan Uji Konstitusionalitas terhadap UU P3H yang diajukan oleh beberap Kelompok Masyarakat Aadat bersama Koalisi Anti Mafi Hutan.
  2. Mendagri atau kepala Dearah untuk mencabut Perda-Perda disektor Sumber Daya Alam (SDA) yang membuka peluang terjadinya korupsi dan perusakan SDA.
  3. KPK dalam kaitan dengan fungsi pencegahan perlu melakukan evaluasi terhadap Perda-Perda disektor Sumber Daya Alam (SDA) yang membuka peluang terjadinya korupsi dan perusakan SDA.

Jakarta, 21 Desember 2014
Koalisi Anti Mafia Hutan
AURIGA
Public Interest Lawyer Network (PILNET)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Indonesia Corruption Watch (ICW)
Jaringan Advokasi Tambang Kaltim (JATAM)
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan
Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA)


[1] Pemerintah Belum Cabut Ribuan Perda Bermasalah, Hukumonline, 12 Juni 2012.
[2] 3.091 Perda Bermasalah Hambat Ekonomi Daerah, detikfinance , Senin, 19/07/2010 17:08 WIB
[4] 2.300 Perda Langgar Hak Asasi Manusia, Warta Jatim, Rabu, 28 Juli 2010



Artikel Terkait:

0 komentar: