~Sejumlah Regulasi
dan Peraturan Daerah Sektor SDA berpotensi membuka peluang Korupsi~
Sektor Sumber Daya Alam selalu menjadi lahan basah praktik
korupsi. Bukan hanya sumbernya yang melimpah melainkan juga karena rentang
kendali pengawasan yang terlalu jauh dan lemah. Plus luasnya diskresi yang dimiliki Menteri dan
atau Kepala Daerah
terkait dalam mengelola
SDA, termasuk penerbitan izin, di daerahnya juga ikut menumbuhsuburkan praktik korupsi di
Sektor SDA tersebut.
Kondisi tersebut “diamini”
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK pada tahun 2014 pernah melakukan
Studi Kerentanan Korupsi Dalam Perizinan di Sektor Sumber Daya Alam. Kajian ini
menegaskan terjadinya korupsi dalam pengelolaan SDA dengan menemukan celah
korupsi dan biaya transaksi tinggi atau informal pada hampir seluruh bisnis
proses pengelolaan SDA. Transaksi yang dilakukan bisa mencapai belasan juta
hingga bahkan miliaran rupiah. Hal ini sebagian besar diakibatkan karena
banyaknya kebijakan atau regulasi disektor SDA yang membuka peluang terjadinya
korupsi.
Sebagai gambaran, Kajian Corruption
Impact Assesment yang dilakukan KPK (2014)
terhadap regulasi perizinan kehutanan mengungkap serangkaian potensi korupsi
dalam tatakelola pengusahaan kehutanan. Celah korupsi terdapat pada semua titik
proses, dari hulu hingga hilir, mulai dari proses perizinan, penyiapan kawasan hingga proses pengawasan
dan evaluasinya.
Selain itu, dalam kajian KPK potensi korupsi juga terjadi
karena regulasi yang mengatur membuka kesempatan tersebut. Banyak Regulasi
tingkat nasional khususnya sektor Kehutanan yangberpotensi membuka celah
korupsi dikarenakan biaya transaksi yang tinggi (Lihat: Tabel Biaya Transaksi
Pengelolaan Hutan terlampir). Bahkan, KPK merekomendasikan
agar dilakukan revisi terhadap setidaknya 13 regulasi di lingkup Kementerian
Kehutanan dan Kementerian Perdagangan.
Fenomena serupa juga terjadi pada regulasi tingkat daerah. Potensi
terjadinya korupsi melalui proses legislasi regulasi tingkat daerah sangat
mungkin terjadi mengingat proses pengawasan dan evaluasi yang sulit dilakukan. Jumlah
regulasi tingkat daerah / Peraturan Daerah sangat banyak jumlahnya, tak
sebanding dengan SDM Kementerian Dalam Negeri yang melakukan evaluasi peraturan
daerah. Alhasil banyak perda “bermasalah” luput dari perhatian dan terus
berlaku di daerah masing-masing.
Regulasi daerah membawa
Korupsi
Indonesia Corruption Watch bersama Jaringan Advokasi Tambang
Kaltim (JATAM), Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan, Masyarakat
Transparansi Aceh (MaTA) melakukan eksaminasi regulasi / uji publik terhadap 5
(lima) perda di sektor kehutanan dan pertambangan yang terindikasi berpotensi
membuka celah korupsi. Perda tersebut diantaranya:
- Qanun Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Kehutanan Provinsi Nagroe Aceh Darussalam.
- Qanun Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Perizinan Kehutanan Provinsi nangroe Aceh Darussalam.
- Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara Provinsi Sumatera Selatan.
- Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2011 TentangPelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara Kabupaten Musi Rawas.
- Peraturan Daerah Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Kota Samarinda.
Dari kelima Peraturan daerah yang dieksaminasi secara
keseluruhan memiliki potensi korupsi yang cukup besar. Selain karena diskresi
atau luasnya kebijakan Kepala Daerah dalam mengelola kekayaan daerah, faktor
lemahnya regulasi yang juga menjadi katalisator praktik korupsi SDA.
Keberadaan
Perda bermasalah faktanya sudah sedemikian masifnya. Sejumlah kementrian juga
melakukan kajian atau evakuasi terhadap produk hukum yang telah
dihasilkan. Berdasarkan
temuan Kementerian Keuangan pada 2009, dari 14 ribu Perda yang ada, terdapat
lebih dari 4 ribu Perda bermasalah dan harus dicabut. Namun, Kemendagri hanya
mencabut seribu delapan ratus Perda dari jumlah yang seharusnya
direkomendasikan oleh Kemenkeu.[1]
Kementrian PPN/Bappenas pada tahun 2010 lalu bahkan
mengidentifikasikan sebanyak 3.091 Peraturan Daerah (Perda) yang dihasilkan
sepanjang periode 2001-2009 ditemukan bermasalah. Perda tersebut diusulkan
untuk dibatalkan atau direvisi karena dinilai menghambat ekonomi daerah.[2]
Pada
tahun 2010, evaluasi yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terhadap Perda
yang lahir sepanjang 2002-2009 menyebutkan dari 2.285 Perda sebanyak 407 perda
se-Indonesia dinilai bermasalah.Perda tersebut nantinya akan dibatalkan oleh
Kemendagri melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri. Lima besar provinsi
yang paling banyak perda-nya dibatalkan yaitu Sumatera Utara 180 perda, Jawa
Timur 138 perda, Jawa Barat 115 perda, Sulawesi Selatan 97 perda, dan Jambi 94
perda. Selanjutnya, Jawa Tengah 86 perda, Kalimantan Timur 81 perda, Riau 80
perda, Kalimantan Tengah 75 perda, dan Sulawesi Tengah 68 perda. [3]
Komnas Hak Asasi Manusia pada tahun 2010 mencatat
sebanyak 3.200 Perda dinilai bermasalah dan melanggar Hak Asasi Manusia. Perda
yang umumnya bermasalah umumnya mengatur mengenai ketertiban umum dan agama.[4]
Regulasi yang menyimpang
juga ditemukan pada isu sektoral seperti alih fungsi lahan dan hutan. Sejumlah
produk Peraturan Perundangan baik ditingkat nasional maupun lokal dibidang alih
fungsi lahan dan hutan yang dinilai kontroversial dan mendorong lajunya
deforestasi di Indonesia.
Laporan
Komisi Kehutanan DPR pada tahun 2008 lalu menyebutkan, 53 persen Peraturan Daerah
Rancangan Tata Ruang dan Wilayah (Perda RTRW) dinilai bermasalah karena menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Perda yang mengacu pada UU No. 24 Tahun 1992 tentang
Penataan Ruang (kini UU No. 26 Tahun 2007) itu bertentangan dengan
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Ancaman melalui UU P3H
Selain aturan-aturan
di atas, kini lahir pula sebuah aturan yang cenderung menjadi celah bagi pelaku
korupsi khususnya yang terkait dengan sektor kehutanan untuk menghindari proses
hukum yang seharusnya dilakukan oleh KPK, yakni UU No. 18 tahun 2013 tentang
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). Dalam Pasal 54 ayat (1) UU
P3H, disebutkan bahwa: “Dalam rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
perusakan hutan, Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan.”
Lembega yang dimaksud
Pasal 54 ayat (1) UU P3H tersebut, sebagaimana disebut Pasal 56 ayat (1) huruf
a UU P3H, memiliki tugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
perusakan hutan. Tugas dari lembaga baru ini sangat mungkin menutup langkah KPK
dalam upaya pemberantasan korupsi di wilayah kehutanan karena alasan bahwa isu
kehutanan lebih khusus (lex spesialis) daripada isu korupsi. Dari
kewenangan ini pula, para pelaku korupsi memiliki dalih agar perkaranya tak lagi ditangan KPK.
Hal lainnya, UU P3H
seolah memberi kesan bahwasanya Pemerintah akan serius menangani tindak pidana
perusakan hutan yang dilakukan secara massif, sehingga UUP3H lahir untuk
menyasar korporasi. Padahal meski dalam ketentuan pidana UU P3H, misalnya pasal
82 ayat (3), sampai dengan Pasal 103 menyebutkan pidana penjara bagi korporasi
jika melakukan hal-hal yang dilarang dalam UU P3H ini, namun sebaliknya jika
merujuk ketentuan Pasal 109 ayat (5), disebutkan bahwa pidana pokok yang dapat
dijatuhkan etrhadap korporasi hanyalah pidana denda. Ketentuan ini dengan
telanjang memperlihatkan kelemahan yang disengaja, sehingga penghukuman
terhadap korporasi menjadi tidak efektif. Dengan tidak mungkinnya korporasi
dipidana penjara dalam UU P3H ini, alhasil, objek atau sasaran dari UU P3H ini
adalah masyarakat lokal atau masyarakat adat yang menggantungkan hidupnya dari
sumber daya hutan.
Pada tahun 2012, diterbitkan 2 peraturan pemerintah
yang memutihkan kesalahan-kesalahan pemberian izin perkebunan dan pertambangan
di dalam kawasan hutan. Kedua PP tersebut adalah PP 60/2012 dan PP 61/2012 yang
keduanya memberi ruang legalisasi terhadap izin-izin perkebunan dan
pertambangan yang diterbitkan secara melanggar hukum kehutanan oleh bupati dan
atau gubernur. Ruang diberikan hanya 6 bulan atau hingga Desember 2012.
Terhadap perusahaan yang tidak memanfaatkan ruang pemutihan tersebut disebutkan
akan dikenai tindakan hukum. Akan tetapi, selain telah melegalkan banyak
perusahaan yang mengajukan pemutihan, hingga detik ini tidak ada satu pun
tindakan hukum terhadap perusahaan yang tidak melaksanakan sama sekali PP
60/2012 atau PP 61/2011.
Terakhir, diterbitkan UU 23/2014 tentang pemerintahan
daerah yang sebagian isinya menarik kewenangan pemberian izin sumberdaya alam
dari bupati ke gubernur. Selain tidak menjelaskan penertiban terhadap kesalahan
pemberian izin oleh bupati sebelumnya, UU ini berpotensi memberikan ruang
kosong perizinan karena ketiadaan peraturan pelaksana dan tanpa kejelasan
mekanisme transisinya sehingga membuka ruang baru korupsi perizinan.
Berbagai fenomena di atas adalah sebagian contoh
betapa korupsi telah memasuki babak dan modus baru: corruption by design. Modus ini berupa celah korupsi yang secara
sengaja dibangun melalui regulasi. Dengan cara ini, tindakan-tindakan koruptif
yang merusak sumberdaya alam menjadi tidak bisa ditindak karena tindakan
tersebut telah dilegalkan oleh regulasi. Oleh karena itu, waspadai dan tolak
legalisasi tindakan korupsi oleh regulasi!
Rekomendasi
Berdasarkan pemaparan
di atas, dengan mempertimbangkan adanya potensi hilangnya kewenangan KPK dalam
menindak kasus-kasus korupsi kehutanan. Maka Koalisi Anti Mafia Hutan juga
mendesak:
- Mahkamah Konstitusi untuk mencabut pasal-pasal yang berpotensi mereduksi upaya pemberantasan korupsi di sektor kehutanan tersebut, sebagaimana Permohonan Uji Konstitusionalitas terhadap UU P3H yang diajukan oleh beberap Kelompok Masyarakat Aadat bersama Koalisi Anti Mafi Hutan.
- Mendagri atau kepala Dearah untuk mencabut Perda-Perda disektor Sumber Daya Alam (SDA) yang membuka peluang terjadinya korupsi dan perusakan SDA.
- KPK dalam kaitan dengan fungsi pencegahan perlu melakukan evaluasi terhadap Perda-Perda disektor Sumber Daya Alam (SDA) yang membuka peluang terjadinya korupsi dan perusakan SDA.
Jakarta, 21 Desember 2014
Koalisi Anti Mafia Hutan
AURIGA
Public Interest Lawyer Network (PILNET)
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Indonesia
Corruption Watch (ICW)
Jaringan Advokasi
Tambang Kaltim (JATAM)
Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Sumatera Selatan
Masyarakat
Transparansi Aceh (MaTA)
[3]
http://www.depdagri.go.id/ basis-data/2010/03/05/daftar- perda-dan-kep-kdh-yang- dibatalkan-thn-2002-2009
[4] 2.300
Perda Langgar Hak Asasi Manusia, Warta Jatim, Rabu, 28 Juli 2010
0 komentar:
Posting Komentar