Jakarta Mei 2016, Dalam momentum
5 Tahun Moratorium Hutan Indonesia, WALHI menggelar konferensi pers, untuk
mengingatkan beberapa fakta di sector kehutanan selama masa moratorium.
Zenzi Suhadi, Manager Kampanye
WALHI Nasional dalam pembukaan konferensi pers menyampaikan bahwa “selama 5
tahun masa moratorium proses penghancuran hutan alam dan gambut terus dilakukan
oleh korporasi dan pemerintah melalaui berbagai modus operandi, dimulai dari
penerbitan regulasi yang kontradiksi dengan moratorium seperti PP 60/61 Tahun
2012, pembelokan substansi intruksi, pengabaian hingga pelanggaran terhadap
Intruksi Presiden tentang penundaan izin baru”.
Ahmad Fandi Deputi Direktur WALHI
Kalimantan Tengah, dalam kesempatan yang sama memaparkan bahwa “selama 5 tahun
moratorium kawasan moratorium justru berkurang seluas 1,995,125.48 hektar untuk
mengakomodir kepentingan korporasi, pada Peta Indikatif Penundaan Izin Baru
(PIPIB 1 ) tahun 2011 luas areal moratorium di Kalimantan Tegah mencakup
5,784,212.00 hektar pada akhir 2015 yang lalu di PIPIB 9 areal moratorium
tinggalseluas 3,789,086.52 hektar. areal moratorium cenderung berkuarang.
Pengurangan tersebut 1,995,125.48 ha”.
“Fakta lain selain tengurangan
diatas saat ini terdapat 83 Unit izin sawit seluas 617.066 hektar masuk dalam
kasawan gambut, Sebanyak 75 unit seluas 245,727 hektar masuk dalam kawasan
moratorium, dan selama moratorium terjadi pengurangan tutupan hutan seluas
143.262,29 hektar yang artinya moratorium itu tidak menghentikan proses
deforestasi dan degradasi hutan”.
“Dalam 5 tahun ini juga terjadi
Pelepasan kawasan hutan seluas 773.286,84 hektar di Kalimantan tengah, yang
artinya selama moratorium, kementerian kehutanan sendiri justru memberikan
peluang deforestasi”. Tutup Fandi
Sedangkan menurut Hadi Jatmiko,
Direktur WALHI Sumatera Selatan “Di Sumatera Selatan sebanyak 114 izin usaha
sector sumber daya dalam telah menguasai dan merusak 67,74 % kawasan
gambut seluas 851.169,23 hektar dari total luas 1.256.502,34 hektar wilayah
gambut Sumsel, 49 unit izin perkebunan diantaranya berada di lahan gambut
dengan kedalaman diatas 3 meter”.
“’Total kawasan gambut dalam di
sumsel yang telah dikonversi menjadi IUP Perkebunan, Tambang dan Hutan Tanaman
telah mencapai 40 %, ini menjelaskan kenapa di 5 tahun terakhir titik api
kebakaran hutan dan lahan di sumatera selatan terus meningkat”’
“”Kalau beban perizinan atau
konsesi di kawasan gambut tidak segera dikurangi oleh pemerintah, maka
kebakaran hutan dan lahar akan terus dalam status tak terkendali”
Anton P. Wijaya Direktur WALHI
Kalimantan Barat, dengan nada yang sama memaparkan kondisi di Kalimantan Barat
tidak jauh berbeda bahwa Moratorium berdasarkan peta indikatif tidaklah efektif
untuk menghentikan kerusakan hutan “ Contohnya di Kalimantan Barat, kita
menemukan adanya wilayah dalam 41 izin IUPHHK seluas 2.008.523.83
hektar berada di areal moratorium pada PIPIB IX seluas 76.285.23
hektar, ditambah 40 izin perkebunan sawit 63.194.13 hektar dari
total luas 469.837.54. hingga hari ini areal moratorium yang justru
dibebani izin eksploitasi mencapai 139.479.36 hektar”.
“”Informasi ini menjelaskan
kepada kita bahwa komitmen Presiden yang tertuang dalam Intruksi Presiden
tersebut, tidak menjadi penghalang berarti bagi perusahaan dan termasuk jajaran
pemerintahan untuk tetap berupaya melakukan penghancuran hutan dan gambut di
Kalimantan Barat.
Kisworo, Direktur WALHI
Kalimantan Selatan, memberikan informasi yang berbeda , menurut Dia “”Mestinya
Moratorium itu tidak hanya untuk mencegah deforestasi dan degradasi saja,
tetapi mestinya diputuskan demi untuk melindungi kehidupan rakyat, Saya ambil
contoh di Kalimantan Selatan ketika Bupati mencabut izin Lokasi PT. Globalindo
Nusantara Lestari yang berada dalam areal moratorium, sesungguhnya Bupati
Kabupaten Hulu Sungai Tengah bukan saja mencegah deforestasi tetapi juga
menyelamatkan kehidupan masyarakat yang bergantung dan terikat pada wilayah
tersebut””. Tutup aktivis gondrong ini.
Selengkapnya...