Walhi melaporkan tujuh perusahaan
perkebunan sawit dan tambang serta beberapa pejabat pemerintah ke KPK di
Jakarta, Selasa (24/5/16). Laporan ini karena ada indikasi kerugian negara mencapai
Rp3,6 triliun.
Manajer Kampanye Walhi Zenzi
Suhadi mengatakan, tujuh perusahaan ini dari lima provinsi di empat pulau
dengan kerugian negara Rp3,6 triliun. Angka ini, katanya, diambil dari
potensi kerugian negara dari praktik penjarahan hutan. Selain itu, katanya, ada
kerugian Rp13 miliar dari suap perusahaan kepada beberapa level pejabat
pemerintah mulai kepala desa sampai kepala daerah dan BPN dalam proses
penerbitan konsesi, HGU, izin dan pengamanan perusahaan.
Dia melaporkan juga keterlibatan Pengadilan
Agama dalam memanipulasi kepemilikan tanah dan transaksi fiktif ganti rugi
tanah di Sulawesi Tenggara. “Ada proses penjualan wilayah komunal masyarakat
dengan kepemilikan fiktif disahkan Pengadilan Agama Sultra,” katanya.
Beberapa kasus ini sengaja
diambil dari empat pulau dan provinsi berbeda guna mewakili beberapa karakter
khusus ekosistem khusus di Indonesia, dari hutan tropis, gambut, rawa, danau,
pulau kecil dan savana.
“Karena berbeda ekosistem, akan
berbeda pola relasi masyarakat dan membentuk sistem perekonomian berbeda.”
Walhi, katanya, menginginkan
penegakan hukum korupsi bukan hanya menyasar praktik-praktik penggelapan uang
negara, tetapi mulai menghentikan kejahatan lingkungan yang memporak-porandakan
sistem perekonomian negara. “Tak ada ekonomi negara terbentuk tanpa sistem
ekonomi mikro tingkat masyarakat,” katanya.
Dia juga menginginkan, penegakan
hukum korupsi, bisa menghentikan penghancuran ekonomi masyarakat dampak
degradasi, deforestasi ataupun ekspansi perkebunan sawit.
Meski begitu, Zenzi tak menyebut
identitas perusahaan dengan detil, hanya menyebut inisial, seperti PT AM
di Bengkulu, perkebunan sawit yang membabat hutan tropis di daerah aliran
sungai. Di Sumatera Selatan, PT TN, juga perusahaan sawit membabat hutan konservasi
TWA Dangku. Di Kalimantan Tengah, PT BA, perusahaan sawit membabat ekosistem
gambut dan danau. Ia diduga memberikan suap kepada beberapa pejabat.
Di Konawe Selatan,
perkebunan ekosistem rawa dua perusahaan perkebunan PT. MJ dan PT. BNP ,
dan perusahaan tambang di Konawe PT. VD. Di Halmahera Selatan, Maluku, PT
KN. Ia di pulau kecil dengan kontur berbukit.
Untuk luasan, perkiraan awal, di
Kalteng 28.000 hektar, Bengkulu 1.500 hektar, Sulawesi Tenggara 754
hektar, Malut 11.000 hektar dengan wilayah rambahan 14.500 hektar.
“Untuk proses hukum, kita belum
bisa menyebut identitas. Dengan harapan, penggalian alat bukti dan lain-lain
bisa berjalan lancar.”
Modus mereka, di Sultra, proses
ganti rugi langsung kepada masyarakat atau transaksi fiktif kepala desa melibatkan
Pengadilan Agama. Mengesahkan kepemilikan adat palsu dan jadi alat transaksi
antara lima orang mengatasnamakan seluruh masyarakat selaku pemilik adat.
“Kita berharap, KPK serius
menghentikan praktik-praktik transaksi fiktif, keterlibatan pejabat negara ini
agar tak terjadi di provinsi lain. Kalau kasus Sultra tak dihentikan, di
provinsi lain akan banyak keterlibatan Pengadilan Agama, pembentukan masyarakat
adat palsu.”
Kalau tak dihentikan, katanya,
dia khawatir Pengadilan agama menjadi pembenaran publik mengesahkan kepemilikan
masyarakat adat. Padahal, sangat rentan dilakukan oknum-oknum bentukan
perusahaan dan kepala daerah yang menginginkan ganti rugi tanah fiktif.
Pada 2013, Walhi melaporkan
beberapa kasus terkait potensi kerugian negara dari tegakan kayu. Kini berbeda,
karena potensi kerugian bukan hanya dari potensi tegakan kayu dan hutan tropis
juga ekosistem khusus.
Zenzi mengatakan, kerugian negara
terjadi dalam beberapa kasus tersebut secara terstruktur, masif dan
terorganisir dikendalikan korporasi.
Walhi melihat, ada manipulasi
dalam pelepasan kawasan hutan. Pelepasan kawasan hutan di wilayah-wilayah itu,
katanya, tanpa proses verifikasi akuntabel. Merugikan kementerian, masyarakat
dan lingkungan.
“Permohonan pelepasan untuk
masyarakat, ketika dilepaskan, diberikan izin kepada perusahaan,” katanya.
Di lapangan,
perusahaan-perusahaan ini ada sudah produksi, ada proses land clearing,
ada juga dalam persiapan land clearing. “Kita lapor ke KPK agar ada
penegakan hukum, menghentikan yang berjalan dan mencegah yang akan terjadi,”
katanya.
Hadi Jatmiko, Direktur Eksekutif
Walhi Sumsel mengatakan, di Sumsel, perusahaan perkebunan sawit yang dilaporkan
berada dalam Suaka Margasatwa seluas 1.700 hektar.
Izin keluar 2005 oleh bupati,
luas 3.000 hektar, 1.700 hektar di Suaka Margasatwa Dangku dengan tanaman usia
produktif. “Potensi kerugian negara berdasarkan hitungan Rp118 miliar,” katanya
dengan hitungan tegakan kayu hilang, belum termasuk flora fauna hilang.
Sejak 2014, Walhi sudah
melaporkan empat perusahaan dalam hutan lindung, hutan alam, gambut lebih tiga
meter. Namun, katanya, sampai sejauh ini belum ada perkembangan. KPK, katanya,
akan mengecek laporan ini.
0 komentar:
Posting Komentar