Aktifitas Reklamasi rawa yang dilakukan di Kel. Bukit Lama oleh Salah satu pengembang Perumahan (Dok : Walhi Sumsel) |
Palembang, 29 Agustus 2016. Banjir yang melanda
di pemukiman warga Kel. Bukit Lama, Kec. IB 1, Palembang sejak sebelum 9
Agustus lalu masih belum sepenuhnya surut. Banjir yang dialami warga tersebut disebabkan oleh penimbunan rawa
oleh PT. Sultan Syalwa Bersaudara. Pasalnya banjir terjadi di musim kemarau,
pasca penimbunan terjadi.
Menurut laporan masyarakat kepada WALHI Sumsel,
banjir yang dialami warga terjadi sejak dibangunnya perumahan-perumahan di atas
rawa-rawa (Rawa Air Itam). Sejak saat itu, banjir terjadi di setiap musim
penghujan. Namun kini sejak rawa-rawa yang tersisa di reklamasi, banjir pun terjadi di musim
kemarau.
Dino Mathius, Manager Desk Disaster WALHI Sumsel mengungkapkan “pembangunan
di Palembang dalam 1 dekade terkahir memang tidak lagi memperhatikan rona
lingkungan hidup. Padahal palembang dalam sejarah topografinya adalah kota yang
di kelilingi oleh air, dan terendam air (rawa). Bahkan lebih dari 50 % wilayah
nya adalah genangan air, termasuk rawa. Namun kondisi tersebut terus menurun.
WALHI Sumsel menduga wilayah rawa di Sumsel saat ini sudah kurang dari 30 %,
bahkan terus terancam melihat banyaknya rencana pembangunan yang terkesan
asal-asalan.”
Banjir yang dialami warga Bukit Lama merupakan
bukti, bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan telah
berdampak nyata pada kerugian yang dialami masyarakat dan lingkungan hidup di
sekitaranya. Dino menambahkan, “pihak pengembang/kontraktor sudah jelas
melanggar hukum/perbuatan melawan hukum. Antara lain tidak memiliki izin lingkungan
sesuai amanat UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, serta tidak memperhatikan dampak sosial dan budaya yang disebabkan oleh
pembangunan tersebut. Adapun pasal-pasal yang dilanggar oleh pengembang antara
lain; Pasal 22 tentang Amdal, Pasal 36 tentang perizinan, dan beberapa pasal
lainnya. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Palembang harus menghentikan dan
menutup proyek yang sedang berjalan tersebut, meminta pengembang untuk
memulihkan kembali kondisi lingkungan hidup awal, dan bertanggung jawab atas kerugian
yang dialami oleh warga. Hal ini sesuai dengan Pasal 87 yang berbunyi “Setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan
kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi
dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Bersamaan dengan itu. Direktur Eksekutif WALHI
Sumsel, Hadi Jatmiko menegaskan Pemerintah Kota Palembang tidak bisa memaksakan
dirinya untuk terus membangun, sementara kerusakan lingkungan hidup terus
terjadi. Paradigmanya pun harus dirubah, tidak lagi menggunakan pendekatan
konvensional. Dimana pembangunan hanya melihat dari aspek pendapatan ekonomi.
Palembang juga harus belajar dari kota-kota besar lainnya di Indonesia yang
telah “gagal” menggunakan paradigma tersebut. Oleh karena itu, sebagai kota
tertua di Indonesia, Palembang harus menjadi Kota yang mengedepankan lingkungan
hidup dan hak-hak masyarakat.
---- selesai ----
Narahubung :
Dino Mathius Manager Desk
Disaster Walhi Sumsel : 0813 6741 1270
0 komentar:
Posting Komentar