WALHI adalah forum organisasi Non Pemerintah, Organisasi Masyarakat dan kelompok pecinta Alam terbesar di Indonesia.WALHI bekerja membangun gerakan menuju tranformasi sosial, kedaulatan rakyat dan keberlanjutan Lingkungan Hidup.

Kunjungi Alamat Baru Kami

HEADLINES

  • Pengadilan Tinggi Nyatakan PT. BMH bersalah dan Di Hukum Ganti Rugi
  • Walhi Deklarasikan Desa Ekologis
  •   PT. Musi Hutan Persada/Marubeni Group Dilaporkan ke Komisi Nasional HAM
  • PT.BMH Penjahat Iklim, KLHK Lakukan Kasasi Segera
  • Di Gusur, 909 orang petani dan keluarganya terpaksa mengungsi di masjid, musholla dan tenda-tenda darurat

Selasa, Agustus 30, 2016

Walhi Sumsel : Stop Alih Fungsi dan Reklamasi Rawa Palembang !

Aktifitas Reklamasi rawa yang dilakukan di Kel. Bukit Lama oleh Salah satu pengembang Perumahan (Dok : Walhi Sumsel)


Palembang, 29 Agustus 2016. Banjir yang melanda di pemukiman warga Kel. Bukit Lama, Kec. IB 1, Palembang sejak sebelum 9 Agustus lalu masih belum sepenuhnya surut. Banjir yang dialami warga tersebut disebabkan oleh penimbunan rawa oleh PT. Sultan Syalwa Bersaudara. Pasalnya banjir terjadi di musim kemarau, pasca penimbunan terjadi.
Menurut laporan masyarakat kepada WALHI Sumsel, banjir yang dialami warga terjadi sejak dibangunnya perumahan-perumahan di atas rawa-rawa (Rawa Air Itam). Sejak saat itu, banjir terjadi di setiap musim penghujan. Namun kini sejak rawa-rawa yang tersisa di reklamasi, banjir pun terjadi di musim kemarau.
Dino Mathius, Manager Desk Disaster WALHI Sumsel mengungkapkan “pembangunan di Palembang dalam 1 dekade terkahir memang tidak lagi memperhatikan rona lingkungan hidup. Padahal palembang dalam sejarah topografinya adalah kota yang di kelilingi oleh air, dan terendam air (rawa). Bahkan lebih dari 50 % wilayah nya adalah genangan air, termasuk rawa. Namun kondisi tersebut terus menurun. WALHI Sumsel menduga wilayah rawa di Sumsel saat ini sudah kurang dari 30 %, bahkan terus terancam melihat banyaknya rencana pembangunan yang terkesan asal-asalan.”
Banjir yang dialami warga Bukit Lama merupakan bukti, bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan kondisi lingkungan telah berdampak nyata pada kerugian yang dialami masyarakat dan lingkungan hidup di sekitaranya. Dino menambahkan, “pihak pengembang/kontraktor sudah jelas melanggar hukum/perbuatan melawan hukum. Antara lain tidak memiliki izin lingkungan sesuai amanat UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta tidak memperhatikan dampak sosial dan budaya yang disebabkan oleh pembangunan tersebut. Adapun pasal-pasal yang dilanggar oleh pengembang antara lain; Pasal 22 tentang Amdal, Pasal 36 tentang perizinan, dan beberapa pasal lainnya. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Palembang harus menghentikan dan menutup proyek yang sedang berjalan tersebut, meminta pengembang untuk memulihkan kembali kondisi lingkungan hidup awal, dan bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh warga. Hal ini sesuai dengan Pasal 87 yang berbunyi “Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan tindakan tertentu.”
Bersamaan dengan itu. Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Hadi Jatmiko menegaskan Pemerintah Kota Palembang tidak bisa memaksakan dirinya untuk terus membangun, sementara kerusakan lingkungan hidup terus terjadi. Paradigmanya pun harus dirubah, tidak lagi menggunakan pendekatan konvensional. Dimana pembangunan hanya melihat dari aspek pendapatan ekonomi. Palembang juga harus belajar dari kota-kota besar lainnya di Indonesia yang telah “gagal” menggunakan paradigma tersebut. Oleh karena itu, sebagai kota tertua di Indonesia, Palembang harus menjadi Kota yang mengedepankan lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat.

                                                                       ---- selesai ----
Narahubung :
Dino Mathius Manager Desk Disaster Walhi Sumsel : 0813 6741 1270



Artikel Terkait:

0 komentar: