“Tanamten ladang saget paring pengupojiwo tapi sawit mboten tentu hasile,”kata Imam Suwirno, seorang petani di Desa Nusantara, jalur 27 Kabupaten Ogan Komering Ilir dengan logat bahasa Jawanya, barubaru ini.
Kurang lebih jika diartikan, menanam beraslebih baik ketimbang sawit. Tanaman padi lebih memberi kehidupan ketimbang berkebun sawit.
Kenyakinan ini menjadi semangat dirinya bersama lebih dari 600 petani lainnya mempertahankan garapan sawah mereka dari kepungan sawit. Menurut ia, bertanam padi merupakan semangat mempertahankan hidup bagi generas selanjutnya.
Sayangnya, konflik lahan seluas 1.200 hektare (ha) selama lebih 20 tahun di desa tersebut tak kunjung diselesaikan pemerintah.
Ketidakpastian inipun juga yang membuat para petani akhirnya solid membangun desa. Wujud nyatanya pembangunan jalan desa yang dibangun dari rembuk dan dana masyarakat desa. Diceritakan Imam, konflik lahan garapan berawal dari tahun 2004. Saat kehadiran perusahaan perkebunan, PT Selatan Agri Makmur Lestari (PT SAML), memperoleh izin prinsip di lahan mereka.
Dua tahun kemudian, perusahaan inipun memperoleh Hak Guna Usaha (HGU), tepat di lahan yang telah mereka garap sejak tahun 1991. “Sejak saat itu, kami berjuang, tetap menanam padi dan merebut kembali lahan kami,” ujar Imam yang telah dinobatkan menjadi sesepuh desa.
Diceritakannya, warga Desa Nusantara terbentuk dari masyarakat transmigrasi sejak tahun 1991. Saat itu, masyarakat mengikuti transmigrasi dari Provinsi Jawa Timur mendapatkan lahan masing-masing seluas dua ha.
Dahulunya, lahan transmigrasi itu merupakan hutan tidak produktif, atau berstatus hutan bagi peruntukkan lain. Kondisi hutan sudah terambah dan sulit untuk dikelola. “Lebih dari tiga tahun, akibat lahan belum bisa menghasilkan, kami sempat makan ubi sepanjang hari,” ujar Imam. Lambat laun dengan semangat kolektif, lahan itu makin bisa ditanam. Namun, kata Imam, permasalahan lahannya belum usai. Setelah 15 tahun bersawah, tiba-tiba lahan tersebut dinyatakan berada milik HGU perusahaan.
Kekelutan makin terasa setelah lebih dari 15 proses mediasi sengketa tidak memberikan kepastian sampai sekarang.
Kepungan sawit makin meluas saat desadesa tetangga, seperti desa di jalur 26, jalur 29, jalur 30 dan 32, sekarang berubah menjadi perkebunan. “Lahan ini, sudah 13 kali dibahas di kabupaten dan Gubernur, serta dua kali di BPN di Jakarta. sampai sekarang masyarakat tidak juga tahu bagaimana HGU ada di lahan mereka. Malah, luasan HGU perusahaan ternyata lebih dari luasan lahan desa,”ujar Imam.
Kesulitan bertanam makin terasa saat masyarakat desa Nusantara tidak bisa memperoleh bantuan pertanian dari pemerintah, akibat lahan bersengketa. Paling terasa, saat musim tanam lalu ketika panen gagal akibat hampir 80% padi mereka tidak membentuk bulir karena diserang penyakit blast. Cerita warga eks transmigrasi ini juga menjadi pembuka dari peresmian desa Nusantara menjadi desa ekologis di Sumsel.
Pada Peresmian desa Ekologis Walhi ini, puluhan warga Desa Nusantara menginginkan kepastian akses lahan sawah mereka.
Ketua Tim Reforma Agraria Kantor Staf Kepresidenan RI Abet Nego Tarigan mengungkapkan, permasalahan (sengketa) yang dialami oleh masyarakat Desa Nusantara menjadi ironis, saat pemerintah memiliki kebijakan reforma agraria. Dikatakan ia, petani Indonesia memiliki luasan tanam yang makin tergerus. Secara rata-rata, petani saat ini hanya memiliki luasan lahan 0,72 ha/keluarga. Kondisi itu, menjadi gambaran akses masyarakat tani yang sangat rendah akan lahan garapan.
Salah satu penyebabnya, lahan berkonflik di Indonesia masih tinggi, terutama konflik masyarakat dengan perusahaan.
“Dengan kebijakan reforma agraria, pemerintah daerah harus mendorong penyelesaian melalui redistribusi lahan. Redistribusi lahan memberikan kepastian bagi petani mengelola lahan mereka secara berkelompok (koperasi) dan penyelesaian konflik melalui kekerasan dan intimidasi tidak boleh lagi,”katanya.
Dia juga mengatakan, tingginya konflik agraria, mendorong pemerintah menyelesaikannya melalui perhutanan sosial.
Sehari sebelumnya, di kabupaten Muba juga sudah membentuk tim percepatan penyelesaian konflik agraria oleh pemerintah daerahnya. Sebaiknya, pemerintah kabupaten lain, juga mendorong tim serupa. “Konflik berkepanjangan, menyulitkan petani, padahal redistribusi tanah juga didukung oleh program sertifikasi gratis dari pemerintah melalui kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional,”ungkapnya.
Sementara Staf Ahli Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Rusnandi Pajung menawarkan solusi inclavebersama perusahaan.
Pemerintah daerah bisa mendorong bagaimana perusahaan dan masyarakat dapat duduk bersama guna menyamakan peta dan mencarikan solusinya. “Sengketa serupa banyak di Indonesia, pemerintah kabupaten bisa mengusulkan penyelesaian tukar lahan, mengingat desa Nusantara termasuk desa lumbung pangan,”katanya.
Direktur Walhi Sumsel Hadi Jatmiko menambahkan, sengketa lahan di Sumsel makin tinggi, terutama luasan. Penetapan desa ekologis, mendorong bagaimana desa Nusantara memiliki ketahanan pangan, serta kedaulatan pertanian, energi dan air.
Walhi sudah mencontohkan pertanian organik di desa yang bersengketa panjang dengan perusahaan sawit tersebut. “Desa Nusantara yang juga merupakan kawasan gambut, hendaknya dijaga, bukan malah menjadi pertanian gambut,”ujarnya.
Sumber : http://www.koran-sindo.com/news.php?r=5&n=136&date=2016-10-25
0 komentar:
Posting Komentar