Kertas Posisi WALHI Sumatera Selatan Dalam Peringatan Hari Lingkungan Hidup Se-dunia
Pengantar
Hari lingkungan hidup sedunia yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1972, menandai perang atas berbagai persoalan ekologi yang terjadi selama ini. Hari lingkungan hidup sedunia dimunculkan sebagai upaya guna mempromosikan isu lingkungan dan menampakkan peran aktif manusia guna membenahi persoalan lingkungan, menjadikan manusia sebagai agen aktif keberlanjutan dan pengembangan yang adil, mempromosikan pemahaman bahwa masyarakat memiliki dan mampu memainkan peran penting dalam mengubah sikap terhadap berbagai persoalan dan kerusakan lingkungan guna terjaminnya kehidupan manusia yang lebih baik, aman, dan sejahtera. Hari lingkungan hidup sedunia menggunakan pendekatan membangun kesadaran, mendukung anggota masyarakat untuk menyuarakan pikiran mereka dan melakukan yang terbaik untuk memperbaiki lingkungan.
Semua kita faham bahwa alam merupakan komponen terpenting yang menjadi prasyarat bagi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia. Selama ini alam telah menjamin pemenuhan kebutuhan sekaligus menjadi ruang bagi hidup manusia. Interaksi manusia dengan alam tidak dapat terpisahkan, karena segala hal kebutuhan manusia pada dasarnya berasal dari kekayaan alam. Meski demikian, disisi lain kitapun harus memahami, bahwa alam juga memiliki keterbatasan untuk mampu menunjang kehidupan manusia. Tingkat populasi yang terus berkembang, akan turut mempengaruhi tingkat produksi dan konsumsi umat manusia. Sejauh mana kemampuan daya tahan alam, sangatlah tergantung dari pengaturan manusia dalam hal pemanfaatannya. Kearifan manusia mengatur kekayaan alam, akan berpengaruh kepada kelangsungan hidup alam sekitar, yang selanjutnya akan mampu membawa keberlangsungan hidup manusia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang.
Persoalannya bahwa kekayaan alam, di berbagai belahan tempat – dalam waktu yang cukup lama hanya diarahkan guna memenuhi selera kepentingan dan pemenuhan kebutuhan hidup sekelompok kecil manusia yang selama ini digarap tanpa terkendali. Dengan tujuan menciptakan kelimpahan materi, sekelompok kecil orang tersebut terus mengeksploitasi kekayaan alam tanpa memperhatikan asfek kemanusian dan keseimbangan (kelangsungan dan daya tahan alam).
Alhasil, berbagai persoalan berupa bencana strukturalpun lahir. Kemiskinan, ketimpangan sosial, dan rentetatan bencana alam, adalah potret realitas dari sistem pengelolaan alam selama ini. Ekologi berada pada titik kehancurannya, sementara upaya perbaikan yang dilakukan ternyata tidaklah sebanding dengan daya rusak yang telah diciptakan.
Kondisi Lingkungan Hidup Sumatera Selatan
Reduksi ekologi di daerah ini merupakan realitas yang tidak-lah dapat terbantahkan lagi. Berbagai pembangunan atau investasi yang menegasikan asfek-asfek lingkungan hidup, terus saja dilakukan, hingga menyebabkan lingkungan Sumsel saat ini berada pada situasi yang amat memprihatinkan. Beberapa contoh kebijakan terbaru yang berpotensi mengancam kelangsungan lingkungan hidup di daerah ini diantaranya:
1. Konversi Hutan Alam Menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI)
a. PT. Rimba Hutani Mas (RHM)
Memperoleh izin usaha dari Menteri Kehutanan seluas 67.100 ha, yang berada pada kawasan Hutan Rawa Gambut Merang Kepayang (HRGMK). Berdasarkan hasil survey Wetlands International Indonesia Program dan South Sumatra Forest Fires Project-SSFFMP tahun 2002, wilayah ini merupakan kawasan hutan yang masih alami dan produktif serta memiliki ketebalan gambut yang cukup dalam (1-6) m. Tentunya hal ini bertentangan dengan spirit yang terkandung di dalam PP No 3 Tahun 2008 ayat 3 bahwa Pemanfaatan hasil hutan kayu pada HTI, diutamakan pada kawasan hutan produksi yang tidak produktif, dan dan juga bertentangan dengan Keppres Nomor 32 tahun 1990 khususnya pasal 9 & 10, yang menyebutkan bahwa kawasan bergambut lebih dari 3 meter merupakan kawasan lindung.
b. PT. SBA Wood Industries dan PT. Bumi Andalas Permai
Pada kawasan Hutan Lindung Pantai Sungai Lumpur – Mesuji (OKI) sepanjang tahun 2008, telah dilakukan pembukaan kawasan lindung tersebut menjadi lokasi sarana prasarana bagi kegiatan HTI (group Sinar Mas), berupa: pembukaan kanal Outlet, basecamp, logyard, dengan luas kawasan lindung yang digunakan untuk keperluan tersebut mencapai 190 ha.
2. Konversi Hutan Mangrove Menjadi Pelabuhan TAA
Pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang menggunakan kawasan Hutan Lindung Air Telang seluas 600 ha, telah menjadi catatan terpenting di dalam skenario pengrusakan Hutan Lindung di Sumatera Selatan. Pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api (TAA) yang telah dimulai sejak awal tahun 2008, dimana proses perizinan dan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) terhadap proyek tersebut tidak-lah dikaji secara mendalam mengenai dampak yang akan ditimbulkan terhadap ekosistem sekitar kawasan Hutan Lindung Air Telang dan Taman Nasional Sembilang.
3. Ekspoitasi Tambang Di Kawasan Hutan
Salah satu persoalan yang kerap mengemuka dalam usaha pertambangan, selain permasalahan sosial dengan masyarakat sekitar, juga dampak lingkungan yang dihasilkan dari usaha tersebut. Diperkirakan banyak terdapat perusahaan tambang yang beroperasi di dalam kawasan hutan, dimana salah satunya terdapat di Kabupaten Lahat. Beberapa perusahaan di wilayah tersebut melakukan eksploitasi di dalam kawasan hutan (konservasi, lindung, dan hutan produksi), hingga mencapai 20.000 ha, yang parahnya dari berbagai kuasa pertambangan tersebut diperkirakan belum memperoleh izin usaha yang legal.
4. Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit Di Kawasan Hutan
Salah satunya dilakukan oleh PT. Sentosa Mulya Bahagia (SMB), yang memperluas usahanya hingga mencapai ribuan hektar di dalam kawasan Hutan Suaka Margasatwa Bentayan.
5. Konversi Rawa
Konversi rawa khususnya di Kota Palembang terus saja terjadi. Dari luasan rawa kota Palembang yang awalnya mancapai 22.000 ha, diperkirakan saat ini hanya sekitar 7.500 ha atau 32% saja yang tersisa, dimana dari sisa tersebut akan terus terancam oleh berbagai kepentingan usaha/bisnis.
6. Konversi dan Minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH)
Sebagai contoh real di Kota Palembang, dari luas wilayah administrasi yang mencapai 40.062 Ha, diperkirakan tidak lebih hanya sekitar 3% saja RTH yang terdapat di Kota Palembang. Kondisi ini diperparah dengan kebijakan Pemerintah Kota Palembang yang terus mengkonversi RTH untuk kepentingan bisnis, seperti yang terjadi di Jalan Veteran (Simpang Rajawali) dan Kambang Iwak. Sementara dalam asfek legalitas, berdasarkan UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang di dalam pasal 29 ayat 2 telah menetapkan proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota, dan ayat 3 menetapkan proporsi ruang terbuka hijau untuk publik paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota.
Fakta kasus lainnya, yang berkontribusi merusak lingkungan Sumsel yaitu rentetan peristiwa pencemaran yang diakibatkan oleh kebocoran Pipa Pertamina, dan pencemaran oleh limbah industri dan akibat lainnya.
Fakta dan Peningkatan Bencana Ekologi Di Sumatera Selatan
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi dengan tingkat kerentanan bencana yang sangat tinggi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa dari 33 Provinsi di tanah air, hingga akhir tahun 2008 terdapat 27 provinsi yang secara serius rentan tertimpa bencana banjir dan tanah longsor, dan Sumsel merupakan satu diantaranya.
Pada tahun 2008, WALHI Sumatera Selatan mencatat setidaknya terdapat 41 kali bencana banjir dan longsor yang pernah terjadi di daerah ini. Sementara di tahun 2009, sejak Bulan Januari hingga Bulan April, tercatat setidaknya telah terjadi 45 kali bencana berupa; banjir, longsor, hujan abu, dan badai. Dengan mendasarkan realitas tersebut, dapat ditegaskan bahwa telah terjadi peningkatan bencana yang luar biasa di daerah ini.
Belum lagi bencana perubahan iklim atau pemanasan global yang saat ini telah begitu dirasakan oleh masyarakat. Berdasarkan laporan Badan Metreologi dan Geofisika (BMG) saat ini telah terjadi kenaikan suhu bumi di Kota Palembang hingga mencapai 34 – 35◦C, dimana dalam keadaan normal suhu permukaan bumi hanya berkisar antara 23 – 30◦C.
Penutup
Dengan memperhatikan realitas peningkatan bencana ekologi yang terjadi di daerah ini, yang diperkirakan ke depan akan terus terjadi secara masif dan ekstrem – kiranya ada dua hal yang menjadi catatan penting untuk dapat diperhatikan oleh masyarakat serta menjadi pekerjaan rumah atau agenda yang perlu didesakkan kepada Pemerintah-an Sumsel, yaitu; Pertama; masyarakat perlu mewaspadai dan mempersiapkan diri terhadap berbagai kemungkinan bencana yang bakal terjadi. Hal ini dapat disegerakan dengan membentuk dan membangun kelompok ”siaga bencana” disetiap komunitas, khususnya di wilayah-wilayah rawan bencana. Kedua; Di level kebijakan, Pemerintah berkewajiban untuk melakukan berbagai hal konkret, berupa menyusun langkah-langkah strategis baik dalam konteks adaptasi maupun moratorium penerbitan izin-izin usaha yang berpotensi merusak lingkungan. Adaptasi dimaksudkan, guna mempersiapkan masyarakat dalam menghadapi berbagai kejadian bencana yang ekstrem dan tiba-tiba. Langkah lainnya dalam konteks adaptasi yaitu Pemerintahan di Sumatera Selatan berkewajiban untuk mengurangi dan menanggulangi kemiskinan rakyat, karena pada dasarnya masyarakat miskin merupakan kelompok yang paling rentan terhadap berbagai bencana yang disebabkan minimnya kemampuan mereka untuk beradaptasi. Dalam konteks ini, jaminan dalam pemenuhan hak-hak sosial, ekonomi, dan ekologi wajib dipenuhi oleh Pemerintahan di Sumsel (tidak hanya pemenuhan jaminan pengobatan dan sekolah gratis semata).
Pada sisi lainnya, pemerintah harus pula menindak tegas para pelaku perusak lingkungan hidup di Sumsel.
Palembang, 04 Juni 2009
Eksekutif Daerah
Wahana Lingkungan Hidup Sumatera Selatan
Cp :
Anwar sadat : 08127855725
Hadi Jatmiko : 0812 7312042