Aliansi Sahabat Lingkungan Sayang Alam (Salink Salam) Sumsel
Sispala Wanala Agung, Sispala Mapassri, Sispala Ipastek, Mapala Mafesripala, Mapala MDP, Mapala Gema Persada LH, Mapala Ubidar, Forum Wong Kito Plembang(FWKP),Komite Pemuda untuk Demokrasi (KPMD), Sahabat Walhi (SAWA)Sumsel, Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumsel,Walhi Sumsel Ternyata dengan bergantinya pucuk kepemimpinan Politik di Propinsi Sumatera Selatan, tidaklah membuat perubahan terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Sumatera Selatan menjadi lebih baik, di bawah kepemimpinan Gubernur H. Alex Noerdin Paradigma berpikir pemerintah tetap menjadikan Lingkungan Hidup sebagai Objek yang harus segera di ekploitasi dan menghasilkan keuntungan Ekonomis.
Implementasi dari itu adalah Kebijakan kebijakan yang berpotensi merusak Lingkungan Hidup terus di Produksi, Alih Fungsi Hutan Menjadi Perkebunan Besar Kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, dan Pertambangan Makin marak terjadi di seluruh Wilayah, sehingga wajar jika hutan yang tersisa pada akhir tahun 2008 hanya 1,2 juta Ha dengan rata rata kerusakan per tahunnya 100.000 Ha.
Di sektor pertambangan saat ini telah bermunculan izin-izin Pertambangan baik itu yang baru diajukan dan yang telah dikeluarkan, seperti ekploitasi batubara di Kabupaten Lahat, Muara Enim serta menyusul di kabupaten Muba, OKU dan OKUT. Hal ini telah berdampak pada rusaknya puluhan Ribu Hektar Hutan,Baik itu Hutan Lindung dan Hutan Konservasi yang seharusnya tidak boleh dialih fungsikan dengan alasan apapun. atas ekploitasi atau rusaknya Hutan Hutan Alam, telah menyebabkan terjadinya peningkatan bencana alam, dimana pada tahun 2008 hanya terjadi 41 kali ,namun ditahun 2009 yang baru berjalan 5 bulan telah terjadi 45 kali, baik itu bencana banjir, Tanah Longsor dan Puting Beliung .
Selain dari faktor alih fungsi Hutan tersebut, menurunnya kualitas Lingkungan Hidup di Sumatera Selatan juga di akibat oleh ketidak tegasan pemerintah dalam menghadapi para penjahat Lingkungan ( perusahaan . Red). Contohnya Pencemaran yang dilakukan oleh PT Pertamina,akibat dari kebocoran pipa saluran minyak, dan meledaknya sumur-sumur ekploitasi migas yang dimilikinya, dan sedikitnya dalam tahun ini telah terjadi 6 kasus pencemaran yang dilakukan PT. Pertamina namun pemerintah tidak pernah memberikan Sanksi sesuai dengan yang tertera pada Undang undang No 23 tahun 1997.
Dampak terhadap kondisi hulu Sungai Musi di Kabupaten Lahat dan Musi Rawas, Sumatera Selatan, semakin gundul. Kawasan sempadan Sungai Musi di Ulu Musi, Tebing Tinggi (Empat Lawang), Muara Kelingi, dan Muara Lakitan sudah tidak memiliki pepohonan yang besar. kawasan itu hanya ditumbuhi semak belukar, perdu, atau pepohonan kecil. Akibatnya, erosi di tepian sungai bertambah parah, sedangkan jalur sungai semakin mengalami penyempitan dan dangkal. Belum lagi dibeberapa anak sungai yang mengalir menuju Sungai Musi (ulu dan Ilir), air yang mengalir tampak begitu keruh dan kotor akibat beberapa aktivitas perusahaan perusahaan seperti Pertamina, PT Pusri, PT. Semen Baturaja, Pabrik Pengelolaan Karet, Tambang Batubara, dll yang ada di sepanjang aliran sungai, yang membuang limbahnya ke sungai musi sehingga kualitas air sungai mengalami Penurunan, jika dibiarkan akan berdampak dengan Musnah nya seluruh Spesies Binatang yang ada di sungai dan membahayakan jiwa masyarakat yang sampai saat ini masih menggunakan Air sungai musi untuk menunjang kebutuhan Air nya sehari hari.
Tidak lepas dari persoalan tersebut di sektor perkotaan seperti di kota Palembang ternyata upaya perusakan terhadap Lingkungan hidup terus juga di rutin dilaksanakan. Palembang yang kita ketahui sebagai Kota rawa karena 50 % dari luasan wilayah kota palembang yang mencapai 40.062 Ha adalah rawa. Kondisinya wilayah rawa telah berubah (terus Menyempit) akibat dari aktifitas penimbunan rawa secara besar besaran yang dilakukan oleh Perusahaan maupun individu, dan hal ini di Legitimasi (diizinkan) pemerintah melalui Perda kota Palembang No 5 tahun 2008.Selanjutnya Ruang terbuka Hijau ( RTH) yang merupakan Hak bagi setiap masyarakat yang ada di perkotaan yang dimandatkan dalam UU no 26 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa RTH di perkotaan harus mencapai 30 % dari luas wilayah, ini berarti palembang harus memiiliki lahan seluas 12.000 Ha yang diperuntukan bagi RTH ternyata sampai saat ini mandat tersebut tidak pernah di realisasikan oleh Pemkot palembang Padahal RTH saat ini kurang dari 5 % ,mirisnya RTH yang ada bukannya di rawat (dipertahankan)malah dialih Fungsikan menjadi tempat tempat bisnis seperti yang terjadi di Simpang 4 Rajawali,kambang iwak dan lainnya.
Untuk menyelesaikan dan mencegah semua persoalan diatas mempunyai dampak yang semakin besar dan luas maka dibutuhkan sebuah peran dan komitmen kuat dari pemerintah, atas ini kami Menyatakan :
Implementasi dari itu adalah Kebijakan kebijakan yang berpotensi merusak Lingkungan Hidup terus di Produksi, Alih Fungsi Hutan Menjadi Perkebunan Besar Kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, dan Pertambangan Makin marak terjadi di seluruh Wilayah, sehingga wajar jika hutan yang tersisa pada akhir tahun 2008 hanya 1,2 juta Ha dengan rata rata kerusakan per tahunnya 100.000 Ha.
Di sektor pertambangan saat ini telah bermunculan izin-izin Pertambangan baik itu yang baru diajukan dan yang telah dikeluarkan, seperti ekploitasi batubara di Kabupaten Lahat, Muara Enim serta menyusul di kabupaten Muba, OKU dan OKUT. Hal ini telah berdampak pada rusaknya puluhan Ribu Hektar Hutan,Baik itu Hutan Lindung dan Hutan Konservasi yang seharusnya tidak boleh dialih fungsikan dengan alasan apapun. atas ekploitasi atau rusaknya Hutan Hutan Alam, telah menyebabkan terjadinya peningkatan bencana alam, dimana pada tahun 2008 hanya terjadi 41 kali ,namun ditahun 2009 yang baru berjalan 5 bulan telah terjadi 45 kali, baik itu bencana banjir, Tanah Longsor dan Puting Beliung .
Selain dari faktor alih fungsi Hutan tersebut, menurunnya kualitas Lingkungan Hidup di Sumatera Selatan juga di akibat oleh ketidak tegasan pemerintah dalam menghadapi para penjahat Lingkungan ( perusahaan . Red). Contohnya Pencemaran yang dilakukan oleh PT Pertamina,akibat dari kebocoran pipa saluran minyak, dan meledaknya sumur-sumur ekploitasi migas yang dimilikinya, dan sedikitnya dalam tahun ini telah terjadi 6 kasus pencemaran yang dilakukan PT. Pertamina namun pemerintah tidak pernah memberikan Sanksi sesuai dengan yang tertera pada Undang undang No 23 tahun 1997.
Dampak terhadap kondisi hulu Sungai Musi di Kabupaten Lahat dan Musi Rawas, Sumatera Selatan, semakin gundul. Kawasan sempadan Sungai Musi di Ulu Musi, Tebing Tinggi (Empat Lawang), Muara Kelingi, dan Muara Lakitan sudah tidak memiliki pepohonan yang besar. kawasan itu hanya ditumbuhi semak belukar, perdu, atau pepohonan kecil. Akibatnya, erosi di tepian sungai bertambah parah, sedangkan jalur sungai semakin mengalami penyempitan dan dangkal. Belum lagi dibeberapa anak sungai yang mengalir menuju Sungai Musi (ulu dan Ilir), air yang mengalir tampak begitu keruh dan kotor akibat beberapa aktivitas perusahaan perusahaan seperti Pertamina, PT Pusri, PT. Semen Baturaja, Pabrik Pengelolaan Karet, Tambang Batubara, dll yang ada di sepanjang aliran sungai, yang membuang limbahnya ke sungai musi sehingga kualitas air sungai mengalami Penurunan, jika dibiarkan akan berdampak dengan Musnah nya seluruh Spesies Binatang yang ada di sungai dan membahayakan jiwa masyarakat yang sampai saat ini masih menggunakan Air sungai musi untuk menunjang kebutuhan Air nya sehari hari.
Tidak lepas dari persoalan tersebut di sektor perkotaan seperti di kota Palembang ternyata upaya perusakan terhadap Lingkungan hidup terus juga di rutin dilaksanakan. Palembang yang kita ketahui sebagai Kota rawa karena 50 % dari luasan wilayah kota palembang yang mencapai 40.062 Ha adalah rawa. Kondisinya wilayah rawa telah berubah (terus Menyempit) akibat dari aktifitas penimbunan rawa secara besar besaran yang dilakukan oleh Perusahaan maupun individu, dan hal ini di Legitimasi (diizinkan) pemerintah melalui Perda kota Palembang No 5 tahun 2008.Selanjutnya Ruang terbuka Hijau ( RTH) yang merupakan Hak bagi setiap masyarakat yang ada di perkotaan yang dimandatkan dalam UU no 26 Tahun 2007 yang menyatakan bahwa RTH di perkotaan harus mencapai 30 % dari luas wilayah, ini berarti palembang harus memiiliki lahan seluas 12.000 Ha yang diperuntukan bagi RTH ternyata sampai saat ini mandat tersebut tidak pernah di realisasikan oleh Pemkot palembang Padahal RTH saat ini kurang dari 5 % ,mirisnya RTH yang ada bukannya di rawat (dipertahankan)malah dialih Fungsikan menjadi tempat tempat bisnis seperti yang terjadi di Simpang 4 Rajawali,kambang iwak dan lainnya.
Untuk menyelesaikan dan mencegah semua persoalan diatas mempunyai dampak yang semakin besar dan luas maka dibutuhkan sebuah peran dan komitmen kuat dari pemerintah, atas ini kami Menyatakan :
- Stop Alih Fungsi Hutan dan lahan Gambut menjadi perkebunan besar Kelapa sawit, Hutan Tanaman Industri, Pembangunan Pelabuhan dan Pertambangan.
- Selamatkan sungai Musi dan Ekosistem yang ada di dalamnya segera dan hentikan segala Aktifitas Industri (perusahaan) yang ada di sepanjang Aliran sungai dan Hentikan segera pembuangan Limbah industri ke sungai.
- Stop Penimbunan Rawa
- Stop Alih Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi tempat bisnis dan segera Realisasikan 30% RTH di Kota Palembang.
- Berikan sanksi Pidana bagi pemerintah dan Perusahaan yang melakukan perusakan Lingkungan Hidup di sumsel tanpa terkecuali.
- Segera masukan pendidikan Lingkungan Hidup dalam Kurikulum sekolah SD,SMP,dan SMA
CP :
Hadi Jatmiko 0812 7312042
0 komentar:
Posting Komentar